Tak banyak yang Azalea lakukan selama seminggu di mansion Laksmana. Di tempat seluas itu, hanya rutinitas tanpa makna dijalani Azalea sendirian. Nyonya Sekar sibuk dengan berbagai macam acara amal yang ia selenggarakan. Tuan Gibran apalagi. Johan juga tidak ada bedanya. Hanya Azalea tertinggal di belakang.
Kebosanan menyelimuti Azalea terselamatkan ketika seseorang menekan bel siang itu. Betapa terkejutnya ia saat berhadapan dengan Bima di depan pintu.Lelaki itu masih terlihat sama seperti saat Azalea meninggalkannya di kamar hotel. Dingin dan acuh. Tetap saja sepasang mata hitam Bima mempengaruhi Azalea. Ada sesuatu jelas tersembunyi di sana."Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Azalea, tersadar dari pemikirannya karena diserbu rasa panik.Bima menjawab sarkas, "Di sini kediaman keluarga Laksmana, Nyonya Azalea. Tempat ini rumah Saya juga.""Ah, benar. Silakan masuk."Azalea menyingkir dari pintu dengan canggung."Apa... Apa Anda mau bertemu Ibu dan Ayah? Anda bisa kembali nanti sebab—""Sebaliknya. Saya ke sini untuk melihat bagaimana keadaanmu."Azalea terperanjat. Keningnya berkerut. Setelah muncul tiba-tiba, rupanya Bima mengkhawatirkannya?"Makasih... Tapi aku baik-baik aja. Justru aku malah khawatir kalau Anda ke sini bakal—""Mengusirku?" potong Bima sinis, "Tak ada bedanya dengan ibuku, rupanya.""Aku tidak bermaksud—"Azalea berhenti untuk mengambil napas. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi lelaki ini. Apalagi sejak apa yang terjadi pada mereka terakhir kali."Kenapa Anda peduli padaku setelah kedua orang tua Anda jelas menentang?" koreksi Azalea.Bima mengangkat bahu. "Sudah tugas saya menentang keluarga. Mereka tidak kaget."Kemudian mereka berdua pergi ke ruang tamu. Duduk saling berseberangan. Diam-diam Azalea mengamati Bima. Lelaki itu tidak berpenampilan selayaknya keluarga Laksmana yang identik dengan kekayaan.Saat itu pun, Bima mengenakan kemeja denim lengan panjang yang ditekuk sampai siku. Tak ada dasi, tak ada rompi formal. Azalea bertanya-tanya apa profesi Bima dan kenapa Johan maupun mertuanya tidak pernah menyebut Bima sebelum pernikahan."Kau yakin baik-baik saja?"Pertanyaan dingin Bima meletuskan lamunan Azalea."Saya bisa bawa kau ke rumah temanmu," lanjut Bima, "Begitu rencanamu, 'kan?"***Setengah jam kemudian, Azalea duduk di kursi depan mobil bersama Bima. Perempuan itu mencengkeram tali sealbelt kuat-kuat, meragukan pilihannya sendiri."Memangnya aku benar boleh pergi?" tanya Azalea untuk kesekian kalinya."Ya.""Ibu pasti menentang ini.""Wanita itu menentang apapun.""Johan bakal marah!""Ya, bajingan itu perlu psikiater."Azalea menoleh ke arah Bima. Menatap lelaki itu tak percaya. Hidup Azalea mungkin bertambah buruk setelah ini."Kenapa Anda santai sekali sih!" protes Azalea, "Sama saja Anda sedang menculikku, 'kan?""Saya masih bisa putar balik jika kau mau," tawar Bima.Justru sekarang Azalea merasa campur aduk. Perutnya melilit oleh kegugupan berada di sebelah Bima.Bagaimana bisa lelaki itu bersikap biasa