Dokter berdiri di samping tubuh Rayni yang telah tak bernyawa, meski ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya. Detak jantung Rayni sudah tak terdengar lagi, dan wajah Dokter itu terlihat sangat sedih. Ia menatap Rayni dengan mata berkaca-kaca, mengetahui bahwa ia telah gagal menyelamatkan pasiennya.Dokter itu menghela napas berat sebelum akhirnya berbicara, "Maaf, kami sudah berusaha sekuat tenaga. Namun, tubuh pasien memilih untuk pasrah. Racun yang telah mempengaruhi jantungnya sejak lama membuatnya meninggal akibat gagal jantung." Charlie yang mendengarkan penjelasan Dokter , merasa sedih yang tak terkira. Meskipun ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kenyataan ini, tetap saja perasaan kehilangan itu terasa sangat menyakitkan. Ia menggigit bibirnya untuk menahan tangis, lalu berkata dengan suara bergetar, "Dokter, buat laporan medis kondisi Rayni. Kita akan gunakan laporan tersebut sebagai bukti untuk menangkap pelakunya!" Dokter mengangguk setuju, menatap C
Malam itu, langit dipenuhi dengan gemerlap bintang yang menambah suasana semakin dramatis. Di ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya lampu dinding, Micheal duduk bersama Charlie, Alexa, dan Andrew di Villa Charlie. Mereka saling berpandangan, serius menyimak bukti yang tersimpan dalam flashdisk yang ditinggalkan oleh Rayni. Ungkapan tegang terpancar dari wajah mereka, terutama Charlie yang terlihat menahan amarah. Di tengah kesunyian, tiba-tiba Alexa bangkit dari duduknya, berjalan kesana-kemari sambil meremas-remas tangannya, seolah mencari jawaban dari pertanyaan yang mengganjal di benaknya. "Dengan semua bukti dan saksi yang terkumpul, kapan kita akan mengambil tindakan?" tanya Alexa, suaranya terdengar penuh dengan kegusaran. Charlie menatap lurus ke arah Alexa,"Aku butuh pengakuan papaku," ujarnya lirih, "Untuk membuktikan bahwa dirinya dikurung selama tiga puluh lima tahun." "Dua anak buah Ronald sama sekali tidak tahu menahu soal ini, Mereka hanya dibayar untuk mengawas
Ronald memperhatikan reaksi Charlie dan merasa curiga," Panggilan apa yang membuatnya terkejut?" batinnya.Sesaat kemudian Charlie memutuskan panggilannya. Ia kemudian dengan tegas mengatakan," Edward, Antar mereka keluar dan pastikan di saat aku tidak ada. Jangan membiarkan mereka masuk!" perintah Charlie."Siap, Jenderal!" jawab Edward."Charlie, kamu jangan lupa kondisi kesehatanmu! Kamu hanya akan menghambat prajurit lain. Saat perang kau tidak bisa ikut memimpin prajuritmu. Hari ini tujuanku adalah ingin menarik semua prajurit yang di bawah pimpinanmu!" kata Ronald."Pak Perdana Menteri, Anda benar-benar tidak ada kesabaran. Persidangan belum dimulai. Apakah kamu begitu takut denganku?" tanya Charlie dengan sengaja."Aku bukannya tidak tahu, Kau hanya sengaja ingin mengulur waktu," ujar Ronald.Charlie mendekati Ronald dengan tatapan tajam," Apakah aku begitu menakutkan sehingga seorang perdana menteri datang ke sini hanya untuk memecatku dan mengusirku?" tanya Charlie dengan sen
"Saya akan periksa kondisi Anda. Berbaringlah dulu!" ujar Dokter Cale tegas, menunjukkan kepeduliannya sebagai seorang dokter.Charlie terlihat pucat pasi, tubuhnya lemas dan tak berdaya. Ia berbaring di tempat tidur, masih memejamkan matanya, berusaha meredakan rasa pusing yang kian menggelayut di kepalanya. Vivian, yang sangat mencemaskan kondisi suaminya, tak henti-hentinya memegang erat tangan Charlie. Ia duduk di samping tempat tidur, menemani dan memberikan dukungan moril agar suaminya segera pulih dari rasa sakit yang mendera."Bagaimana keadaan suami saya?" tanya Vivian."Kondisi tubuhnya semakin buruk, yang artinya adalah akan lumpuh atau koma secara tiba-tiba," jawab Dokter itu.Vivian serasa hancur mendengar penjelasan dokter tersebut. Hatinya cemas dan sedih."Dokter Cale, tolong selamatkan suami saya, Di saat ini dia tidak boleh tumbang. Kalau tidak mereka akan sengaja menyerangnya," pinta Vivian.Charlie berbaring lemah di ranjang rumahnya, wajahnya pucat pasi dan tubuh
