Pertanyaan itu membuat Livy terdiam dan bingung. Apa maksudnya dengan "begitu ingin meninggalkannya"? Kalau Livy tidak ingin pergi, apakah dia bisa benar-benar bertahan di sisi Preston?Pada akhirnya, Preston tidak pernah menjadi miliknya.Sylvia sedang dalam proses pemulihan dan begitu dia benar-benar sembuh, Livy pasti akan disingkirkan. Entah kapan, Preston akan mengajukan perceraian. Livy hanya ingin menyiapkan jalan keluar untuk dirinya sendiri setelah pernikahan ini berakhir."Nggak dengar?" Dagu Livy tiba-tiba diangkat paksa, memaksanya menatap langsung ke dalam mata Preston.Dalam tekanan seperti itu, dia hanya bisa berbisik pelan dan balik bertanya, "Jadi ... Sayang, kamu nggak akan menceraikanku? Apakah kita akan terus seperti ini selamanya?"Setelah Livy berkata demikian, tatapan Preston berubah dingin. Cengkeramannya di dagu Livy sedikit menguat, seolah menahan sesuatu. Namun, hanya dalam hitungan detik, dia tiba-tiba melepaskannya."Nggak perlu dibahas. Tidurlah." Nada bic
Livy butuh kesempatan ini untuk menambah pengalamannya dan memperkuat resume-nya. Seperti yang diduga, setelah mendengar kata-kata itu, ekspresi Sherly berubah sedikit kaku."Livy, aku cuma memikirkan kesehatanmu," katanya dengan nada yang lebih datar. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin ikutan, jangan salahkan aku kalau terjadi sesuatu nanti."Mendengar perkataannya, Livy merasa agak lega. Dia juga tidak ingin memperburuk hubungan dengan Sherly, jadi dia segera berkata dengan sopan, "Terima kasih, Bu Sherly!"Begitu kembali ke mejanya, Ivana segera mengiriminya rencana awal proyek. Tak lama kemudian, pembagian tugas diumumkan."Livy, begini," kata Sherly mendatanginya. "Jadwal kerja sudah disusun sebelumnya. Aku nggak nyangka kamu akan ikut, jadi sementara ini, satu-satunya posisi yang tersisa adalah tugas lapangan. Kalau kamu nggak keberatan, aku akan menugaskanmu ke sana."Nada bicaranya terdengar seolah sedang berunding. Namun, Livy tahu bahwa ini bukan tawaran pilihan. Dia tidak pu
Sebelum Livy melangkah lebih jauh, resepsionis itu mengernyit sambil berteriak dengan panik, "Satpam, cepat hentikan wanita ini!"Tak lama kemudian, seorang satpam langsung menghalangi jalan Livy. Dia buru-buru menjelaskan dengan cemas, "Aku sekretaris dari Grup Sandiaga. Aku datang untuk mengantar dokumen. Ada dokumen yang sangat penting yang harus ditandatangani oleh Pak Rayn!"Dua satpam itu sama sekali tidak menggubris perkataannya. Mereka hanya berdiri di hadapannya seperti gunung yang kokoh. Livy mulai gelisah dan ingin menerobos masuk.Namun, perbedaan kekuatan antara pria dan wanita terlalu besar. Salah satu satpam di sisi kiri langsung menahan bahu Livy karena melihatnya menolak untuk mundur.Dalam sekejap, rasa sakit menjalar hingga membuat mata Livy berkaca-kaca."Lebih baik kamu pergi dari sini. Kalau nggak, aku akan memanggil polisi!" Satpam itu menatapnya dengan ekspresi dingin."Aku ...." Livy masih ingin menjelaskan."Ada apa ini?" Suara yang familier terdengar dari ara
