Wajahnya Celine tampak muram, matanya berkaca-kaca, dan air mata perlahan mengalir membasahi pipinya yang pucat. Hatinya terasa hampa, merindukan sosok putrinya yang selama ini terpisah darinya. "Jangan khawatir! Vivian pasti akan mengakuimu sebagai ibunya," ucap Bryan, mencoba memberi semangat. Celine menatap Bryan dengan harap. "Apakah benar, dia akan mengakui saya sebagai ibunya? Saya ragu dan takut kalau dia menolak berjumpa dengan saya. Karena dia menderita dari kecil hingga dewasa. Semua itu karena saya sebagai orang tua tidak bisa melindunginya." Bryan berusaha memberikan dukungan. "Percayalah, Vivian pasti akan mengerti. Aku akan memberitahunya tentang hal ini. Beri dia sedikit waktu. Aku yakin dia pasti akan semakin kecewa dan terluka setelah mengetahui perbuatan Ryan dan Ruby!" kata Bryan.Celine mengangguk perlahan, berusaha menahan isak tangis yang semakin menjadi. Hatinya berkecamuk, mencoba menemukan keberanian untuk menghadapi putrinya nanti. Celine kemudian menyeka
Vivian mengepal tangannya, geram memikirkan perbuatan kedua orang tuanya."Aku baru mengerti, Kenapa selama ini mereka selalu keras dan membenciku. Ternyata karena aku bukan anak kandung mereka," ucap Vivian sedih.Bryan memegang tangan istrinya," Vivian, apakah kamu akan bertemu dengan Celine? Dia sudah tahu sejak awal. Tapi, karena belakangan ini banyak hal yang terjadi. Sehingga dia tidak ingin menganggu kita."Vivian yang masih belum menerima kenyataan perbuatan kedua orang tua angkatnya, Ia menunduk sedih dan menghela nafas panjang."Aku ingin bertemu dengan mereka berdua!" jawab Vivian."Aku akan mengantarmu ke sana," kata Bryan.Keesokan harinya, Bryan dan Vivian mengunjungi Ruby dan Ryan yang sedang ditahan di ruang pertemuan penjara akibat kasus penculikan yang melibatkan mereka berdua. Mereka diduga menculik Vivian saat ia masih bayi, dan kini mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di ruang pertemuan, Vivian dan Bryan duduk berhadapan dengan Ruby dan Ryan yang ta
Polisi itu menarik lengan Ryan dengan kuat, menjauhkan pria paruh baya itu dari Bryan yang masih berdiri tegak dengan tatapan tajamnya. Ryan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena cengkraman polisi itu begitu kuat. "Permohonanmu tidak akan kukabulkan, Mulai hari ini nikmatilah hidup kalian di sini," jawab Bryan tanpa rasa simpati, mengisyaratkan kepada polisi untuk membawa Ryan dan Ruby ke dalam penjara. "Jenderal, kamu adalah pahlawan negara, apakah begitu tega melihat kami yang sudah tua ini masuk penjara?" tanya Ruby dengan mata berkaca-kaca, tangisan terisak-isak terdengar dari bibir wanita itu. Tubuhnya gemetar ketakutan, namun ia tetap berusaha memohon belas kasihan dari Bryan. Namun, tatapan Bryan tidak goyah. Seakan tak ada rasa belas kasihan dalam hatinya. "Selama 20 tahun lebih aku memanggil kalian sebagai papa dan mamaku. Tapi, sekalipun kalian tidak menganggapku sebagai anak kalian. Sekarang baru memohon melepaskan kalian," ujar Vivian dengan suara yang serak
"Lebih baik pertimbangkan lagi, Vivian Alexander adalah istri seorang Jenderal. Ingin mempermalukan dia bukan ide yang bagus. Lagi pula sebagian orang sudah mengetahui masa lalunya. Dia bercerai karena suaminya yang berselingkuh. Bukan salah pada dirinya," jawab pria itu.Emily yang masih tidak puas, sedang memikirkan cara untuk memisahkan Vivian dari suaminya," Seorang wanita yang tidak memiliki latar belakang yang baik berani menjadi istri Charlie. Dia bermimpi terlalu jauh," kata Emily."Menyebarkan masa lalu seseorang sama saja ingin mencemarkan nama baiknya. Kalau sudah kenal siapa suaminya. Lantas, kenapa harus menanggung risikonya lagi," ujar pria itu yang kemudian bangkit dari tempat duduknya.Emily memandang pria itu dengan tatapan tajam," Karena aku hanya ingin membuka mata suaminya besar-besar. Ketika berlian di depan mata, kenapa memilih batu jalanan untuk dijadikan istri," jawab Emily."Aku rasa Jenderal sudah tahu masa lalu Vivian, Jadi, untuk apa lagi Anda berusaha memi
