Beranda / Romansa / Malam Pertama yang Tertunda / Bab. 51. Assalamualaikum, Ya Habibi

Share

Bab. 51. Assalamualaikum, Ya Habibi

Penulis: AlphQueen
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Kebahagiaan yang sesungguhnya memanglah kebersamaan dengan keluarga. Namun, akan jauh lebih sempurna jika kita dapat menerima rasa manis, asin, dan pahit kehidupan di dalamnya.”

***

Tidak ada kebahagiaan yang jauh lebih sempurna, selain kebersamaan dalam sebuah keluarga. Walau telah terjadi perselisihan memicu ketegangan, justru itulah yang sekarang mempererat ikatan kekeluargaan. Oleh karenanya, saat Arzan dan Nafisa memutuskan untuk kembali rujuk, antusias keluarga kedua belah pihak begitu menggebu-gebu. Mereka terlihat penuh semangat.

Keluarga lelaki dengan senang hati memaafkan kesalahan Laksmi yang telah dengan sengaja menghina Arzan. Pun dengan keluarga perempuan yang memaklumi keputusan Arzan, saat ia memutuskan sebuah hubungan dengan Nafisa. Mereka tersenyum lega setelah acara rujuk anak-anaknya selesai dilaksanakan.

Sebelum pamit, Ustaz Zaki pun memberi satu petuah penting terlebih dulu. Ia menyarankan aga

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 52. Lahirnya Seorang Bayi

    “Bu,” lirih Nafisa. Keringat sudah tak lagi hanya basahi kening, tetapi juga rambut dan bagian-bagian tubuh lainnya. Ia meringis, mengerang sampai mengejan saat sakit yang dirasanya muncul semakin sering.“Sabar, Neng. Istigfar.” Laksmi menenangkan anaknya itu dengan berulang kali mengusap perut, mengusap puncak kepala, juga membisikkan doa-doa agar persalinan Nafisa berjalan lancar. “Sebentar. Kalau ke rumah bidan, berarti ibu harus bawa pakaian salin untukmu, Neng. Baju ini juga basah oleh darah. Ibu bantu ganti pakai kain sarung, ya?”Nafisa mengangguk pelan seraya meremas seprei yang sudah tak keruan bentuknya, acak-acakan karena reaksi Nafisa begitu perutnya kram karena kontraksi. Ia berguling ke sana-kemari bergantian, sampai meregangkan kedua kaki dengan begitu tegang. Laksmi langsung beranjak turun, mengambil sehelai baju gamis dan perlengkapan lain untuk bayi Nafisa nanti. Ia masukkan semua barang bawaan ke dalam satu tas. Setelah usai, buru-

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 53. Tinggallah Sepotong Hati

    “Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas ya

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 54. Seuntai Kenangan

    Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa bertemu, sampai

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 55. Pelengkap Kebahagiaan

    “Ibu paham, Nak. Karena jangankan kamu, Ibu saja sering inget sama Nafisa kalau lagi momong anakmu ini,” timpal Mariam yang seketika tersenyum. Sebagai ibu juga nenek sari cucu pertamanya itu, ia harus bisa menghibur diri dan Arzan. Karena hari sebentar lagi akan memasuki waktu Maghrib, Mariam pun menyuruh anaknya untuk segera masuk. Terlebih, Razan mulai kembali rewel.“Razan kenapa, Bu? Tumben rewel gitu?”Di belakang Mariam, Arzan pun berkomentar perihal anak lelakinya itu. Biasanya, Razan selalu anteng. Apalagi di jam-jam seperti ini, karena suasana sudah mulai kembali sejuk. Namun, setibanya ia di sana, suara tangis Razan membuatnya merasa khawatir.“Ibu juga nggak tau, Nak. Mungkin ngantuk. Tadi mau Ibu tidurin, tapi kamu keburu datang. Jadi nantilah ibu tidurin kalau udah lewat magrib. Tanggung,” timpal wanita yang sekarang ada di hadapan Arzan itu. Ia melihat raut wajah cemas Arzan sebentar. Sebelum kemudian kembali me

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 56. Tabrakan

    “Udah lama kita nggak nengok Razan, Pak. Udah bisa apa ya dia sekarang?”Di ruang tamu, Laksmi yang tengah melipat bajunya itu memulai obrolan dengan Asep. Setelah ditinggal Nafisa, rumahnya memang jauh lebih sepi. Tidak ada yang bisa diomelinya. Tidak ada yang bisa ia suruh pula setiap hari. Terlebih lagi, tak ada yang membantunya beberes rumah.“Perasaan baru minggu kemarin kita pergi ke rumah Bu Maryam, Bu. Masa udah lama?”Usai menyeruput kopi hitam kesukaannya, Asep pun menimpali istrinya itu dengan nada keheranan. Sejak Nafisa meninggal, Laksmi emang kerap mengunjungi Arzan untuk menemui cucu dari anak bungsunya. Laksmi juga kerap merasa kalau waktu berputar begitu lama.“Masa, Pak? Perasaan Ibu kok udah lama banget nggak ketemu Razan. Ibu kangen banget soalnya. Mana anak-anak kita nggak ada yang pulang juga, kan dari perantauan? Kenapa coba, kok nggak ada yang mau nemenin Ibu di sini?”