Seth yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti dan membuka pintu ruang rapat. Livy mengikutinya masuk dan segera menyerahkan dokumen itu.Tanpa terlalu memperhatikan, Seth membolak-balikkan dokumen itu, lalu menatap Livy dengan sorot mata penuh arti. "Aku nggak tahu Ryan punya teman perempuan."Ryan berdeham pelan. "Ceritanya panjang. Kak, cepat tandatangani dokumen itu. Aku mau ajak Livy makan nanti. Kebetulan, kami bertemu hari ini."Seth berdecak. "Enak saja! Aku belum menyelesaikan urusan denganmu. Jadi, kamu merasa kamu nggak bisa kabur lagi karena aku sudah kembali ke negara ini, makanya kamu datang sendiri untuk berdamai?"Ryan hanya bisa pasrah, menerima takdirnya sebagai asisten sementara. Dia menuangkan teh untuk mereka berdua, lalu menghela napas. "Kak, kamu ini kakakku. Kita sudah lama nggak ketemu. Apa aku nggak boleh datang menemuimu?""Semoga memang begitu." Seth menarik kembali tatapannya.Livy mendengar percakapan mereka dalam diam, merasa suasana di ruangan ini begitu
Dengan membawa dokumen, Livy buru-buru naik MRT. Saat hampir sampai, telepon dari Sherly masuk.Dari suara bising yang terdengar di ujung telepon, sepertinya dia sedang berada di tempat hiburan. Musiknya sangat keras. "Livy, apa dokumennya sudah ditandatangani oleh Pak Seth?""Sudah, Bu. Aku sebentar lagi sampai di kantor. Nanti dokumennya akan kuserahkan kepadamu." Livy melirik informasi pemberhentian dan segera turun dari MRT."Oh, nggak perlu buru-buru lagi. Maaf ya, tadi aku terlalu sibuk sampai lupa kasih tahu. Bagian bisnis belum mengejar progresnya, jadi dokumen ini kamu simpan saja dulu. Besok saja baru diserahkan kepadaku."Nada suara Sherly terdengar seperti permintaan maaf, tetapi sama sekali tidak ada kesan menyesal di dalamnya.Hati Livy semakin dipenuhi kekesalan. Dia menggenggam ponselnya erat-erat, lalu bertanya dengan hati-hati, "Bu, apa akhir-akhir ini aku melakukan sesuatu yang membuatmu nggak senang?""Mana mungkin? Jangan pikir macam-macam. Ini memang kesalahanku.
Besok sore ....Kalau begitu, selain waktu makan siang, masih ada sekitar dua jam tersisa. Livy hanya bisa menyetujuinya.Setelah selesai mengeringkan rambutnya, Livy berjalan ke kamar Preston. Karena tidak membawa laptop pulang, dia hanya bisa meminjam laptop Preston jika ingin bekerja sekarang.Setelah mengirim pesan kepada Preston, Livy membaca dokumen melalui tabletnya. Namun, sampai sekarang Preston masih belum membalasnya sehingga Livy terpaksa menelepon.Nada sibuk terdengar cukup lama. Tiba-tiba, terdengar suara dari ujung telepon dan dari belakang. "Kenapa berdiri di depan ruang kerjaku?"Livy terkejut dan segera berbalik. Preston sudah berdiri di tangga lantai dua. Dia kaget dan refleks memegang dadanya, lalu buru-buru menjelaskan, "Sayang, aku boleh pinjam laptopmu nggak? Aku harus kerja sebentar.""Hm." Preston membuka pintu ruang kerjanya. "Kata sandinya PS1230."PS? Livy terdiam sejenak. Apakah itu singkatan dari Preston dan Sylvia?Tangan Livy terkepal, tetapi dia tetap
Pria di hadapannya melirik Livy sekilas, lalu menyahut dengan tenang, "Sebagai seorang atasan, bukankah sudah seharusnya peduli pada karyawannya?"Perasaan senang yang sempat muncul di hati Livy langsung sirna. Dia hanya mengiakan dengan setengah hati, "Hm.""Memang kerjaanku agak banyak, tapi Bu Sherly bilang nanti komisi yang kudapat juga akan lebih besar.""Komisi sebanyak apa pun, jangan sampai nggak cukup untuk membayar biaya rumah sakit nanti," ujar Preston dengan nada sedingin es.Livy tidak bisa berkata apa-apa. Meskipun latar belakang Preston cukup rumit, dia tetap tumbuh dalam lingkungan penuh kemewahan dan tidak perlu khawatir soal uang.Namun, Livy berbeda. Kalau bukan karena beruntung dan bertemu Preston, mungkin biaya operasi dan rawat inap neneknya pun tidak akan bisa dibayar.Jadi, uang sangat penting baginya, sekalipun itu berarti harus mengorbankan tubuhnya sendiri.Melihat Livy yang diam saja, Preston juga tidak melanjutkan pembicaraan. Dia hanya berbalik dan pergi m