saja setelah pernah tidur dengannya?Bagaimana bisa Bima tidak menyinggung sama sekali soal malam itu?Azalea berusaha mengenyahkan semua pertanyaan itu dan berpikir rasional. Mungkin saja Bima menyimpan rasa empati pada Azalea karena menikahi seorang lelaki abusif yang tak lain adalah adiknya sendiri."Anda tidak perlu merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi waktu itu," kata Azalea, "Justru akulah yang berhutang maaf karena melibatkan Anda dalam masalah ini."Perempuan itu tersenyum kecut, tak berani menatap Bima sekalipun lewat kaca tengah."Demi lari dari masalah, aku menyeret Anda dalam sandiwara konyol. Sebenarnya apa yang aku pikirkan?"Menarik napas panjang dan menenangkan diri, Azalea pun menghadap Bima lalu menunduk."Aku sungguh minta maaf, Tuan Bima. Gara-gara aku, Anda dilimpahi kebencian luar biasa dari Johan."Tak ada jawaban."Harusnya aku bersyukur karena bisa menikah sebelum umur tiga puluh. Orang bilang pernikahan itu banyak cobaannya, jadi aku akan bersabar dan—"Sebuah tangan menangkap dagu Azalea dan mendadak mengangkatnya. Kecupan hangat nan dalam mendarat di bibir Azalea. Bima mengulum bibir Azalea, menyesapnya dalam-dalam bagai Kolibri menikmati madu bunga."A–Apa yang Anda lakukan!"Azalea mendorong bahu Bima dengan segera. Untung saja mobil yang dikendarai lelaki itu masih melaju mulus di jalanan."Menghentikan omong kosongmu," sahut Bima, sudut bibirnya melengkung naik."Tapi Anda tidak bisa men–menciumku begitu saja!""Kenapa? Toh aku sudah lihat semuanya.""Tuan!"Bima terkekeh renyah tanpa sadar. "Kau bisa menyebut namaku seperti malam itu.""Hentikan!""Maksudmu berhenti sekarang dan putar balik?""To–Tolong lanjutkan." Azalea menjawab malu.***Lift berdenting dan pintunya terbuka di lantai sepuluh. Apartemen itu cukup jauh dari kediaman keluarga Laksmana dan menjadikannya tempat sempurna sebagai persembunyian. Begitulah yang Azalea pikirkan."Tunggulah di sini," ujar Azalea."Yakin bisa sendiri?" Bima mengangkat alis. "Oke."Azalea mengetuk pintu dari unit paling ujung. Saat terbuka, seorang perempuan dengan rambut berantakan dan mengenakan dress tidur satin berbalut kimono terlihat."Lea? Bagaimana kau ada di sini?"Mata Mutia membelalak lebar, lalu menoleh ke kanan kiri."Mana suamimu?""Aku datang sendirian, Mutia. Boleh aku masuk?" pinta Azalea sopan.Justru Mutia malah melangkah keluar dan menutup pintu di belakang punggungnya."Bukannya sekarang waktunya kamu honeymoon atau apalah? Ada apa denganmu?""Tidak. Johan kerja."Azalea tidak datang untuk basa-basi. Terlanjur di sini, tak ada salahnya jika melanjutkan rencana awalnya."Dengar, aku rasa ide Bibi Luna untuk menikahkan aku itu sangat buruk. Baru dua hari aku sangat menderita di sana."Mutia merapatkan kimono. "Bersabar aja, Lea. Kamu kan udah janji untuk sehidup semati dengan suamimu.""Aku nggak bisa. Seandainya aja aku... Intinya aku bakal ceritakan semua, oke?" balas Azalea lalu menggenggam tangan Mutia."Sekarang aku cuma butuh tempat tinggal sementara sampai aku bisa pisah