"Lebih baik pertimbangkan lagi, Vivian Alexander adalah istri seorang Jenderal. Ingin mempermalukan dia bukan ide yang bagus. Lagi pula sebagian orang sudah mengetahui masa lalunya. Dia bercerai karena suaminya yang berselingkuh. Bukan salah pada dirinya," jawab pria itu.Emily yang masih tidak puas, sedang memikirkan cara untuk memisahkan Vivian dari suaminya," Seorang wanita yang tidak memiliki latar belakang yang baik berani menjadi istri Charlie. Dia bermimpi terlalu jauh," kata Emily."Menyebarkan masa lalu seseorang sama saja ingin mencemarkan nama baiknya. Kalau sudah kenal siapa suaminya. Lantas, kenapa harus menanggung risikonya lagi," ujar pria itu yang kemudian bangkit dari tempat duduknya.Emily memandang pria itu dengan tatapan tajam," Karena aku hanya ingin membuka mata suaminya besar-besar. Ketika berlian di depan mata, kenapa memilih batu jalanan untuk dijadikan istri," jawab Emily."Aku rasa Jenderal sudah tahu masa lalu Vivian, Jadi, untuk apa lagi Anda berusaha memi
"Baik, Tuan," jawab asistennya yang kemudian menghubungi seseorang melalui ponselnya.Billy menatap mereka yang masih bertengkar dan sama-sama tidak mau mengalah. Pria botak itu mulai menarik krah baju Vivian.Di tengah kerumunan orang yang menyaksikan kejadian itu, pria botak itu mulai menarik krah baju Vivian dengan kasar, membuatnya sesak napas. Ekspresi wajah Vivian tampak ketakutan, namun ia mencoba berani menghadapi pria tersebut. "Aku bisa menuntutmu bertindak kasar padaku," bentak Vivian yang berusaha mendorong pria itu, akan tetapi kalah tenaganya. Keringat dingin bercucuran di wajahnya, namun tekadnya tak gentar. "Lakukan saja kalau kau berani, bayar atau tidak? Kalau tidak, jangan berharap bisa kabur!" kecam pria itu mengancam, dengan senyum sinis yang menyiratkan kebengisan. "Aku tidak takut, kita ke kantor polisi saja," jawab Vivian dengan suara mengeras. mencoba menunjukkan keberaniannya meski takut. Mata pria botak itu terpaku pada kalung yang dikenakan di leher Viv
Tepat pukul 01.00 dini hari, Bryan yang telah kembali ke hotel, terbangun dengan wajahnya yang pucat pasi. Dengan langkah gontai dan mata yang setengah terpejam, ia berjalan menuju kamar mandi. Begitu sampai di sana, ia langsung menutup pintu dengan perlahan lalu berjongkok sambil memegang kepalanya yang terasa pusing.Pandangan Bryan menjadi buram, dan ia memejamkan matanya berulang kali, mencoba untuk mengendalikan rasa tidak nyaman yang mendera. "Tolong jangan kambuh lagi! Aku tidak ingin istriku mencemaskanku," gumam Bryan dalam hati, ketakutan akan kondisinya yang mungkin kembali memburuk. Wajah Bryan tampak semakin pucat, dan ekspresinya menunjukkan betapa menderita yang ia rasakan. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ingatan tentang Dokter Cale muncul di benaknya. Dokter itu pernah berkata dengan tegas, "Tuan, Anda harus rawat inap, kalau tidak, cepat atau lambat Anda akan koma atau pun lumpuh." Mendengar kata-kata itu, Bryan semakin merasa ketakutan dan khawatir akan kondisi
Seorang pria paruh baya berjalan dengan langkah pasti menuju ruangan kantor Billy yang luas, megah, dan berkilau. Mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang terikat sempurna, wajahnya terlihat serius namun tenang. Begitu pintu terbuka, ia melihat Billy duduk santai di belakang meja besarnya, bersilang kaki dan menatap tajam ke arahnya. "Tuan Maxwel, saya mendengar informasi bahwa pria itu dibunuh oleh Anda. Kenapa tidak memecatnya saja? Aku tidak ingin kematiannya menarik perhatian polisi," ucap pria paruh baya itu dengan nada tegas namun terkendali. Billy tersenyum sinis, menatap pria itu dengan tatapan dingin. "Bukankah kamu bisa memanipulasi kematian seseorang? Lakukan saja," jawabnya dengan angkuh. Pria paruh baya itu meneguk ludah, mencoba meredam rasa takut yang mulai menjalar. "Kalau begini terus, mereka akan curiga dengan kita," ujarnya dengan nada cemas. Billy tertawa kecil, tatapan matanya semakin tajam. " Kalau sampai mereka curiga, itu berarti kegagalanmu. Sebagai salah
