Keringat dingin mulai mengucur di dahi Ryan dan Ruby saat mereka mendengar ancaman Celine yang akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Mereka berdua tak bisa menyembunyikan rasa cemas yang semakin memuncak. "Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini pada kami. Kami sudah membesarkan putrimu. Seharusnya kamu berterima kasih pada kami," teriak Ryan dengan nafas yang tersengal-sengal. Sementara itu, anak buah Celine dengan paksa menarik tangan Ryan ke arah mobil yang telah menunggu. "Alex, layangkan tuntutan pada mereka. Karena telah menculik putriku...," ucap Celine dengan tegas, namun suaranya mendadak terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya."Direktur, apakah ada masalah lain?" tanya Alex dengan nada khawatir. Matanya menatap Celine yang terlihat sedang berpikir keras. "Vivian... aku harus memberitahu dia dan Charlie mengenai hal ini," gumam Celine lirih. Ryan dan Ruby terus menatap Celine dengan penuh kekhawatiran dan ketakutan. Mereka merasa dunia mereka seolah
Micheal mengeluh panjang saat menyusuri jalan di sekitar lokasi kecelakaan yang menimpa Hanz. Dia telah berusaha keras mencari bukti dengan menghampiri semua rumah di sana untuk memeriksa kamera CCTV yang mungkin terpasang di sekitar. Namun, upaya tersebut seakan sia-sia karena tak ada satupun kamera yang ditemukan. "Aku sudah mencari setengah hari di sini dan masih belum dapatkan kamera CCTV, apakah benar tidak ada yang pasang? Tidak mungkin juga, sungguh aneh," gumam Micheal yang berdiri seberang jalan dari lokasi kejadian, kebingungan terpancar di wajahnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, mengeluarkan suara notifikasi. Micheal segera mengangkatnya saat melihat nama Alexa di layar ponselnya. "Hallo!" sapa Micheal. "Apa kamu sudah melihat berita?" tanya Alexa dengan nada khawatir. Micheal mengernyit, belum sempat melihat berita hari ini karena sibuk mencari bukti. "Belum, kenapa?" tanyanya penasaran. Alexa menghela napas sebelum menjelaskan, "Berita tentang penyakit Charlie ada
Reporter yang terus mencatat jawaban Ronald akhirnya melontarkan pertanyaan berikutnya, "Pak, bukankah CIPA adalah penyakit keturunan? Lalu, bagaimana dengan kondisi Anda?" Mendengar pertanyaan itu, Ronald menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Kondisi saya sama sekali tidak mempengaruhi kesehatanku, karena sejak masih kecil saya sangat menjaga kesehatan. Menghindari pekerjaan berat dan banyak istirahat. Charlie ingin menjadi militer sehingga dia mengabaikan kondisinya. Saya cukup menyesal karena membiarkan dia bekerja keras sehingga berdampak buruk pada kesehatannya," ujarnya dengan nada pura-pura sedih. Wajah Ronald terlihat muram, matanya berkaca-kaca seolah ingin menangis. Namun, di dalam hatinya, ia merasa lega karena berhasil meyakinkan reporter bahwa ia berhasil mengelabui mereka.Reporter itu mengangguk mengerti, mencatat jawaban Ronald dengan seksama sebelum mengakhiri wawancara.***Alexa yang sedang melihat berita konferensi Pers Ronald sambil bergumam," Ternyata dia
"Brak! Brak!" Suara tabrakan mobil terdengar keras dari kanan kiri jalan. Mobil yang dikendarai oleh Micheal tampak rusak parah, bodi mobil penyok dan kaca jendelanya pecah berantakan. Mobil Micheal hampir-hampir tidak berbentuk lagi. Tabrakan yang terjadi beruntun di sepanjang jalan, membuat Micheal sulit untuk meloloskan diri. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Tak lama kemudian, beberapa mobil besar muncul dari kejauhan, dikendarai oleh prajurit Edward bersama anak buahnya. Mereka bergerak cepat mendekati Micheal yang terperangkap dalam situasi genting ini. "Siapa mereka?" gumam Micheal panik, sambil menyetir dengan gegabah, belok ke kanan dan kiri, kehilangan kendali atas mobilnya. Matanya menatap nanar ke depan, berusaha mencari jalan keluar dari bahaya yang semakin mengancam nyawanya. "Singkirkan mereka!" perintah Edward dengan tegas pada anak buahnya yang ikut dari belakang mobilnya. Segera saja, mobil yang mengikutinya dari belakang m
