“Aku yakin kali ini akan lebih baik, Nak.” Suara lembut Maria terdengar penuh harap, mengawali pembicaraan yang sudah sangat akrab di telinga Dhuha. Ia sedang duduk di ruang makan bersama Maria, ibunya, sembari menyeruput kopi hangat. Tidak ada semangat dalam dirinya setelah mengantar Aini pulang ke Bandung. Lagi-lagi ia patah hati. Awalnya, ia berharap Aini berpisah dari Alex saja, tetapi karena Izzam dan Intan, Aini mengalah dan memutuskan kembali bersama Alex. "Dhuha, kenapa, sih? Kamu ada masalah di kantor? Mama udah pesan sama Om Fauzan, kalau kamu jangan ditugaskan yang berat-berat dulu. Kamu juga harus bagi waktu untuk diri kamu sendiri. Termasuk mencari jodoh."Dhuha menghela napas panjang. “Ma, aku nggak yakin. Yang kemarin saja sudah cukup merepotkan.”“Dhuha." Maria menatapnya dengan pandangan yang tegas namun penuh kasih. “Mama tahu, kamu merasa kurang cocok waktu itu. Tapi Marissa anaknya baik. Mama sudah kenal keluarganya lama, dan... kali ini Mama cuma minta kamu menc
“Jadi, bagaimana kemarin? Kamu dan Marissa cocok, kan?” Maria memulai pembicaraan pagi itu di ruang makan. Ia terlihat santai, namun dari raut wajahnya, jelas ia ingin mendapatkan jawaban yang ia harapkan. Wajahnya berbinar saat menuangkan teh di cangkir Dhuha. "Bu, saya mau ke pasar dulu ya," ujar bibik menginterupsi. "Oh, iya, jangan lupa beli jeruk mandarin kecil untuk anak-anak ya, Bik.""Baik, Bu." Setelah bibik pergi, Maria kembali menatap sang Putra. Dhuha mengangkat cangkir tehnya perlahan, mencoba memilih kata yang tepat. “Biasa saja, Ma. Kami makan, ngobrol sedikit, terus nonton.”Maria menatapnya penuh perhatian. “Oh, kalian nonton juga? Itu bagus. Berarti ngobrolnya nyambung, ya? Ih, Mama senang banget dengernya." Maria tersenyum lebar. “Lumayan, Ma.” Dhuha mencoba tersenyum sopan, meski hatinya tidak terlalu tertarik untuk melanjutkan diskusi ini. “Dia orangnya baik, tapi aku belum tahu sejauh mana bisa cocok.”Maria mengangguk perlahan. “Yang penting kamu sudah mau
“Aini, sudah pulang?” suara lembut Bu Asma menyambut Aini yang baru saja melangkah masuk ke rumah. Tubuhnya sedikit lelah setelah menjemput Intan dari sekolah. Ia hanya menjawab seadanya, “Sudah, Ma,” sambil membantu Intan melepas sepatunya.“Mana Izzam?” tanya Bu Asma lagi.“Masih di sekolah, les tambahan, Ma, " jawab Aini singkat tanpa menoleh. Ia merasa sesak setiap kali berada di rumah ini, tempat di mana luka hatinya semakin dalam.Suci, yang muncul dari dapur sambil membawa nampan berisi teh untuk Bu Asma, menyambut Aini dengan senyum ramah. “Hai, Mbak Aini. Capek ya jemput Intan?”Aini hanya melirik sekilas tanpa membalas sapaan itu. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan diri agar tidak mengeluarkan kata-kata yang mungkin akan disesalinya nanti.Bu Asma mengerutkan kening. “Aini, jangan begitu. Suci cuma ingin menyapa. Dia istri Alex juga, sama seperti kamu. Kalian harus belajar saling menerima.”Aini menahan amarahnya. Kata-kata itu baginya seperti garam yang ditaburkan ke luk
Pagi itu, Aini berdiri di depan gerbang sekolah, melambaikan tangan kepada Intan dan Izzam yang berjalan masuk ke dalam. Senyum kecil tersungging di bibirnya, meskipun hatinya masih terasa berat. Rutinitas ini seolah menjadi tameng dari rasa sakit yang terus menggerogoti dirinya.Mobil sudah terparkir sempurna di parkiran sekolah. Ia sengaja menaruh kendaraan di sana selagi ia ada urusan dengan Dhuha. Begitu anak-anak menghilang di balik pintu sekolah, ia memesan ojek online lewat ponselnya. Tujuannya bukan kembali ke rumah, melainkan sebuah apartemen di pusat kota, tempat Dhuha menunggunya. Dalam perjalanan, pikirannya bercampur aduk antara rasa bersalah, keraguan, dan semacam kegembiraan yang aneh.Tak lama kemudian, Aini sampai di apartemen Dhuha. Namun, ia tidak masuk ke dalam unitnya, melainkan menuju restoran di lantai bawah seperti yang telah mereka sepakati. Dhuha sudah menunggunya di sana, mengenakan kemeja kasual biru muda yang membuatnya tampak lebih muda dari usia sebenar