Suasana persidangan tertutup yang hanya dihadiri oleh sejumlah petinggi. Para reporter berkumpul di luar menunggu hasil tersebut.Hakim negara duduk tegak di balik meja pengadilan, mengawasi ruangan yang dipenuhi oleh para pejabat tinggi yang datang untuk menyaksikan persidangan tersebut. "Jenderal Charlie, hasil laporan medis mengatakan bahwa Anda adalah seorang penderita CIPA. Kenapa selama ini Anda menyembunyikan dari semua orang?" tanya Hakim negara dengan tegas. "Anda harusnya sudah tahu sejak awal, bahwa seorang prajurit harus memiliki tubuh yang sehat agar tidak menganggu aktivitas prajurit lainnya. Seperti di medan perang. Akan tetapi, Anda memilih diam. Apa penjelasan Anda?" Jenderal Charlie menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya sebelum menjawab pertanyaan Hakim negara. "Yang Mulia, saya memang menyembunyikan kondisi saya karena saya tidak ingin diperlakukan berbeda oleh rekan-rekan saya di militer. Selain itu saya yakin bahwa saya akan menjadi anggot
Hakim terlihat serius membaca berkas yang diberikan oleh Micheal. Di tangannya, foto-foto mengerikan kecelakaan Hanz terpampang jelas. Setiap foto menunjukkan betapa parahnya kecelakaan itu dan bagaimana nasib malang yang menimpa Hanz. Hakim tak mampu menahan emosi saat melihat kondisi Hanz yang sangat mengenaskan dalam foto itu. Selain hakim, Micheal juga memberikan foto tersebut kepada para petinggi yang hadir di ruangan itu. Mereka saling berpandangan, satu sama lain terlihat terkejut dan sedih dengan apa yang mereka lihat. Micheal kemudian mulai berbicara, "Tanggal 18 Februari lalu, korban Hanz Savaldo mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya. Pelakunya yang tidak bertanggung jawab langsung kabur setelah memastikan korban sudah tidak berdaya dan sekarat. Beberapa hari yang lalu, pihak kepolisian berhasil menemukan pelakunya. Segala bukti sudah kami tahan," ucap Micheal dengan nada tegas dan penuh emosi. Semua orang yang hadir di ruangan itu terdiam, mencerna informas
Kemarahan meluap di wajah Ronald, urat-urat di dahinya menegang dan matanya menyala. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi, bangkit berdiri dari kursinya, dan berteriak dengan suara lantang, "Jaksa Loas! Apakah kamu disuap? Berani sekali kau menuduhku! Semua ini tidak benar sama sekali!" Serentak, seluruh ruangan pengadilan terdiam. Jaksa penuntut hukum, Micheal, tak gentar. Ia menatap Ronald dengan tatapan tajam dan berkata dengan mantap, "Apa yang dikatakan oleh saya adalah benar. Saat itu, demi membungkam rahasia ini, Anda meminta anggota-anggotamu membunuh semua pelayan dan anggota kediaman mantan perdana menteri. Karena mereka adalah saksi mata." Hakim dan para petinggi yang hadir dalam ruangan pengadilan terlihat kecewa dengan sikap Ronald yang semakin meradang. Wajah mereka penuh kebencian dan ketidakpercayaan terhadap pria yang dulu dianggap sebagai sosok terhormat. Mereka menatap Ronald dengan pandangan yang mencerminkan rasa kecewa yang mendalam. Di tengah heningnya ruangan
Begitu pintu ruangan persidangan terbuka, seluruh mata tertuju pada seorang pria tua dan lemah yang datang dengan kursi roda. Ia didorong oleh Vivian dan dokter Cale. Wajah pria itu pucat, dengan garis-garis yang jelas tergambar di wajahnya, menunjukkan perjuangan yang panjang dalam hidupnya. Semua petinggi, termasuk Ronald yang mengenal sosok pria tersebut, langsung bangkit dan terbelalak kaget. Seorang perdana menteri yang hilang tanpa jejak selama 35 tahun kini muncul di hadapan mereka dalam kondisi yang jauh dari kesan seorang pemimpin. Charlie, juga ikut bangkit dan hampir tidak percaya melihat sosok di depannya. Ayahnya, yang selama ini dikabarkan koma, kini telah sadar dan hadir di tengah persidangan penting ini. Suasana ruangan seketika menjadi hening. Ia sama sekali belum mengetahui tentang kesadaran ayahnya itu.Ronald merasa ajal sudah tiba, ketika melihat sosok yang tak pernah ia duga akan muncul di ruang persidangan. Mike, pria yang selama ini dia kurung. tiba-tiba mun
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya