Mata Johan memindai Bima dari atas sampai bawah, lantas menggeram benci.
"Bima...."Bagai dihempas oleh dahsyatnya ombak lautan, Azalea terhuyung."A–Apa yang Anda katakan tadi?" tanya Azalea dengan suara tergagap. Susah payah menatap lelaki di depannya, tapi yang ia terima hanyalah lirikan sinis.Bima menjawab dingin, "Apa ada yang salah?""Anda adalah... kakaknya Johan?" ulang Azalea lagi dengan terbata-bata saking terkejutnya.Alih-alih menjawab, Bima bungkam atau lebih tepatnya tidak peduli. Namun jika dilihat dari caranya mengabaikan Azalea, sudah dipastikan bahwa pertanyaan itu benar.Dalam pertemuan singkat sebelum menikah, Azalea tidak pernah dengar kalau Johan punya seorang saudara.Maka, dalam situasi ini... Bukannya selamat dan mendapat pertolongan, kemungkinan besar Azalea telah jatuh ke lubang harimau untuk kedua kalinya.Membayangkan itu, Azalea merasa detak jantungnya semakin cepat saat ia menyadari bahwa ia baru saja memohon pada seorang lelaki yang mungkin saja berpihak pada suaminya yang jahat.Apakah Bima bakal mengoper dirinya pada Johan yang sekarang sedang menatap mereka berdua penuh amarah?Azalea membeku di hadapan Bima dengan pandangan kosong dan juga syok, memikirkan konsekuensi dari perbuatannya."Tolong aku, Tuan... Aku membutuhkan bantuanmu," pinta Azalea dengan suara yang tercekat. Secara inisiatif gadis itu berkelit dan bersembunyi di belakang Bima."Apa yang sebenarnya sedang kulihat ini?" tanya Johan, lalu menatap tajam sang istri.Melihat istrinya bersama seorang lelaki bertelanjang dada di dalam kamar minim cahaya itu tentu saja menimbulkan prasangka macam-macam. Apalagi sekarang kepala Johan sedang panas-panasnya."Apa yang kau lakukan di sana, jalang? Cepat ke sini! Kau harus melanjutkan apa yang belum kita selesaikan!""Tidak! Aku tidak mau pergi denganmu!" Azalea balas berseru."Apa maksudmu, sialan? Kau adalah istriku, patuh dan lakukan apa yang aku perintahkan! Jadi berhenti berdiri di sana seperti gadis dungu dan keluar dari sini sekarang juga!"Tangan panjang Johan berhasil menangkap lengan Azalea. Panik, gadis itu berputar dan mencoba melepaskan diri dari genggaman Johan, tapi cengkeramannya terlalu kuat dan Azalea tidak bisa bergerak."Lepaskan aku sekarang juga atau—""Atau apa?" Johan tertawa sambil menarik Azalea mendekat padanya."Aku akan berteriak.""Bagus. Dan pastikan kamu berteriak cukup keras agar semua orang mendengarnya, kalau tidak, tidak akan ada yang mempercayai ceritamu!"Situasi yang lebih mirip adegan sinetron ini anehnya mampu menyentil sesuatu dalam diri Bima. Katakanlah itu sebagai sebuah empati.Maka sebagai seorang pria, Bima tidak bisa membiarkan seorang wanita yang nyaris lepas pakaiannya itu ditarik-tarik oleh lelaki yang dikenalnya sebagai seorang bajingan kelas kakap."Sejujurnya ...." Bima bergumam, "Saya mempercayainya."Dalam sekali tarik, Bima mampu melepaskan Azalea dari jerat Johan. Bahkan Bima juga meraih pinggang Azalea lebih dekat, merangkulnya seolah-olah memberikan perlindungan ekstra."Kau tidak bisa membawa kekasih saya pergi begitu saja, saudaraku.""Apa?" Johan mengerang tak percaya."Apa kau baik-baik saja?" tanya Bima pada Azalea, yang dijawab oleh anggukan singkat.Bima ke arah Johan. "Istrimu adalah milik saya sekarang."Johan tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. Tawanya berubah sinis dalam sekejap ketika ia memicingkan mata."Omong kosong apa yang kau katakan, pecundang?""Itu benar. Sekarang, pergilah dan tinggalkan gadis ini bersamaku," kata Bima sambil tetap memeluk Azalea."Tidak! Kau tidak boleh membawanya kemana-mana sampai aku selesai dengannya!"Tak terima, Johan masih berusaha merebut Azalea, tapi Bima memblokir gerakan dengan mencengkeram tangannya erat-erat."Oh, jadi kau akan menyakitinya lagi? Tidak apa-apa. Saya hanya akan membeberkan rekamannya."Bima berbicara dengan tenang, mengode ke arah CCTV di ujung lorong.Kaget, Johan merangsek masuk ke kamar, tapi dengan sigap Bima mencengkeram bahu Johan.Bima mendekat ke telinga Johan untuk berbisik, "Sebenarnya, istrimu adalah kekasih saya. Jadi tak akan kubiarkan kau menyentuh dirinya sejengkal pun!"Bukan berarti Azalea tidak mendengar bisikan itu. Sebaliknya, ia malah semakin terkejut. Kebohongan macam apa yang dikatakan Bima sekarang?"Oh, ya? Asal kau tahu. Aku sudah mengacak-acak tubuhnya, tuh. Jangan tertipu sama sikap polosnya, sebenarnya jalang itu adalah seorang lacur sejati!" balas Johan lantang sambil menyeringai puas.Azalea terlampau sakit hati dan malu. Setelah berpikir bahwa mungkin kebohongan Bima bisa menyelamatkannya dari situasi ini, Azalea memutuskan ikut berimprovisasi.Dengan memaksakan diri berakting, Azalea memeluk Bima dari belakang."Tolong keluarkan Johan dari sini, sayang....""Jalang ini, apa yang kau bicarakan barusan?!" Johan meraung ke wajah Bima. Agaknya murka karena mendengar istrinya menyebut lelaki lain dengan penuh kasih."Cepat singkirkan saja dia dari sini!" Azalea memaksa.Bima mengangguk, tapi Johan malah makin beringas."Aku muak dan lelah berurusan denganmu, bajingan! Biarkan aku bicara dengan istriku!"Johan menggeram sambil mendorong Bima menjauh, lalu berhasil menangkap lengan Azalea dan menariknya kasar.Dengan wajah mereka yang hampir bersentuhan, Azalea berbicara dengan suara parau, "Tolong lepas....""Diam!"Johan membentak sambil melayangkan kepalan tangan ke arah pipi Azalea. Namun detik itu juga, Bima menggunakan tangannya yang bebas untuk meraih pergelangan tangan Johan, dalam sekejap memiting dan menghimpitnya ke dinding."Brengsek kau... Dasar bajingan!" Johan meraung kesakitan, meronta-ronta minta dibebaskan."Pergi dari sini," desis Bima dengan suara dingin. "Saya akan mengurus istrimu."Johan mencoba menyerang Bima lagi, tetapi terhalang oleh tenaga tubuh Bima yang lebih tinggi menjulang nan kekar darinya. Setelah Bima melepaskannya, Johan pun terpaksa mundur dan pergi dari kamar itu sambil mengumpat.Setelah mendengar suara pintu dibanting, Bima menoleh ke Azalea."Kau benar-benar berani, ya?" Bima berkomentar sambil tersenyum."Aku pikir aku akan mati!"Kedua lutut Azalea lemas dan gemetaran. Tepat sebelum ia terjatuh, Bima menangkapnya.Lelaki itu membantu Azalea duduk di tepi tempat tidur dan memberinya segelas air.Takdir itu memang lucu.Baru kemarin sore, Bima memutuskan menerima undangan pernikahan adiknya setelah hampir lima belas tahun tak kembali ke kota kelahirannya ini.Namun, alih-alih berbaur dengan tamu, Bima hanya datang ke hotel tempat diselenggarakannya pernikahan dan tidur seharian di kamar. Itupun ia sengaja memilih kamar yang seluruh lantainya kosong.Bima menggaruk tengkuknya. Kalau saja ia menghadiri resepsi pagi tadi, mungkin ia bakal tahu kalau wanita yang hanya mengenakan selembar gaun itu adalah istri adiknya.Siapa namanya tadi? Azalea. Seperti bunga. Sama dengan kecantikan sang empunya nama. Pipinya punya semburat merah menawan. Bibirnya mungil dan lembab. Bulu matanya lebih lentik.Bima harus berdehem untuk mengalihkan perhatian.Azalea sudah lebih tenang sebab mampu menciptakan senyum tipis."Makasih, makasih banyak atas bantuanmu...," kata Azalea, "Aku sama sekali tidak mengira kalau Anda adalah saudara Johan. Anda tidak muncul di resepsi pagi tadi.""Memang." Bima mengangkat bahu.Bahu Azalea menegang. Segala respon serta gestur tubuh Bima menunjukkan seolah ia sedang menunggu Azalea enyah.Azalea berdiri."Ka–Kalau begitu, aku akan pergi sekarang.""Dengan keadaan pakaian seperti itu?" sindir Bima, matanya bergerak menekuri Azalea dari atas sampai bawah.Azalea mengamati pantulan dirinya di cermin. Seketika ia sangat malu. Berusaha menutupi setiap celah dengan tangan. Ia merasa sangat terekspos sekarang."Pakai ini."Jonatan melemparkan sebuah kaos dan celana pendek, lalu menunjuk sebuah pintu. Azalea tidak mengambil waktu untuk repot-repot menolak. Segera menerimanya terus kabur ke kamar mandi.Sembari menunggu Azalea keluar, Jonatan mengerang tak karuan. Membayangkan seorang wanita sedang berdiri tanpa busana di dalam kamarnya membuat kepalanya panas. Sesuatu mengeras pada pangkal pahanya dan itu amat menyiksa.Rasanya kebohongan yang ia ucapkan pada Johan itu bisa menjadi sungguhan karena Bima tak keberatan menjadikan Azalea sebagai wanita barunya.Namun di situasi ini, itu adalah tindakan tak bermoral. Bima tidak akan pernah mengganggu wanita yang sedang kesusahan apalagi menderita.Maka, selama menit-menit menyebalkan itu, Bima hanya mondar-mandir sambil berusaha menenangkan kobaran hasrat yang tersulut dalam dirinya."Sialan kau, Bima. Dirimu tak jauh beda dengan adikmu," rutuk Bima pada diri sendiri.Tak lama setelahnya, Azalea keluar kamar mandi. Kaos abu-abu milik Bima sangat kedodoran di tubuh mungil nan kurus wanita itu. Sekaligus menyamarkan lekukan dan kulit mulus yang sempat terpapar saat mengenakan gaun pengantin koyak.Namun percuma saja, pikiran liar Bima justru mampu melampaui kaos itu."Makasih. Anda nggak perlu sampai sebegini baiknya padaku yang sudah menyeretmu ke dalam masalah."Azalea berkata menahan malu. Amat menyadari kalau ia sudah merepotkan lelaki asing itu."Bukan hanya kau yang tahu kalau Johan itu brengsek," gumam Bima, "Saya sempat berpikir istri barunya adalah seorang gold-digger, jadi tak mempedulikannya.""Aku? Seorang gold-digger?"Azalea memiringkan kepalanya. Lelaki itu aneh, suka bicara sendiri dengan ekspresi seram. Membuat merinding saja."Saya tahu kau bukan. Makanya kau tidak layak bersanding dengan bajingan tengik itu," kata Bima kemudian.Terkejut, Azalea pun tersenyum kecut. Ia mengangkat tangan kirinya. Sebuah berlian besar berkilat menyilaukan tersemat di sana."Aku harap bisa tahu itu sebelum cincin ini tersemat di jari manisku."Azalea berdehem, mencengkeram erat ujung kaos milik Bima yang sempurna menutupi tubuh moleknya."I–Intinya, terimakasih banyak karena sudah meminjamkan baju dan juga mengizinkan aku bersembunyi di sini," lanjut Azalea, "Sekarang, aku benar-benar harus pergi. Bolehkah aku tahu ke mana aku harus mengembalikan baju ini?""Tidak usah." Bima menjawab datar."Maaf?""Tidak ada jaminan kau selamat di luar sana. Mengingat suamimu itu Jordan, dia pasti sedang mengadu pada orang tua kami.""Ah...."Azalea menyadari bahwa ucapan lelaki itu benar. "Tapi bukankan Anda juga akan kena masalah?""Cemaskan dirimu sendiri," sahut Bima singkat.Belum tentu juga Azalea bisa menyusup keluar dari hotel ini. Sekarang, ia adalah buronan. Hanya butuh hitungan menit hingga Jordan kembali mendapatkannya. Kecuali...."Kau punya rencana apa?" Bima menuangkan whiskey ke gelas, lalu menenggaknya sekaligus. Matanya memandangi Azalea dari atas sampai bawah dengan cara yang tak dapat didefinisikan."Dari yang saya d
Sinar matahari menyusup dari celah-celah gorden jendela yang terbuka menimpa wajah pulas Azalea. Sengatan cahaya itu membuat kulitnya berkedut, memaksanya membuka mata.Hal pertama yang Azalea lihat adalah sosok Bima sedang bersandar di sisi jendela. Masih tanpa menggunakan kaos, lelaki itu dengan santainya memandang keluar. Ketika menoleh, mata gelap lelaki itu bertemu mata Azalea yang masih setengah memejam."Oh, hei... Kau sudah bangun?"Suara rendah nan dalam keluar dari bibir Bima. Azalea tak percaya bibir itulah yang semalam terus menciumnya penuh perasaan. Membimbingnya ke dalam permainan cinta luar biasa yang tak terlupakan. Berkat Bima, Azalea mendapatkan kenikmatan yang ia ekspektasikan.Azalea tercekat. Tak boleh terlena untuk sesuatu yang ia pastikan hanya terjadi satu kali. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain karena tak sanggup melihat wajah Bima. Bagaimana kalau Bima menganggapnya sebagai perempuan murahan? Apakah keputusannya semalam untuk tetap tinggal di sini itu ben
Azalea memandangi langit-langit kamar barunya dengan tatapan hampa. Seluruh tubuhnya nyeri, bahkan lengan kirinya lebam karena cengkraman erat Johan. Lelaki itu tidak main-main pada perkataannya. Johan betulan menagih ronde yang tak selesai, bahkan menambahnya lebih brutal tanpa mendengar permohonan Azalea yang menangis kesakitan.Saat itu pukul dua malam. Azalea meneteskan air mata yang tak bisa berhenti sambil meremas selimut, satu-satunya benda yang menutupi tubuhnya sekarang. Di sebelahnya, terdengar dengkur dan deru napas Johan yang tertidur pulas. Tak ada rasa bersalah terlihat pada wajahnya. Azalea tak percaya dirinya terjatuh dalam tipu daya Johan.“Selamat, Azalea, penderitaan ini akan kau rasakan seumur hidup,” kata Azalea getir pada diri sendiri, “Itupun jika besok aku masih hidup.”Kemudian perempuan yang tercerai berai perasaannya itu menoleh lemas ke arah sang suami, berbisik penuh kekecewaan, “Aku harap kau renggut nyawaku sekalian.”Johan mengerang, lalu membuka mata.
Tak banyak yang Azalea lakukan selama seminggu di mansion Laksmana. Di tempat seluas itu, hanya rutinitas tanpa makna dijalani Azalea sendirian. Nyonya Sekar sibuk dengan berbagai macam acara amal yang ia selenggarakan. Tuan Gibran apalagi. Johan juga tidak ada bedanya. Hanya Azalea tertinggal di belakang.Kebosanan menyelimuti Azalea terselamatkan ketika seseorang menekan bel siang itu. Betapa terkejutnya ia saat berhadapan dengan Bima di depan pintu. Lelaki itu masih terlihat sama seperti saat Azalea meninggalkannya di kamar hotel. Dingin dan acuh. Tetap saja sepasang mata hitam Bima mempengaruhi Azalea. Ada sesuatu jelas tersembunyi di sana."Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Azalea, tersadar dari pemikirannya karena diserbu rasa panik. Bima menjawab sarkas, "Di sini kediaman keluarga Laksmana, Nyonya Azalea. Tempat ini rumah Saya juga." "Ah, benar. Silakan masuk." Azalea menyingkir dari pintu dengan canggung."Apa... Apa Anda mau bertemu Ibu dan Ayah? Anda bisa kembali nan
Kedua tangan Azalea mencengkeram sealbelt, ia membeku. Johan melangkah cepat dan menghantam kedua tinjunya ke kaca jendela pintu mobil."Keluar dari sana, Azalea!" seru Johan. Urat-urat mencuat memenuhi keningnya.Bima merentangkan tangan ke handle pintu, menghalangi Azalea keluar. Sepasang matanya menatap lurus saudaranya yang siap mengamuk itu."Tetap di sini," cegah Bima, rendah dan setengah berbisik. Seperti menyuruh waspada.Johan menghantamkan tinjunya sekali lagi. Menyebabkan kaca retak dengan bentuk sarang laba-laba, serta suara pecah nyaring. Azalea memekik panik."Kau tidak mendengarku? Keluar!"Azalea menghargai pencegahan Bima, tapi ia menarik tangan lelaki itu dengan berkata, "Dia akan membunuhku jika aku tidak mematuhinya."Rahang Bima mengeras, ekspresinya menggelap. Sedangkan mata Azalea mengisyaratkan permohonan. Sorot yang entah kenapa membuat Bima terpaksa melunak. Karenanya ia membuka pintu dan turun duluan.Meski takut setengah mati, Azalea mengikuti. Ketika Johan
Beberapa jam sebelumnya.Memperhatikan punggung Johan dan Azalea yang menghilang di balik gerbang, tanpa sadar Bima mengepalkan tangan. Lagi-lagi sengatan rasa aneh itu muncul ketika melihat Azalea diseret paksa.Mungkin ini hanya rasa iba. Mungkin juga karena Bima tahu bahu kurus Azalea gemetar ketakutan. Bima tidak tahu kondisi apa yang mengganggu dirinya saat itu."Kemarin kau masih membukakan gerbang ini untuk saya," tegas Bima di depan security. Sudah berkali-kali ia meminta dibukakan gerbang, tapi kedua security itu menggeleng.Salah satu di antara mereka menjawab, "Sebelum Tuan Johan memerintah kamu untuk melarang Anda masuk.""Saya putra sulung keluarga ini, Purwo," desis Bima, menatap nyalang ke security yang tidak jauh lebih tinggi darinya."Ya, Tuan Johan dengan jelas memberitahu itu juga."Akhirnya Bima mendengus. "Terserah."Kemudian lelaki berambut gelap itu masuk ke mobilnya, menyalakan mesin dengan sengaja dikeraskan, lalu pergi tanpa banyak bicara. Mobilnya meluncur di
Beberapa minggu kemudian. Luka Azalea sepenuhnya sembuh. Johan juga mengurangi tempramennya. Namun Azalea tetap tidak bisa melupakan semua penderitaannya itu. Hatinya seolah mati rasa, bibir Azalea tak bisa tersenyum, dan instingnya selalu bereaksi waspada kapanpun Johan dekat."Nak, kemarilah."Pukul 09.00 pagi, Tuan Gibran memanggil Azalea dari ruang keluarga. Mulanya Azalea mengernyit heran saat melihat Ayah mertuanya yang berada di rumah pada hari kerja. Johan dan Nyonya Sekar tidak ada di rumah, jadi apa yang Tuan Gibran lakukan di sini?"Ya, Ayah?"Azalea menghadap Tuan Gibran. Lelaki yang berusia setengah abad itu mengenakan pakaian santai alih-alih jas rapi seperti biasa. Televisi menyala, Tuan Gibran duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Kenapa penguasa perusahaan keluarga ini sedang bermalas-malasan?Ada semacam perasaan tak nyaman menggaruk kulit Azalea saat berada di dekat Tuan Gibran. Mungkin karena Johan dan Ayahnya sangat mirip, atau mungkin karena keduanya punya ser
“Kau tampak cantik,” puji Johan ketika melihat Azalea dalam balutan gaun biru yang memperlihatkan bahu mulusnya.Azalea tampak tak terkesan, sebab yang ia lihat pada refleksi cermin adalah seorang perempuan kurus dan pucat, dengan sepasang mata kosong layaknya ikan mati. Azalea tidak melihat kecantikan mana yang Johan maksud.“Tak usah memujiku, aku tahu kamu mengatakannya karena masih merasa bersalah,” tukas Azalea datar.Johan mengeraskan rahang. “Kau harusnya bersyukur aku membawamu ke rumah sakit malam itu. Jadi kau masih bisa berdiri di sini.”“Yang benar?” balas Azalea.Johan berbalik. “Kalau sudah selesai, cepat turun.”Azalea kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Luka-luka cambuk dan memar akibat siksaan Johan sudah sepenuhnya sembuh. Sesekali Azalea masih dapat melihat bayangan luka itu di kulitnya.“Aku tahu bukan kamu yang membawaku ke rumah sakit,” gumam Azalea.Kemudian perempuan itu turun ke halaman belakang. Para staff dan tukang masak sibuk berlalu-lalang dari da
“Selamat ulang tahun, Bima," bisik Azalea sekali lagi.Barulah Bima bisa membuka matanya lebar-lebar. Dengan segera Bima tidak bisa mempercayai apa yang terhampar di hadapannya. Seluruh area atap gym diubah menjadi negeri ajaib yang mempesona. Lampu tumblr lembut berkelap-kelip di tiang seolah memancarkan cahaya magis bernuansa romansa.Hanya ada meja di sana, lengkap dihiasi lilin dan bunga-bunga cerah... Serta sebuah kue blackforest dengan beberapa buah cherry di atasnya.Bima terpaku di tempat, bibirnya seakan kelu. Ini seperti rekayasa makan malam yang pernah ia siapkan, kecuali yang ini lebih bagus dan meriah.Bima menoleh penuh pertanyaan, yang dibalas oleh tawa renyah Azalea."Aku mempersiapkan ini semua. Ah, sekaligus buat menebus batalnya makan malam yang harusnya aku datangi setelah ujian baking waktu itu," jelas Azalea, mengusap pipi Bima sayang.“Ayo, duduk.” “Tunggu,” sela Bima, mendahului Azalea untuk menarik kursi untuknya lebih dulu.Terharu, Azalea pun duduk. Disusu
"Coba bilang lagi, besok hari apa?"Azalea menjatuhkan stylus pen, terkejut dengan apa yang baru saja Anna katakan ketika dirinya tengah tenggelam dalam pekerjaan. Asistennya itu masuk ke ruang kerja membawakan secangkir teh hangat dan sepiring sandwich telur dalam ukuran kecil, tapi Anna mengatakan sesuatu tentang Bima dan Azalea pikir ia salah dengar."Ulang tahunnya Tuan Bima, Nyonya. Saya kira malah Nyonya tahu,” ulang Anna, balas memandang sang Nyonya dengan bingung.Azalea menjatuhkan dirinya di sofa dekat jendela, mengerang sambil mengusap wajahnya. "Nggak kepikiran sama sekali malah. Bodohnya aku. Apakah dulu ulang tahun Bima sering dirayakan?""Iya, sih. Tapi biasanya Tuan Bima langsung pergi gitu aja, kelihatan nggak nyaman,” jelas Anna seraya mengingat-ingat.Azalea terdiam. Iya, sih. Ketika masih remaja, Bima pasti menjadi anak emas dengan segala kebutuhan terpenuhi tanpa harus meminta. Ulang tahun hanyalah salah satu dari sekian kemewahan yang dilimpahkan padanya."Mungki
"Sebentar... Kayaknya aku pernah lihat jalanan ini. Bukannya kalau belok di depan sana dan lurus terus bakal sampai ke kampusnya Bima?" Dari dalam mobil, Azalea menoleh dan memperhatikan jalanan sekitar. Pohon-pohon berdiri tegak dalam susunan yang rapi. Pedagang kaki lima memenuhi sisi kedua trotoar. Palang bertuliskan kos-kosan terlihat hampir di setiap rumah. Puluhan remaja memakai almamater hijau lembut mengerumuni pedagang--- mencari makan siang. Ini bukan jalanan yang biasa Azalea lewati, hanya tak sengaja lewat ketika pulang dari kegiatan sosialita ibu mertuanya. Mobil yang dilajukan Dimas perlu melambat karena ramainya orang-orang di kedua sisi. Anna memeriksa map di ponsel. "Kalau dilihat-lihat, iya benar, Nyonya. Hebat banget Anda bisa ingat." "Bima yang sekarang jadi lebih terbuka." Azalea senyum-senyum. "Dimas, tahu 'kan harus apa?" "Siap, Nyonya." Perlu sepuluh menit hingga mobil berhenti di depan gerbang universitas itu. Azalea meraih tasnya dan memperbaiki bebera
"Malam ini?" Di ruang kerja Nyonya Sekar, Azalea menggigit bibir bawahnya dan cengkeraman di ponsel menguat. Walau sebelumnya mengira kalau Bima tak akan menghubunginya secepat ini, ia cukup lega. Suara Bima yang begitu ia rindukan menyapu perasaannya seperti angin lembut. I juga lega ibu mertuanya tidak ada di sana karena ada tamu yang harus ia sambut. "Aku nggak bisa, Bima. Tapi tolong jangan tutup teleponnya. Akan aku coba bilang ke Ibu buat izinin aku keluar," Azalea menambahkan. "Oke. Apa ketemu di gym sudah cukup?" tanya Bima. Azalea mencari-cari kekecewaan dalam balasan itu, tapi jadi tak yakin. Maka ia menjawab pendek, "Ya, makasih...." Ada jeda panjang berisi keheningan selama lima menit. Hanya deru napas masing-masing yang terdengar. Keduanya sama-sama tidak tahu harus menambahkan apa, tapi mengetahui bahwa mereka bisa mengobrol lagi tentunya membuat mereka enggan untuk memutuskan telepon. Setelah berjuang melawan perasaan masing-masing, Azalea pun yang menekan tombol
"Tuh, 'kan bener yang saya curigai.""Huh?" Lamunan lelah Azalea pecah saat Anna meletakkan segelas jus sambil menggerutu."Tuan Bima tidak menjawab telepon anda sejak kemarin 'kan?" tebak Anna jengkel.Sudah sejak kemarin ada yang tidak beres dari gelagat sang Nyonya. Semuanya dimulai ketika Azalea menjadi asisten Nyonya Sekar. Apalagi suasana hati Azalea kelihatan sekali tambah buruk karena berulang kali memeriksa ponsel dengan tatapan putus asa yang menyedihkan."Waktu itu saya hubungi juga beliau tidak mengangkatnya." Anna menggeleng. "Tidak bisa dibiarkan. Ini apalagi namanya kalau bukan mengabaikan anda?"Azalea mendongak. Keningnya berkerut, menambah jelas ekspresi lelah yang menggantung di matanya."Kamu menghubungi Bima buat apa?" tanya Azalea heran. Dari suaranya, energinya sudah menguap entah kemana."Tolong jangan salah paham dulu. Saya sering bertukar kabar dengan Tuan Bima untuk—"Anna berhenti mendadak. Spontan menutup mulut dan dikuasai perasaan serba salah. "Aduh...
