Seorang pria paruh baya berjalan dengan langkah pasti menuju ruangan kantor Billy yang luas, megah, dan berkilau. Mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang terikat sempurna, wajahnya terlihat serius namun tenang. Begitu pintu terbuka, ia melihat Billy duduk santai di belakang meja besarnya, bersilang kaki dan menatap tajam ke arahnya. "Tuan Maxwel, saya mendengar informasi bahwa pria itu dibunuh oleh Anda. Kenapa tidak memecatnya saja? Aku tidak ingin kematiannya menarik perhatian polisi," ucap pria paruh baya itu dengan nada tegas namun terkendali. Billy tersenyum sinis, menatap pria itu dengan tatapan dingin. "Bukankah kamu bisa memanipulasi kematian seseorang? Lakukan saja," jawabnya dengan angkuh. Pria paruh baya itu meneguk ludah, mencoba meredam rasa takut yang mulai menjalar. "Kalau begini terus, mereka akan curiga dengan kita," ujarnya dengan nada cemas. Billy tertawa kecil, tatapan matanya semakin tajam. " Kalau sampai mereka curiga, itu berarti kegagalanmu. Sebagai salah
Pagi itu, matahari bersinar cerah di langit biru dan burung-burung berkicau riang, menambah kebahagiaan Mike yang baru beberapa hari menerima pengobatan rutin. Kini, kondisi tubuhnya mulai membaik. Wajahnya yang pucat kini kembali berseri, dan senyuman bahagia merekah di bibirnya setelah sekian lama berjuang melawan penyakit. Mike berjalan-jalan di halaman bunga yang indah, ditemani putranya, Bryan. Kursi roda yang digunakan Mike melintasi jalanan bercorak batu, bergerak pelan mengikuti langkah Bryan yang berjalan di sampingnya. Aroma bunga yang harum dan segar semakin menambah suasana yang damai dan menenangkan. "Apa kamu menerima pengobatan?" tanya Mike dengan suara lembut, menatap Bryan yang terlihat gembira melihat kondisi ayahnya yang membaik. "Dokter Cale sering memeriksa kondisiku, aku baik-baik saja!" jawab Bryan dengan senyuman, berusaha meyakinkan ayahnya bahwa dia juga dalam kondisi yang prima. Mike mengangguk, lega mendengar kabar baik itu. Ia menatap sekeliling, meman
Vivian berdiri di samping kasur sambil melipat pakaian suaminya, Bryan, yang akan segera berangkat besok. Raut wajahnya murung, penuh kekhawatiran. Terasa cemas menghantui hatinya. "Aku tidak bisa membiarkan Bryan pulang sendirian. Aku ingin menemani dia," gumamnya dalam hati. Setelah selesai melipat pakaian Bryan, Vivian kemudian mengeluarkan pakaiannya sendiri dari lemari, berniat untuk melipatnya dan memasukannya ke dalam koper miliknya. Namun, tiba-tiba Bryan masuk ke kamar dan melihat istrinya itu sedang berkemas. "Vivian, apa yang kamu lakukan?" tanya Bryan heran, matanya menatap tajam ke arah istrinya. "Aku akan ikut denganmu," jawab Vivian dengan suara lirih namun tegas. Bryan menghela napas, lalu menghampiri Vivian. "Tidak perlu! Aku hanya sebentar," kata Bryan, mencoba meyakinkan istrinya sambil mengelus pundaknya lembut. "Aku akan kembali secepatnya. Percayalah padaku, Honey." "Katakan padaku, apakah terjadi sesuatu sehingga kamu tidak ingin aku ikut denganmu?" tanya V
Setiap hari, Vivian menjalani rutinitas yang sama. Bangun pagi, menyiapkan sarapan, dan duduk di depan jendela dengan ponsel di tangan, menunggu pesan dari suaminya yang jauh di sana. Hati Vivian selalu berdebar kencang, mencerminkan kekhawatiran yang menghantuinya. Suatu malam, Vivian duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya yang belum berubah. Ia merasa gelisah, tak dapat menenangkan pikirannya. "Kenapa perasaanku tidak nyaman sekali, apakah terjadi sesuatu padanya?" gumam Vivian pelan. Vivian menggigit bibirnya, ingin menghubungi suaminya tetapi takut mengganggunya di saat yang mungkin sibuk. Perasaan menunggu yang tak pasti ternyata sangat menyiksa. Matanya berkaca-kaca, merenung dalam keheningan yang menyesakkan dada. Andrew datang menghampiri Vivian yang duduk sofa ruang tamu."Nyonya, sudah malam. Kenapa masih belum istirahat?" tanya Andrew.Vivian menatap pengawal setia suaminya itu," Aku mencemaskan Bryan. Walau Edward mengatakan dia sedang sibuk. Akan tetapi, hatiku t
