Sinar matahari menyusup dari celah-celah gorden jendela yang terbuka menimpa wajah pulas Azalea. Sengatan cahaya itu membuat kulitnya berkedut, memaksanya membuka mata.
Hal pertama yang Azalea lihat adalah sosok Bima sedang bersandar di sisi jendela. Masih tanpa menggunakan kaos, lelaki itu dengan santainya memandang keluar. Ketika menoleh, mata gelap lelaki itu bertemu mata Azalea yang masih setengah memejam."Oh, hei... Kau sudah bangun?"Suara rendah nan dalam keluar dari bibir Bima. Azalea tak percaya bibir itulah yang semalam terus menciumnya penuh perasaan. Membimbingnya ke dalam permainan cinta luar biasa yang tak terlupakan. Berkat Bima, Azalea mendapatkan kenikmatan yang ia ekspektasikan.Azalea tercekat. Tak boleh terlena untuk sesuatu yang ia pastikan hanya terjadi satu kali. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain karena tak sanggup melihat wajah Bima.Bagaimana kalau Bima menganggapnya sebagai perempuan murahan? Apakah keputusannya semalam untuk tetap tinggal di sini itu benar?Azalea mengutuk diri sendiri dalam pikirannya. Kemudian mengalah atas kecamuk itu. Toh, semuanya sudah terjadi. Masalah utamanya bukan berada pada Bima, melainkan Johan."Sudah berapa lama Anda berdiri di sana?" tanya Azalea pelan, beranjak duduk sambil menutupi dadanya yang polos menggunakan selimut.Azalea melongok ke bawah ranjang, mencari-cari sesuatu miliknya."Lima menit lalu."Bima membungkuk. Ia menarik sebuah bra renda-renda dari kolong ranjang dan mengulurkannya pada Azalea.Ketika tangan mereka bersentuhan, Azalea malah teringat kejadian semalam. Itu menakjubkan, tapi tetap saja bikin malu. Tanpa ambil waktu Azalea mengenakan pakaiannya dengan membelakangi Bima meski tahu lelaki itu sudah melihat setiap inchi kulitnya semalam.Kehadirannya di sini tidak bisa lebih lama. Azalea menyibak selimut dan menurunkan kaki. Bima tampak bersiaga, mengulurkan tangan."Kau bisa bangun? Jika tidak aku bisa—"Azalea lebih dulu jatuh terduduk diliputi rasa heran. Kedua lututnya lemas sekali seperti tak ada tenaga. Pangkal pahanya nyeri. Gadis itu mendongak, menatap Bima penuh tanda tanya.".... Membantumu."Bima menghela napas, lantas membantu Azalea kembali duduk di atas ranjang."Maafkan aku! Rasanya...."Azalea terlalu malu untuk melanjutkan."Efeknya akan hilang jika kau berbaring lebih lama." Bima menyahut enteng."Tapi aku harus—""Berbaring," tegas Bima, menatap Azalea dari atas sampai bawah. Bibirnya terangkat tipis. "Haruskah aku mengusap bagian yang nyeri?"Semburat merah memenuhi pipi Azalea. Bima benar-benar menganggapnya wanita gampangan sampai berani menggoda secara terang-terangan begini."Ti–Tidak perlu, makasih...." Azalea pura-pura berdehem. "Se–Sekarang bukan saatnya melakukan ini.""Melakukan apa?"Bima balas bertanya tanpa ekspresi.BRAK!Mendadak pintu kamar berdebam terbuka. Bima spontan merentangkan tangan kanannya menutupi Azalea yang kaget bukan main.Johan berserta Tuan dan Nyonya Laksmana berdiri di ambang pintu. Azalea dapat merasakan kulitnya bagaikan tersengat oleh semua tatapan yang tertuju ke arahnya."Kalian lihat sendiri apa yang sudah aku katakan!" Johan merangsek ke dalam kamar mulai mengamuk sambil menunjuk-nunjuk Azalea dan Bima.Terkesiap, Azalea tak percaya dengan ekspresi yang ditunjukkan Johan. Suaminya itu benar-benar menunjukkan wajah aslinya sekarang."Azalea!"Seorang wanita