"Alya, udah." Aku mencoba meraih ponsel itu dari tangannya. "Tapi saya mau lihat. Buka, dong." Dia mulai mendesak dan aku pun mulai terdesak saat dia meraih jemariku. Mengarahkan jariku ke touch pad. Satu persatu. "Ck sssh," decakku lirih karena dia sedikit keras kepala kali ini. Aku mengambil ponsel itu, kemudian mengikuti keinginannya. Setelah mendapatkan apa yang dimau dia menjauh dan berjalan menuju sofa di sudut ruangan. Perlahan aku mengikutinya. Dia menatapku yang baru saja duduk di sisinya kini. "Bapak, emm ... maksudnya ... Mas udah hapus videonya waktu itu kan?" tanyanya pelan, ia menatap penuh selidik. Ia sudah meletakkan ponselku di meja. Kulihat jelas garis kecewa di sana. Aku mengangguk. Ragu sebenarnya. "Terus, kenapa ini mereka pada ngomongin video?" tanyanya penuh selidik. Matanya berkaca-kaca. Jelas ada yang mengembun di sana. Aku bergeming. Tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku pun masih bingung, bagaimana video rekaman itu masih ada. "Ya ampun ..., in
"Sudah puas kamu sekarang, Ki?"Akhirnya aku menemukan Kinan di rumah. Dia sedang asyik dengan ponselnya saat aku masuk ke kamar. Dia menoleh. Menatap datar, tanpa ekspresi. Namun, setelah membuang tatapan dariku dia tersenyum mengejek. Dia berdiri setelah meletakkan ponsel di atas springbed."Akhirnya kita ketemu juga, Mas. Setelah sekian lama, ya." Dia berucap lembut. Seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Ah, bisa-bisanya. Setelah apa yang dia lakukan dia dan semuanya terjadi dia bisa bersikap normal. Menyebalkan, bukan? "Kenapa kamu lakuin ini, Ki? Segitu dendamnya kamu sama aku sampe tega menghancurkan sesuatu yang aku bangun bertahun-tahun?" Aku mulai naik pitam meski masih belum dengan nada tinggi. Hanya memberi tekanan yang lebih pada suara."Aku?" Dia mengerutkan dahi. Tangannya bersedekap, matanya menatap lekat padaku meski bukan dengan tatapan ta jam. Namun, lebih pada tatapan yang mengandung sarkas untukku. Miris. Ini wanita yang kucinta dan damba selama bertahun-
Aku melirik ponsel yang sejak tadi sunyi. Belum ada tanda-tanda jika Pak Kaivan ... ah, maksudku Mas Kaivan menghubungi. Ah, kenapa susah sekali mengubah panggilan itu. Jika boleh jujur, aku lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan Pak. Terserah orang mau bilang apa. Namun, jika yang disematkan panggilan itu keberatan, sepertinya aku memang harus mulai membiasakan diri. Pria itu terakhir menghubungiku sejak tiga hari yang lalu. Saat dia mengabari baru sampai di kota metropolis itu. Iya, aku tahu dia sibuk menyelesaikan masalahnya.Aku terkesiap saat bahuku terasa disentuh. Saking terkejutnya, bayi Rayyan yang kudekap dan sandarkan di depan dada nyaris terlepas jika Mama tak segera menangkapnya. "Alya!" Suara Mama refleks menegurku.Aku gelagapan. Rasa bersalah mendadak menyergap. "Kamu melamun? Mikirin apa sih?" tanya Mama. Rayyan sudah berpindah dalam dekapannya. Dia menepuk-nepuk punggung Rayya pelan. Ternyata bayiku sudah tertidur, entah sejak kapan. "Maaf, Ma," ucapku pelan.
