“Udah lama kita nggak nengok Razan, Pak. Udah bisa apa ya dia sekarang?”
Di ruang tamu, Laksmi yang tengah melipat bajunya itu memulai obrolan dengan Asep. Setelah ditinggal Nafisa, rumahnya memang jauh lebih sepi. Tidak ada yang bisa diomelinya. Tidak ada yang bisa ia suruh pula setiap hari. Terlebih lagi, tak ada yang membantunya beberes rumah.
“Perasaan baru minggu kemarin kita pergi ke rumah Bu Maryam, Bu. Masa udah lama?”
Usai menyeruput kopi hitam kesukaannya, Asep pun menimpali istrinya itu dengan nada keheranan. Sejak Nafisa meninggal, Laksmi emang kerap mengunjungi Arzan untuk menemui cucu dari anak bungsunya. Laksmi juga kerap merasa kalau waktu berputar begitu lama.
“Masa, Pak? Perasaan Ibu kok udah lama banget nggak ketemu Razan. Ibu kangen banget soalnya. Mana anak-anak kita nggak ada yang pulang juga, kan dari perantauan? Kenapa coba, kok nggak ada yang mau nemenin Ibu di sini?”
Selepas salat Dzuhur, Arzan yang tak bisa meninggalkan toko di tangan ayahnya yang juga mempunyai tanggung jawab atas toko lainnya pun buru-buru kembali. Langkahnya lagi-lagi tergesa saat menyusuri gang yang menjadi salah satu jalan terdekat menuju pasar. Namun, kali ini tak ada drama. Perjalanannya mulus, tanpa ada gangguan seperti tabrakan yang tak disengaja olehnya tadi.Hanya saja, mengingat tabrakan yang tak sengaja dilakukannya tadi itu membuatnya senyum-senyum sendiri sambil menggeleng. Wanita yang tak sengaja dijumpainya itu memilik mata seindah Nafisa. Pun dengan keramahannya dalam bicara, membuat Arzan seketika mengenang almarhumah istrinya itu.Akan tetapi, sadar kalau dirinya sedang membanding-bandingkan Nafisa dengan wanita lain, yang juga jelas-jelas bukan mahramnya, Arzan langsung menyapu wajahnya itu dengan kedua tangan. Tak lupa, ia pun beristigfar sampai lebih dari tiga kaliEnam bulan lalu Nafisa pergi. Tapi, matanya sudah mulai nakal sehingga
“Bang ... Abang! Berhenti dulu, Bang. Ya Allah. Alhamdulillah ada ojek juga. Bisa antar aku ke kampus? Bisa, ya ... ya, ya, please.”Abang? Tukang ojek? Gila! Masa cowok sekeren gue dikira tukang ojek? Sialan, nih, cewek satu. Benar-benar.“Bang? Malah bengong. Ayo, ah. Jalan!”Eh, buset! Udah nemplok di belakang aja nih cewek. Belum juga ngomong gue. Untung cantik.“Tenang. Nanti aku bayar, kok. Suer,” lanjutnya sambil menyengir, saat gue menoleh dan hendak menjawab ocehannya.“Lah, bukan masalah bayar apa kagak. Turun nggak, lu!”Teman bukan, kerabat apa lagi, mending gue turunin dia ya, kan? Repot kalau ternyata dia itu salah satu anggota begal. Bisa habis motor sama isi dompet gue.“Loh! Tukang ojek, kok, gitu? Kasar banget sama penumpang.”Bibir tipisnya nyerocos lagi. Namun, sudah tahu kasar, masih aja duduk di belakang. Kan, resek! Ya
Gue lirik jam di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Langkah kaki auto ngacir, menyusuri jalan yang sama dengan siapa tadi? Ah, iya. Almira! Gadis cantik, tapi nggak ada sopan-sopannya.Dari jauh, langkahnya masih tertangkap jelas. Buru-buru, celingukan sambil megang tali tas selempang butut, belum lagi jinjit-jinjit. Ngapain, sih? Astaga! Aneh beud.Sementara di sekitar kampus, sepi. Mungkin, seluruh penghuninya sudah masuk ke kelas. Takut, kalau sampai keduluan dosen-dosen galak seperti Pak Budiman.Aih, bentar? Astaga! Hari ini, kan jadwalnya Pak Budiman? Mati gue kalau sampai telat lagi. Sial! Ini semua gara-gara Almira, nih.Ambil langkah seribu, gue susul langkah kaki si cewek bawel berponi Dora itu. Almira, siapa lagi kalau bukan dia?“Awas!”Gue menepuk dan menarik cepat pundak Almira begitu langkah kaki sampai di sebelahnya. Dia tersentak, bergidik dengan kedua alis hampir bertaut. “Apa, sih?” tanyan
Lama setelah menikmati pelajaran Pak Budiman dengan suasana yang waw, karena harus bersebelahan dengan si Bawel, akhirnya kelas selesai. Dosen galak itu pun keluar dengan beberapa buku di tangan.Sementara gue, tentu saja bernapas lega. Selain karena bisa duduk bersantai dengan menyelonjorkan kaki, gue pun bebas bersiul sambil bersandarkan kedua tangan. Ini waktunya beristirahat, tidur sudah pasti, untuk mengganti waktu yang gue habiskan dengan bergadang hampir semalaman.Anehnya, kali ini mata gue justru nggak bisa merem. Melek aja gara-gara si bawel yang terus menarik perhatian. Berulang kali dia mengibas rambut, atau menyibaknya saat menjuntai ke depan saat ia bersedekap di meja. Belum lagi bibir tipisnya itu, seksi walau tanpa polesan tebal.Ukh, cantik. Model begini jarang banget, kan, di kota metropolitan?“Hei, cewek bawel!”Dengan sekali entakkan gue bangkit dari bersandar, lalu d
“Dasar dekil! Pergi sana. Bikin aroma rumah jadi sumpek aja karena bau badanmu yang busuk itu. Cuih!” titah seorang wanita tambun, saat Laras baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah tetangganya.Laras menunduk malu, karena untuk ke sekian kali, gadis usia tujuh tahun yang memakai baju butut selutut itu harus menerima hinaan dari warga di pedesaan, tempatnya tinggal. Dia pun melangkah mundur setelah lama terdiam, lalu berbalik dan berlari meninggalkan sekumpulan anak seusianya yang tengah asyik bermain.Padahal, niat hati hanya ingin ikut bermain, ikut tertawa bersama anak sebaya yang juga satu sekolahan dengannya. Namun, nyatanya, keadaan yang tak sederajat membuat Laras terkucil, sampai hanya segelintir orang peduli akan keberadaannya.Laras yang tak tahu akan kesalahannya pun lagi-lagi memilih untuk menyendiri. Menyusuri jalan setapak dengan tatapan iri p
Laras menelan ludah dengan susah payah. Menyapu air mata yang membuat hampir seluruh wajahnya basah. Napasnya kian tersengal, sampai sesak seperti tengah terikat. Namun, setengah dari kesadarannya membuat Laras melonggarkan pelukan, lalu menyimpan bayi mungil itu di ranjang dengan perlahan-lahan.“Bagus, Sayang. Kamu pasti bisa,” lirih Dewi sambil menghela napas lega. “Sekarang ... coba tarik dan buang napasmu perlahan-lahan.”Awalnya Laras menggeleng kuat, menolak saat Dewi mengarahkan untuk bersikap tenang. Namun, begitu sesak di dadanya kian berkurang, emosinya pun tak lagi meradang. Pelan wajahnya menengadah, lalu menunduk dengan kedua tangan menangkup mulut. Dia terguguk, lalu terduduk.“Maafin aku, Bu. Aku nggak bisa mengendalikan emosi lagi,” katanya sambil memukul dan menjambak rambut sendiri.“Berhenti, Nak. Jangan sakiti dirimu seperti itu. Pelan-pelan, ibu yakin kamu bisa,” timpal Dewi sambil mela
“Bukan gitu, Dek. Mas benar-benar sibuk setelah ada kenaikan jabatan di kantor. Tiap hari ngurus ini dan itu sampai lupa makan.” Arya nyerocos saat di telepon.“Aku ngerti kalau memang kamu sibuk, Mas. Tapi ya masa kuteleponi sibuk dan dialihkan terus. Sekalinya nggak sibuk, nomormu ini nggak aktif. Gimana aku nggak khawatir? Curiga mah iya!” sungut Laras tak mau kalah. “Kamu nggak pernah kayak gini, loh, sebelumnya.”“Ya Allah, Dek. Percaya sama mas. Pokoknya, kamu sama adek baik-baik di rumah. Satu mingguan lagi mas pulang,” jawabnya cepat. “Sekarang mas capek. Mau mandi, makan, terus istirahat.”“Kan ... gitu, deh. Baru juga lima menit kita ngobrol. Mas nggak kangen aku?” Sambil menyusui bayinya Laras cemberut. “Ini malam minggu, loh.”“Kangen, dong. Masa nggak. Tapi mas capek. Sumpah.” Arya mendengkus, terdengar lelah.“Ya, sudah. Awas aja kala
Satu hari berlalu, dua hari terlewati dengan begitu cepat. Saat ditakut-takuti kalau Laras ingin tinggal bersama, Arya pun tiba-tiba kembali berubah hangat. Nomornya selalu aktif, membuat Laras bebas menelepon setiap waktu.Namun, sebagai wanita dewasa, Laras paham dengan reaksi Arya yang justru berbalik menjadi berlebihan. Dari suaranya, dapat dengan jelas Laras tangkap, kalau Arya selalu tertekan dan ketakutan.Terlebih lagi selepas Isya, Arya kerap mengatakan berbagai alasan untuk tidur lebih awal. Seperti malam ini, saat untuk ketiga kalinya Laras menelepon dalam sehari, Arya terdengar gelagapan.“Mas beneran ngantuk, sumpah,” katanya buru-buru.“Ya, sudah. Kalau gitu mas tidur duluan. Aku mau makan dulu,” timpal Laras mengiyakan.“Habis makan jangan langsung begadang. Istirahat yang cukup,” kata Arya lagi sebelum mengucap salam.Telepon terputus setelah Laras membalas salam. Lantas ia beranjak, mening