"Baik, Tuan," jawab asistennya yang kemudian menghubungi seseorang melalui ponselnya.Billy menatap mereka yang masih bertengkar dan sama-sama tidak mau mengalah. Pria botak itu mulai menarik krah baju Vivian.Di tengah kerumunan orang yang menyaksikan kejadian itu, pria botak itu mulai menarik krah baju Vivian dengan kasar, membuatnya sesak napas. Ekspresi wajah Vivian tampak ketakutan, namun ia mencoba berani menghadapi pria tersebut. "Aku bisa menuntutmu bertindak kasar padaku," bentak Vivian yang berusaha mendorong pria itu, akan tetapi kalah tenaganya. Keringat dingin bercucuran di wajahnya, namun tekadnya tak gentar. "Lakukan saja kalau kau berani, bayar atau tidak? Kalau tidak, jangan berharap bisa kabur!" kecam pria itu mengancam, dengan senyum sinis yang menyiratkan kebengisan. "Aku tidak takut, kita ke kantor polisi saja," jawab Vivian dengan suara mengeras. mencoba menunjukkan keberaniannya meski takut. Mata pria botak itu terpaku pada kalung yang dikenakan di leher Viv
Tepat pukul 01.00 dini hari, Bryan yang telah kembali ke hotel, terbangun dengan wajahnya yang pucat pasi. Dengan langkah gontai dan mata yang setengah terpejam, ia berjalan menuju kamar mandi. Begitu sampai di sana, ia langsung menutup pintu dengan perlahan lalu berjongkok sambil memegang kepalanya yang terasa pusing.Pandangan Bryan menjadi buram, dan ia memejamkan matanya berulang kali, mencoba untuk mengendalikan rasa tidak nyaman yang mendera. "Tolong jangan kambuh lagi! Aku tidak ingin istriku mencemaskanku," gumam Bryan dalam hati, ketakutan akan kondisinya yang mungkin kembali memburuk. Wajah Bryan tampak semakin pucat, dan ekspresinya menunjukkan betapa menderita yang ia rasakan. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ingatan tentang Dokter Cale muncul di benaknya. Dokter itu pernah berkata dengan tegas, "Tuan, Anda harus rawat inap, kalau tidak, cepat atau lambat Anda akan koma atau pun lumpuh." Mendengar kata-kata itu, Bryan semakin merasa ketakutan dan khawatir akan kondisi
Seorang pria paruh baya berjalan dengan langkah pasti menuju ruangan kantor Billy yang luas, megah, dan berkilau. Mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang terikat sempurna, wajahnya terlihat serius namun tenang. Begitu pintu terbuka, ia melihat Billy duduk santai di belakang meja besarnya, bersilang kaki dan menatap tajam ke arahnya. "Tuan Maxwel, saya mendengar informasi bahwa pria itu dibunuh oleh Anda. Kenapa tidak memecatnya saja? Aku tidak ingin kematiannya menarik perhatian polisi," ucap pria paruh baya itu dengan nada tegas namun terkendali. Billy tersenyum sinis, menatap pria itu dengan tatapan dingin. "Bukankah kamu bisa memanipulasi kematian seseorang? Lakukan saja," jawabnya dengan angkuh. Pria paruh baya itu meneguk ludah, mencoba meredam rasa takut yang mulai menjalar. "Kalau begini terus, mereka akan curiga dengan kita," ujarnya dengan nada cemas. Billy tertawa kecil, tatapan matanya semakin tajam. " Kalau sampai mereka curiga, itu berarti kegagalanmu. Sebagai salah
Pagi itu, matahari bersinar cerah di langit biru dan burung-burung berkicau riang, menambah kebahagiaan Mike yang baru beberapa hari menerima pengobatan rutin. Kini, kondisi tubuhnya mulai membaik. Wajahnya yang pucat kini kembali berseri, dan senyuman bahagia merekah di bibirnya setelah sekian lama berjuang melawan penyakit. Mike berjalan-jalan di halaman bunga yang indah, ditemani putranya, Bryan. Kursi roda yang digunakan Mike melintasi jalanan bercorak batu, bergerak pelan mengikuti langkah Bryan yang berjalan di sampingnya. Aroma bunga yang harum dan segar semakin menambah suasana yang damai dan menenangkan. "Apa kamu menerima pengobatan?" tanya Mike dengan suara lembut, menatap Bryan yang terlihat gembira melihat kondisi ayahnya yang membaik. "Dokter Cale sering memeriksa kondisiku, aku baik-baik saja!" jawab Bryan dengan senyuman, berusaha meyakinkan ayahnya bahwa dia juga dalam kondisi yang prima. Mike mengangguk, lega mendengar kabar baik itu. Ia menatap sekeliling, meman