dengan Johan."Mutia terkesiap. "Kau berniat menceraikannya?""Iya, makanya aku butuh tempat sembunyi. Maukah kau membantuku?"Walau terpana selama beberapa detik, Mutia lantas menggeleng kuat-kuat."Sekarang bukan waktu yang tepat untuk ini, Lea. Kembalilah. Aku yakin kalian cuma salah paham.""Masalah ini lebih dari salah paham, Mutia. Bantu aku...."Saat itu juga, pintu apartemen terbuka lebar. Seorang lelaki yang tampak tak pernah bercukur muncul dari sana hanya mengenakan celana pendek. Tubuh kurusnya tampak menyedihkan, berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang galak."Hey, Mbak. Tuli, ya? Mutia bilang nggak bisa, ya nggak bisa!"Giliran Azalea yang melongo. Lelaki itu adalah mantan kekasih Mutia yang sangat Azalea benci."Kamu! Bukannya kamu Toni? Kok bisa kamu tidak sedang di penjara?"Toni terbahak. "Lho, kau nggak tahu? Suamimu yang membebaskanku. Dia bayar puluhan juta, tahu?""Apa?"Mutia mendorong Azalea menjauh. "Tolong, ya, Lea. Kembalilah ke suamimu.""Apa kamu berpihak sama Johan, Mutia?" seru Azalea."Pulang sana!" usir Toni, menarik Mutia kembali ke dalam apartemen."Tidak! Mutia! Jelaskan padaku!""Maaf, Lea," bisik Mutia dan berpaling."Mutia!""Cewek ini!"Toni yang kesal mengangkat tangan. Azalea memekik tertahan. Namun tamparan itu tak mendarat di pipi Azalea."Jauhkan tangan kotormu itu." Bima berdiri di depan Azalea bagai tameng."Siapa kau? Cari masalah denganku?" tanya Toni heran.Lima belas menit selanjutnya, Azalea dan Bima sudah ada di mobil dalam perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan ia hanya diam, masih syok. Tak disangka, sahabat yang satu-satunya ia harapkan sama sekali tidak mendukung."Anda tidak perlu sampai meninju lelaki itu, Bima," keluh Azalea lelah."Kau mau ditampar duluan olehnya?""Tidak....""Tak perlu menyalahkan diri sendiri," tukas Bima, "Temanmu lah yang buat keputusan untuk memihak Johan."Mobil Bima berhenti di depan gerbang mansion. Sebelum Azalea turun, gerbang itu terbuka. Johan telah menunggu di sana. Matanya menusuk menembus kaca mobil."Wah... Lihat ini!" seru Johan, "Kucing nakal."Azalea membeku. "Johan?"Kedua tangan Azalea mencengkeram sealbelt, ia membeku. Johan melangkah cepat dan menghantam kedua tinjunya ke kaca jendela pintu mobil."Keluar dari sana, Azalea!" seru Johan. Urat-urat mencuat memenuhi keningnya.Bima merentangkan tangan ke handle pintu, menghalangi Azalea keluar. Sepasang matanya menatap lurus saudaranya yang siap mengamuk itu."Tetap di sini," cegah Bima, rendah dan setengah berbisik. Seperti menyuruh waspada.Johan menghantamkan tinjunya sekali lagi. Menyebabkan kaca retak dengan bentuk sarang laba-laba, serta suara pecah nyaring. Azalea memekik panik."Kau tidak mendengarku? Keluar!"Azalea menghargai pencegahan Bima, tapi ia menarik tangan lelaki itu dengan berkata, "Dia akan membunuhku jika aku tidak mematuhinya."Rahang Bima mengeras, ekspresinya menggelap. Sedangkan mata Azalea mengisyaratkan permohonan. Sorot yang entah kenapa membuat Bima terpaksa melunak. Karenanya ia membuka pintu dan turun duluan.Meski takut setengah mati, Azalea mengikuti. Ketika Johan