Charlie dan Emily sedang mengobrol ketika tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Mereka menoleh dan melihat Vivian, istri Charlie, berdiri di pintu dengan ekspresi bingung di wajahnya. "Maaf, aku tidak tahu kamu sedang sibuk," ucap Vivian dengan nada ragu, lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan. Namun, sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, Charlie segera menghampirinya. "Vivian," panggil Charlie, membuat istrinya itu menghentikan langkahnya. "Iya, ada apa?" tanya Vivian. "Aku ingin memperkenalkan Emily kepada kamu. Dia seorang dokter lulusan Kanada yang akan dipindahkan ke sini," jelas Charlie sambil menunjuk ke arah Emily yang masih berdiri di tempatnya. Emily merasa jantungnya berdebar kencang. Sejenak, dia tak bisa berkata apa-apa. Ini adalah pertemuan pertama mereka, dan dia sangat cemas karena sebenarnya dia mencintai Charlie. Emily akhirnya mengumpulkan keberanian dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Vivian. "Halo, Vivian. Senang bisa bertemu denganm
Di dalam ruangan megah berdinding kaca, sejumlah petinggi pemerintah duduk di sekeliling meja rapat yang panjang dan berhiaskan mahkota emas. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela membuat ruangan itu terasa hangat dan menegangkan. Charlie dengan seragam jenderal yang anggun, duduk di ujung meja rapat sambil menatap lurus ke depan, wajahnya terlihat tenang dan bersiap menghadapi apa pun konsekuensi yang diberikan oleh mereka. Raut wajah para petinggi yang serius dan fokus menandakan bahwa topik yang mereka bahas bukanlah hal yang sepele. Beberapa di antara mereka bergumam, sementara yang lain mencatat poin-poin penting pada catatan mereka. Tiba-tiba, salah satu petinggi yang duduk di tengah, seorang pria berkacamata dengan rambut putih, berbicara dengan nada tegas dan keras, "Charlie Parkitson, mengenai informasi yang kami dapatkan, Anda adalah penderita CIPA sejak kecil. Akan tetapi selama ini Anda menutupinya. Apakah penjelasan Anda?" Semua mata langsung tertuju pa
Vivian terdiam sejenak setelah mendengar nada wanita itu yang sedikit meninggi."Aku akan sampaikan padanya, Tenang saja!" ujar Vivian."Sekarang aku adalah dokter pribadinya, Sebagai dokter aku harus periksa kondisinya setiap hari. Jadi, aku berharap kamu bisa bekerja sama untuk menasehatinya!" ucap Emily dengan nada tinggi. Vivian, yang berusaha tetap tenang, dan menjawab, "Sudah ku katakan, aku akan sampaikan pesananmu padanya." Emily menghela napas, rasa frustrasinya semakin terasa. "Di mana dia sekarang? Aku tidak bisa menghubunginya? Dia adalah pasienku dan harus aku pantau selalu. Jaga makanan dan minumannya. Jangan sampai lalai!" pesan Emily dengan tegas. Vivian mulai merasa curiga. "Apakah wanita ini benar-benar demi kebaikan Charlie atau sedang bermusuhan denganku?"gumamnya.Mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan kediaman, Andrew segera turun dari mobil dan berjalan menuju pintu belakang. Dengan sigap, ia membuka pintu mobil untuk membantu Charlie, atasannya
Pasukan polisi dengan sigap mendobrak pintu penginapan yang diduga menjadi tempat persembunyian tersangka. Suara keras "Brak! Brak!" menggema di lorong penginapan tersebut. Debu dan serpihan kayu berserakan di lantai akibat kejadian yang begitu mendadak. Tersangka yang sedang tidur pulas di kamar seketika terbangun dan terkesiap. Wajahnya tampak pucat dan ketakutan saat menyadari ada banyak polisi bersenjata di sekelilingnya. Salah satu polisi yang memimpin pasukan segera memerintahkan, "Tahan dia!" Supir truk yang merupakan tersangka itu berdiri dengan tubuh telanjang dada dan hanya ditutupi oleh selimut yang ia genggam erat. Dengan suara bergetar, ia bertanya, "Siapa kalian?" "Kami dari LAPD," jawab polisi yang memimpin tadi, sambil menunjuk ke arah tersangka. "Gerard Leans, Kamu ditangkap atas tuduhan melakukan tabrak lari yang menyebabkan kematian korban bernama Hanz." Wajah Gerard menjadi semakin pucat. Matanya terbelalak tak percaya, dan tubuhnya bergetar hebat saat polisi