Polisi itu menarik lengan Ryan dengan kuat, menjauhkan pria paruh baya itu dari Bryan yang masih berdiri tegak dengan tatapan tajamnya. Ryan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena cengkraman polisi itu begitu kuat. "Permohonanmu tidak akan kukabulkan, Mulai hari ini nikmatilah hidup kalian di sini," jawab Bryan tanpa rasa simpati, mengisyaratkan kepada polisi untuk membawa Ryan dan Ruby ke dalam penjara. "Jenderal, kamu adalah pahlawan negara, apakah begitu tega melihat kami yang sudah tua ini masuk penjara?" tanya Ruby dengan mata berkaca-kaca, tangisan terisak-isak terdengar dari bibir wanita itu. Tubuhnya gemetar ketakutan, namun ia tetap berusaha memohon belas kasihan dari Bryan. Namun, tatapan Bryan tidak goyah. Seakan tak ada rasa belas kasihan dalam hatinya. "Selama 20 tahun lebih aku memanggil kalian sebagai papa dan mamaku. Tapi, sekalipun kalian tidak menganggapku sebagai anak kalian. Sekarang baru memohon melepaskan kalian," ujar Vivian dengan suara yang serak
"Lebih baik pertimbangkan lagi, Vivian Alexander adalah istri seorang Jenderal. Ingin mempermalukan dia bukan ide yang bagus. Lagi pula sebagian orang sudah mengetahui masa lalunya. Dia bercerai karena suaminya yang berselingkuh. Bukan salah pada dirinya," jawab pria itu.Emily yang masih tidak puas, sedang memikirkan cara untuk memisahkan Vivian dari suaminya," Seorang wanita yang tidak memiliki latar belakang yang baik berani menjadi istri Charlie. Dia bermimpi terlalu jauh," kata Emily."Menyebarkan masa lalu seseorang sama saja ingin mencemarkan nama baiknya. Kalau sudah kenal siapa suaminya. Lantas, kenapa harus menanggung risikonya lagi," ujar pria itu yang kemudian bangkit dari tempat duduknya.Emily memandang pria itu dengan tatapan tajam," Karena aku hanya ingin membuka mata suaminya besar-besar. Ketika berlian di depan mata, kenapa memilih batu jalanan untuk dijadikan istri," jawab Emily."Aku rasa Jenderal sudah tahu masa lalu Vivian, Jadi, untuk apa lagi Anda berusaha memi
"Baik, Tuan," jawab asistennya yang kemudian menghubungi seseorang melalui ponselnya.Billy menatap mereka yang masih bertengkar dan sama-sama tidak mau mengalah. Pria botak itu mulai menarik krah baju Vivian.Di tengah kerumunan orang yang menyaksikan kejadian itu, pria botak itu mulai menarik krah baju Vivian dengan kasar, membuatnya sesak napas. Ekspresi wajah Vivian tampak ketakutan, namun ia mencoba berani menghadapi pria tersebut. "Aku bisa menuntutmu bertindak kasar padaku," bentak Vivian yang berusaha mendorong pria itu, akan tetapi kalah tenaganya. Keringat dingin bercucuran di wajahnya, namun tekadnya tak gentar. "Lakukan saja kalau kau berani, bayar atau tidak? Kalau tidak, jangan berharap bisa kabur!" kecam pria itu mengancam, dengan senyum sinis yang menyiratkan kebengisan. "Aku tidak takut, kita ke kantor polisi saja," jawab Vivian dengan suara mengeras. mencoba menunjukkan keberaniannya meski takut. Mata pria botak itu terpaku pada kalung yang dikenakan di leher Viv
Tepat pukul 01.00 dini hari, Bryan yang telah kembali ke hotel, terbangun dengan wajahnya yang pucat pasi. Dengan langkah gontai dan mata yang setengah terpejam, ia berjalan menuju kamar mandi. Begitu sampai di sana, ia langsung menutup pintu dengan perlahan lalu berjongkok sambil memegang kepalanya yang terasa pusing.Pandangan Bryan menjadi buram, dan ia memejamkan matanya berulang kali, mencoba untuk mengendalikan rasa tidak nyaman yang mendera. "Tolong jangan kambuh lagi! Aku tidak ingin istriku mencemaskanku," gumam Bryan dalam hati, ketakutan akan kondisinya yang mungkin kembali memburuk. Wajah Bryan tampak semakin pucat, dan ekspresinya menunjukkan betapa menderita yang ia rasakan. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ingatan tentang Dokter Cale muncul di benaknya. Dokter itu pernah berkata dengan tegas, "Tuan, Anda harus rawat inap, kalau tidak, cepat atau lambat Anda akan koma atau pun lumpuh." Mendengar kata-kata itu, Bryan semakin merasa ketakutan dan khawatir akan kondisi
Seorang pria paruh baya berjalan dengan langkah pasti menuju ruangan kantor Billy yang luas, megah, dan berkilau. Mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang terikat sempurna, wajahnya terlihat serius namun tenang. Begitu pintu terbuka, ia melihat Billy duduk santai di belakang meja besarnya, bersilang kaki dan menatap tajam ke arahnya. "Tuan Maxwel, saya mendengar informasi bahwa pria itu dibunuh oleh Anda. Kenapa tidak memecatnya saja? Aku tidak ingin kematiannya menarik perhatian polisi," ucap pria paruh baya itu dengan nada tegas namun terkendali. Billy tersenyum sinis, menatap pria itu dengan tatapan dingin. "Bukankah kamu bisa memanipulasi kematian seseorang? Lakukan saja," jawabnya dengan angkuh. Pria paruh baya itu meneguk ludah, mencoba meredam rasa takut yang mulai menjalar. "Kalau begini terus, mereka akan curiga dengan kita," ujarnya dengan nada cemas. Billy tertawa kecil, tatapan matanya semakin tajam. " Kalau sampai mereka curiga, itu berarti kegagalanmu. Sebagai salah
Pagi itu, matahari bersinar cerah di langit biru dan burung-burung berkicau riang, menambah kebahagiaan Mike yang baru beberapa hari menerima pengobatan rutin. Kini, kondisi tubuhnya mulai membaik. Wajahnya yang pucat kini kembali berseri, dan senyuman bahagia merekah di bibirnya setelah sekian lama berjuang melawan penyakit. Mike berjalan-jalan di halaman bunga yang indah, ditemani putranya, Bryan. Kursi roda yang digunakan Mike melintasi jalanan bercorak batu, bergerak pelan mengikuti langkah Bryan yang berjalan di sampingnya. Aroma bunga yang harum dan segar semakin menambah suasana yang damai dan menenangkan. "Apa kamu menerima pengobatan?" tanya Mike dengan suara lembut, menatap Bryan yang terlihat gembira melihat kondisi ayahnya yang membaik. "Dokter Cale sering memeriksa kondisiku, aku baik-baik saja!" jawab Bryan dengan senyuman, berusaha meyakinkan ayahnya bahwa dia juga dalam kondisi yang prima. Mike mengangguk, lega mendengar kabar baik itu. Ia menatap sekeliling, meman
Vivian berdiri di samping kasur sambil melipat pakaian suaminya, Bryan, yang akan segera berangkat besok. Raut wajahnya murung, penuh kekhawatiran. Terasa cemas menghantui hatinya. "Aku tidak bisa membiarkan Bryan pulang sendirian. Aku ingin menemani dia," gumamnya dalam hati. Setelah selesai melipat pakaian Bryan, Vivian kemudian mengeluarkan pakaiannya sendiri dari lemari, berniat untuk melipatnya dan memasukannya ke dalam koper miliknya. Namun, tiba-tiba Bryan masuk ke kamar dan melihat istrinya itu sedang berkemas. "Vivian, apa yang kamu lakukan?" tanya Bryan heran, matanya menatap tajam ke arah istrinya. "Aku akan ikut denganmu," jawab Vivian dengan suara lirih namun tegas. Bryan menghela napas, lalu menghampiri Vivian. "Tidak perlu! Aku hanya sebentar," kata Bryan, mencoba meyakinkan istrinya sambil mengelus pundaknya lembut. "Aku akan kembali secepatnya. Percayalah padaku, Honey." "Katakan padaku, apakah terjadi sesuatu sehingga kamu tidak ingin aku ikut denganmu?" tanya V
Setiap hari, Vivian menjalani rutinitas yang sama. Bangun pagi, menyiapkan sarapan, dan duduk di depan jendela dengan ponsel di tangan, menunggu pesan dari suaminya yang jauh di sana. Hati Vivian selalu berdebar kencang, mencerminkan kekhawatiran yang menghantuinya. Suatu malam, Vivian duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya yang belum berubah. Ia merasa gelisah, tak dapat menenangkan pikirannya. "Kenapa perasaanku tidak nyaman sekali, apakah terjadi sesuatu padanya?" gumam Vivian pelan. Vivian menggigit bibirnya, ingin menghubungi suaminya tetapi takut mengganggunya di saat yang mungkin sibuk. Perasaan menunggu yang tak pasti ternyata sangat menyiksa. Matanya berkaca-kaca, merenung dalam keheningan yang menyesakkan dada. Andrew datang menghampiri Vivian yang duduk sofa ruang tamu."Nyonya, sudah malam. Kenapa masih belum istirahat?" tanya Andrew.Vivian menatap pengawal setia suaminya itu," Aku mencemaskan Bryan. Walau Edward mengatakan dia sedang sibuk. Akan tetapi, hatiku t
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya