Namun, selama dia masih berada di Grup Sandiaga, ke depannya pasti akan ada kesempatan untuk bekerja sama dengan Erick. Penolakan yang terlalu keras juga bisa menyinggung Erick, dan hal ini membuat Livy merasa bingung.Untungnya, minggu ini Erick sepertinya sedang melakukan perjalanan bisnis. Livy bisa menetap dengan baik di perusahaan dan dia juga terbebas dari gangguan berupa kopi yang dikirim olehnya. Kebetulan malam ini Charlene sedang punya waktu luang. Mereka berdua bertelepon dan Livy mengeluh tentang masalah ini kepadanya."Pasti ada yang aneh dengan Erick ini! Mana ada orang dekatin perempuan begini? Dia bahkan maksa kamu untuk traktir dia makan minggu ini? Ini seperti ancaman!" Charlene merasa ada yang tidak beres setelah mendengarnya, "Dia pasti nggak suka kamu!"Aku juga merasa begitu." Livy bukan orang bodoh, dia memiliki intuisi itu. Meskipun dia sangat yakin Erick sedang mendekatinya, sepertinya bukan karena suka padanya.Selain itu, mereka hampir tidak memiliki hubungan
Livy tiba-tiba terpaku. Kemudian, dia teringat alasan yang digunakannya terakhir kali untuk membohongi Preston. Pria itu tiba-tiba bertanya seperti ini, mungkinkah ....Livy menggigit bibirnya, seketika merasa canggung. Kenapa Preston harus seperti ini? Jelas-jelas dia sudah punya Sylvia. Apakah Sylvia tidak bisa memenuhi kebutuhannya? Atau ada alasan lain? Namun, dia ....Belum sempat Livy bereaksi, pria itu sudah melangkah cepat mendekatinya, menariknya ke dalam pelukan, dan menciumnya dengan paksa. Secara refleks, Livy berusaha meronta. Preston, yang tampak sedikit tidak sabar, akhirnya melepaskannya.Livy menggelengkan kepala dengan keras."Belum selesai?" Pria itu mengerutkan alis, jelas terlihat tidak senang. Livy terpaksa berpura-pura bodoh dan mengangguk.Wajah Preston terlihat muram, ekspresinya seperti kecewa, dan dengan nada datar dia berkata, "Malam ini nggak perlu tunggu aku, aku tidur di ruang kerja."Karena dia sudah pulang, Preston tidak berencana pergi lagi. Namun, tid
Livy pun berpura-pura tidak mendengar dan fokus meminum susunya. Tiba-tiba, suara Preston terdengar suram, "Erick lagi pergi dinas."Livy langsung mengangkat kepalanya, mengira Preston sedang bertanya padanya. Maka, dia mengangguk dan menjawab, "Iya, dia pergi dinas minggu ini, katanya baru akan kembali minggu depan."Begitu kata-katanya selesai, dia menyadari bahwa ekspresi wajah Preston agak muram. Sepasang mata hitamnya menatap tajam pada Livy, bibir tipisnya terbuka, dan suaranya menjadi lebih dingin, "Kamu sepertinya tahu banyak?"Livy tidak berpikir jauh, mengira Preston hanya sekadar bertanya tentang situasi Erick. Jadi, dia menjawab apa adanya, "Dia yang ngasih tahu aku.""Kalian sering berhubungan secara pribadi?" Nada Preston mulai menunjukkan ketidakpuasan."Nggak." Livy menjawab dengan santai, "Waktu itu dia traktir makan malam setelah kami dinas ke luar, lalu dia minta aku gantian traktir di akhir pekan. Aku bilang harus menemani keluarga di rumah.""Akhirnya, dia pindahka
Indra keenam wanita memang sangat tajam. Livy kira-kira sudah bisa menebak identitas wanita di depannya. Dia mengangguk dan menjawab, "Ya, benar.""Kamu cantik sekali," kata wanita itu dengan lembut dan senyuman tipis masih menghiasi sudut bibirnya. "Selera Preston memang bagus. Istri yang dipilihnya sangat menawan."Jantung Livy berdebar kencang. Dia tidak terlalu mengerti maksud dari perkataan wanita itu.Jika wanita di depannya ini adalah Sylvia, mengapa dia mengatakan hal seperti itu?"Anda ini ...." Livy ingin bertanya, tapi suaranya tiba-tiba terpotong oleh suara laki-laki."Sylvia, kenapa kamu datang ke sini?"Livy menoleh ke belakang dan melihat sosok tinggi yang sangat familier berjalan ke arah mereka. Namun, Preston melewatinya tanpa berhenti sedetik pun, langsung menuju ke sisi kursi roda."Kebetulan aku ada urusan dan lewat kantormu, pas sekali ini waktu makan siang. Kupikir kita bisa makan bersama. Tapi karena kamu lagi rapat, aku masuk untuk menunggu di sini." Suara Sylvi
"Kenapa? Kamu belum makan siang? Satunya lagi ini pasti untuk Pak Bendy, 'kan?" tanya Ivana sambil memperhatikan wajah Livy yang tampak pucat. Dengan suara pelan, dia bertanya lagi, "Kalian bertengkar, ya?""Nggak, aku cuma tiba-tiba nggak nafsu makan saja," jawab Livy sambil menggeleng, sama sekali tidak menyadari maksud tersembunyi dari ucapan Ivana."Bilang saja sama aku, mungkin aku bisa bantu carikan solusi," lanjut Ivana. "Sudah lama aku lihat gelagatnya, Pak Bendy itu sepertinya punya perasaan sama kamu. Kalian diam-diam pacaran, ya?"Livy yang semula sedang murung malah merasa ingin tertawa karena pernyataan itu. Namun, dia segera menepis dugaan tersebut, "Kamu benar-benar salah paham. Pak Bendy lagi keluar karena ada urusan.""Ini kebetulan sisa dua porsi makan siang. Aku juga nggak punya nafsu makan, jadi kuberikan saja untuk kamu dan Kak James bawa pulang. Kamu tahu sendiri, setiap hari aku makan makanan sehat begini terus. Aku sampai bosan ...."Takut Ivana tidak percaya, L
Sampai malam tiba, suasana hati Livy masih sangat terpuruk. Saat bekerja, pikirannya melayang ke mana-mana, seolah-olah jiwanya terpisah dari tubuhnya.Hingga malam saat dia lembur sendirian, tiba-tiba teleponnya berdering. Panggilan itu dari Linda. Linda memberi tahu bahwa dia melihat Stanley datang lagi ke kelab Dibiza.Livy terkejut. Setelah insiden besar terakhir kali di Dibiza, bagaimana Stanley masih punya nyali untuk datang dan bermain? Sepertinya kejadian itu sama sekali tidak memengaruhinya.Livy berterima kasih atas informasi dari Linda dan menutup telepon. Sambil memandangi kerlap-kerlip lampu malam di luar jendela, dia mulai memikirkan cara untuk menghancurkan Stanley.Namun, tak lama setelah itu, Linda menelepon untuk kedua kalinya, membawa kabar mengejutkan ...Stanley memesan Yuri.Livy tidak menyangka Stanley bisa seberani itu! Apakah Chloe benar-benar tidak peduli? Dia tidak mengerti. Dengan kecantikan dan kekayaan Chloe, mengapa dia memilih Stanley, pria yang jelas-je
Livy tidak menyalahkan Yuri. Bagaimanapun juga, Yuri hanyalah wanita yang bekerja di tempat hiburan malam dan tidak punya kewajiban apa pun kepadanya. Ditambah lagi, Stanley adalah pria licik yang pandai merayu, jadi wajar jika Yuri akhirnya buka mulut."Jadi sekarang gimana? Stanley mengancammu?" tanya Linda sambil mengernyitkan alisnya dan menggenggam lengan Livy erat-erat. "Aku sudah janji sama Charlene untuk menjagamu. Kalau terjadi sesuatu padamu, aku akan merasa sangat bersalah.""Aku baik-baik saja." Livy menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku cuma mau ketemu Stanley dan bicara sama dia.""Kalau begitu, biar kutemani kamu," ujar Linda dengan nada khawatir."Nggak usah, kamu lanjutkan saja pekerjaanmu. Lagian, ada Yuri di sana. Stanley nggak akan melakukan hal yang melanggar hukum." Livy tersenyum samar.Stanley mungkin memang tidak akan berani melakukan hal ilegal, tapi bukan berarti Livy tidak akan ....Tidak ada lagi yang perlu ditakutinya.Jika ini hanya soal pengkhianatan,
"Tentu saja aku belum lupa gimana kalian menyebabkan kematian nenekku!"Tatapan Livy dipenuhi kebencian saat dia mengeluarkan pisau buah dari tasnya. Cahaya tajam dari bilah perak itu berkilauan di bawah lampu dan sorot mata Livy menjadi semakin intens.Yuri yang awalnya ingin melihat Livy merendahkan diri, langsung mematung ketakutan saat melihat adegan itu. Wajahnya pucat seketika dan dia langsung melompat dari pangkuan Stanley, berlari tergesa-gesa ke sudut ruangan.Namun, Livy berdiri tepat di pintu masuk sehingga memblokir jalan keluarnya. Dengan gemetaran, Yuri hanya bisa meringkuk di sudut ruangan.Stanley yang juga kaget, buru-buru berdiri dengan panik. Bahkan, dia tak sempat menarik celananya yang melorot ke bawah lutut, membuat penampilannya tampak sangat memalukan. Dengan wajah penuh ketakutan, dia mencoba mencari tempat bersembunyi.Langkah Livy perlahan mendekat ke arahnya."Jangan ... jangan! Jangan mendekat!" Stanley memohon dengan suara bergetar. "Kematian nenekmu benar
"Kenapa sih? Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu!"Zoey merasa Livy benar-benar tidak tahu berterima kasih. Dengan nada kesal, dia mengumpat, "Kamu sendiri nggak bisa mempertahankan Pak Preston, aku membantumu, tapi kamu malah bersikap begini!""Kamu sadar nggak, bahkan gelar Nyonya Sandiaga saja nggak diakui? Kalau sampai kalian bercerai, kamu bakal keluar tanpa sepeser pun! Asal kamu mau memperbesar masalah ini, bagaimanapun juga, kamu tetap nggak akan dirugikan!"Sebenarnya, Zoey juga tidak benar-benar ingin membantu Livy. Namun, setelah berdiskusi dengan ibunya, mereka menyadari bahwa hanya dengan membantu Livy, mereka bisa mendapatkan keuntungan.Lagi pula, dia sudah memegang kelemahan Livy. Kalau Livy tidak bekerja sama dengannya, dia akan benar-benar habis!"Aku sudah bilang, urusanku bukan urusanmu!"Livy berteriak hingga suaranya hampir serak, "Aku juga nggak pernah ingin jadi Nyonya Sandiaga yang diumumkan ke publik, dan aku nggak butuh orang lain memperlakukanku dengan b
Grup itu adalah grup gosip perusahaan.Sebelumnya, Ivana pernah ingin memasukkan Livy ke dalamnya, tetapi Livy merasa grup itu terlalu ramai dan penuh dengan gosip yang tidak penting. Lagi pula, dia juga tidak tertarik membahas hal-hal seperti itu, jadi dia menolak untuk bergabung.Namun sekarang, setelah jam kerja usai, seseorang mengirimkan pesan yang memicu kehebohan di grup tersebut.Meskipun hanya ada satu orang yang memulai percakapan, Livy sudah cukup terkenal di perusahaan, jadi banyak orang yang ikut berkomentar.[ Pantas saja! Aku pernah beberapa kali melihat Livy naik mobilnya Pak Preston. Lagian, kalian nggak merasa aneh kalau dia bisa naik jabatan secepat itu? ][ Kalau nggak ada sesuatu di belakangnya, aku pasti nggak percaya! Tapi aku nggak nyangka, ternyata dia punya hubungan sama Pak Preston! ][ Aku nggak percaya! Pak Preston itu kaya, tampan, dan luar biasa! Mana mungkin dia tertarik sama wanita seperti Livy? ][ Pokoknya yang jelas, Livy sudah menikah dan suaminya p
Pria itu memiliki proporsi tubuh yang nyaris sempurna. Mantel panjang hitam yang dia kenakan membingkai tubuhnya yang tinggi dengan sangat pas dan menampilkan sosok yang luar biasa gagah."Sayang, kamu ...."Livy ingin memanggil Preston untuk makan bersama, tetapi pria itu justru berjalan mendekat dengan ekspresi dingin. Dia menatap Livy dari atas ke bawah dengan mata hitam pekat yang dipenuhi dengan kejengkelan. Dengan suara marah, dia bertanya, "Apa lagi yang kamu lakukan?""Hah?"Livy tidak mengerti maksudnya, tetapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, tangan besar pria itu sudah mencengkeram bahunya dengan kuat dan menyeretnya ke atas.Cengkeramannya begitu kasar, membuat Livy terpaksa terseret menaiki tangga dengan terburu-buru. Bahkan, karena langkahnya yang terlalu cepat, lututnya terbentur sudut tangga dengan keras.Namun, Preston tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Dia terus menyeret Livy hingga ke kamar, lalu mendorongnya ke sofa dengan kasar."Kamu begitu ingin
Siapa yang peduli? Preston mengernyit. Apakah dia peduli pada Livy?Tangan yang menggenggam gelas tiba-tiba berhenti, lalu dia menuangkan lagi segelas minuman untuk dirinya sendiri dan berkata dengan nada dingin, "Dia cuma istri kontrakku, nggak lebih.""Iya, nih. David, kamu terlalu berlebihan. Bu Livy memang perempuan yang baik, tapi bagaimanapun juga, dia dan Preston berasal dari dunia yang berbeda."Sylvia menyela pembicaraan, lalu mendekati Preston dengan berpura-pura baik dan mengingatkan dengan lembut, "Preston, aku tahu kamu ingin memperlakukan Bu Livy dengan baik. Tapi bagaimanapun juga, dia berasal dari latar belakang yang berbeda dari kita. Kalau kamu terus memberinya barang-barang mewah, itu malah bisa membuatnya merasa terbebani."Perkataan itu membuat Preston sedikit penasaran. "Kenapa?""Karena bagi Livy, barang-barang itu sangat mahal, bahkan satu saja bisa setara dengan gajinya selama bertahun-tahun. Orang seperti dia akan merasa bahwa kesenjangan di antara kalian terl
Kalau begitu, Livy juga jangan berharap hidupnya akan baik-baik saja!"Zoey, kalau mau gila, jangan cari aku!" Livy tidak ingin meladeni Zoey lagi dan segera pergi. Namun, setelah kembali ke kantornya, kelopak mata kanannya terus berkedut. Dia merasa seolah-olah sesuatu akan terjadi.Sebelum pulang, dia naik ke lantai atas untuk mencari Preston dan melaporkan perkembangan proyek. Namun, setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, dia menghubungi Preston lewat telepon."Ada apa?"Di seberang sana, suara Preston terdengar seakan dia sedang berada di tempat hiburan. Ada suara musik samar-samar dan yang lebih menyakitkan, Livy mendengar suara Sylvia yang begitu akrab di telinganya."Preston, bukannya sudah bilang hari ini jangan bahas pekerjaan?" Suara manja Sylvia terdengar cukup jelas, seolah-olah dia menempel di sisi Preston."Aku cuma bicara sebentar," jawab Preston dengan suara rendah, sebelum akhirnya beralih ke Livy, "Bu Livy, kalau soal pekerjaan,
Karena kejadian semalam, Livy hampir terlambat masuk kerja pagi ini. Baru saja dia selesai absen, suara yang sudah lama tidak terdengar kembali menyapanya. "Livy!"Setelah sekian lama tidak bertemu, Zoey tampaknya menjalani hidup yang cukup baik.Pakaian bermerek yang dikenakannya semakin banyak dan di lehernya terlihat bekas merah yang sangat mencolok. Tanda bahwa hubungannya dengan Ansel semakin erat."Ada urusan apa?" Livy meliriknya dengan dingin, tidak ingin membuang waktu untuknya.Namun, Zoey sama sekali tidak merasa tersinggung dan justru berkata dengan percaya diri, "Aku butuh bantuanmu."Livy mengernyit, merasa Zoey benar-benar terlalu tidak tahu malu, lalu menolak mentah-mentah, "Aku nggak ada waktu.""Livy, kamu sok jual mahal apa sih? Apa kamu benar-benar mengira dirimu sudah jadi nyonya besar? Kaki Sylvia sebentar lagi sembuh, 'kan? Aku peringatkan kamu, begitu dia berhasil, kamu pasti akan dibuang sama Pak Preston!"Zoey menghalangi Livy di pintu masuk, kata-kata tajamny
Charlene masih terus bergosip, "Ngomong-ngomong, Preston sudah nggak muda lagi, ya? Terus katanya dulu juga nggak pernah dekat sama cewek, nggak ada gosip macam-macam. Jangan-jangan dia nggak ada tenaga di ranjang? Kalau kamu ngerasa kurang, aku tahu nih ada obat yang ....""Nggak perlu, Charlene!"Livy buru-buru memotong, mencengkeram ponsel erat-erat, lalu menurunkan suaranya, "Dia di bagian itu sangat kuat.""Apa?"Suaranya terlalu kecil, Charlene di seberang sana tidak mendengarnya dengan jelas. "Maksudmu kamu masih mau? Atau jangan-jangan dia nggak bisa?""Bukan!" Livy hampir melonjak, suaranya langsung meninggi, "Preston sangat kuat, dia nggak butuh obat sama sekali!""Ohh ...." Charlene menarik nadanya dengan panjang, jelas sekali dia sedang menggoda.Livy benar-benar malu. Dia buru-buru mengganti topik. Setelah mengobrol tentang beberapa gosip ringan, akhirnya dia menutup telepon.Setelah merasa cukup berendam, Livy mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dia melirik pakaian tidur
Tatapan Preston sedikit melunak, alisnya pun tampak lebih rileks. Lalu, dengan nada tenang, dia berkata, "Livy, aku kaya, tampan, dan selain temperamenku, aku bisa memberimu semua yang kamu inginkan.""Dalam pernikahan, pasangan seharusnya saling memahami. Lagi pula, aku nggak merasa sering marah. Kebanyakan waktu, itu karena kamu yang melakukan kesalahan."Hah?Livy semakin bingung.Bukankah tadi Preston ingin menceraikannya? Menghubungkan sikapnya tadi malam dan hari ini, sebuah pemikiran yang sulit dipercaya muncul di benaknya.Livy menatap Preston dengan ragu, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jadi ... kamu bersikap baik padaku hari ini karena aku bilang kamu mudah marah?"Tidak mungkin! Jadi, semua yang Preston lakukan adalah ... cara halus untuk menenangkannya?"Jadi, menurutmu aku benar-benar pemarah?" Preston menjepit sepotong daging panggang ke dalam mangkuknya, matanya menatapnya dengan tajam.Ini pertanyaan yang menentukan antara hidup atau mati.Livy buru-buru menggeleng. "S
Livy menggelengkan kepala, sedikit ragu-ragu saat menjawab, "Pak Preston sangat sibuk setiap hari, kurasa dia nggak punya waktu untuk mengurusi hal seperti ini.""Jadi ... kita cuma bisa diam saja menerima ini?"Ivana tampak tidak terima, matanya penuh dengan kekesalan saat berkata, "Kamu sudah bekerja keras selama ini dan cuma dihargai sejuta? Bu Sherly benar-benar keterlaluan! Awalnya aku pikir dia cukup baik, tapi ternyata dia pencemburu sekali!"Livy terdiam sejenak. Dia merasa ini bukan sekadar masalah iri hati.Perasaan aneh yang dia rasakan semakin kuat. Seolah-olah Sherly menargetkannya bukan hanya karena iri, tetapi juga karena alasan lain yang tidak bisa dia jelaskan. Jika dia benar-benar ingin menyingkirkan Sherly, hanya mengandalkan masalah bonus proyek ini tidak cukup.Bagaimanapun juga, meskipun tindakan Sherly tidak etis, dia tetap mengikuti prosedur formal. Jadi, Livy tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menindaknya. Merasa frustrasi, Livy hanya bisa memfokuskan dir