Sore itu, Vivian akhirnya tiba di Rugen Cliffs, salah satu destinasi wisata andalan yang selalu ramai dikunjungi. Suasana di sana begitu meriah, banyak wisatawan yang berdatangan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Terlihat para pengunjung sedang asyik menikmati pemandangan indah yang ditawarkan oleh tebing ini, mulai dari keindahan laut yang membentang luas hingga panorama alam sekitarnya. Vivian pun tak ingin ketinggalan, ia segera menyatu dengan keramaian pengunjung, berjalan di tepi tebing sembari menatap keindahan laut yang membiru di depannya. Angin segar yang berhembus semakin menambah kenyamanan suasana. Sementara itu, Andrew yang ikut dengannya, mengikuti langkah Vivian dari belakang, menjaga jarak yang aman. "Pulau ini sangat indah, aku berharap bisa datang bersamamu, Bryan!" gumam Vivian dalam hati, merindukan suaminya yang sedang berada di Los Angeles. Rasa kangen yang begitu mendalam membuat air mata Vivian hampir jatuh, namun ia menahannya dan terus menikmati
Andrew menatap sedih pada Vivian yang lesu dan pucat. Mata indah wanita itu masih melihat tanda tangan dan cap jari suaminya. Nama Bryan Anderson terlihat sangat jelas di sana. Kedua tangan Vivian gemetar saat mengenggam berkas itu."Tidak mungkin! Tidak mungkin Bryan menceraikan aku tanpa sebab. Pasti terjadi sesuatu. Aku sangat yakin!" ujar Vivian yang menyeka air matanya.Vivian langsung berdiri memohon pada Andrew," Tolong hubungi Edward dan tanyakan padanya di mana Bryan sekarang!" "Nyonya....""Tolong aku! Hubungi Edward! Bryan bukan seorang suami yang tiba-tiba menceraikan istrinya tanpa sebab. Minta Bryan bicara denganku!" pinta Vivian.Vivian menatap Andrew dengan pandangan yang penuh harap. Andrew mengangguk mengerti, lalu mengeluarkan handphonenya dan menekan nomor tujuan. Beberapa detik kemudian, terdengar suara di seberang sana. "Hallo," suara Edward yang terdengar tenang namun tegas. "Di mana Jenderal?" tanya Andrew dengan nada yang datar. Mendengar itu, Vivian bereb
Vivian bangkit dari posisi duduknya, air mata mengalir di pipinya. Perlahan ia berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya. Hatinya begitu sakit melihat rekaman suaminya bersama Emily menggunakan kamar yang selama ini menjadi saksi cinta mereka. Setiap langkah terasa begitu berat, namun Vivian terus melangkah. Saat melangkah masuk ke dalam kamar, hatinya semakin sakit melihat pakaian wanita yang tergeletak di atas kasur. Pakaian tersebut bukan miliknya, melainkan milik Emily. Vivian mengepalkan tangannya dengan kuat, kemarahan dan kesedihan bercampur menjadi satu. "Bryan, kamu tega menyakitiku, lalu, apa gunanya kita menikah," ucap Vivian dengan suara yang parau. Air mata yang tak bisa dibendung kembali mengalir deras membasahi pipinya. Vivian yang kesal meninggalkan kediaman dengan langkah cepat. Ia mengemudi mobil sendiri, dengan kecepatan yang cukup tinggi. Jiwanya sedang tidak tenang, tidak peduli dengan resiko yang ada."Bryan Anderson, Kalau pun ingin menceraikan aku, keluar ber