tergopoh-gopoh merangsek maju. Ketika melihat kondisi Azalea yang baru bangun tidur, serta posisinya bersama Bima tampak mudah disalahpahami, wanita paruh baya itu menutup mulut."Bibi Luna!" Azalea memekik.PLAK!Tamparan itu telak mengenai pipi Azalea tanpa bisa diduga oleh siapapun, bahkan Azalea sendiri. Air mata menggenangi pelupuk mata tatkala bertatapan dengan Bibi Luna. Wanita yang mengambil alih hak asuh atas dirinya itu selalu Azalea kenal sebagai sosok lembut dan penuh kasih. Namun kali ini, tamparan menyakitkan Azalea dapat dari sosok yang ia anggap sebagai ibu keduanya."Bagaimana kau bisa melakukan tindakan keji ini terhadap suamimu, Nak? Apakah Bibi mengajarimu berkhianat?" Bibi Luna terisak keras.Azalea bersimpuh di bawa kaki wanita paruh baya itu, memohon, "Bibi! Tolong dengarkan aku dulu!""Sebenarnya apa yang kau pikirkan, Azalea? Bibi sudah berjanji pada mendiang orang tuamu, bahwa bibi akan membahagiakanmu. Namun sekarang kau menghancurkan kebahagiaan itu sendiri!"Bibi Luna menepis tangan Azalea serta memalingkan wajahnya sambil terisak-isak.Azalea tercenung. Konsekuensi dari perbuatan gila semalam adalah mengecewakan satu-satunya orang yang ingin Azalea bahagiakan."Oh, Dahlia yang malang. Bagaimana bisa aku menemuimu di perkuburan saat tahu putri tunggalmu melakukan hal serendah ini!""Minggir," ucap seseorang dari belakang."Nyo–Nyonya Sekar!" Dalam sekejap tangis Bibi Luna terhenti seraya ia mundur memberikan jalan.Ibu Johan sekaligus Nyonya Besar keluarga Laksmana mendekati Azalea yang masih bersimpuh di lantai dengan amarah. Satu tangannya terangkat."Beraninya kau mengkhianati putraku!""Cukup, Ibu."Bima menangkap tangan ibunya sebelum mendarat di pipi Azalea. Suaranya terdengar dingin ketika menambahkan, "Jangan sentuh Azalea."Nyonya Sekar menepis tangan putranya."Kau juga sama saja! Sudah bagus bertahun-tahun pergi, sekarang malah makin mempermalukanku saja! Apa yang kau telah lakukan dengan istri adikmu ini, hah?!""Saya tidur dengannya."Bima menjawab jujur dan tanpa beban. Ia membungkuk, membantu Azalea berdiri dengan sangat berhati-hati dan penuh perhatian. Azalea tidak bisa menyangkal ucapan lelaki itu, hanya bisa tertunduk diam memegangi pipinya yang memerah."Azalea adalah kekasihku. Bajingan itu yang merebutnya duluan." Bima melirik Johan sinis."APA?!" Baik Nyonya Sekar dan Bibi Luna memekik bersamaan.Alih-alih kaget, Johan malah tertawa terbahak-bahak. Semua orang menatapnya seorang lelaki itu kehilangan akal, sedangkan Azalea bertanya-tanya apakah pernyataan Bima sangat lucu."Hah, itu bohong. Saat bersamaku, Azalea masih perawan! Masih legit dan rapat!"Johan berseru tanpa tahu malu. Seringainya melebar. "Kau mendapatkan bekasku, sialan!""Cukup, tolong berhenti!"Azalea berteriak muak sekaligus malu. Ia menghadap pasangan Laksmana dan Bibi Luna dengan menahan kecamuk perasaannya."Maafkan aku, Bibi Luna. Maafkan aku juga, Tuan dan Nyonya Laksmana. Aku telah mengecewakan kalian semua. Aku memilih Bima."Kemudian Azalea menggandeng tangan Bima dan menoleh pada Johan."Tolong ceraikan aku sekarang juga.""Apa otak kecilmu itu rusak?" Johan menarik tangan Azalea. "Dasar perempuan tak tahu diri!"Untungnya Bima sigap merampas Azalea kembali dalam pelukannya. Lengan kanannya merengkuh punggung Azalea secara protektif."Kalian semua diam!" bentak Bima, "Setelah sumpah serapah yang kalian lontarkan, gadis ini berhak untuk didengarkan! Katakan pada tiga orang tua ini apa yang telah Johan lakukan padamu, Azalea.""Memangnya apa yang aku lakukan padamu, hah?" Johan membantah.Menahan isak tangisnya sendiri, Azalea menjawab, "Kau... Menyakitiku, Johan... Kau tidak memberiku waktu untuk bernapas. Kau bahkan melayangkan tanganmu secara sangat kasar... Kau menyentuhku dengan cara yang tidak aku sukai....""Hah...."Tuan Gibran Laksmana mengusap wajahnya, lantas terkekeh keras."Astaga, jadi semua ini hanya perkara Johan yang tidak bisa memberimu kenikmatan saat malam pertama, Nak?" tukas Tuan Gibran, "Kekanakan sekali."Azalea terkesiap."Melihat betapa menggairahkannya tubuhmu, wajar kalau Johan kehilangan akalnya," lanjut Tuan Gibran, lalu menepuk-nepuk bahu Johan. "Nak, kau perlu menahan dirimu supaya istrimu ini keluar duluan.""A–Apa? Tuan Laksmana, bukan seperti itu! Johan menyiksaku!"Johan balas protes, "Kenapa? Apa dia menampar wajahmu saat kau memberinya service? Atau menarik rambutmu saat melakukan itu dari belakang?"Dada Azalea sangat sesak. Jika bisa memutar waktu, ia tak mau menikahi lelaki busuk yang membeberkan segalanya seperti sedang membaca berita, itupun tanpa rasa bersalah sama sekali.Azalea juga marah pada diri sendiri yang dengan mudahnya menerima Johan dan terpikat pada segala yang ditampilkan lelaki itu saat awal kenal. Azalea tak berhenti mengutuk diri sendiri sambil menahan tangis."Ya, aku melakukan itu semua. Memangnya kenapa? Itu wajar," jawab Johan, "Kalau kau benar sudah pernah tidur dengan Bima, kau harusnya juga melakukan itu. Aku yakin dia lebih ahli dariku.""Bajingan ini—" Bima hendak maju, tapi merasakan tubuh Azalea bergetar dalam dekapannya."Kenapa? Apa aku salah?" Johan menantang, "Kau bermain dengan ratusan wanita hingga punya beberapa anak haram, 'kan?""Cukup, Johan," cegah Nyonya Sekar, tampaknya jemu dengan perkara ini."Hah, rupanya semua ini hanyalah akting. Kau suka sekali memancing drama, Azalea."Azalea memohon. "Ta–Tapi—""Sudah. Johan, bawa istrimu ke mobil. Kita pulang sekarang juga," pungkas Nyonya Sekar seraya melirik putra sulungnya. "Dan kau, Bima. Berhenti mempermalukan diri sendiri sampai menyeret orang tidak bersalah."Johan mengulurkan tangan sambil menyeringai."Ayo, istriku. Kita punya ronde kedua yang belum diselesaikan."Dengan berat hati, Bima melepaskan Azalea.Azalea memandangi langit-langit kamar barunya dengan tatapan hampa. Seluruh tubuhnya nyeri, bahkan lengan kirinya lebam karena cengkraman erat Johan. Lelaki itu tidak main-main pada perkataannya. Johan betulan menagih ronde yang tak selesai, bahkan menambahnya lebih brutal tanpa mendengar permohonan Azalea yang menangis kesakitan.Saat itu pukul dua malam. Azalea meneteskan air mata yang tak bisa berhenti sambil meremas selimut, satu-satunya benda yang menutupi tubuhnya sekarang. Di sebelahnya, terdengar dengkur dan deru napas Johan yang tertidur pulas. Tak ada rasa bersalah terlihat pada wajahnya. Azalea tak percaya dirinya terjatuh dalam tipu daya Johan.“Selamat, Azalea, penderitaan ini akan kau rasakan seumur hidup,” kata Azalea getir pada diri sendiri, “Itupun jika besok aku masih hidup.”Kemudian perempuan yang tercerai berai perasaannya itu menoleh lemas ke arah sang suami, berbisik penuh kekecewaan, “Aku harap kau renggut nyawaku sekalian.”Johan mengerang, lalu membuka mata.
Tak banyak yang Azalea lakukan selama seminggu di mansion Laksmana. Di tempat seluas itu, hanya rutinitas tanpa makna dijalani Azalea sendirian. Nyonya Sekar sibuk dengan berbagai macam acara amal yang ia selenggarakan. Tuan Gibran apalagi. Johan juga tidak ada bedanya. Hanya Azalea tertinggal di belakang.Kebosanan menyelimuti Azalea terselamatkan ketika seseorang menekan bel siang itu. Betapa terkejutnya ia saat berhadapan dengan Bima di depan pintu. Lelaki itu masih terlihat sama seperti saat Azalea meninggalkannya di kamar hotel. Dingin dan acuh. Tetap saja sepasang mata hitam Bima mempengaruhi Azalea. Ada sesuatu jelas tersembunyi di sana."Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Azalea, tersadar dari pemikirannya karena diserbu rasa panik. Bima menjawab sarkas, "Di sini kediaman keluarga Laksmana, Nyonya Azalea. Tempat ini rumah Saya juga." "Ah, benar. Silakan masuk." Azalea menyingkir dari pintu dengan canggung."Apa... Apa Anda mau bertemu Ibu dan Ayah? Anda bisa kembali nan
Kedua tangan Azalea mencengkeram sealbelt, ia membeku. Johan melangkah cepat dan menghantam kedua tinjunya ke kaca jendela pintu mobil."Keluar dari sana, Azalea!" seru Johan. Urat-urat mencuat memenuhi keningnya.Bima merentangkan tangan ke handle pintu, menghalangi Azalea keluar. Sepasang matanya menatap lurus saudaranya yang siap mengamuk itu."Tetap di sini," cegah Bima, rendah dan setengah berbisik. Seperti menyuruh waspada.Johan menghantamkan tinjunya sekali lagi. Menyebabkan kaca retak dengan bentuk sarang laba-laba, serta suara pecah nyaring. Azalea memekik panik."Kau tidak mendengarku? Keluar!"Azalea menghargai pencegahan Bima, tapi ia menarik tangan lelaki itu dengan berkata, "Dia akan membunuhku jika aku tidak mematuhinya."Rahang Bima mengeras, ekspresinya menggelap. Sedangkan mata Azalea mengisyaratkan permohonan. Sorot yang entah kenapa membuat Bima terpaksa melunak. Karenanya ia membuka pintu dan turun duluan.Meski takut setengah mati, Azalea mengikuti. Ketika Johan
Beberapa jam sebelumnya.Memperhatikan punggung Johan dan Azalea yang menghilang di balik gerbang, tanpa sadar Bima mengepalkan tangan. Lagi-lagi sengatan rasa aneh itu muncul ketika melihat Azalea diseret paksa.Mungkin ini hanya rasa iba. Mungkin juga karena Bima tahu bahu kurus Azalea gemetar ketakutan. Bima tidak tahu kondisi apa yang mengganggu dirinya saat itu."Kemarin kau masih membukakan gerbang ini untuk saya," tegas Bima di depan security. Sudah berkali-kali ia meminta dibukakan gerbang, tapi kedua security itu menggeleng.Salah satu di antara mereka menjawab, "Sebelum Tuan Johan memerintah kamu untuk melarang Anda masuk.""Saya putra sulung keluarga ini, Purwo," desis Bima, menatap nyalang ke security yang tidak jauh lebih tinggi darinya."Ya, Tuan Johan dengan jelas memberitahu itu juga."Akhirnya Bima mendengus. "Terserah."Kemudian lelaki berambut gelap itu masuk ke mobilnya, menyalakan mesin dengan sengaja dikeraskan, lalu pergi tanpa banyak bicara. Mobilnya meluncur di
Beberapa minggu kemudian. Luka Azalea sepenuhnya sembuh. Johan juga mengurangi tempramennya. Namun Azalea tetap tidak bisa melupakan semua penderitaannya itu. Hatinya seolah mati rasa, bibir Azalea tak bisa tersenyum, dan instingnya selalu bereaksi waspada kapanpun Johan dekat."Nak, kemarilah."Pukul 09.00 pagi, Tuan Gibran memanggil Azalea dari ruang keluarga. Mulanya Azalea mengernyit heran saat melihat Ayah mertuanya yang berada di rumah pada hari kerja. Johan dan Nyonya Sekar tidak ada di rumah, jadi apa yang Tuan Gibran lakukan di sini?"Ya, Ayah?"Azalea menghadap Tuan Gibran. Lelaki yang berusia setengah abad itu mengenakan pakaian santai alih-alih jas rapi seperti biasa. Televisi menyala, Tuan Gibran duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Kenapa penguasa perusahaan keluarga ini sedang bermalas-malasan?Ada semacam perasaan tak nyaman menggaruk kulit Azalea saat berada di dekat Tuan Gibran. Mungkin karena Johan dan Ayahnya sangat mirip, atau mungkin karena keduanya punya ser
“Kau tampak cantik,” puji Johan ketika melihat Azalea dalam balutan gaun biru yang memperlihatkan bahu mulusnya.Azalea tampak tak terkesan, sebab yang ia lihat pada refleksi cermin adalah seorang perempuan kurus dan pucat, dengan sepasang mata kosong layaknya ikan mati. Azalea tidak melihat kecantikan mana yang Johan maksud.“Tak usah memujiku, aku tahu kamu mengatakannya karena masih merasa bersalah,” tukas Azalea datar.Johan mengeraskan rahang. “Kau harusnya bersyukur aku membawamu ke rumah sakit malam itu. Jadi kau masih bisa berdiri di sini.”“Yang benar?” balas Azalea.Johan berbalik. “Kalau sudah selesai, cepat turun.”Azalea kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Luka-luka cambuk dan memar akibat siksaan Johan sudah sepenuhnya sembuh. Sesekali Azalea masih dapat melihat bayangan luka itu di kulitnya.“Aku tahu bukan kamu yang membawaku ke rumah sakit,” gumam Azalea.Kemudian perempuan itu turun ke halaman belakang. Para staff dan tukang masak sibuk berlalu-lalang dari da
Atas perintah Johan, Anna menghadap Azalea keesokan harinya. Pembantu itu sudah bekerja sejak remaja, tampaknya seumuran Azalea sendiri. "Saya tak mengerti kenapa Anda menjadikan pembantu biasa seperti Saya sebagai asisten." Anna berkata sambil memasang raut masam yang tak ramah. "Tanpa posisi itu pun, Saya sudah sibuk dan tidak bisa menambah pekerjaan lain lagi." "Tapi menjadi asisten berbeda dari jadi pembantu, 'kan?" balas Azalea. Azalea memindai dan berusaha membaca air muka Anna untuk menilai kepribadiannya. Namun yang dilihat tetap saja Anna yang terus menggerutu. Persis semua pembantu bersikap begitu. Sambil membantu Azalea berpakaian, Anna mendengus beberapa kali. Seolah berada di kamar sang calon nyonya besar ini sangat menyiksanya. “Anggap saja seperti naik jabatan,” imbuh Azalea mencoba santai. Anna berkacak pinggang. Gestur tubuhnya menyiratkan seperti sedang mengajak bertengkar. "Anda memang tidak tahu apa-apa. Enak, ya, hidup jadi Anda, Nyonya. Saya dengar selama
“Jika mengatakan seperti itu, kau membuatku terdengar seperti orang jahat. Lea, semua ini juga supaya hidupmu jauh lebih baik, ‘kan?” Bibi Luna membela diri.Hancur sudah semua bayangan Azalea mengenai sosok lembut dari wanita yang merawatnya sejak kedua orang tuanya tiada. Lenyap pula keinginan Azalea meminta dukungan Bibi Luna supaya bisa keluar dari keluarga Laksmana.Azalea menggigit bibir bawah sampai kebas, lalu membuang muka.“Lihat pakaianmu sekarang! Tidak ada bekas tambalan, jahitan terlepas, atau bercak kotor yang tidak bisa hilang,” tambah Bibi Luna, menarik ujung midi dress merah muda yang dikenakan Azalea.Kemudian Bibi Luna mencubit pipi Azalea, melanjutkan, “Pegang wajahmu ini. Sudah berpoles bedak dan skincare mahal. Jika aku tidak menikahkanmu dengan seseorang yang kaya raya, mau jadi apa hidupmu nanti?”Azalea menepis tangan Bibi Luna dari wajahnya, berbalik memunggungi wanita paruh baya itu karena kekecewaan dan kemarahan meledak-ledak dalam dirinya.Bibi Luna meng
“Selamat ulang tahun, Bima," bisik Azalea sekali lagi.Barulah Bima bisa membuka matanya lebar-lebar. Dengan segera Bima tidak bisa mempercayai apa yang terhampar di hadapannya. Seluruh area atap gym diubah menjadi negeri ajaib yang mempesona. Lampu tumblr lembut berkelap-kelip di tiang seolah memancarkan cahaya magis bernuansa romansa.Hanya ada meja di sana, lengkap dihiasi lilin dan bunga-bunga cerah... Serta sebuah kue blackforest dengan beberapa buah cherry di atasnya.Bima terpaku di tempat, bibirnya seakan kelu. Ini seperti rekayasa makan malam yang pernah ia siapkan, kecuali yang ini lebih bagus dan meriah.Bima menoleh penuh pertanyaan, yang dibalas oleh tawa renyah Azalea."Aku mempersiapkan ini semua. Ah, sekaligus buat menebus batalnya makan malam yang harusnya aku datangi setelah ujian baking waktu itu," jelas Azalea, mengusap pipi Bima sayang.“Ayo, duduk.” “Tunggu,” sela Bima, mendahului Azalea untuk menarik kursi untuknya lebih dulu.Terharu, Azalea pun duduk. Disusu
"Coba bilang lagi, besok hari apa?"Azalea menjatuhkan stylus pen, terkejut dengan apa yang baru saja Anna katakan ketika dirinya tengah tenggelam dalam pekerjaan. Asistennya itu masuk ke ruang kerja membawakan secangkir teh hangat dan sepiring sandwich telur dalam ukuran kecil, tapi Anna mengatakan sesuatu tentang Bima dan Azalea pikir ia salah dengar."Ulang tahunnya Tuan Bima, Nyonya. Saya kira malah Nyonya tahu,” ulang Anna, balas memandang sang Nyonya dengan bingung.Azalea menjatuhkan dirinya di sofa dekat jendela, mengerang sambil mengusap wajahnya. "Nggak kepikiran sama sekali malah. Bodohnya aku. Apakah dulu ulang tahun Bima sering dirayakan?""Iya, sih. Tapi biasanya Tuan Bima langsung pergi gitu aja, kelihatan nggak nyaman,” jelas Anna seraya mengingat-ingat.Azalea terdiam. Iya, sih. Ketika masih remaja, Bima pasti menjadi anak emas dengan segala kebutuhan terpenuhi tanpa harus meminta. Ulang tahun hanyalah salah satu dari sekian kemewahan yang dilimpahkan padanya."Mungki
"Sebentar... Kayaknya aku pernah lihat jalanan ini. Bukannya kalau belok di depan sana dan lurus terus bakal sampai ke kampusnya Bima?" Dari dalam mobil, Azalea menoleh dan memperhatikan jalanan sekitar. Pohon-pohon berdiri tegak dalam susunan yang rapi. Pedagang kaki lima memenuhi sisi kedua trotoar. Palang bertuliskan kos-kosan terlihat hampir di setiap rumah. Puluhan remaja memakai almamater hijau lembut mengerumuni pedagang--- mencari makan siang. Ini bukan jalanan yang biasa Azalea lewati, hanya tak sengaja lewat ketika pulang dari kegiatan sosialita ibu mertuanya. Mobil yang dilajukan Dimas perlu melambat karena ramainya orang-orang di kedua sisi. Anna memeriksa map di ponsel. "Kalau dilihat-lihat, iya benar, Nyonya. Hebat banget Anda bisa ingat." "Bima yang sekarang jadi lebih terbuka." Azalea senyum-senyum. "Dimas, tahu 'kan harus apa?" "Siap, Nyonya." Perlu sepuluh menit hingga mobil berhenti di depan gerbang universitas itu. Azalea meraih tasnya dan memperbaiki bebera
"Malam ini?" Di ruang kerja Nyonya Sekar, Azalea menggigit bibir bawahnya dan cengkeraman di ponsel menguat. Walau sebelumnya mengira kalau Bima tak akan menghubunginya secepat ini, ia cukup lega. Suara Bima yang begitu ia rindukan menyapu perasaannya seperti angin lembut. I juga lega ibu mertuanya tidak ada di sana karena ada tamu yang harus ia sambut. "Aku nggak bisa, Bima. Tapi tolong jangan tutup teleponnya. Akan aku coba bilang ke Ibu buat izinin aku keluar," Azalea menambahkan. "Oke. Apa ketemu di gym sudah cukup?" tanya Bima. Azalea mencari-cari kekecewaan dalam balasan itu, tapi jadi tak yakin. Maka ia menjawab pendek, "Ya, makasih...." Ada jeda panjang berisi keheningan selama lima menit. Hanya deru napas masing-masing yang terdengar. Keduanya sama-sama tidak tahu harus menambahkan apa, tapi mengetahui bahwa mereka bisa mengobrol lagi tentunya membuat mereka enggan untuk memutuskan telepon. Setelah berjuang melawan perasaan masing-masing, Azalea pun yang menekan tombol
"Tuh, 'kan bener yang saya curigai.""Huh?" Lamunan lelah Azalea pecah saat Anna meletakkan segelas jus sambil menggerutu."Tuan Bima tidak menjawab telepon anda sejak kemarin 'kan?" tebak Anna jengkel.Sudah sejak kemarin ada yang tidak beres dari gelagat sang Nyonya. Semuanya dimulai ketika Azalea menjadi asisten Nyonya Sekar. Apalagi suasana hati Azalea kelihatan sekali tambah buruk karena berulang kali memeriksa ponsel dengan tatapan putus asa yang menyedihkan."Waktu itu saya hubungi juga beliau tidak mengangkatnya." Anna menggeleng. "Tidak bisa dibiarkan. Ini apalagi namanya kalau bukan mengabaikan anda?"Azalea mendongak. Keningnya berkerut, menambah jelas ekspresi lelah yang menggantung di matanya."Kamu menghubungi Bima buat apa?" tanya Azalea heran. Dari suaranya, energinya sudah menguap entah kemana."Tolong jangan salah paham dulu. Saya sering bertukar kabar dengan Tuan Bima untuk—"Anna berhenti mendadak. Spontan menutup mulut dan dikuasai perasaan serba salah. "Aduh...
