"Mama ke Jakarta, Mas? Kapan berangkatnya? Kenapa mendadak?" tanyaku setelah pria itu mengakhiri sambungan telepon. Baru kemarin siang kami mengobrol di sini dan berakhir menelepon putranya. Namun, memang setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Kami berdiri saling berhadapan sekarang. Wajah tegangnya sedikit berkurang setelah mendengar suaraku."Jadi, Mama nggak bilang sama kamu juga, Al?" tanyanya kemudian. Ada garis yang tak biasa dari wajahnya.Aku menggeleng pelan."Mama aneh, entah kenapa aku merasa ada yang Mama sembunyikan dari kita. Aku tahu Mama di Jakarta dari Azzam. Bahkan Mama ga bilang apa-apa." Dari suaranya aku bisa memastikan jika dia sedang kesal."Aku juga nggak enak sama Ayah dan Ibu, mereka ke sini tapi Mama malah nggak ada." Dia menambahkan lagi seraya mengerutkan dahi. "Mas Kaivan ga bilang sama Mama kalau pulang hari ini?""Udah, tapi enggak ada respons. Di telepon enggak diangkat, di-chat juga enggak dibaca.""Mungkin Mama lagi sibuk, Mas. Makanya pergi mend
Melihat Ayah yang tidak melanjutkan kelimatnya, aku pun menyahut lirih, " Yah, memang bukan ini yang Alya mau, tapi ketika takdir membawa Alya dalam kehidupan Mas Kaivan, Alya ikhlas menerima, Ayah. Alya bahagia." Aku melirik pada pria di hadapan kami. Wajahnya datar seperti biasa. "Kamu benar-benar bahagia, Nak?" tanya Ayah seraya menatapku. Aku memang melihat keraguan di sana.Kuraih tangan Ayah, lalu membawanya dalam genggaman. "Alya bahagia, Yah. Alya minta tolong selalu doain Alya, ya.""Pasti, Nak. Ayah selalu doakan untuk kebaiakan dan kebahagian kamu dunia dan akhirat. Syukurlah kalau kamu bahagia, Ayah senang mendengarnya. Tapi, kalau boleh Ayah minta, Ayah ingin sekali melihat kamu wisuda," ucap Ayah tanpa keraguan.Aku tak menjawab. Hanya mengangguk kecil, ragu sebenarnya.***Sentuhan lembut singgah di bahu ketika aku tengah meng-ASI-hi baby Rayyan. Sudah bisa ditebak itu siapa. Ya, tentu saja ayah si bayi.Tak butuh waktu lama, sentuhan itu berubah menjadi pijatan lembu
"Pak, saya--saya nggak bisa melanjutkan skripsi itu. Maksudnya ... ya udahlah, buat apa? Saya ...." Aku kehabisan kata untuk melanjutkan kalimat. Ia meremas jemariku yang dalam genggamannya."Ayolah, Al. Sedikit lagi. Tinggal selangkah lagi, bukankah skripsimu sudah di tahap akhir. Hanya tinggal revisi saja, kan? Aku yakin kamu bisa. Kamu jangan khawatir, gak ada lagi orang yang akan mengganggumu. Aku janji." Dia berusaha menyakinkan. Ya, dia benar. Skripsiku memang sudah di tahap revisi akhir. Malam itu harusnya menjadi bimbingan akhir. Setelah acc, aku bisa langsung mengajukan ujian skripsi. Aku mengusap wajah dengan kasar. "Sa--saya takut, Pak.""Tenang, Al. Seperti yang aku bilang tadi, tidak akan ada yang mengganggumu lagi. Percayalah. Aku janji." Dia benar-benar tidak menyerah dan tidak akan membiarkanku menyerah. "Setidaknya jangan biarkan Ayah-Ibu kecewa. Jangan biarkan waktu tiga tahun yang sudah kamu lewati sampai di titik ini sia-sia hanya karena satu hari."Aku kembal
Hai, dia kenapa? Apa aku salah bicara? Panik, aku mengejarnya keluar?"Pak ... eh, Mas!"Saat aku sampai di luar kamar, dia sudah menuju pintu keluar. Cepat sekali dia, langkahku tidak bisa mengimbangi. Saat aku sampai di pintu keluar, mobilnya sudah keluar dari gerbang.Ada perasaan tak nyaman, saat dia tiba-tiba pergi dalam keadaan seperti itu. Apa dia benar-benar marah? Dia yang memang sedang sensitif, atau aku yang keterlaluan. Entahlah.Aku kembali melangkah masuk untuk dengan perasaan yang tak canggung. Rasanya ada yang aneh. Aku menunggu dengan gelisah kepulangannya. Dia baru kembali Setelah hampir dua jam meninggalkan rumah.Aku refleks menghampirinya. Baru ingin membuka mulut untuk bertanya, Mama mertuaku muncul tak jauh di belakangnya. Pria itu masuk begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Langkahnya seperti membawa beban berat di sana. Semoga ini hanya perasaanku saja."Kai, dengarin Mama dulu, dong! Jangan seperti anak kecil, dong." Itu suara Mama.Benar saja. Ini pertanda
Setelah berkata begitu, dia kemudian membuka lemari. Mengambil beberapa lembar pakaian miliknya dan milikku lalu memasukkannya ke dalam koper. Dia kemudian membuka lemari kecil milik Rayyan, mengambil pakaian mungil secara keseluruhan dan memasukkan ke dalam tas yang lain. Aku hanya berdiam diri, tak bergerak sedikit pun. Lebih tepatnya aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Pintu kamar diketuk dua kali, aku beranjak membuka pintu. Sementara pria itu masih sibuk membereskan isi koper. "Kai." Suara itu penuh getar hebat. Aku terpaku, melihat mama mertua melangkah setengah berlari mendekati sang putra. "Tolong, Kai. Maafkan Mama kali ini. Mama punya alasan melakukan itu semua." Mama berusaha meraih tangan pria itu yang masih sibuk. "Kai, kamu dengar Mama, Nak?" Mama kembali bersuara karena tidak ada resposn dari putranya. Pria yang berstatus suamiku itu, menghentikan aktifitasnya. "Kapan saya nggak dengarin Mama. Tolong kasih tahu Kai, k
PoV KaivanHari ini Mama telepon minta dijemput di Bandara. Karena tak sabar ingin mengkonfirmasi Mama tentang hubungannya dengan Arga, aku tak menunda waktu saat Mama mengirim pesan.Tanpa sadar aku mengabaikan Alya yang tak kutahu tadi mengatakan apa saat terakhir kali sebelum aku meninggalkan rumah."Kamu kenapa sih, Kai? Dari tadi diem aja. Kamu marah sama Mama?" tanya Mama karena aku memang sejak tadi aku tak membuka suara. Aku bergeming. Tetap menatap ke depan seolah sedang benar-benar fokus mengemudi."Kai!" Mama sedikit membentak karena tak mendapatkan tanggapan dariku. "Mama kenapa bebasin Arga?" ucapku tanpa basa-basi.Kulirik sekilas pada Mama. Dia mengerutkan dahi."Maksud kamu?" tanyanya seolah tidak paham apa yang kukatakan. Namun, aku yakin Mama hanya pura-pura tidak paham."Mama paham maksudku," jawabku kemudian."Mama menatapku lekat, aku bisa memastikan itu hanya dengan lirikan kecil aja." Kamu mata-matain Mama?" tanya kemudian. Bagiku pertanyaannya sekaligus sek
POV ALYA"Maaf, Nak. Mama tidak berniat untuk merusak mimpi dan kehidupanmu, Sayang."Setelah mendengar kalimat itu bulu kudukku serasa meremang. "Maksud Mama apa?" tanyaku pelan tapi cepat."Mama ... Mama yang merencanakan semua. Pertemuanmu dengan Kaivan, semua Mama yang atur. Kejadian di hotel antara kamu dan Kai,... itu semua ...." Mama menghela napas dalam, kemudian melanjutkan bicara. "Itu semua Mama yang atur."Aku melepaskannya genggaman tangan Mama. Aku mencoba mencerna kata demi kata yang terucap dari bibir wanita paruh baya itu. Aku berdiri. Apa dia bilang tadi? Apakah itu artinya Mama yang ada di balik kesalahan yang terjadi di antara kami. Mama yang berada di belakang Pak Arga? Jadi, persaingan antara Pak Arga dan Pak ... ah maksudku Mas Kaivan itu hanya kamuflase. Yang sebenarnya ada adalah ambisius Mama yang ingin memiliki cucu?"Kenapa Alya, Ma?" tanyaku pelan, "Apa Alya pernah melakukan kesalahan?"Mama menggeleng."Karena kamu punya kualitas menantu yang Mama ingin
PoV Kaivan.Dengan langkah berat aku meninggalkan Alya yang masih terpaku dalam diam. Sekali lagi aku menoleh, berharap dia mengurungkan niat untuk mengusirku."Tidak apa-apa, Kai. Dia hanya mengusirmu dari kamar, bukan dari kehidupannya." Aku mencoba menghibur hati sendiri.Mama berdiri di depan pintu saat aku sampai di luar. Aku melengos, melewati wanita yang talah melahirkanku itu tanpa berkata apa pun. "Kai, gimana Alya?" tanya Mama menyejajarkan langkah denganku. Aku bergeming tak ingin mencipta sepatah kata pun. "Kai, kamu dengar Mama gak sih?“ desaknya kemudian.Akan tetapi, aku masih setia bergeming. Hanya terus melangkah tanpa tujuan. Akhirnya aku pun sampai di pintu samping rumah yang langsung menghadap pada koleksi tanaman hias milik Mama. Malam ini tampak cerah dengan taburan bintang mewarnai langit. Berbanding terbalik dengan hatiku sekarang."Kai." Sentuhan lembut mendarat di bahuku. Aku tak ingin menyahut atau menanggapi. "Alya maafin Mama kan, Kai?" tanyanya lirih
43Sebuah Kenyataan Aku bangkit perlahan, memastikan apa yang dia lakukan dengan ponselku. Sebisa mungkin aku melakukan gerakan halus agar dia tidak menyadarinya. Dan, aku berhasil. Ternyata dia membuka aplikasi chat hijau yang memang tidak banyak history chatnya. Dia membuka chat paling atas yang belum aku simpan nomornya. Itu chat dari Edo, teman sekelas yang aku temui di depan ruang ujian tadi. Aku terbelalak ketika melihat apa yang dia lakukan. Hanya butuh beberapa detik dia menekan tombol blokir kemudian menghapus history chatnya. "Kenapa dihapus, Mas?" Dia berjingkat kaget ketika mendengar suaraku. Padahal sangat pelan. Dia kemudian meletakkan ponselku begitu saja. Dia menggaruk kepalanya. Jelas sekali terlihat salah tingkah. "Ehmm, eng–enggak. Gak ada yang ...."Aku menaikkan sebelah alisku. Menatap dia dengan penuh tanda tanya seraya menunggu apa yang akan dia katakan. Jadi, in
PoV AlyaHanya selang beberapa detik, pintu kaca itu terbuka lagi. Menampilkan sosok yang sangat tak asing bagi kami.Pria itu berjalan dengan langkah tegap dan percaya diri mendekat pada kami. "Wow, ada tamu istimewa rupanya." Dia kemudian menarik kursi yang ada di seberang kami. Kemudian duduk di sana. Mendadak selera makanku hilang. Mas Kaivan pun meletakkan sendoknya sejak pria itu masuk.Aku melirik sekilas pada gelas yang berlabel logo restaurant. Kenapa aku baru menyadari jika sebenarnya logo itu tidak asing. Aku pernah melihatnya beberapa kali. Namun, aku memang kurang teliti. Sekarang aku baru menyadari, logo dengan ukiran estetik itu ternyata membentuk nama Shelomita.Pantas saja Mas Kaivan awalnya menolak untuk makan di sini. Ah, seharusnya tadi aku mengerti. Dan, kalian pasti sudah bisa menebak siapa pria di hadapan kami ini. Tepat sekali, dia adalah Argadinata Adijaya. Mantan pembimbing skripsiku."Bebaskan tagihan untuk semua menu di meja ini. Kalian tidak lupa, ’kan ka
41PoV AlyaAkhirnya ujian skripsi berjalan lancar. Aku lulus dengan predikat yang cukup memuaskan. Namun, entah kenapa muka mantan Pak Dosen biasa saja. Tidak seantusias seperti yang kubayang—setidaknya seantusias saat dia menyuruhku melanjutkan skripsi. Dia bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun.Aku pun tidak ambil pusing. "Mas, laper gak? Makan yuk," Ajakku saat kami sudah di dalam mobil dan meninggalkan kampus.Dia mengangguk. Kemudian mulai melajukan kemudinya. Masih dengan wajar dan sok dingin. Seperti kembali ke setelan awal saat kami belum saling mengenal apalagi menikah."Mas, kenapa sih? Cemberut terus?" tanyaku akhirnya karena tidak tahan melihat muka seperti triplek. Kaku dan datar.Dia menoleh sesaat, kemudian berkata, "Gak apa-apa?"Aku menghela napas kesal. "Kayak gak ada seneng-senengnya aku lulus. Kemarin aja ngotot banget aku lanjut ngurus," ucapku kesal."Aku seneng kok."Aku melengos. Akhirnya memilih diam. Dasar aneh memang si bapak satu ini. Susah banget neb
"Di hari Mama dimakamkan aku lihat Pak Arga di makam Mama," ucapku akhirnya setelah dua pekan kepergian Mama. Aku masih nyaman menyadarkan kepala di dadanya. Tangannya yang sejak tadi mengelus bahuku yang polos terhenti sejenak setelah mendengar ucapanku. Matanya yang tadi menatap langit-langit kini menatapku lekat.“Kamu serius, Sayang? Gak salah lihat, kan?""Aku bahkan sempat berbicara dengan dia untuk memastikan kalau aku gak berkhayal." Aku menjawab jujur. "Kok aku gak lihat? Dia di mana?"Aku menghela napas. "Maaf, Mas. Sebenarnya waktu aku bilang pin jilbab yang jatuh, aku bohong," ucapku lirih, merasa bersalah. Aku lalu menceritakan semua rangkaian kejadian saat itu tanpa ada yang ditutupi."Kenapa baru bilang sekarang?" tanyanya kemudian."Aku takut kalau setelah aku cerita malah jadi beban pikiran kamu, Mas." Aku memberi alasan. “Aku yakin hubungan Arga dan Mama tidak sesederhana yang aku kira. Kalau enggak, buat apa Mama memberikan restoran dan butiknya untuk Arga secar
PoV Alya"Apa karena aku belum bisa memberimu hak sebagai suami, makanya Mas mau aja dipeluk-peluk dia seperti itu?" Entah bisikan dari mana aku bisa meluncurkan kalimat itu. Mendadak aku merasakan hawa yang tak biasa.Dia bergeming, menatap datar padaku. Entah apa yang dia pikirkan. Tak sanggup untuk terus saling menatap, aku membuang pandang ke samping. "Maaf," ucapku menyingkirkan tangannya kemudian hendak beranjak. Ada sedikit sesal kenapa kalimat itu bisa kuucapkan. Tanpa dapat dikendalikan, ada yang jatuh di pelupuk mata. Dengan cepat aku menepis agar dia tak melihat.Dengan gerakan cepat dia menahanku untuk tetap duduk di hadapannya. Aku menarik napas dalam, mencoba mengembalikan semua untuk bisa normal. Namun, perasaan ini terlanjur peka."Maaf, Alya, kalau itu membuat–""Masih ada waktu, Mas," selaku kemudian.Dia mengerutkan dahi."Waktu untuk apa?""Untuk memilih. Awal pernikahan ini bukankah karena Mama? Sekarang Mama udah gak ada, sebelumnya semua terlanjur ...." Sebelum
Aku masih menatap datar tanpa suara pada suamiku saat akhirnya dia menyadari kehadiranku. Dia buru-buru menjauhkan wajah perempuan bergelar dokter itu dari dadanya. Ya, dia adalah Dokter Kaira. Wanita yang kukenal sebagai saudara sepupu suamiku. Ingat kan, kami pernah bertemu beberapa kali. Dia juga yang merawatku saat aku baru ditemukan oleh Mama setelah beberapa hari disekap Kinan.Akan tetapi, kenapa sekarang dia tampak berbeda. Saat akhirnya mata kami beremu, dia tak terlihat seramah biasanya. Entahlah, semoga hanya perasaanku saja—yang kini memang tengah dikuasai oleh rasa sesuatu yang membakar. Mereka hanya saudara sepupu, bukan saudara sekandung. Apa harus saling memeluk begitu?"Hai, Alya. Seneng bisa ketemu lagi. Gimana kabarnya?" Wanita itu bersuara. Kini sudah berdiri di hadapanku."Alhamdulillah," jawabku pelan tanpa senyum tipis pun. Ada yang membuatku tak mampu tersenyum di dalam sana. "Maaf, kalau ganggu. Silakan lanjutkan," ucapku kemudian sambil berlalu meninggalkan
Tanpa rasa ragu dan takut, aku mendekat. Berdiri dalam jarak sekitar tiga meter. Memastikan jika orang yang kulihat adalah orang yang ada di pikiranku saat ini."Pak Arga? Ngapain di makam Mama? Ada hubungan apa Pak Arga dengan mertua saya?"Pria itu menoleh seketika. Dia mengerutkan dahi dan menatapku datar, kemudian memicing. Ekspresi yang sangat kubenci dan mengingatku pada satu hari."Anak kecil tak perlu tahu urusan orang dewasa." Dia berkata dengan nada mengejek. "Apalagi yang ingin kamu cari, bukannya kamu sudah bahagia dengan pecundang itu karena saya?"Aku speechless mendengar kalimatnya. Dia jauh-jauh dari Jakarta untuk menghadiri pemakaman Mama kupikir sudah berubah. Meski dari samping, aku tadinbisa melihat wajahnya yang menyiratkan sebuah rasa kehilangan yang sama. Namun, sepertinya aku salah, dia masih saja sombong.Daripada menanggapinya, aku memilih memutar tubuh untuk pulang. Setidaknya rasa penasaranku sudah terjawab jika aku tadi bukan sedang berkhayal melihat pria
Pov AlyaSaat pintu terbuka, Mama terlihat tergeletak di lantai. Wanita paruh baya itu sudah tak sadarkan diri. Entah sejak kapan. "Alya, tetap di rumah jaga Rayyan. Aku bawa Mama ke rumah sakit," ucap Mas Kaivan cepat, kemudian segera mengangkat tubuh Mama. Gurat kecemasan jelas terlihat di sana. Aku tak pernah melihat dia secemas ini. Bahkan ketika mendapati kami terjebak di kamar hotel setahun lalu. Aku tak mampu menjawab dengan suara. Hanya anggukan kecil yang mampu kulakukan. Namun, aku masih ikut berlari mengikuti suamiku yang tergopoh-gopoh membawa Mama ke mobil. Setelah Mama berhasil dimasukkan ke mobil. Mbak Shanti ikut duduk di belakang menjaga Mama. Sementara Mas Kaivan segera menuju belakang kemudi, setelah menyentuh bahuku sesaat. Tanpa kata, tetapi mata itu seakan mengatakan banyak bahasa.***Matanya menggambarkan sebuah penyesalan mendalam yang tak pernah bisa diungkapkan. Layu dan kelabu, seakan tak memiliki daya dan warna. Itu yang kulihat ketika Mas Kaivan pulan
Pov AlyaAku yang tadi ingin mengejar Mbak Shanti akhirnya urung karena tangis Rayyan terdengar lagi. Aku pun bergegas menuju kamar. Rayyan menangis karena memang sudah waktunya ngASI. Sementara papanya pamit untuk sarapan karena tadi dia belum sempat menyantap sarapan.Baiklah, terpaksa aku menunda kesempatan untuk bicara tentang sikapnya pada Mama. Setidaknya emosinya sudah lebih baik ketimbang kemarin yang tiba-tiba mengajakku pergi meninggalkan Mama. "Mas, ke Jakarta-nya emangnya gak bisa ditunda?" tanyaku begitu dia menghampiri yang duduk ayunan rotan yang ada di teras samping sambil berjemur bersama Rayyan.“Memang kenapa? Kalau kamu mau ikut, aku bisa tunda beberapa hari," tawarnya kemudian, “kalau enggak, aku gak mau masalah ini berlarut-larut aja." "Bukan gitu juga. Setidaknya Mas jangan bersikap seperti itu sama Mama kalau mau pergi." Aku langsung pada pembahasan. Dia yang duduk tak jauh dariku menatap datar."Mama itu sedih banget lihat kamu seperti itu, Mas. Gimana kala