"Kamu pasti tahu presentasi seperti apa yang lebih baik. Sayang, kamu sangat hebat. Kamu cuma butuh beberapa menit saja untuk mengajari pegawaimu yang bodoh ini."Livy berusaha keras memuji Preston. Tak ada pilihan lain. Karena sedang meminta bantuan dari pria ini, dia tentu harus mengatakan beberapa kata manis."Mau aku beri jalan pintas?" Kali ini, Preston sama sekali tidak menyembunyikan senyuman. Nada suaranya bahkan sedikit meninggi. "Sudah pernah kuajarkan. Kalau butuh sesuatu dari orang lain, kamu harus memberikan sesuatu sebagai gantinya."Dasar pria ini! Telinga Livy langsung memerah. Namun, mengingat betapa pentingnya kelancaran presentasinya besok, dia hanya bisa memaksakan diri untuk "lembur" sedikit lagi malam ini.Sambil menggigit bibirnya, Livy akhirnya mengesampingkan rasa malunya. Dia lantas berjinjit dan menempelkan bibir lembutnya ke bibir tipis Preston.Setelah berkali-kali melakukannya, Livy sudah cukup memahami caranya. Sambil menggesekkan bibirnya pada Preston, t
Kemarahan Preston begitu jelas, tecermin dalam ekspresi dingin di wajahnya.Livy tertegun sejenak, lalu segera menjelaskan, "Ini semua bagian dari pekerjaanku. Aku menerima gaji, jadi sesekali lembur itu wajar."Livy bukan tipe orang yang manja. Dia tahu betapa sulitnya mencari uang saat ini. Banyak orang di luar sana yang hanya dibayar beberapa juta sebulan, tetapi tetap harus lembur setiap hari.Sementara dia, selain mendapat gaji, juga mendapat komisi proyek. Jadi, sesekali bekerja lembur bukanlah masalah besar baginya."Kamu cukup tahan banting rupanya." Preston tertawa dingin, tetapi ekspresinya justru semakin suram.Livy bingung. Dia menarik ujung kemeja Preston dengan pelan, lalu bertanya dengan nada manja, "Sayang, kamu marah lagi?"Seharusnya Livy tidak bertanya. Begitu pertanyaan itu dilontarkan, Preston sontak teringat ucapan Livy semalam. Dia sering marah, mudah sekali tersulut emosi. Sekarang, Livy kembali mengatakan bahwa dia sedang marah ...."Nggak." Tanpa berpikir panj
Setelah mengatakan itu, Xavier mengangkat ponselnya untuk memperlihatkan percakapannya dengan Preston."Aku cuma memberitahunya kalau Bu Livy ada di sini, lalu Preston langsung datang. Terlepas dari apakah dia mencintai Bu Livy atau nggak, selama bertahun-tahun aku mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihatnya begitu peduli pada seseorang.""Jangan katakan lagi ...." Sylvia menggigit bibirnya. Kedua kakinya yang baru pulih hampir tidak sanggup berdiri tegak karena pukulan kenyataan ini.Namun, Xavier belum selesai berbicara. Dia ingin Sylvia segera menyadari kenyataan ini. "Perasaan bisa berkembang seiring waktu. Setidaknya kalau Preston mau peduli pada Bu Livy, itu berarti ada kemungkinan mereka akan menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya.""Kak, hentikan!" pekik Sylvia yang agak berada di luar kendali. Dia terhuyung, berpegangan pada dinding agar tidak jatuh."Sylvia, aku cuma ingin kamu menemukan pria yang lebih cocok untukmu." Xavier menasihatinya dengan lembut."Aku tahu