Hari itu, Aini meluangkan seluruh waktunya untuk merawat Dhuha yang masih terbaring lemah di apartemennya. Pria itu tampak pucat, tetapi perlahan kondisinya mulai membaik. Aini membuatkan bubur ayam hangat di dapur kecil apartemen, mengaduknya dengan hati-hati agar rasanya pas. Aroma bubur yang menguar memenuhi ruangan, memberikan kesan rumah yang hangat.Ketika bubur itu matang, Aini membawanya ke kamar dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. Dhuha membuka matanya perlahan, senyumnya muncul saat melihat Aini di sana.“Kamu benar-benar masak sendiri?” tanya Dhuha dengan suara serak.Aini mengangguk. “Aku nggak tahu rasanya enak atau nggak. Tapi kamu harus makan biar cepat sembuh. Wajah kamu pucet banget."Dhuha mencoba duduk, dan Aini buru-buru membantunya menyandarkan punggungnya ke bantal. Ia mengambil sendok, menyuapkan bubur ke mulut Dhuha seperti yang dilakukan pria itu kepadanya beberapa hari lalu.“Rasanya jauh lebih enak daripada bubur di restoran,” ujar Dhuha, mencoba
Dhuha terbangun di tengah malam. Tenggorokannya kering, dan tubuhnya mulai terasa lebih baik. Demamnya telah mereda, meskipun rasa lemas masih tersisa. Ia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Ketika ia kembali ke kamar, ponselnya yang diletakkan di meja samping tempat tidur menyala, menandakan sebuah pesan masuk.Pesan itu dari Aini.> “Aku tertekan dengan pernikahanku. Rasanya seperti dihukum atas kesalahan yang bahkan nggak pernah aku lakukan.”Dhuha membaca pesan itu dengan hati berdebar. Ia langsung mengetik balasan.> “Kalau begitu, biar aku jemput kamu sekarang juga. Kita bisa bicara.”Tak butuh waktu lama, balasan dari Aini muncul.> “Besok saja, Dhuha. Malam ini aku nggak mau membuat masalah baru. Aku sudah terlalu lelah.”Dhuha menatap layar ponsel itu beberapa detik, lalu menarik napas panjang. Ia ingin segera menolong Aini, tetapi ia tahu wanita itu perlu waktu.“Baiklah,” balasnya akhirnya. “Besok aku tunggu kamu. Kapan dan
"Ma, Mbak Aini kemana, ya? Saya belum pernah lihat dia di rumah sejak pindah ke sini," tanya Suci perlahan. Ia menatap ibu mertuanya, Bu Asma, yang sedang sibuk menyiapkan teh di meja dapur. Suci merasa perlu menanyakan hal ini karena meskipun ia istri kedua Alex, ia belum pernah bertemu langsung dengan istri pertama suaminya.Bu Asma mendesah pelan sebelum menjawab, "Biasanya Aini habis antar anak-anak ke sekolah, terus keluyuran entah ke mana. Dia jarang di rumah siang-siang begini.""Oh begitu," balas Suci, mencoba menyembunyikan rasa lega yang menggelayut di hatinya.Sejak ia resmi menikah siri dengan Alex dia minggu lalu, hidup Suci terasa seperti berjalan di atas bara. Perasaan bersalah terus menghantui, terlebih saat ia tahu harus tinggal seatap dengan keluarga Alex. Namun, yang mengejutkannya, Alex lebih sering tidur di kamarnya daripada di kamar Aini. Keadaan ini membuatnya bertanya-tanya, tapi ia memilih untuk tidak memperlihatkan kebingungannya di depan mertuanya."Intan sa
Langit Jakarta mulai menggelap saat Dhuha memacu langkahnya menuju apartemen. Napasnya memburu, sebagian karena tergesa-gesa, sebagian lagi karena pikirannya yang terus bergulat. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kantor dan menerima pesan singkat dari mamanya dan telepon dari Aini. Kabar mamanya yang berkunjung ke apartemennya, tentu saja membuatnya syok. Apalagi sang Mama terang-terangan mengusir Aini. Ia tidak akan membiarkan wanita yang ia cintai, yang saat ini sedang tidak baik-baik saja, malah pergi darinya. Ketika pintu apartemen terbuka, aroma lavender dari diffuser menyambutnya, tapi tidak mampu mengurangi ketegangan di udara. Di ruang tamu, Bu Maria duduk di sofa, tubuhnya tegak dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya yang biasanya lembut kini murung, dengan tatapan tajam mengarah pada Dhuha.“Dhuha, kamu sudah benar-benar tidak mendengarkan Mama lagi, ya?” Suaranya dingin, langsung menusuk ke inti pembicaraan sebelum Dhuha sempat melepas sepatu.Dhuha menelan lud
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.