Pagi itu, matahari bersinar cerah di langit biru dan burung-burung berkicau riang, menambah kebahagiaan Mike yang baru beberapa hari menerima pengobatan rutin. Kini, kondisi tubuhnya mulai membaik. Wajahnya yang pucat kini kembali berseri, dan senyuman bahagia merekah di bibirnya setelah sekian lama berjuang melawan penyakit. Mike berjalan-jalan di halaman bunga yang indah, ditemani putranya, Bryan. Kursi roda yang digunakan Mike melintasi jalanan bercorak batu, bergerak pelan mengikuti langkah Bryan yang berjalan di sampingnya. Aroma bunga yang harum dan segar semakin menambah suasana yang damai dan menenangkan. "Apa kamu menerima pengobatan?" tanya Mike dengan suara lembut, menatap Bryan yang terlihat gembira melihat kondisi ayahnya yang membaik. "Dokter Cale sering memeriksa kondisiku, aku baik-baik saja!" jawab Bryan dengan senyuman, berusaha meyakinkan ayahnya bahwa dia juga dalam kondisi yang prima. Mike mengangguk, lega mendengar kabar baik itu. Ia menatap sekeliling, meman
Vivian berdiri di samping kasur sambil melipat pakaian suaminya, Bryan, yang akan segera berangkat besok. Raut wajahnya murung, penuh kekhawatiran. Terasa cemas menghantui hatinya. "Aku tidak bisa membiarkan Bryan pulang sendirian. Aku ingin menemani dia," gumamnya dalam hati. Setelah selesai melipat pakaian Bryan, Vivian kemudian mengeluarkan pakaiannya sendiri dari lemari, berniat untuk melipatnya dan memasukannya ke dalam koper miliknya. Namun, tiba-tiba Bryan masuk ke kamar dan melihat istrinya itu sedang berkemas. "Vivian, apa yang kamu lakukan?" tanya Bryan heran, matanya menatap tajam ke arah istrinya. "Aku akan ikut denganmu," jawab Vivian dengan suara lirih namun tegas. Bryan menghela napas, lalu menghampiri Vivian. "Tidak perlu! Aku hanya sebentar," kata Bryan, mencoba meyakinkan istrinya sambil mengelus pundaknya lembut. "Aku akan kembali secepatnya. Percayalah padaku, Honey." "Katakan padaku, apakah terjadi sesuatu sehingga kamu tidak ingin aku ikut denganmu?" tanya V
Setiap hari, Vivian menjalani rutinitas yang sama. Bangun pagi, menyiapkan sarapan, dan duduk di depan jendela dengan ponsel di tangan, menunggu pesan dari suaminya yang jauh di sana. Hati Vivian selalu berdebar kencang, mencerminkan kekhawatiran yang menghantuinya. Suatu malam, Vivian duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya yang belum berubah. Ia merasa gelisah, tak dapat menenangkan pikirannya. "Kenapa perasaanku tidak nyaman sekali, apakah terjadi sesuatu padanya?" gumam Vivian pelan. Vivian menggigit bibirnya, ingin menghubungi suaminya tetapi takut mengganggunya di saat yang mungkin sibuk. Perasaan menunggu yang tak pasti ternyata sangat menyiksa. Matanya berkaca-kaca, merenung dalam keheningan yang menyesakkan dada. Andrew datang menghampiri Vivian yang duduk sofa ruang tamu."Nyonya, sudah malam. Kenapa masih belum istirahat?" tanya Andrew.Vivian menatap pengawal setia suaminya itu," Aku mencemaskan Bryan. Walau Edward mengatakan dia sedang sibuk. Akan tetapi, hatiku t
Sore itu, Vivian akhirnya tiba di Rugen Cliffs, salah satu destinasi wisata andalan yang selalu ramai dikunjungi. Suasana di sana begitu meriah, banyak wisatawan yang berdatangan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Terlihat para pengunjung sedang asyik menikmati pemandangan indah yang ditawarkan oleh tebing ini, mulai dari keindahan laut yang membentang luas hingga panorama alam sekitarnya. Vivian pun tak ingin ketinggalan, ia segera menyatu dengan keramaian pengunjung, berjalan di tepi tebing sembari menatap keindahan laut yang membiru di depannya. Angin segar yang berhembus semakin menambah kenyamanan suasana. Sementara itu, Andrew yang ikut dengannya, mengikuti langkah Vivian dari belakang, menjaga jarak yang aman. "Pulau ini sangat indah, aku berharap bisa datang bersamamu, Bryan!" gumam Vivian dalam hati, merindukan suaminya yang sedang berada di Los Angeles. Rasa kangen yang begitu mendalam membuat air mata Vivian hampir jatuh, namun ia menahannya dan terus menikmati