Beberapa jam sebelumnya.Memperhatikan punggung Johan dan Azalea yang menghilang di balik gerbang, tanpa sadar Bima mengepalkan tangan. Lagi-lagi sengatan rasa aneh itu muncul ketika melihat Azalea diseret paksa.Mungkin ini hanya rasa iba. Mungkin juga karena Bima tahu bahu kurus Azalea gemetar ketakutan. Bima tidak tahu kondisi apa yang mengganggu dirinya saat itu."Kemarin kau masih membukakan gerbang ini untuk saya," tegas Bima di depan security. Sudah berkali-kali ia meminta dibukakan gerbang, tapi kedua security itu menggeleng.Salah satu di antara mereka menjawab, "Sebelum Tuan Johan memerintah kamu untuk melarang Anda masuk.""Saya putra sulung keluarga ini, Purwo," desis Bima, menatap nyalang ke security yang tidak jauh lebih tinggi darinya."Ya, Tuan Johan dengan jelas memberitahu itu juga."Akhirnya Bima mendengus. "Terserah."Kemudian lelaki berambut gelap itu masuk ke mobilnya, menyalakan mesin dengan sengaja dikeraskan, lalu pergi tanpa banyak bicara. Mobilnya meluncur di
Beberapa minggu kemudian. Luka Azalea sepenuhnya sembuh. Johan juga mengurangi tempramennya. Namun Azalea tetap tidak bisa melupakan semua penderitaannya itu. Hatinya seolah mati rasa, bibir Azalea tak bisa tersenyum, dan instingnya selalu bereaksi waspada kapanpun Johan dekat."Nak, kemarilah."Pukul 09.00 pagi, Tuan Gibran memanggil Azalea dari ruang keluarga. Mulanya Azalea mengernyit heran saat melihat Ayah mertuanya yang berada di rumah pada hari kerja. Johan dan Nyonya Sekar tidak ada di rumah, jadi apa yang Tuan Gibran lakukan di sini?"Ya, Ayah?"Azalea menghadap Tuan Gibran. Lelaki yang berusia setengah abad itu mengenakan pakaian santai alih-alih jas rapi seperti biasa. Televisi menyala, Tuan Gibran duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Kenapa penguasa perusahaan keluarga ini sedang bermalas-malasan?Ada semacam perasaan tak nyaman menggaruk kulit Azalea saat berada di dekat Tuan Gibran. Mungkin karena Johan dan Ayahnya sangat mirip, atau mungkin karena keduanya punya ser
“Kau tampak cantik,” puji Johan ketika melihat Azalea dalam balutan gaun biru yang memperlihatkan bahu mulusnya.Azalea tampak tak terkesan, sebab yang ia lihat pada refleksi cermin adalah seorang perempuan kurus dan pucat, dengan sepasang mata kosong layaknya ikan mati. Azalea tidak melihat kecantikan mana yang Johan maksud.“Tak usah memujiku, aku tahu kamu mengatakannya karena masih merasa bersalah,” tukas Azalea datar.Johan mengeraskan rahang. “Kau harusnya bersyukur aku membawamu ke rumah sakit malam itu. Jadi kau masih bisa berdiri di sini.”“Yang benar?” balas Azalea.Johan berbalik. “Kalau sudah selesai, cepat turun.”Azalea kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Luka-luka cambuk dan memar akibat siksaan Johan sudah sepenuhnya sembuh. Sesekali Azalea masih dapat melihat bayangan luka itu di kulitnya.“Aku tahu bukan kamu yang membawaku ke rumah sakit,” gumam Azalea.Kemudian perempuan itu turun ke halaman belakang. Para staff dan tukang masak sibuk berlalu-lalang dari da
Atas perintah Johan, Anna menghadap Azalea keesokan harinya. Pembantu itu sudah bekerja sejak remaja, tampaknya seumuran Azalea sendiri. "Saya tak mengerti kenapa Anda menjadikan pembantu biasa seperti Saya sebagai asisten." Anna berkata sambil memasang raut masam yang tak ramah. "Tanpa posisi itu pun, Saya sudah sibuk dan tidak bisa menambah pekerjaan lain lagi." "Tapi menjadi asisten berbeda dari jadi pembantu, 'kan?" balas Azalea. Azalea memindai dan berusaha membaca air muka Anna untuk menilai kepribadiannya. Namun yang dilihat tetap saja Anna yang terus menggerutu. Persis semua pembantu bersikap begitu. Sambil membantu Azalea berpakaian, Anna mendengus beberapa kali. Seolah berada di kamar sang calon nyonya besar ini sangat menyiksanya. “Anggap saja seperti naik jabatan,” imbuh Azalea mencoba santai. Anna berkacak pinggang. Gestur tubuhnya menyiratkan seperti sedang mengajak bertengkar. "Anda memang tidak tahu apa-apa. Enak, ya, hidup jadi Anda, Nyonya. Saya dengar selama
“Jika mengatakan seperti itu, kau membuatku terdengar seperti orang jahat. Lea, semua ini juga supaya hidupmu jauh lebih baik, ‘kan?” Bibi Luna membela diri.Hancur sudah semua bayangan Azalea mengenai sosok lembut dari wanita yang merawatnya sejak kedua orang tuanya tiada. Lenyap pula keinginan Azalea meminta dukungan Bibi Luna supaya bisa keluar dari keluarga Laksmana.Azalea menggigit bibir bawah sampai kebas, lalu membuang muka.“Lihat pakaianmu sekarang! Tidak ada bekas tambalan, jahitan terlepas, atau bercak kotor yang tidak bisa hilang,” tambah Bibi Luna, menarik ujung midi dress merah muda yang dikenakan Azalea.Kemudian Bibi Luna mencubit pipi Azalea, melanjutkan, “Pegang wajahmu ini. Sudah berpoles bedak dan skincare mahal. Jika aku tidak menikahkanmu dengan seseorang yang kaya raya, mau jadi apa hidupmu nanti?”Azalea menepis tangan Bibi Luna dari wajahnya, berbalik memunggungi wanita paruh baya itu karena kekecewaan dan kemarahan meledak-ledak dalam dirinya.Bibi Luna meng
"Kenapa? Katanya mau lepas dari keluarga ini."Azalea menggenggam cangkir tehnya, terdiam sebentar. Itu foto yang ia ambil dari kamar yang ia duga sebagai milik Bima saat masih tinggal di mansion Laksmana.Melirik Anna penuh pengamatan. Haruskah ia memberitahu asistennya tentang malam itu?"Aku tahu ini gila dan sulit dipercaya."Azalea memulai cerita soal malam pernikahannya dari awal sampai akhir. Ada rasa menggelitik dada ketika ia menjelaskan bagaimana kecerobohan mempertemukan dirinya dengan Bima. Sampai pada ketika Bima datang ke kediaman untuk membantunya kabur.Tak ada yang bisa Anna lakukan kecuali melongo. Tercengang dengan kisah mendebarkan sekaligus menggelikan, tapi juga sedih dari sang Nyonya Muda. Ketika cerita Azalea selesai, Anna mengusap keningnya dan menggeleng."Wow... Dari sekian banyak gosip yang pernah Saya dengar, cerita Anda yang paling bikin kepala pecah, Nyonya," komentar gadis itu jenaka.Azalea terkekeh. "Ini bukan gosip. Dan selama ini yang tahu cuma kelu
"Azalea, kulihat kau sudah sehat lagi," kata Johan seraya menutup pintu.Tak menjawab, Azalea masih terbawa euphoria mengobrol dengan Bima lewat telepon. Percakapan singkat yang menghantarkan kupu-kupu dalam perut Azalea.Azalea terlarut dalam lamunan, bahkan ketika Johan menarik pinggangnya dan memeluknya erat. Seraya menyingkap rambut panjang Azalea ke samping, Johan mendaratkan kecupan-kecupan manis di leher belakangnya."Mmhhmm...." Azalea bergumam. Teringat sentuhan Bima pada malam itu.Tangan kanan Johan merambat ke balik baju Azalea, terus naik untuk meraih sepasang harta berharga di sana. Sambil menyesap halusnya kulit leher sang istri dan menciptakan beberapa bercak kemerahan di sana, Johan meraih benda kesukaannya.Azalea terlempar kembali ke kenyataan. Ia mendorong Johan menjauh sambil mengaduh kesakitan akibat ulah suaminya."Apa yang kamu lakukan?" pekik Azalea kaget, memegangi bajunya erat. Hampir saja ia membayangkan jika Bima lah yang menyentuhnya.Johan menangkap tang
“Selamat ulang tahun, Bima," bisik Azalea sekali lagi.Barulah Bima bisa membuka matanya lebar-lebar. Dengan segera Bima tidak bisa mempercayai apa yang terhampar di hadapannya. Seluruh area atap gym diubah menjadi negeri ajaib yang mempesona. Lampu tumblr lembut berkelap-kelip di tiang seolah memancarkan cahaya magis bernuansa romansa.Hanya ada meja di sana, lengkap dihiasi lilin dan bunga-bunga cerah... Serta sebuah kue blackforest dengan beberapa buah cherry di atasnya.Bima terpaku di tempat, bibirnya seakan kelu. Ini seperti rekayasa makan malam yang pernah ia siapkan, kecuali yang ini lebih bagus dan meriah.Bima menoleh penuh pertanyaan, yang dibalas oleh tawa renyah Azalea."Aku mempersiapkan ini semua. Ah, sekaligus buat menebus batalnya makan malam yang harusnya aku datangi setelah ujian baking waktu itu," jelas Azalea, mengusap pipi Bima sayang.“Ayo, duduk.” “Tunggu,” sela Bima, mendahului Azalea untuk menarik kursi untuknya lebih dulu.Terharu, Azalea pun duduk. Disusu
"Coba bilang lagi, besok hari apa?"Azalea menjatuhkan stylus pen, terkejut dengan apa yang baru saja Anna katakan ketika dirinya tengah tenggelam dalam pekerjaan. Asistennya itu masuk ke ruang kerja membawakan secangkir teh hangat dan sepiring sandwich telur dalam ukuran kecil, tapi Anna mengatakan sesuatu tentang Bima dan Azalea pikir ia salah dengar."Ulang tahunnya Tuan Bima, Nyonya. Saya kira malah Nyonya tahu,” ulang Anna, balas memandang sang Nyonya dengan bingung.Azalea menjatuhkan dirinya di sofa dekat jendela, mengerang sambil mengusap wajahnya. "Nggak kepikiran sama sekali malah. Bodohnya aku. Apakah dulu ulang tahun Bima sering dirayakan?""Iya, sih. Tapi biasanya Tuan Bima langsung pergi gitu aja, kelihatan nggak nyaman,” jelas Anna seraya mengingat-ingat.Azalea terdiam. Iya, sih. Ketika masih remaja, Bima pasti menjadi anak emas dengan segala kebutuhan terpenuhi tanpa harus meminta. Ulang tahun hanyalah salah satu dari sekian kemewahan yang dilimpahkan padanya."Mungki
"Sebentar... Kayaknya aku pernah lihat jalanan ini. Bukannya kalau belok di depan sana dan lurus terus bakal sampai ke kampusnya Bima?" Dari dalam mobil, Azalea menoleh dan memperhatikan jalanan sekitar. Pohon-pohon berdiri tegak dalam susunan yang rapi. Pedagang kaki lima memenuhi sisi kedua trotoar. Palang bertuliskan kos-kosan terlihat hampir di setiap rumah. Puluhan remaja memakai almamater hijau lembut mengerumuni pedagang--- mencari makan siang. Ini bukan jalanan yang biasa Azalea lewati, hanya tak sengaja lewat ketika pulang dari kegiatan sosialita ibu mertuanya. Mobil yang dilajukan Dimas perlu melambat karena ramainya orang-orang di kedua sisi. Anna memeriksa map di ponsel. "Kalau dilihat-lihat, iya benar, Nyonya. Hebat banget Anda bisa ingat." "Bima yang sekarang jadi lebih terbuka." Azalea senyum-senyum. "Dimas, tahu 'kan harus apa?" "Siap, Nyonya." Perlu sepuluh menit hingga mobil berhenti di depan gerbang universitas itu. Azalea meraih tasnya dan memperbaiki bebera
"Malam ini?" Di ruang kerja Nyonya Sekar, Azalea menggigit bibir bawahnya dan cengkeraman di ponsel menguat. Walau sebelumnya mengira kalau Bima tak akan menghubunginya secepat ini, ia cukup lega. Suara Bima yang begitu ia rindukan menyapu perasaannya seperti angin lembut. I juga lega ibu mertuanya tidak ada di sana karena ada tamu yang harus ia sambut. "Aku nggak bisa, Bima. Tapi tolong jangan tutup teleponnya. Akan aku coba bilang ke Ibu buat izinin aku keluar," Azalea menambahkan. "Oke. Apa ketemu di gym sudah cukup?" tanya Bima. Azalea mencari-cari kekecewaan dalam balasan itu, tapi jadi tak yakin. Maka ia menjawab pendek, "Ya, makasih...." Ada jeda panjang berisi keheningan selama lima menit. Hanya deru napas masing-masing yang terdengar. Keduanya sama-sama tidak tahu harus menambahkan apa, tapi mengetahui bahwa mereka bisa mengobrol lagi tentunya membuat mereka enggan untuk memutuskan telepon. Setelah berjuang melawan perasaan masing-masing, Azalea pun yang menekan tombol
"Tuh, 'kan bener yang saya curigai.""Huh?" Lamunan lelah Azalea pecah saat Anna meletakkan segelas jus sambil menggerutu."Tuan Bima tidak menjawab telepon anda sejak kemarin 'kan?" tebak Anna jengkel.Sudah sejak kemarin ada yang tidak beres dari gelagat sang Nyonya. Semuanya dimulai ketika Azalea menjadi asisten Nyonya Sekar. Apalagi suasana hati Azalea kelihatan sekali tambah buruk karena berulang kali memeriksa ponsel dengan tatapan putus asa yang menyedihkan."Waktu itu saya hubungi juga beliau tidak mengangkatnya." Anna menggeleng. "Tidak bisa dibiarkan. Ini apalagi namanya kalau bukan mengabaikan anda?"Azalea mendongak. Keningnya berkerut, menambah jelas ekspresi lelah yang menggantung di matanya."Kamu menghubungi Bima buat apa?" tanya Azalea heran. Dari suaranya, energinya sudah menguap entah kemana."Tolong jangan salah paham dulu. Saya sering bertukar kabar dengan Tuan Bima untuk—"Anna berhenti mendadak. Spontan menutup mulut dan dikuasai perasaan serba salah. "Aduh...