Aku meletakkan Rayyan yang baru selesai menyusu di box-nya, dengan hati-hati membenahi selimut kecil yang melilit tubuh mungilnya. Namun, aku berjingkat saat ada tangan lain ikut menyentuh selimut. Saking terkejutnya, aku memegang da da, memastikan jantung masih aman berada di tempatnya. Detik berikutnya, aroma maskulin yang sama dan tak asing menyapa indera penciuman. Aku menoleh. Seulas senyum yang beberapa hari ini kurindukan terukir di sana. Namun, wajahnya sedikit kusam dengan lingkaran hitam yang sedikit samar di kelopak matanya. "Pak?"Dia mengerutkan dahi, ekspresinya sedikit berubah, membuatku menyadari sebuah kesalahan."Ehm, Mas ...." Dia lalu meraih bahuku, merangkul, kemudian membawa kepalaku ke dada bidangnya. Membuatku lebih leluasa menghirup aroma parfumnya."Katanya pulang besok?" tanyaku. Karena di video call kemarin dia bilang lusa pulang. Berarti seharusnya besok. Apa aku yang salah hitung hari?"Nggak sabar nunggu besok." Dia menjawab. Aku bergeming sesaat, ke
Tidak ada pilihan lain kecuali pasrah. Meski canggung cukup menguasai, tetapi dia memang benar. Tentu saja aku tidak ingin dia beranggapan jika aku tidak menganggapnya suami.Pria itu membiarkanku fokus memberikan ASI pada Rayyan hingga makhluk mungil itu tertidur lagi."Alya," serunya pelan tepat di dekat telingaku. Ya Tuhan, tidak bisakah dia mengendalikan sikapnya. Setidaknya diam dan lihat saja, tak perlu melakukan apa pun yang membuat tubuh terasa panas dingin aspas ini. Aku hanya menoleh sesaat, kemudian kembali fokus pada Rayyan. "Selama pisah kemarin, apa kamu pernah merindukan aku?" Aku menelan ludah dengan susah payah. Kaivan Satria Aksa yang sebelumnya hanya berbicara seperlunya kenapa makin hari makin banyak bicara hal random?Aku menoleh. Bertemu pandang dengan mata beningnya yang sudah lebih segar daripada saat dia baru saja sampai tadi. Dia tampak menanti jawaban. "Saya lagi nggak fokus untuk menjawab pertanyaan seperti itu, Pak." Aku seperti kehilangan kemampuan
"Mama ke Jakarta, Mas? Kapan berangkatnya? Kenapa mendadak?" tanyaku setelah pria itu mengakhiri sambungan telepon. Baru kemarin siang kami mengobrol di sini dan berakhir menelepon putranya. Namun, memang setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Kami berdiri saling berhadapan sekarang. Wajah tegangnya sedikit berkurang setelah mendengar suaraku."Jadi, Mama nggak bilang sama kamu juga, Al?" tanyanya kemudian. Ada garis yang tak biasa dari wajahnya.Aku menggeleng pelan."Mama aneh, entah kenapa aku merasa ada yang Mama sembunyikan dari kita. Aku tahu Mama di Jakarta dari Azzam. Bahkan Mama ga bilang apa-apa." Dari suaranya aku bisa memastikan jika dia sedang kesal."Aku juga nggak enak sama Ayah dan Ibu, mereka ke sini tapi Mama malah nggak ada." Dia menambahkan lagi seraya mengerutkan dahi. "Mas Kaivan ga bilang sama Mama kalau pulang hari ini?""Udah, tapi enggak ada respons. Di telepon enggak diangkat, di-chat juga enggak dibaca.""Mungkin Mama lagi sibuk, Mas. Makanya pergi mend
Melihat Ayah yang tidak melanjutkan kelimatnya, aku pun menyahut lirih, " Yah, memang bukan ini yang Alya mau, tapi ketika takdir membawa Alya dalam kehidupan Mas Kaivan, Alya ikhlas menerima, Ayah. Alya bahagia." Aku melirik pada pria di hadapan kami. Wajahnya datar seperti biasa. "Kamu benar-benar bahagia, Nak?" tanya Ayah seraya menatapku. Aku memang melihat keraguan di sana.Kuraih tangan Ayah, lalu membawanya dalam genggaman. "Alya bahagia, Yah. Alya minta tolong selalu doain Alya, ya.""Pasti, Nak. Ayah selalu doakan untuk kebaiakan dan kebahagian kamu dunia dan akhirat. Syukurlah kalau kamu bahagia, Ayah senang mendengarnya. Tapi, kalau boleh Ayah minta, Ayah ingin sekali melihat kamu wisuda," ucap Ayah tanpa keraguan.Aku tak menjawab. Hanya mengangguk kecil, ragu sebenarnya.***Sentuhan lembut singgah di bahu ketika aku tengah meng-ASI-hi baby Rayyan. Sudah bisa ditebak itu siapa. Ya, tentu saja ayah si bayi.Tak butuh waktu lama, sentuhan itu berubah menjadi pijatan lembu
"Pak, saya--saya nggak bisa melanjutkan skripsi itu. Maksudnya ... ya udahlah, buat apa? Saya ...." Aku kehabisan kata untuk melanjutkan kalimat. Ia meremas jemariku yang dalam genggamannya."Ayolah, Al. Sedikit lagi. Tinggal selangkah lagi, bukankah skripsimu sudah di tahap akhir. Hanya tinggal revisi saja, kan? Aku yakin kamu bisa. Kamu jangan khawatir, gak ada lagi orang yang akan mengganggumu. Aku janji." Dia berusaha menyakinkan. Ya, dia benar. Skripsiku memang sudah di tahap revisi akhir. Malam itu harusnya menjadi bimbingan akhir. Setelah acc, aku bisa langsung mengajukan ujian skripsi. Aku mengusap wajah dengan kasar. "Sa--saya takut, Pak.""Tenang, Al. Seperti yang aku bilang tadi, tidak akan ada yang mengganggumu lagi. Percayalah. Aku janji." Dia benar-benar tidak menyerah dan tidak akan membiarkanku menyerah. "Setidaknya jangan biarkan Ayah-Ibu kecewa. Jangan biarkan waktu tiga tahun yang sudah kamu lewati sampai di titik ini sia-sia hanya karena satu hari."Aku kembal
Pov KaivanKamar sudah gelap saat aku sampai di sana. Hanya menyisakan lampu tidur, hanya cahaya remang-remang. Aku menyingkirkan dua koper yang tadi sudah kuisi pakaian kami. Kemudian meletakkannya di sisi kiri lemari. Kulihat Alya tengah berbaring miring, menghadap pada bayi Rayyan yang tengah menyerap nutrisi dari tubuhnya. Perlahan aku duduk di tepi ranjang. Ragu, aku menyentuh bahunya pelan. Berharap tidak ada lagi penolakan.Saat tak ada respons penolakan, aku melanjutkan dengan pijatan kecil di bahunya. Dia masih bergeming. Aku pun juga. Tidak tahu bahasa apa yang harus kucipta. Sampai akhirnya Rayyan melepas tautannya dan kembali tertidur, kami masih dikuasai kesunyian.Aku berinisiatif untuk mengambil Rayyan dari sana, kemudian memindahkan box khusus untuknya. Rayyan biasanya akana tidur lebih nyenyak bila di sana. Aku kembali pada Alya yang masih berada di posisi yang sama. Aku menghela napas dalam."Al." Pelan suara menyerukan namanya. Dia tak beringsut sedikit pun.Ak
PoV Kaivan.Dengan langkah berat aku meninggalkan Alya yang masih terpaku dalam diam. Sekali lagi aku menoleh, berharap dia mengurungkan niat untuk mengusirku."Tidak apa-apa, Kai. Dia hanya mengusirmu dari kamar, bukan dari kehidupannya." Aku mencoba menghibur hati sendiri.Mama berdiri di depan pintu saat aku sampai di luar. Aku melengos, melewati wanita yang talah melahirkanku itu tanpa berkata apa pun. "Kai, gimana Alya?" tanya Mama menyejajarkan langkah denganku. Aku bergeming tak ingin mencipta sepatah kata pun. "Kai, kamu dengar Mama gak sih?“ desaknya kemudian.Akan tetapi, aku masih setia bergeming. Hanya terus melangkah tanpa tujuan. Akhirnya aku pun sampai di pintu samping rumah yang langsung menghadap pada koleksi tanaman hias milik Mama. Malam ini tampak cerah dengan taburan bintang mewarnai langit. Berbanding terbalik dengan hatiku sekarang."Kai." Sentuhan lembut mendarat di bahuku. Aku tak ingin menyahut atau menanggapi. "Alya maafin Mama kan, Kai?" tanyanya lirih
POV ALYA"Maaf, Nak. Mama tidak berniat untuk merusak mimpi dan kehidupanmu, Sayang."Setelah mendengar kalimat itu bulu kudukku serasa meremang. "Maksud Mama apa?" tanyaku pelan tapi cepat."Mama ... Mama yang merencanakan semua. Pertemuanmu dengan Kaivan, semua Mama yang atur. Kejadian di hotel antara kamu dan Kai,... itu semua ...." Mama menghela napas dalam, kemudian melanjutkan bicara. "Itu semua Mama yang atur."Aku melepaskannya genggaman tangan Mama. Aku mencoba mencerna kata demi kata yang terucap dari bibir wanita paruh baya itu. Aku berdiri. Apa dia bilang tadi? Apakah itu artinya Mama yang ada di balik kesalahan yang terjadi di antara kami. Mama yang berada di belakang Pak Arga? Jadi, persaingan antara Pak Arga dan Pak ... ah maksudku Mas Kaivan itu hanya kamuflase. Yang sebenarnya ada adalah ambisius Mama yang ingin memiliki cucu?"Kenapa Alya, Ma?" tanyaku pelan, "Apa Alya pernah melakukan kesalahan?"Mama menggeleng."Karena kamu punya kualitas menantu yang Mama ingin
PoV KaivanHari ini Mama telepon minta dijemput di Bandara. Karena tak sabar ingin mengkonfirmasi Mama tentang hubungannya dengan Arga, aku tak menunda waktu saat Mama mengirim pesan.Tanpa sadar aku mengabaikan Alya yang tak kutahu tadi mengatakan apa saat terakhir kali sebelum aku meninggalkan rumah."Kamu kenapa sih, Kai? Dari tadi diem aja. Kamu marah sama Mama?" tanya Mama karena aku memang sejak tadi aku tak membuka suara. Aku bergeming. Tetap menatap ke depan seolah sedang benar-benar fokus mengemudi."Kai!" Mama sedikit membentak karena tak mendapatkan tanggapan dariku. "Mama kenapa bebasin Arga?" ucapku tanpa basa-basi.Kulirik sekilas pada Mama. Dia mengerutkan dahi."Maksud kamu?" tanyanya seolah tidak paham apa yang kukatakan. Namun, aku yakin Mama hanya pura-pura tidak paham."Mama paham maksudku," jawabku kemudian."Mama menatapku lekat, aku bisa memastikan itu hanya dengan lirikan kecil aja." Kamu mata-matain Mama?" tanya kemudian. Bagiku pertanyaannya sekaligus sek
Setelah berkata begitu, dia kemudian membuka lemari. Mengambil beberapa lembar pakaian miliknya dan milikku lalu memasukkannya ke dalam koper. Dia kemudian membuka lemari kecil milik Rayyan, mengambil pakaian mungil secara keseluruhan dan memasukkan ke dalam tas yang lain. Aku hanya berdiam diri, tak bergerak sedikit pun. Lebih tepatnya aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Pintu kamar diketuk dua kali, aku beranjak membuka pintu. Sementara pria itu masih sibuk membereskan isi koper. "Kai." Suara itu penuh getar hebat. Aku terpaku, melihat mama mertua melangkah setengah berlari mendekati sang putra. "Tolong, Kai. Maafkan Mama kali ini. Mama punya alasan melakukan itu semua." Mama berusaha meraih tangan pria itu yang masih sibuk. "Kai, kamu dengar Mama, Nak?" Mama kembali bersuara karena tidak ada resposn dari putranya. Pria yang berstatus suamiku itu, menghentikan aktifitasnya. "Kapan saya nggak dengarin Mama. Tolong kasih tahu Kai, k
Hai, dia kenapa? Apa aku salah bicara? Panik, aku mengejarnya keluar?"Pak ... eh, Mas!"Saat aku sampai di luar kamar, dia sudah menuju pintu keluar. Cepat sekali dia, langkahku tidak bisa mengimbangi. Saat aku sampai di pintu keluar, mobilnya sudah keluar dari gerbang.Ada perasaan tak nyaman, saat dia tiba-tiba pergi dalam keadaan seperti itu. Apa dia benar-benar marah? Dia yang memang sedang sensitif, atau aku yang keterlaluan. Entahlah.Aku kembali melangkah masuk untuk dengan perasaan yang tak canggung. Rasanya ada yang aneh. Aku menunggu dengan gelisah kepulangannya. Dia baru kembali Setelah hampir dua jam meninggalkan rumah.Aku refleks menghampirinya. Baru ingin membuka mulut untuk bertanya, Mama mertuaku muncul tak jauh di belakangnya. Pria itu masuk begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Langkahnya seperti membawa beban berat di sana. Semoga ini hanya perasaanku saja."Kai, dengarin Mama dulu, dong! Jangan seperti anak kecil, dong." Itu suara Mama.Benar saja. Ini pertanda
"Pak, saya--saya nggak bisa melanjutkan skripsi itu. Maksudnya ... ya udahlah, buat apa? Saya ...." Aku kehabisan kata untuk melanjutkan kalimat. Ia meremas jemariku yang dalam genggamannya."Ayolah, Al. Sedikit lagi. Tinggal selangkah lagi, bukankah skripsimu sudah di tahap akhir. Hanya tinggal revisi saja, kan? Aku yakin kamu bisa. Kamu jangan khawatir, gak ada lagi orang yang akan mengganggumu. Aku janji." Dia berusaha menyakinkan. Ya, dia benar. Skripsiku memang sudah di tahap revisi akhir. Malam itu harusnya menjadi bimbingan akhir. Setelah acc, aku bisa langsung mengajukan ujian skripsi. Aku mengusap wajah dengan kasar. "Sa--saya takut, Pak.""Tenang, Al. Seperti yang aku bilang tadi, tidak akan ada yang mengganggumu lagi. Percayalah. Aku janji." Dia benar-benar tidak menyerah dan tidak akan membiarkanku menyerah. "Setidaknya jangan biarkan Ayah-Ibu kecewa. Jangan biarkan waktu tiga tahun yang sudah kamu lewati sampai di titik ini sia-sia hanya karena satu hari."Aku kembal
Melihat Ayah yang tidak melanjutkan kelimatnya, aku pun menyahut lirih, " Yah, memang bukan ini yang Alya mau, tapi ketika takdir membawa Alya dalam kehidupan Mas Kaivan, Alya ikhlas menerima, Ayah. Alya bahagia." Aku melirik pada pria di hadapan kami. Wajahnya datar seperti biasa. "Kamu benar-benar bahagia, Nak?" tanya Ayah seraya menatapku. Aku memang melihat keraguan di sana.Kuraih tangan Ayah, lalu membawanya dalam genggaman. "Alya bahagia, Yah. Alya minta tolong selalu doain Alya, ya.""Pasti, Nak. Ayah selalu doakan untuk kebaiakan dan kebahagian kamu dunia dan akhirat. Syukurlah kalau kamu bahagia, Ayah senang mendengarnya. Tapi, kalau boleh Ayah minta, Ayah ingin sekali melihat kamu wisuda," ucap Ayah tanpa keraguan.Aku tak menjawab. Hanya mengangguk kecil, ragu sebenarnya.***Sentuhan lembut singgah di bahu ketika aku tengah meng-ASI-hi baby Rayyan. Sudah bisa ditebak itu siapa. Ya, tentu saja ayah si bayi.Tak butuh waktu lama, sentuhan itu berubah menjadi pijatan lembu
"Mama ke Jakarta, Mas? Kapan berangkatnya? Kenapa mendadak?" tanyaku setelah pria itu mengakhiri sambungan telepon. Baru kemarin siang kami mengobrol di sini dan berakhir menelepon putranya. Namun, memang setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Kami berdiri saling berhadapan sekarang. Wajah tegangnya sedikit berkurang setelah mendengar suaraku."Jadi, Mama nggak bilang sama kamu juga, Al?" tanyanya kemudian. Ada garis yang tak biasa dari wajahnya.Aku menggeleng pelan."Mama aneh, entah kenapa aku merasa ada yang Mama sembunyikan dari kita. Aku tahu Mama di Jakarta dari Azzam. Bahkan Mama ga bilang apa-apa." Dari suaranya aku bisa memastikan jika dia sedang kesal."Aku juga nggak enak sama Ayah dan Ibu, mereka ke sini tapi Mama malah nggak ada." Dia menambahkan lagi seraya mengerutkan dahi. "Mas Kaivan ga bilang sama Mama kalau pulang hari ini?""Udah, tapi enggak ada respons. Di telepon enggak diangkat, di-chat juga enggak dibaca.""Mungkin Mama lagi sibuk, Mas. Makanya pergi mend