Hakim terlihat serius membaca berkas yang diberikan oleh Micheal. Di tangannya, foto-foto mengerikan kecelakaan Hanz terpampang jelas. Setiap foto menunjukkan betapa parahnya kecelakaan itu dan bagaimana nasib malang yang menimpa Hanz. Hakim tak mampu menahan emosi saat melihat kondisi Hanz yang sangat mengenaskan dalam foto itu. Selain hakim, Micheal juga memberikan foto tersebut kepada para petinggi yang hadir di ruangan itu. Mereka saling berpandangan, satu sama lain terlihat terkejut dan sedih dengan apa yang mereka lihat. Micheal kemudian mulai berbicara, "Tanggal 18 Februari lalu, korban Hanz Savaldo mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya. Pelakunya yang tidak bertanggung jawab langsung kabur setelah memastikan korban sudah tidak berdaya dan sekarat. Beberapa hari yang lalu, pihak kepolisian berhasil menemukan pelakunya. Segala bukti sudah kami tahan," ucap Micheal dengan nada tegas dan penuh emosi. Semua orang yang hadir di ruangan itu terdiam, mencerna informas
Kemarahan meluap di wajah Ronald, urat-urat di dahinya menegang dan matanya menyala. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi, bangkit berdiri dari kursinya, dan berteriak dengan suara lantang, "Jaksa Loas! Apakah kamu disuap? Berani sekali kau menuduhku! Semua ini tidak benar sama sekali!" Serentak, seluruh ruangan pengadilan terdiam. Jaksa penuntut hukum, Micheal, tak gentar. Ia menatap Ronald dengan tatapan tajam dan berkata dengan mantap, "Apa yang dikatakan oleh saya adalah benar. Saat itu, demi membungkam rahasia ini, Anda meminta anggota-anggotamu membunuh semua pelayan dan anggota kediaman mantan perdana menteri. Karena mereka adalah saksi mata." Hakim dan para petinggi yang hadir dalam ruangan pengadilan terlihat kecewa dengan sikap Ronald yang semakin meradang. Wajah mereka penuh kebencian dan ketidakpercayaan terhadap pria yang dulu dianggap sebagai sosok terhormat. Mereka menatap Ronald dengan pandangan yang mencerminkan rasa kecewa yang mendalam. Di tengah heningnya ruangan
Begitu pintu ruangan persidangan terbuka, seluruh mata tertuju pada seorang pria tua dan lemah yang datang dengan kursi roda. Ia didorong oleh Vivian dan dokter Cale. Wajah pria itu pucat, dengan garis-garis yang jelas tergambar di wajahnya, menunjukkan perjuangan yang panjang dalam hidupnya. Semua petinggi, termasuk Ronald yang mengenal sosok pria tersebut, langsung bangkit dan terbelalak kaget. Seorang perdana menteri yang hilang tanpa jejak selama 35 tahun kini muncul di hadapan mereka dalam kondisi yang jauh dari kesan seorang pemimpin. Charlie, juga ikut bangkit dan hampir tidak percaya melihat sosok di depannya. Ayahnya, yang selama ini dikabarkan koma, kini telah sadar dan hadir di tengah persidangan penting ini. Suasana ruangan seketika menjadi hening. Ia sama sekali belum mengetahui tentang kesadaran ayahnya itu.Ronald merasa ajal sudah tiba, ketika melihat sosok yang tak pernah ia duga akan muncul di ruang persidangan. Mike, pria yang selama ini dia kurung. tiba-tiba mun
" Pa, dari sejak kecil aku berusaha untuk berlatih lebih keras, Agar aku bisa berhasil menjadi seorang Militer yang melindungi negara kita. Dan aku berhasil. Pa, aku tidak pernah menyesalinya. Walau kondisiku akan semakin memburuk. Akan tetapi, Aku tidak ingin hanya menjadi seorang pesakit. Aku tidak ingin dikalahkan oleh CIPA. Oleh sebab itu aku sangat yakin dengan setiap langkah yang aku lalui," Ujar Charlie."Papa mengerti maksudmu, Bryan, Kamu menjadi anak kebanggaan keluarga kita. Mamamu pasti bahagia di alam sana. Walau hidupku gagal melindungi-mu dan mama-mu. Tapi, kamu harus melindungi keluargamu dengan baik. Vivian adalah gadis yang baik. Cintai dan hargai dia dengan tulus. Jangan sakiti perasaan seorang wanita. Karena dia akan menjadi pedamping hidupmu selamanya!" kata Mike.Bryan tersenyum dan mengangguk," Tenang saja! Vivian adalah istriku. Aku akan melindunginya dengan baik."Pukul 23.00Bryan dan Vivian duduk berdampingan di sofa yang empuk di kamar mereka. Dalam kehenin