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 57. Ketemu Lagi

    Selepas salat Dzuhur, Arzan yang tak bisa meninggalkan toko di tangan ayahnya yang juga mempunyai tanggung jawab atas toko lainnya pun buru-buru kembali. Langkahnya lagi-lagi tergesa saat menyusuri gang yang menjadi salah satu jalan terdekat menuju pasar. Namun, kali ini tak ada drama. Perjalanannya mulus, tanpa ada gangguan seperti tabrakan yang tak disengaja olehnya tadi.Hanya saja, mengingat tabrakan yang tak sengaja dilakukannya tadi itu membuatnya senyum-senyum sendiri sambil menggeleng. Wanita yang tak sengaja dijumpainya itu memilik mata seindah Nafisa. Pun dengan keramahannya dalam bicara, membuat Arzan seketika mengenang almarhumah istrinya itu.Akan tetapi, sadar kalau dirinya sedang membanding-bandingkan Nafisa dengan wanita lain, yang juga jelas-jelas bukan mahramnya, Arzan langsung menyapu wajahnya itu dengan kedua tangan. Tak lupa, ia pun beristigfar sampai lebih dari tiga kaliEnam bulan lalu Nafisa pergi. Tapi, matanya sudah mulai nakal sehingga

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 58. Dikira Tukang Ojek

    “Bang ... Abang! Berhenti dulu, Bang. Ya Allah. Alhamdulillah ada ojek juga. Bisa antar aku ke kampus? Bisa, ya ... ya, ya, please.”Abang? Tukang ojek? Gila! Masa cowok sekeren gue dikira tukang ojek? Sialan, nih, cewek satu. Benar-benar.“Bang? Malah bengong. Ayo, ah. Jalan!”Eh, buset! Udah nemplok di belakang aja nih cewek. Belum juga ngomong gue. Untung cantik.“Tenang. Nanti aku bayar, kok. Suer,” lanjutnya sambil menyengir, saat gue menoleh dan hendak menjawab ocehannya.“Lah, bukan masalah bayar apa kagak. Turun nggak, lu!”Teman bukan, kerabat apa lagi, mending gue turunin dia ya, kan? Repot kalau ternyata dia itu salah satu anggota begal. Bisa habis motor sama isi dompet gue.“Loh! Tukang ojek, kok, gitu? Kasar banget sama penumpang.”Bibir tipisnya nyerocos lagi. Namun, sudah tahu kasar, masih aja duduk di belakang. Kan, resek! Ya

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 59. Sabodolah

    Gue lirik jam di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Langkah kaki auto ngacir, menyusuri jalan yang sama dengan siapa tadi? Ah, iya. Almira! Gadis cantik, tapi nggak ada sopan-sopannya.Dari jauh, langkahnya masih tertangkap jelas. Buru-buru, celingukan sambil megang tali tas selempang butut, belum lagi jinjit-jinjit. Ngapain, sih? Astaga! Aneh beud.Sementara di sekitar kampus, sepi. Mungkin, seluruh penghuninya sudah masuk ke kelas. Takut, kalau sampai keduluan dosen-dosen galak seperti Pak Budiman.Aih, bentar? Astaga! Hari ini, kan jadwalnya Pak Budiman? Mati gue kalau sampai telat lagi. Sial! Ini semua gara-gara Almira, nih.Ambil langkah seribu, gue susul langkah kaki si cewek bawel berponi Dora itu. Almira, siapa lagi kalau bukan dia?“Awas!”Gue menepuk dan menarik cepat pundak Almira begitu langkah kaki sampai di sebelahnya. Dia tersentak, bergidik dengan kedua alis hampir bertaut. “Apa, sih?” tanyan

Bab terbaru

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 81. Akhir Dari Sebuah Cerita Cinta

    Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 80. Akhir Dari Sebuah Pertemuan

    “Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 79. Melepas Pergi

    SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 78. Meringis Kesakitan

    Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 76. Permainan yang Menantang

    BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 75. Sama-Sama Kaku

    Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 74. Nyaman

    DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 73. Makan Berdua

    MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 72. YouTubers

    DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me

DMCA.com Protection Status