Dua Minggu kemudian."Kapan ada hari senggang?" Nyonya Sekar bertanya segera setelah tiba di ruang kerja. Baru saja kembali dari kumpul-kumpul sosialita yang untungnya Azalea tidak perlu ikut hadir.Azalea, yang akhir-akhir ini tidak cukup tidur karena harus menyesuaikan segalanya dengan aktivitas sang ibu mertua, memijit pangkal hidungnya dengan satu tangan. Satu tangannya lain memeriksa agenda."Sabtu ini, Bu. Hanya ada satu acara sore di jadwal," jawab Azalea. Pandangannya sedikit mengabur, pening menyerang kepala, dan dadanya terasa sesak.Namun Azalea tetap teguh mengerjakan semua yang diperintahkan, meski Nyonya Sekar sendiri memiliki Sekretaris pribadi, tapi karena jelas wanita itu mau menekan Azalea maka semua tugas dilimpahkan padanya.Terdengar tidak adil, Azalea tetap memenuhi itu demi calon kebebasannya sendiri. "Bagus. Kau dan Ibu butuh beberapa set dress baru. Orang-orang tidak boleh melihat kita mengenakan pakaian yang sama dua kali."Nyonya Sekar mendengus melihat wa
Dalam salah satu ruang kelas di universitas itu, Bima berdiri menghadap para mahasiswa. Melirik jam lalu menghela napas pendek yang lebih tepat disebut kelegaan.Bima melepas kacamata. Ia menggunakan benda itu hanya ketika mengajar kuliah saja supaya bisa menangkap sosok mahasiswa yang tidur di kelasnya."Tugasnya wajib dikumpulkan Minggu depan. Materi selesai sampai sini," tandas Bima, membawa bukunya lalu keluar kelas.Para mahasiswa pun berhamburan ke lorong dengan kelegaan masing-masing. Obrolan riuh rendah segera mendominasi area itu.Seraya melangkah menuju ruang kantor dosen, Bima memeriksa ponselnya. Sayang sekali, layar ponsel itu tidak menunjukkan pesan dari siapapun. Bima tak bisa menahan untuk mengerang gusar."Masih belum ada jawaban," gumam lelaki itu, menuruni tangga dengan pikiran tertuju pada keberadaan Azalea.Tepat sebelum tiba di dasar tangga, terdengar derap langkah terburu-buru dari belakang. Bima bergeser ke samping membuka sisi kosong."Pak Bima! Tunggu sebenta
Setelah berpisah dengan Nyonya Sekar dan kembali ke kamar, Azalea menghela napas seolah melepaskan beban berat yang menggelayuti bahunya sejak tadi. Perempuan itu melepaskan bajunya. Ia melirik ponsel dan meraih benda itu seraya berjalan ke kamar mandi. "Selama di mobil tadi aku nggak sempat cek ponsel. Hm? Pesan dari Bima?" pikir Azalea, lalu membuka pesan Bima sambil menunggu air mengalir ke bathub.Mata Azalea melebar membaca pesan lelaki itu. Ia membekap mulutnya. Sesuatu dalam hatinya meleleh. Betapa perhatiannya Bima. Jantung Azalea berdegup, antusiasme dan rasa penasaran membanjiri dirinya."Astaga... Apa dia menyiapkan sesuatu buatku? Kejutan karena sudah berhasil menyelesaikan ujian?" Mendadak sosok Bima yang bertelanjang dada sambil berbaring di ranjang penuh kelopak bunga mawar terbayang dalam benak Azalea. Seketika pipinya bersemu merah dan kulitnya kepanasan. Azalea menggeleng sambil menepuk-nepuk pipinya, malu sendiri."Apa kejutan semacam itu? Jangan gila. Mikir apa
"Aku sudah menyewakan area ini khusus untukmu tapi kau bahkan tidak mau memberitahu siapa yang kau undang? Tega sekali."Jack berkacak pinggang ketika Bima sedang merapikan taplak di meja bulat itu. Jack adalah kawan baik Bima sejak dulu. Mereka berdua berada di rooftop apartemen milik Jack. Karena rooftop itu luas dan punya dapur outdoor, Bima menggunakannya untuk menyiapkan makan malam khusus bersama Azalea. Itung-itung pamer kemampuan masak yang Bima kuasai. Bima suka melihat wajah Azalea bercahaya ketika bahagia."Makasih," sahut Bima, sibuk menatap piring dan peralatan makan lain. Terus memunggungi sahabatnya yang geleng-geleng kepala."Maksudku bukan itu. Setidaknya kasih tahu lah, apakah kau menyiapkan semua ini untuk seorang perempuan?" tanya Jack lagi sambil cengengesan.Bima tidak menjawab, jadi Jack sengaja berdiri di seberang meja menghadap Bima."Loh, sudah move on, ya?" selidik Jack.Meletakkan vas berisi tiga mawar merah dengan keras, Bima pun mengangkat kepala. Sorot