Ryan dan Ruby semakin cemas melihat reaksi Celine yang tak biasa. Selain itu mereka juga dikepung oleh kaki tangan wanita pendiri Group Stars. Celine yang menyadari pasangan itu yang ketakutan, dan wajah mereka juga pucat pasi Ia semakin menekan mereka agar mendapatkan jawaban yang dia inginkan."Celine mengeluarkan kalung yang berkilau dari dalam tasnya, menggantungkannya di depan Ryan dan Ruby. Kalung bulan sabit itu seperti memiliki aura yang membuat pasangan itu gemetar ketakutan. "Kalian mengenal kalung ini?" tanya Celine dengan tatapan tajam yang menusuk hati. Ryan dan Ruby saling pandang, keringat dingin mengucur di kening mereka. Mereka menyadari perbuatan yang mereka lakukan telah terungkap."Kenapa kalung ini ada padanya? Bukankah sudah ku buang malam itu," gumam Ryan. "Tidak....Kami tidak tahu kalung apa itu," jawab Ruby dengan suara gugup dan bergetar. "Benarkah tidak tahu? Tapi, kenapa Vivian mengakui kalung ini adalah miliknya?" tanya Celine sengaja memancing pasan
"Vivian, Apakah selain kamu, Mereka masih memiliki anak yang lain atau kamu pernah melihat mereka membawa pulang anak kecil?" tanya Charlie.Vivian menatap jauh, mencoba menggali kenangan masa lalu yang terpendam dalam benaknya. Dia mengernyitkan dahi, berusaha keras mengingat setiap detail yang sempat terlewatkan. "Saat aku berusia dua belas tahun, aku pernah menyaksikan momen di mana mamaku menangis pilu sambil berbicara dengan papaku. Aku tak sengaja mendengar mereka membahas tentang kehilangan anak kesayangan dan betapa menyesalnya mereka," ungkap Vivian dengan nada sedih."Charlie menatap Vivian dengan ekspresi penuh penasaran, "Anak yang mereka maksudkan itu siapa ? Apakah sebelumnya mamamu pernah mengalami keguguran, atau ada cerita lain yang belum kamu ketahui?" Vivian menggelengkan kepala, "Aku tidak tahu pasti, Charlie. Apa yang aku dengar saat itu sudah hampir aku lupakan. Mereka tidak suka banyak bicara denganku sehingga aku tidak berani bertanya," jawab Vivian."Andaikan
Keringat dingin mulai mengucur di dahi Ryan dan Ruby saat mereka mendengar ancaman Celine yang akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Mereka berdua tak bisa menyembunyikan rasa cemas yang semakin memuncak. "Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini pada kami. Kami sudah membesarkan putrimu. Seharusnya kamu berterima kasih pada kami," teriak Ryan dengan nafas yang tersengal-sengal. Sementara itu, anak buah Celine dengan paksa menarik tangan Ryan ke arah mobil yang telah menunggu. "Alex, layangkan tuntutan pada mereka. Karena telah menculik putriku...," ucap Celine dengan tegas, namun suaranya mendadak terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya."Direktur, apakah ada masalah lain?" tanya Alex dengan nada khawatir. Matanya menatap Celine yang terlihat sedang berpikir keras. "Vivian... aku harus memberitahu dia dan Charlie mengenai hal ini," gumam Celine lirih. Ryan dan Ruby terus menatap Celine dengan penuh kekhawatiran dan ketakutan. Mereka merasa dunia mereka seolah
Micheal mengeluh panjang saat menyusuri jalan di sekitar lokasi kecelakaan yang menimpa Hanz. Dia telah berusaha keras mencari bukti dengan menghampiri semua rumah di sana untuk memeriksa kamera CCTV yang mungkin terpasang di sekitar. Namun, upaya tersebut seakan sia-sia karena tak ada satupun kamera yang ditemukan. "Aku sudah mencari setengah hari di sini dan masih belum dapatkan kamera CCTV, apakah benar tidak ada yang pasang? Tidak mungkin juga, sungguh aneh," gumam Micheal yang berdiri seberang jalan dari lokasi kejadian, kebingungan terpancar di wajahnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, mengeluarkan suara notifikasi. Micheal segera mengangkatnya saat melihat nama Alexa di layar ponselnya. "Hallo!" sapa Micheal. "Apa kamu sudah melihat berita?" tanya Alexa dengan nada khawatir. Micheal mengernyit, belum sempat melihat berita hari ini karena sibuk mencari bukti. "Belum, kenapa?" tanyanya penasaran. Alexa menghela napas sebelum menjelaskan, "Berita tentang penyakit Charlie ada
Reporter yang terus mencatat jawaban Ronald akhirnya melontarkan pertanyaan berikutnya, "Pak, bukankah CIPA adalah penyakit keturunan? Lalu, bagaimana dengan kondisi Anda?" Mendengar pertanyaan itu, Ronald menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Kondisi saya sama sekali tidak mempengaruhi kesehatanku, karena sejak masih kecil saya sangat menjaga kesehatan. Menghindari pekerjaan berat dan banyak istirahat. Charlie ingin menjadi militer sehingga dia mengabaikan kondisinya. Saya cukup menyesal karena membiarkan dia bekerja keras sehingga berdampak buruk pada kesehatannya," ujarnya dengan nada pura-pura sedih. Wajah Ronald terlihat muram, matanya berkaca-kaca seolah ingin menangis. Namun, di dalam hatinya, ia merasa lega karena berhasil meyakinkan reporter bahwa ia berhasil mengelabui mereka.Reporter itu mengangguk mengerti, mencatat jawaban Ronald dengan seksama sebelum mengakhiri wawancara.***Alexa yang sedang melihat berita konferensi Pers Ronald sambil bergumam," Ternyata dia
"Brak! Brak!" Suara tabrakan mobil terdengar keras dari kanan kiri jalan. Mobil yang dikendarai oleh Micheal tampak rusak parah, bodi mobil penyok dan kaca jendelanya pecah berantakan. Mobil Micheal hampir-hampir tidak berbentuk lagi. Tabrakan yang terjadi beruntun di sepanjang jalan, membuat Micheal sulit untuk meloloskan diri. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Tak lama kemudian, beberapa mobil besar muncul dari kejauhan, dikendarai oleh prajurit Edward bersama anak buahnya. Mereka bergerak cepat mendekati Micheal yang terperangkap dalam situasi genting ini. "Siapa mereka?" gumam Micheal panik, sambil menyetir dengan gegabah, belok ke kanan dan kiri, kehilangan kendali atas mobilnya. Matanya menatap nanar ke depan, berusaha mencari jalan keluar dari bahaya yang semakin mengancam nyawanya. "Singkirkan mereka!" perintah Edward dengan tegas pada anak buahnya yang ikut dari belakang mobilnya. Segera saja, mobil yang mengikutinya dari belakang m
Charlie dan Emily sedang mengobrol ketika tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Mereka menoleh dan melihat Vivian, istri Charlie, berdiri di pintu dengan ekspresi bingung di wajahnya. "Maaf, aku tidak tahu kamu sedang sibuk," ucap Vivian dengan nada ragu, lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan. Namun, sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, Charlie segera menghampirinya. "Vivian," panggil Charlie, membuat istrinya itu menghentikan langkahnya. "Iya, ada apa?" tanya Vivian. "Aku ingin memperkenalkan Emily kepada kamu. Dia seorang dokter lulusan Kanada yang akan dipindahkan ke sini," jelas Charlie sambil menunjuk ke arah Emily yang masih berdiri di tempatnya. Emily merasa jantungnya berdebar kencang. Sejenak, dia tak bisa berkata apa-apa. Ini adalah pertemuan pertama mereka, dan dia sangat cemas karena sebenarnya dia mencintai Charlie. Emily akhirnya mengumpulkan keberanian dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Vivian. "Halo, Vivian. Senang bisa bertemu denganm
Di dalam ruangan megah berdinding kaca, sejumlah petinggi pemerintah duduk di sekeliling meja rapat yang panjang dan berhiaskan mahkota emas. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela membuat ruangan itu terasa hangat dan menegangkan. Charlie dengan seragam jenderal yang anggun, duduk di ujung meja rapat sambil menatap lurus ke depan, wajahnya terlihat tenang dan bersiap menghadapi apa pun konsekuensi yang diberikan oleh mereka. Raut wajah para petinggi yang serius dan fokus menandakan bahwa topik yang mereka bahas bukanlah hal yang sepele. Beberapa di antara mereka bergumam, sementara yang lain mencatat poin-poin penting pada catatan mereka. Tiba-tiba, salah satu petinggi yang duduk di tengah, seorang pria berkacamata dengan rambut putih, berbicara dengan nada tegas dan keras, "Charlie Parkitson, mengenai informasi yang kami dapatkan, Anda adalah penderita CIPA sejak kecil. Akan tetapi selama ini Anda menutupinya. Apakah penjelasan Anda?" Semua mata langsung tertuju pa