Sore itu, Vivian akhirnya tiba di Rugen Cliffs, salah satu destinasi wisata andalan yang selalu ramai dikunjungi. Suasana di sana begitu meriah, banyak wisatawan yang berdatangan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Terlihat para pengunjung sedang asyik menikmati pemandangan indah yang ditawarkan oleh tebing ini, mulai dari keindahan laut yang membentang luas hingga panorama alam sekitarnya. Vivian pun tak ingin ketinggalan, ia segera menyatu dengan keramaian pengunjung, berjalan di tepi tebing sembari menatap keindahan laut yang membiru di depannya. Angin segar yang berhembus semakin menambah kenyamanan suasana. Sementara itu, Andrew yang ikut dengannya, mengikuti langkah Vivian dari belakang, menjaga jarak yang aman. "Pulau ini sangat indah, aku berharap bisa datang bersamamu, Bryan!" gumam Vivian dalam hati, merindukan suaminya yang sedang berada di Los Angeles. Rasa kangen yang begitu mendalam membuat air mata Vivian hampir jatuh, namun ia menahannya dan terus menikmati
Andrew menatap sedih pada Vivian yang lesu dan pucat. Mata indah wanita itu masih melihat tanda tangan dan cap jari suaminya. Nama Bryan Anderson terlihat sangat jelas di sana. Kedua tangan Vivian gemetar saat mengenggam berkas itu."Tidak mungkin! Tidak mungkin Bryan menceraikan aku tanpa sebab. Pasti terjadi sesuatu. Aku sangat yakin!" ujar Vivian yang menyeka air matanya.Vivian langsung berdiri memohon pada Andrew," Tolong hubungi Edward dan tanyakan padanya di mana Bryan sekarang!" "Nyonya....""Tolong aku! Hubungi Edward! Bryan bukan seorang suami yang tiba-tiba menceraikan istrinya tanpa sebab. Minta Bryan bicara denganku!" pinta Vivian.Vivian menatap Andrew dengan pandangan yang penuh harap. Andrew mengangguk mengerti, lalu mengeluarkan handphonenya dan menekan nomor tujuan. Beberapa detik kemudian, terdengar suara di seberang sana. "Hallo," suara Edward yang terdengar tenang namun tegas. "Di mana Jenderal?" tanya Andrew dengan nada yang datar. Mendengar itu, Vivian bereb
Vivian bangkit dari posisi duduknya, air mata mengalir di pipinya. Perlahan ia berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya. Hatinya begitu sakit melihat rekaman suaminya bersama Emily menggunakan kamar yang selama ini menjadi saksi cinta mereka. Setiap langkah terasa begitu berat, namun Vivian terus melangkah. Saat melangkah masuk ke dalam kamar, hatinya semakin sakit melihat pakaian wanita yang tergeletak di atas kasur. Pakaian tersebut bukan miliknya, melainkan milik Emily. Vivian mengepalkan tangannya dengan kuat, kemarahan dan kesedihan bercampur menjadi satu. "Bryan, kamu tega menyakitiku, lalu, apa gunanya kita menikah," ucap Vivian dengan suara yang parau. Air mata yang tak bisa dibendung kembali mengalir deras membasahi pipinya. Vivian yang kesal meninggalkan kediaman dengan langkah cepat. Ia mengemudi mobil sendiri, dengan kecepatan yang cukup tinggi. Jiwanya sedang tidak tenang, tidak peduli dengan resiko yang ada."Bryan Anderson, Kalau pun ingin menceraikan aku, keluar ber
Emily keluar dari rumah sakit dengan langkah cepat dan wajah murung, mengambil kunci mobilnya yang di dalam kantong jaketnya. Ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu utama. Sementara itu, Vivian duduk di dalam mobilnya, mengawasi setiap gerak-gerik Emily dengan tajam. Matanya tak lepas dari sosok wanita itu. Saat Emily menghidupkan mesin mobilnya dan mulai melaju perlahan meninggalkan rumah sakit, Vivian segera menggenggam setir mobilnya dan mengikuti dari jarak aman. Hatinya berdegup kencang, seraya bergumam dengan nada penuh amarah, "Aku yakin kamu tahu di mana Bryan berada. Jangan harap kalian bisa bekerja sama membodohiku, andai kalian saling mencintai. Maka, buktikan di depan mataku!" Dengan penuh kewaspadaan, Vivian mengikuti Emily yang tampaknya tidak menyadari keberadaannya. Ia memastikan jarak yang cukup agar tidak terlalu mencolok di mata Emily. Namun, Tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan kencang dan menghadang jalannya, membuatnya terpaksa menge