Preston bergegas mendekat, menatap wanita yang mabuk di dalam pelukannya dengan tatapan dingin.Tangannya yang besar menopang pinggang Livy. Suaranya terdengar datar. "Duduk saja kamu nggak bisa stabil. Kamu nggak takut jatuh?""Siapa kamu ...?" Livy benar-benar mabuk berat, hingga tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria di depannya.Dia hanya sadar bahwa ada seorang pria yang sedang memeluknya, sehingga secara naluriah menjadi waspada dan berusaha melawan. "A ... aku sudah nikah! Jangan sentuh aku! Suamiku galak sekali!"Galak? Preston termangu sesaat, tidak tahu harus merasa marah atau justru merasa lega. Setidaknya meskipun sudah mabuk sampai seperti ini, wanita ini masih ingat bahwa dirinya sudah menikah.Namun ... apakah dia benar-benar segalak itu? Dengan perasaan yang sedikit tidak nyaman, Preston menutup pintu mobil, lalu mendudukkan Livy di jok belakang.Nada suaranya menjadi lebih lembut, takut membuat wanita mabuk ini ketakutan. "Suamimu galak?""Tentu saja." Livy mengang
Preston .... Apakah ini karena dia terlalu mabuk? Bagaimana mungkin Preston muncul di tempat ini?Sisa kesadaran Livy tidak memungkinkan dirinya untuk berpikir lebih jauh. Dia hanya bisa terpaku, menatap kosong ke depan.Sementara itu, saat melihat Livy yang mabuk berat, kemarahan Preston mulai tersulut sedikit demi sedikit dalam dadanya.Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Annie, departemen sekretaris selalu bekerja dengan baik. Dia bahkan tidak pernah perlu turun tangan untuk mengurusnya.Namun, justru karena kelonggarannya itulah, sekarang departemen sekretaris menjadi seperti ini. Membiarkan seorang wanita keluar untuk menemani minum demi bisnis?"Pak Preston, ke ... kenapa datang ke sini?" Elon buru-buru mengusap tangannya dan memasang senyuman ramah sambil mendekati Preston."Pak Preston, saya Elon, manajer departemen perencanaan dari Grup Gunarso. Aku di sini untuk ....""Barusan, sepertinya suasana di sini sangat meriah. Apa yang sedang kalian lakukan?" Tatapan dingin Preston men
Orang yang berbicara adalah Sylvia. Meskipun ada empat hingga lima orang yang memisahkan mereka, jaraknya tidak terlalu jauh.Begitu ucapan itu dilontarkan, seluruh perhatian di ruangan langsung tertuju pada Livy. Karena takut menyinggung Elon, Livy buru-buru menjelaskan, "Nggak, bukan begitu. Aku cuma nggak terlalu kuat minum alkohol seperti ini.""Lalu, biasanya kamu minum apa? Masa hari ini nggak mau minum setetes pun? Lihat aku, bahkan aku yang pincang saja sudah minum banyak. Kamu nggak boleh merusak suasana ya."Sylvia berkedip manja, suaranya selembut angin musim semi yang menyapu hati. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya justru terasa menusuk.Livy semakin merasa serbasalah dan hanya bisa menjawab dengan kaku, "Aku bisa minum sedikit bir.""Kebetulan, di sini ada banyak bir." Dengan satu gerakan tangan, Elon langsung meminta pelayan mengantarkan beberapa botol bir ke meja mereka.Kini, Livy sama sekali tidak punya alasan untuk menolak. Setelah beberapa gelas, kepalanya m
"Uh ... kurang lebih sama." Livy tetap memberikan jawaban yang samar.Awalnya, dia hanya ingin menghentikan Richard dari terus mengeluarkan komentar menjijikkan. Namun, setelah tahu Livy sudah menikah, Richard malah mengajukan semakin banyak pertanyaan."Bu Livy, siapa nama suamimu? Dia bekerja di bidang apa? Gimana dengan gaji dan tunjangan di perusahaannya? Kita ini rekan kerja, kenapa kamu nggak memperkenalkanku ke sana?""Kalau suamimu sekaya itu, kenapa kamu masih repot-repot bekerja? Oh, aku mengerti! Wanita mandiri ya? Kalau seharian di rumah, nanti malah jadi istri yang membosankan dan akhirnya suaminya akan muak."Livy mulai kesal dengan ocehan Richard yang tiada habisnya. Dia pun menegaskan dengan sopan, "Pak Richard, ini masih jam kerja. Aku nggak ingin membahas urusan pribadiku."Baru setelah itu, Richard akhirnya menutup mulutnya.Mereka akhirnya tiba di tempat pertemuan. Namun, Elon dari Grup Gunarso tiba-tiba menelepon, mengatakan bahwa dia sedang ada urusan dan meminta
Melihat pesan itu, Livy lantas mengernyit. Berpakaian seksi dan harus minum alkohol?Livy tahu bahwa banyak kerja sama bisnis disepakati di meja minum, tetapi pembagian tugas di departemen sekretaris sangat jelas. Biasanya, mereka tidak perlu melakukan hal seperti ini.[ Bu, aku nggak kuat minum. Gimana kalau orang lain saja yang pergi? ]Balasan Sherly masuk dengan cepat.[ Kalau begitu, aku akan menyuruh Richard menemanimu. ]Richard .... Salah satu dari sedikit staf pria di departemen sekretaris mereka. Karena merasa dirinya dikelilingi wanita, Richard ini menjadi sangat menjijikkan.Bahkan sebelumnya, dia pernah menggoda Ivana dan sering kali menatap Livy dengan tatapan yang tidak bermaksud baik.Namun, karena Livy selalu mengabaikannya, Richard akhirnya berhenti mengganggunya. Meskipun tidak setuju, Livy tahu bahwa di antara para pria di departemennya, Richard adalah salah satu yang cukup kuat minum.Setelah menghela napas, Livy mencoba menyiapkan mentalnya.Sore harinya, Richard
"Livy, apa PPT-nya sudah selesai?"Percakapan mereka dipotong oleh Sherly. Wanita itu mengenakan setelan kerja profesional. Dengan wajah tersenyum tipis, dia menyerahkan sebungkus sarapan."Semalam pasti sangat melelahkan untukmu. Dari tampangmu, sepertinya kamu nggak ada waktu istirahat, 'kan?""Aku memang bergadang sedikit, tapi PPT-nya sudah selesai. Tenang saja, untuk laporan sore nanti, aku pasti akan ...."Sebelum Livy selesai bicara, Sherly menyela lagi, "Aku lihat kamu kurang istirahat semalam. Rapat sore nanti sangat penting, sedangkan kamu belum terlalu berpengalaman dalam hal ini. Biar aku saja yang menangani laporan ini. Jangan khawatir, aku pasti akan mengingat kontribusimu."Tidak jadi membiarkannya presentasi? Dada Livy terasa semakin sesak. Semalam, dia sudah bekerja keras, bahkan sampai menggunakan pesona wanita untuk merayu Preston agar mempelajari beberapa teknik presentasi.Sekarang setelah semuanya sudah siap, Sherly justru tiba-tiba mengubah keputusan. Jika diucap
Preston hanya bisa pasrah menghadapi kecerobohan Livy."Sekarang bahkan belum jam 8. Waktu kerja Grup Sandiaga dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Sejak kapan aturan itu berubah?"Belum jam delapan? Livy terdiam sejenak, lalu buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk memeriksa waktu. Baru pukul 7.55 pagi, masih cukup banyak waktu."Aku ... aku masih setengah sadar." Livy menggigit bibirnya dengan frustrasi, lalu menatap Preston dengan sedikit rasa bersalah. Suaranya lembut saat berkata, "Aku akan lebih pelan. Kamu tidur saja lagi. Aku nggak akan mengganggumu."Preston meliriknya sekilas dan berkata dengan nada datar, "Nggak usah tidur lagi. Biar aku lihat lututmu dulu, ada luka nggak?"Livy menggeleng. "Nggak apa-apa. Ada karpet di lantai, aku juga nggak terjatuh keras."Saat mengatakan itu, Livy berusaha bangkit. Namun, dia kembali ditarik ke pelukan Preston.Dengan posisi setengah memeluk, tubuhnya berada dalam dekapan Preston. Piama yang setengah melorot memperlihatkan sebagian besar ku