Dua Minggu kemudian."Kapan ada hari senggang?" Nyonya Sekar bertanya segera setelah tiba di ruang kerja. Baru saja kembali dari kumpul-kumpul sosialita yang untungnya Azalea tidak perlu ikut hadir.Azalea, yang akhir-akhir ini tidak cukup tidur karena harus menyesuaikan segalanya dengan aktivitas sang ibu mertua, memijit pangkal hidungnya dengan satu tangan. Satu tangannya lain memeriksa agenda."Sabtu ini, Bu. Hanya ada satu acara sore di jadwal," jawab Azalea. Pandangannya sedikit mengabur, pening menyerang kepala, dan dadanya terasa sesak.Namun Azalea tetap teguh mengerjakan semua yang diperintahkan, meski Nyonya Sekar sendiri memiliki Sekretaris pribadi, tapi karena jelas wanita itu mau menekan Azalea maka semua tugas dilimpahkan padanya.Terdengar tidak adil, Azalea tetap memenuhi itu demi calon kebebasannya sendiri. "Bagus. Kau dan Ibu butuh beberapa set dress baru. Orang-orang tidak boleh melihat kita mengenakan pakaian yang sama dua kali."Nyonya Sekar mendengus melihat wa
Dalam salah satu ruang kelas di universitas itu, Bima berdiri menghadap para mahasiswa. Melirik jam lalu menghela napas pendek yang lebih tepat disebut kelegaan.Bima melepas kacamata. Ia menggunakan benda itu hanya ketika mengajar kuliah saja supaya bisa menangkap sosok mahasiswa yang tidur di kelasnya."Tugasnya wajib dikumpulkan Minggu depan. Materi selesai sampai sini," tandas Bima, membawa bukunya lalu keluar kelas.Para mahasiswa pun berhamburan ke lorong dengan kelegaan masing-masing. Obrolan riuh rendah segera mendominasi area itu.Seraya melangkah menuju ruang kantor dosen, Bima memeriksa ponselnya. Sayang sekali, layar ponsel itu tidak menunjukkan pesan dari siapapun. Bima tak bisa menahan untuk mengerang gusar."Masih belum ada jawaban," gumam lelaki itu, menuruni tangga dengan pikiran tertuju pada keberadaan Azalea.Tepat sebelum tiba di dasar tangga, terdengar derap langkah terburu-buru dari belakang. Bima bergeser ke samping membuka sisi kosong."Pak Bima! Tunggu sebenta
Setelah berpisah dengan Nyonya Sekar dan kembali ke kamar, Azalea menghela napas seolah melepaskan beban berat yang menggelayuti bahunya sejak tadi. Perempuan itu melepaskan bajunya. Ia melirik ponsel dan meraih benda itu seraya berjalan ke kamar mandi. "Selama di mobil tadi aku nggak sempat cek ponsel. Hm? Pesan dari Bima?" pikir Azalea, lalu membuka pesan Bima sambil menunggu air mengalir ke bathub.Mata Azalea melebar membaca pesan lelaki itu. Ia membekap mulutnya. Sesuatu dalam hatinya meleleh. Betapa perhatiannya Bima. Jantung Azalea berdegup, antusiasme dan rasa penasaran membanjiri dirinya."Astaga... Apa dia menyiapkan sesuatu buatku? Kejutan karena sudah berhasil menyelesaikan ujian?" Mendadak sosok Bima yang bertelanjang dada sambil berbaring di ranjang penuh kelopak bunga mawar terbayang dalam benak Azalea. Seketika pipinya bersemu merah dan kulitnya kepanasan. Azalea menggeleng sambil menepuk-nepuk pipinya, malu sendiri."Apa kejutan semacam itu? Jangan gila. Mikir apa
"Aku sudah menyewakan area ini khusus untukmu tapi kau bahkan tidak mau memberitahu siapa yang kau undang? Tega sekali."Jack berkacak pinggang ketika Bima sedang merapikan taplak di meja bulat itu. Jack adalah kawan baik Bima sejak dulu. Mereka berdua berada di rooftop apartemen milik Jack. Karena rooftop itu luas dan punya dapur outdoor, Bima menggunakannya untuk menyiapkan makan malam khusus bersama Azalea. Itung-itung pamer kemampuan masak yang Bima kuasai. Bima suka melihat wajah Azalea bercahaya ketika bahagia."Makasih," sahut Bima, sibuk menatap piring dan peralatan makan lain. Terus memunggungi sahabatnya yang geleng-geleng kepala."Maksudku bukan itu. Setidaknya kasih tahu lah, apakah kau menyiapkan semua ini untuk seorang perempuan?" tanya Jack lagi sambil cengengesan.Bima tidak menjawab, jadi Jack sengaja berdiri di seberang meja menghadap Bima."Loh, sudah move on, ya?" selidik Jack.Meletakkan vas berisi tiga mawar merah dengan keras, Bima pun mengangkat kepala. Sorot