Para petinggi berkumpul di ruangan yang megah, dindingnya dipenuhi dengan bendera dan lambang negara. Setelah tiga tersangka berhasil ditahan, Mereka semua kembali ke gedung pemerintah.Keputusan mengenai jabatan Charlie Parkitson menjadi topik utama pembahasan mereka. Suasana ruangan terasa berat, penuh tekanan dan ketegangan. "Setelah kami berunding mengenai jabatan Jenderal Charlie...," ucap salah seorang petinggi, terhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Maksud kami adalah Jenderal Bryan Anderson. Kami telah memutuskan berharap Anda tetap menjabat sebagai Jenderal kebanggaan negara kita," ucap petinggi itu dengan tegas dan penuh keyakinan. Suasana di ruangan semakin hening, semua mata tertuju pada Bryan yang masih belum memberikan jawaban. Bryan menarik napas dalam-dalam, menatap para petinggi satu per satu sebelum akhirnya mengeluarkan suara yang menjadi penentu nasibnya dan negara.Bryan mengingat kembali permintaan istrinya yang berharap dirinya berhenti dengan urusan negara. "J
Emily tersinggung dengan perkataan Jaksa itu," Kenapa kamu bicara seperti itu padaku? Seolah-olah aku mengodanya. Kita sudah saling kenal, Micheal. Aku adalah seorang dokter lulusan dari Kanada. Apa mungkin aku akan melakukan hal serendah itu?" ujar Emily.Micheal tersenyum sinis saat berkata, "Apa yang kamu katakan berbeda dengan pikiranmu. Emily, Bryan, dan Vivian adalah pasangan yang tidak terpisahkan. Jadi, tolong jaga jarakmu dengan dia!" ucapnya dengan tegas. Tangannya dikepal erat, mencoba menenangkan diri. Setelah itu, Micheal melangkah menghampiri mobilnya, berusaha menyembunyikan rasa marah yang tengah meluap. Alexa, yang berdiri di samping mobil, merasakan suasana yang tidak menyenangkan. Ia menatap Emily dengan sedikit kesal dan di satu sisi ia masih berduka karena baru mengantar kepergian temannya. "Aku akan kembali ke kantor, bagaimana denganmu?" tanya Micheal pada Alexa."Aku akan pulang ke rumah," jawab Alexa dengan suara serak. Micheal mengangguk, raut wajahnya ma
Kota itu gempar dengan hukuman mati yang telah dilaksanakan oleh petugas. Ronald Parkitson, pria yang selama ini membohongi mereka semua. Reporter pun sibuk meliput jalannya hukuman mati yang berjalan dengan lancar. Di tengah kerumunan, teriakan nama Mike Anderson, mantan Perdana Menteri 35 tahun yang lalu, terdengar nyaring. Para warga bersorak, mengagungkan jasa-jasa Mike yang telah menjadi korban dari kebusukan Ronald. Mike, yang dulu pernah memimpin mereka dengan tulus, kini harus merasakan pahitnya menjadi korban dari orang yang tak berperikemanusiaan. Berbagai ungkapan pujian dan simpati mengalir dari warga kepada media mengenai kondisi Mike. Wajah-wajah yang datang menunjukkan rasa lega dan kepuasan atas keadilan yang sudah ditegakkan. "Mike adalah pemimpin yang baik, dia tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti ini!" seru seorang ibu-ibu yang berdiri di antara kerumunan. "Kami berharap semoga Mike segera pulih dan bisa kembali ke kehidupan normal," tambah pria paruh baya
Di sepanjang jalan Micheal hanya memikirkan kasus yang dilakukan oleh pasangan itu."Sepertinya aku harus memberitahu Charlie...," ucap Micheal yang terhenti sejenak kemudian melanjutkan," Kenapa aku lupa terus namanya sekarang adalah Byran Anderson."Celine tengah duduk di ruang tamu Mansionnya, matanya tak lepas dari layar televisi yang menampilkan berita menggemparkan tentang keluarga Anderson. Sebuah rahasia besar terkuak, mengungkap hubungan Mike Anderson dan Charlie Parkitson yang kini telah mengganti nama menjadi Bryan Anderson. Wajah Celine tampak heran. tak menyangka berita ini akan menjadi buah bibir di seluruh Los Angeles. "Ternyata mantan perdana menteri itu diculik dan dikurung selama ini. Charlie adalah Bryan, tidak ku sangka seorang jenderal tangguh adalah penderita CIPA, sejenis penyakit yang menakutkan," gumam Celine dengan nada terkejut. Pikirannya melayang kepada Vivian, anak yang selama ini dicari-cari olehnya dan kini telah ditemukan. "Vivian, Mama tidak sabar
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya