Seketika, Livy bak disiram air dingin. Pikirannya menjadi lebih jernih.Benar, Preston hanya memanfaatkannya untuk menjadi istri gadungan. Preston tidak mungkin mau mempunyai anak dengannya. Itu sebabnya, Preston merasa ucapan Livy agak lancang. Sepertinya, Preston takut Sylvia salah paham padanya.Wajah Livy agak memucat, tetapi dia merasa jauh lebih lega. Jika dia menjadi Preston, dia pasti juga merasa kesal dengan sikapnya yang membuat keputusan sendiri seperti ini. Bagaimanapun, akan merepotkan jika Sylvia merajuk dan salah paham."Maaf, aku terlalu kepo. Aku cuma nggak ingin melihat ayahmu sedih. Lain kali aku nggak bakal begini lagi ...." Usai berbicara, suasana menjadi hening. Livy berbalik dan pergi ke kamar mandi. Dia ingin mandi dan istirahat.Bukan hanya batinnya yang lelah, tetapi fisiknya juga. Dia sangat sibuk seharian. Demi tidak lembur, dia sampai menahan pipis dan tidak istirahat supaya waktunya tidak terbuang. Meskipun begitu, belum semua pekerjaannya beres. Livy bern
Namun, selama dia masih berada di Grup Sandiaga, ke depannya pasti akan ada kesempatan untuk bekerja sama dengan Erick. Penolakan yang terlalu keras juga bisa menyinggung Erick, dan hal ini membuat Livy merasa bingung.Untungnya, minggu ini Erick sepertinya sedang melakukan perjalanan bisnis. Livy bisa menetap dengan baik di perusahaan dan dia juga terbebas dari gangguan berupa kopi yang dikirim olehnya. Kebetulan malam ini Charlene sedang punya waktu luang. Mereka berdua bertelepon dan Livy mengeluh tentang masalah ini kepadanya."Pasti ada yang aneh dengan Erick ini! Mana ada orang dekatin perempuan begini? Dia bahkan maksa kamu untuk traktir dia makan minggu ini? Ini seperti ancaman!" Charlene merasa ada yang tidak beres setelah mendengarnya, "Dia pasti nggak suka kamu!"Aku juga merasa begitu." Livy bukan orang bodoh, dia memiliki intuisi itu. Meskipun dia sangat yakin Erick sedang mendekatinya, sepertinya bukan karena suka padanya.Selain itu, mereka hampir tidak memiliki hubungan
Livy tiba-tiba terpaku. Kemudian, dia teringat alasan yang digunakannya terakhir kali untuk membohongi Preston. Pria itu tiba-tiba bertanya seperti ini, mungkinkah ....Livy menggigit bibirnya, seketika merasa canggung. Kenapa Preston harus seperti ini? Jelas-jelas dia sudah punya Sylvia. Apakah Sylvia tidak bisa memenuhi kebutuhannya? Atau ada alasan lain? Namun, dia ....Belum sempat Livy bereaksi, pria itu sudah melangkah cepat mendekatinya, menariknya ke dalam pelukan, dan menciumnya dengan paksa. Secara refleks, Livy berusaha meronta. Preston, yang tampak sedikit tidak sabar, akhirnya melepaskannya.Livy menggelengkan kepala dengan keras."Belum selesai?" Pria itu mengerutkan alis, jelas terlihat tidak senang. Livy terpaksa berpura-pura bodoh dan mengangguk.Wajah Preston terlihat muram, ekspresinya seperti kecewa, dan dengan nada datar dia berkata, "Malam ini nggak perlu tunggu aku, aku tidur di ruang kerja."Karena dia sudah pulang, Preston tidak berencana pergi lagi. Namun, tid
Livy pun berpura-pura tidak mendengar dan fokus meminum susunya. Tiba-tiba, suara Preston terdengar suram, "Erick lagi pergi dinas."Livy langsung mengangkat kepalanya, mengira Preston sedang bertanya padanya. Maka, dia mengangguk dan menjawab, "Iya, dia pergi dinas minggu ini, katanya baru akan kembali minggu depan."Begitu kata-katanya selesai, dia menyadari bahwa ekspresi wajah Preston agak muram. Sepasang mata hitamnya menatap tajam pada Livy, bibir tipisnya terbuka, dan suaranya menjadi lebih dingin, "Kamu sepertinya tahu banyak?"Livy tidak berpikir jauh, mengira Preston hanya sekadar bertanya tentang situasi Erick. Jadi, dia menjawab apa adanya, "Dia yang ngasih tahu aku.""Kalian sering berhubungan secara pribadi?" Nada Preston mulai menunjukkan ketidakpuasan."Nggak." Livy menjawab dengan santai, "Waktu itu dia traktir makan malam setelah kami dinas ke luar, lalu dia minta aku gantian traktir di akhir pekan. Aku bilang harus menemani keluarga di rumah.""Akhirnya, dia pindahka
Indra keenam wanita memang sangat tajam. Livy kira-kira sudah bisa menebak identitas wanita di depannya. Dia mengangguk dan menjawab, "Ya, benar.""Kamu cantik sekali," kata wanita itu dengan lembut dan senyuman tipis masih menghiasi sudut bibirnya. "Selera Preston memang bagus. Istri yang dipilihnya sangat menawan."Jantung Livy berdebar kencang. Dia tidak terlalu mengerti maksud dari perkataan wanita itu.Jika wanita di depannya ini adalah Sylvia, mengapa dia mengatakan hal seperti itu?"Anda ini ...." Livy ingin bertanya, tapi suaranya tiba-tiba terpotong oleh suara laki-laki."Sylvia, kenapa kamu datang ke sini?"Livy menoleh ke belakang dan melihat sosok tinggi yang sangat familier berjalan ke arah mereka. Namun, Preston melewatinya tanpa berhenti sedetik pun, langsung menuju ke sisi kursi roda."Kebetulan aku ada urusan dan lewat kantormu, pas sekali ini waktu makan siang. Kupikir kita bisa makan bersama. Tapi karena kamu lagi rapat, aku masuk untuk menunggu di sini." Suara Sylvi
"Kenapa? Kamu belum makan siang? Satunya lagi ini pasti untuk Pak Bendy, 'kan?" tanya Ivana sambil memperhatikan wajah Livy yang tampak pucat. Dengan suara pelan, dia bertanya lagi, "Kalian bertengkar, ya?""Nggak, aku cuma tiba-tiba nggak nafsu makan saja," jawab Livy sambil menggeleng, sama sekali tidak menyadari maksud tersembunyi dari ucapan Ivana."Bilang saja sama aku, mungkin aku bisa bantu carikan solusi," lanjut Ivana. "Sudah lama aku lihat gelagatnya, Pak Bendy itu sepertinya punya perasaan sama kamu. Kalian diam-diam pacaran, ya?"Livy yang semula sedang murung malah merasa ingin tertawa karena pernyataan itu. Namun, dia segera menepis dugaan tersebut, "Kamu benar-benar salah paham. Pak Bendy lagi keluar karena ada urusan.""Ini kebetulan sisa dua porsi makan siang. Aku juga nggak punya nafsu makan, jadi kuberikan saja untuk kamu dan Kak James bawa pulang. Kamu tahu sendiri, setiap hari aku makan makanan sehat begini terus. Aku sampai bosan ...."Takut Ivana tidak percaya, L
Sampai malam tiba, suasana hati Livy masih sangat terpuruk. Saat bekerja, pikirannya melayang ke mana-mana, seolah-olah jiwanya terpisah dari tubuhnya.Hingga malam saat dia lembur sendirian, tiba-tiba teleponnya berdering. Panggilan itu dari Linda. Linda memberi tahu bahwa dia melihat Stanley datang lagi ke kelab Dibiza.Livy terkejut. Setelah insiden besar terakhir kali di Dibiza, bagaimana Stanley masih punya nyali untuk datang dan bermain? Sepertinya kejadian itu sama sekali tidak memengaruhinya.Livy berterima kasih atas informasi dari Linda dan menutup telepon. Sambil memandangi kerlap-kerlip lampu malam di luar jendela, dia mulai memikirkan cara untuk menghancurkan Stanley.Namun, tak lama setelah itu, Linda menelepon untuk kedua kalinya, membawa kabar mengejutkan ...Stanley memesan Yuri.Livy tidak menyangka Stanley bisa seberani itu! Apakah Chloe benar-benar tidak peduli? Dia tidak mengerti. Dengan kecantikan dan kekayaan Chloe, mengapa dia memilih Stanley, pria yang jelas-je
Livy tidak menyalahkan Yuri. Bagaimanapun juga, Yuri hanyalah wanita yang bekerja di tempat hiburan malam dan tidak punya kewajiban apa pun kepadanya. Ditambah lagi, Stanley adalah pria licik yang pandai merayu, jadi wajar jika Yuri akhirnya buka mulut."Jadi sekarang gimana? Stanley mengancammu?" tanya Linda sambil mengernyitkan alisnya dan menggenggam lengan Livy erat-erat. "Aku sudah janji sama Charlene untuk menjagamu. Kalau terjadi sesuatu padamu, aku akan merasa sangat bersalah.""Aku baik-baik saja." Livy menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku cuma mau ketemu Stanley dan bicara sama dia.""Kalau begitu, biar kutemani kamu," ujar Linda dengan nada khawatir."Nggak usah, kamu lanjutkan saja pekerjaanmu. Lagian, ada Yuri di sana. Stanley nggak akan melakukan hal yang melanggar hukum." Livy tersenyum samar.Stanley mungkin memang tidak akan berani melakukan hal ilegal, tapi bukan berarti Livy tidak akan ....Tidak ada lagi yang perlu ditakutinya.Jika ini hanya soal pengkhianatan,
Livy sama sekali tidak menyangka Stanley bisa sehina itu.Livy bahkan masih berpikir untuk mencari cara menjelaskan hubungannya dengan Stanley, tetapi apa yang didengarnya membuat darahnya mendidih. Dengan panik, Livy berteriak, "Stanley, jangan mengada-ada!""Aku nggak mengada-ada!" Stanley kini sudah kehilangan akal sehat. Satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan menjatuhkan Livy.Meski dia muak dengan Chloe yang sibuk mencari pria model dan selalu bersikap seperti putri, Stanley mengingat bagaimana Livy dulu begitu lembut, perhatian, dan selalu ada untuknya. Jelas, Livy jauh lebih baik dibanding Chloe dalam banyak hal.Namun, Livy tidak memiliki status sosial seperti Chloe. Selain itu, Chloe punya hubungan dengan Keluarga Sandiaga. Jika dia sampai merusak hubungan ini, bisnis keluarganya yang kecil itu pasti akan hancur total.Setelah mempertimbangkan semuanya, Stanley memutuskan untuk terus menyalahkan Livy."Paman Preston, aku dan Livy memang pernah berpacaran. Kam
Setelah berkata demikian, Stanley tiba-tiba meraih tangan Livy.Seolah tersentuh sesuatu yang menjijikkan, Livy buru-buru melepaskan tangannya. Dia berdiri dengan tegas dan menatap Stanley dengan penuh amarah."Stanley, aku sudah bilang dengan sangat jelas. Hubungan kita sudah benar-benar selesai. Mulai sekarang, hiduplah dengan Chloe dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!""Livy, apa kamu masih marah?" tanya Stanley sambil memaksakan senyuman. Dia tiba-tiba mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.Sebelum Livy sempat bereaksi, Stanley sudah berlutut dengan satu kaki di hadapannya."Livy, dulu kamu pernah marah karena selama bertahun-tahun kita bersama, aku nggak pernah melamarmu. Sekarang aku sadar betapa salahnya aku. Hubunganku dengan Chloe adalah sebuah kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal. Bisa nggak kita memulai semuanya dari awal?""Stanley, kamu gila, ya?!" Livy benar-benar panik. Dia mencoba menarik Stanley untuk berdiri.Namun, tepat pada saat itu, sebuah suara ding
Sylvia memesan restoran mewah di dalam pusat perbelanjaan.Livy tahu restoran ini sangat terkenal. Tempat seperti ini memerlukan reservasi jauh-jauh hari dan harganya juga sangat mahal. Restoran ini sering dianggap sebagai tempat yang eksklusif.Hanya beberapa hidangan saja di restoran ini sudah setara dengan gajinya selama sebulan."Livy, kamu jarang sekali punya kesempatan makan di tempat sebagus ini. Jadi, pesan saja apa yang kamu mau. Anggap ini pengalaman langka buatmu," ujar Sylvia sambil perlahan menyesap air hangat. Nada bicaranya penuh sindiran dan merendahkan.Bagi Sylvia, Livy hanyalah gadis tanpa latar belakang yang tidak pantas berada di tempat seperti ini.Livy tahu Sylvia sengaja meremehkannya. Namun, wajah Livy tetap tenang. Dia sudah terbiasa dengan perilaku Sylvia yang selalu tampak manis di luar tetapi penuh racun di dalam.Livy melirik jam di pergelangan tangannya. Jika makan siang ini selesai, waktunya akan bertepatan dengan jam pulang kerja. Dia hanya perlu bertah
"Nggak perlu. Selain itu, Bu Livy adalah orang yang sangat penting bagimu. Aku ingin menjalin hubungan baik dengannya," kata Sylvia dengan tenang. "Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk bergaul dengan Bu Livy.""Pak Preston, sebenarnya aku punya jadwal lain sore ini. Bu Sylvia jelas bisa ...." Livy mencoba menyisipkan penjelasan, berharap bisa menyampaikan keinginannya untuk kembali bekerja.Namun, Preston tampaknya tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah dingin dan suaranya menjadi ketus, "Livy, pekerjaanmu hari ini adalah menemani Sylvia. Kalau kamu nggak mau bekerja di Grup Sandiaga, kamu bisa langsung mengundurkan diri.""Pak Preston, bukan begitu, aku hanya ingin tetap di kantor sore ini ...." Livy berusaha menjelaskan dengan penuh perjuangan.Namun, Sylvia sudah mulai bertindak manja. Dia meraih ujung jas Preston dan memohon dengan nada lembut, "Preston, peluk aku ke mobil, ya.""Baik."Begitu ucapan itu dilontarkan, Preston langsung membun
Ekspresi Livy langsung berubah.Sylvia jelas bukan meminta untuk "dibantu", tetapi ingin Livy menggendong Sylvia yang beratnya hampir sama dengan dirinya ke dalam mobil! Selain itu, Livy sama sekali tidak berniat meremehkan Sylvia hanya karena kondisinya."Bukan begitu, Preston. Aku nggak pernah meremehkan Sylvia ...," jelas Livy dengan tergagap.Namun, entah apa yang dikatakan Preston di telepon, mata Sylvia yang sebelumnya memerah karena berpura-pura menangis, kini perlahan-lahan kembali cerah. Meski begitu, nadanya tetap terdengar tersedu-sedu."Preston, aku tahu. Kamu nggak perlu menghiburku. Demi kamu, aku nggak pernah menyesal. Tapi aku nggak ingin jadi beban siapa pun. Kalau kamu juga merasa aku merepotkan, aku nggak akan muncul lagi di hadapanmu."Tubuh Livy terasa dingin seketika. Dia mendengar percakapan Sylvia yang sengaja dibuat agar terdengar olehnya. Suara Preston terdengar jelas dan tegas dari telepon."Sylvia, kamu nggak akan pernah jadi beban bagiku. Jangan menangis la
"Kelilingi semua bagian saja, ya. Maaf merepotkan Bu Livy untuk mendorongku. Oh, ya, setelah selesai mengunjungi Grup Sandiaga, sore ini akum au jalan-jalan juga. Jadi, aku perlu Bu Livy menemaniku."Apa? Mau jalan-jalan pula?Livy tetap berusaha sabar dan mengingatkan dengan nada sopan, "Bu Sylvia, tugasku dari Pak Preston cuma menemanimu berkeliling Grup Sandiaga. Untuk jalan-jalan, kamu mungkin bisa mengajak teman atau sahabatmu."Sylvia tertawa kecil dengan nada menyindir, "Sepertinya aku tahu kenapa Bu Livy nggak bisa naik ke posisi yang lebih tinggi. Bahkan maksud tersirat dari atasan pun nggak bisa dipahami.""Maksud Preston adalah hari ini pekerjaanmu adalah menemaniku. Atau ... apakah aku perlu menelepon Preston sekarang untuk memastikannya?""Nggak perlu," jawab Livy cepat. Dia tahu, jika Sylvia benar-benar menelepon Preston, hasilnya hanya akan membuat Preston berpihak pada Sylvia. Jika itu terjadi, Livy hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.Dengan senyum terpaksa, Livy