Dua Minggu kemudian."Kapan ada hari senggang?" Nyonya Sekar bertanya segera setelah tiba di ruang kerja. Baru saja kembali dari kumpul-kumpul sosialita yang untungnya Azalea tidak perlu ikut hadir.Azalea, yang akhir-akhir ini tidak cukup tidur karena harus menyesuaikan segalanya dengan aktivitas sang ibu mertua, memijit pangkal hidungnya dengan satu tangan. Satu tangannya lain memeriksa agenda."Sabtu ini, Bu. Hanya ada satu acara sore di jadwal," jawab Azalea. Pandangannya sedikit mengabur, pening menyerang kepala, dan dadanya terasa sesak.Namun Azalea tetap teguh mengerjakan semua yang diperintahkan, meski Nyonya Sekar sendiri memiliki Sekretaris pribadi, tapi karena jelas wanita itu mau menekan Azalea maka semua tugas dilimpahkan padanya.Terdengar tidak adil, Azalea tetap memenuhi itu demi calon kebebasannya sendiri. "Bagus. Kau dan Ibu butuh beberapa set dress baru. Orang-orang tidak boleh melihat kita mengenakan pakaian yang sama dua kali."Nyonya Sekar mendengus melihat wa
Dalam salah satu ruang kelas di universitas itu, Bima berdiri menghadap para mahasiswa. Melirik jam lalu menghela napas pendek yang lebih tepat disebut kelegaan.Bima melepas kacamata. Ia menggunakan benda itu hanya ketika mengajar kuliah saja supaya bisa menangkap sosok mahasiswa yang tidur di kelasnya."Tugasnya wajib dikumpulkan Minggu depan. Materi selesai sampai sini," tandas Bima, membawa bukunya lalu keluar kelas.Para mahasiswa pun berhamburan ke lorong dengan kelegaan masing-masing. Obrolan riuh rendah segera mendominasi area itu.Seraya melangkah menuju ruang kantor dosen, Bima memeriksa ponselnya. Sayang sekali, layar ponsel itu tidak menunjukkan pesan dari siapapun. Bima tak bisa menahan untuk mengerang gusar."Masih belum ada jawaban," gumam lelaki itu, menuruni tangga dengan pikiran tertuju pada keberadaan Azalea.Tepat sebelum tiba di dasar tangga, terdengar derap langkah terburu-buru dari belakang. Bima bergeser ke samping membuka sisi kosong."Pak Bima! Tunggu sebenta
Setelah berpisah dengan Nyonya Sekar dan kembali ke kamar, Azalea menghela napas seolah melepaskan beban berat yang menggelayuti bahunya sejak tadi. Perempuan itu melepaskan bajunya. Ia melirik ponsel dan meraih benda itu seraya berjalan ke kamar mandi. "Selama di mobil tadi aku nggak sempat cek ponsel. Hm? Pesan dari Bima?" pikir Azalea, lalu membuka pesan Bima sambil menunggu air mengalir ke bathub.Mata Azalea melebar membaca pesan lelaki itu. Ia membekap mulutnya. Sesuatu dalam hatinya meleleh. Betapa perhatiannya Bima. Jantung Azalea berdegup, antusiasme dan rasa penasaran membanjiri dirinya."Astaga... Apa dia menyiapkan sesuatu buatku? Kejutan karena sudah berhasil menyelesaikan ujian?" Mendadak sosok Bima yang bertelanjang dada sambil berbaring di ranjang penuh kelopak bunga mawar terbayang dalam benak Azalea. Seketika pipinya bersemu merah dan kulitnya kepanasan. Azalea menggeleng sambil menepuk-nepuk pipinya, malu sendiri."Apa kejutan semacam itu? Jangan gila. Mikir apa
"Aku sudah menyewakan area ini khusus untukmu tapi kau bahkan tidak mau memberitahu siapa yang kau undang? Tega sekali."Jack berkacak pinggang ketika Bima sedang merapikan taplak di meja bulat itu. Jack adalah kawan baik Bima sejak dulu. Mereka berdua berada di rooftop apartemen milik Jack. Karena rooftop itu luas dan punya dapur outdoor, Bima menggunakannya untuk menyiapkan makan malam khusus bersama Azalea. Itung-itung pamer kemampuan masak yang Bima kuasai. Bima suka melihat wajah Azalea bercahaya ketika bahagia."Makasih," sahut Bima, sibuk menatap piring dan peralatan makan lain. Terus memunggungi sahabatnya yang geleng-geleng kepala."Maksudku bukan itu. Setidaknya kasih tahu lah, apakah kau menyiapkan semua ini untuk seorang perempuan?" tanya Jack lagi sambil cengengesan.Bima tidak menjawab, jadi Jack sengaja berdiri di seberang meja menghadap Bima."Loh, sudah move on, ya?" selidik Jack.Meletakkan vas berisi tiga mawar merah dengan keras, Bima pun mengangkat kepala. Sorot