Untuk sesaat, seisi ruangan itu sunyi senyap. Livy berdiri perlahan, pandangannya tanpa sadar tertuju pada kedua orang yang baru saja masuk. Tebersit rasa getir yang samar di dadanya."Preston, jadi ini departemen sekretaris, ya? Kelihatannya memang bagus." Suara Sylvia terdengar begitu lembut dan memikat hingga semua orang yang mendengarnya merasa tersentuh.Kalau saja Livy tidak tahu Sylvia pernah sengaja mencoreng namanya sebelumnya, mungkin dia juga akan menganggap Sylvia sebagai wanita yang anggun dan penuh kelembutan."Hmm, ada delapan orang di sini, mereka bertugas menangani berbagai urusan," jelas Preston dengan nada datar. "Apa ada tempat lain yang ingin kamu lihat?""Tentu saja ada," jawab Sylvia dengan senyuman manis. Dia berkedip lembut dengan tatapan yang tampak begitu pengertian."Aku sudah lama nggak kembali ke negara ini, jadi belum sempat benar-benar melihat-lihat Grup Sandiaga. Tapi aku tahu kamu sibuk, Preston. Aku nggak bisa terus merepotkanmu. Gimana kalau aku menc
Nicky, Stanley ….Preston tidak percaya bahwa Livy tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka!"Livy."Mendengar namanya tiba-tiba dipanggil Preston, Livy menoleh. "Ada apa?" tanyanya."Ada sesuatu yang sebaiknya kamu akui sendiri terlebih dulu." Tatapan Preston sangat tajam seolah-olah bisa menebak isi pikiran orang.Livy tiba-tiba merasa bersalah. Setelah memikirkannya dengan saksama sejenak, dia berkata dengan tulus, "Sayang, aku nggak mengerti apa maksudmu."Mau terus terang apaan? Dia tidak pernah melakukan apa pun sama sekali. Sebaliknya, justru Preston yang terus menerus berlari ke arah Sylvia. Meski mereka hanya dalam hubungan kontrak, bukankah Preston seharusnya memberitahunya?Setidaknya katakan bahwa hubungan mereka dengan Sylvia akan segera berakhir. Dengan begitu, Livy bisa segera menarik kembali perasaan yang seharusnya tidak dia miliki. Bukan seperti sekarang, terus terombang-ambing antara rasa sakit dan momen-momen kehangatan yang diberikan Preston.....Hari Senin t
Ekspresi Preston tetap dingin tanpa emosi. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti menghujam tepat ke titik lemah Bahran.Pernikahan bisnis yang dulu dijalani Bahran dengan istrinya tidak dilandasi cinta. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka hanya menghasilkan seorang putri.Meski demikian, latar belakang istrinya cukup kuat, sehingga dia memiliki watak yang keras dan sulit dihadapi. Setiap ulah Bahran di luar rumah selalu sampai ke telinganya, dan setiap kali hal itu terjadi, pasti diikuti oleh pertengkaran besar."Preston, kamu ini terlalu ikut campur!" Bahran yang merasa harga dirinya diinjak, mulai kehilangan kendali.Dengan nada penuh amarah, dia berkata, "Kenapa berpura-pura di depanku? Kamu dan Livy sama sekali nggak punya cinta yang sebenarnya! Aku cuma ngasih tahu Livy cara terbaik untuk mengamankan posisinya, yaitu dengan punya anak. Sama seperti ibumu dulu. Setidaknya, dia mendapatkan sesuatu, bukan?"Kata-kata itu langsung menyulut kemarahan Preston. Aura din