Emily keluar dari rumah sakit dengan langkah cepat dan wajah murung, mengambil kunci mobilnya yang di dalam kantong jaketnya. Ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu utama. Sementara itu, Vivian duduk di dalam mobilnya, mengawasi setiap gerak-gerik Emily dengan tajam. Matanya tak lepas dari sosok wanita itu. Saat Emily menghidupkan mesin mobilnya dan mulai melaju perlahan meninggalkan rumah sakit, Vivian segera menggenggam setir mobilnya dan mengikuti dari jarak aman. Hatinya berdegup kencang, seraya bergumam dengan nada penuh amarah, "Aku yakin kamu tahu di mana Bryan berada. Jangan harap kalian bisa bekerja sama membodohiku, andai kalian saling mencintai. Maka, buktikan di depan mataku!" Dengan penuh kewaspadaan, Vivian mengikuti Emily yang tampaknya tidak menyadari keberadaannya. Ia memastikan jarak yang cukup agar tidak terlalu mencolok di mata Emily. Namun, Tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan kencang dan menghadang jalannya, membuatnya terpaksa menge
Pengacara Jeff membuka map berisi dokumen yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Wajahnya tampak serius dan tatapannya tajam. "Pembagian aset untuk nona Zanetta," ujar Jeff sambil mengeluarkan lembaran dokumen. "Mansion mewah yang berada di Jerman, Toko Fashion, dua mobil mewah, serta uang tunai yang telah ditransfer ke akun rekening Anda oleh tuan Anderson. Semua telah resmi diganti menjadi nama Anda." Mendengar ucapan Jeff, Vivian terkejut dan menatap Jeff dengan wajah bingung. "Toko Fashion?" tanyanya heran, tidak mengerti maksud dari apa yang baru saja diucapkan. Jeff mengangguk lalu menjelaskan lebih lanjut, "Benar, nona Zanetta. Toko Fashion tersebut baru dibeli oleh tuan Anderson beberapa bulan lalu, dan kini akan sepenuhnya diserahkan kepada Anda." Bukannya bahagia mendapatkan sebagian aset dari sang suaminya, Vivian semakin hancur perasaannya. Ia menyadari hubungannya dengan Bryan sudah di ujung tanduk. "Apakah dia sudah menyiapkan semuanya, Karena dia tahu suatu saat dia
Dokter Cale dan Emily menghampiri Bryan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah pucat dan tubuhnya yang kurus membuat hati mereka terenyuh. "Tuan Anderson, bagaimana dengan kabarmu hari ini?" tanya Dokter Cale sambil mencoba tersenyum penuh harapan. Emily menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, namun berusaha tegar demi pasien dan juga pria yang dia cintai. "Bryan, kamu harus percaya diri dan semangat. Jangan meminta kami melakukan itu. Kamu harus berjuang," ujarnya lembut. Bryan hanya mampu menatap mereka dengan mata yang terbelalak. Bukan hanya lumpuh seluruh anggota tubuh, Bryan juga tidak bisa mengedipkan matanya. Penderitaan yang dia alami akan mengambil jangka waktu yang panjang. CIPA yang telah memburuk membuat Bryan tidak bisa bicara dan hanya bisa mendengar. Hatinya hancur, merasa tidak berguna dan terkurung dalam tubuhnya sendiri. Dokter Cale berkata," Anda adalah pria tangguh dan hebat, Sudah berapa banyak musuh yang Anda kalahkan. Sekarang musuh terbesar An
"Apakah Mama ingin aku tinggal di Jerman?" tanya Vivian.Celine sambil menyeka wajah putrinya," Iya, mama butuh orang terpecaya, kamu adalah kandidat paling kuat," jawab Celine dengan senyum."Tapi, aku tidak memiliki pengalaman," kata Vivian."Kamu bisa belajar, Anggap saja mulai dari bawah. di sana ada sekretaris Nicole yang akan membantumu!" jawab Celine."Ma, aku ingin mulai dari nol," ujar Vivian."Vivian....""Ma, jangan memberiku jabatan tinggi, Aku tidak layak. Aku tidak ingin menjadi atasan mereka karena hubungan kita!" Celine tersenyum lembut dan mengelus pucuk kepala putrinya, lalu berkata, "Apakah kamu benar-benar berpikir seperti itu?" Vivian mengangguk mantap, "Iya, Ma. Mengelola hotel butuh pengalaman, Sedangkan aku tidak memiliki pengalaman. Jadi, aku ingin belajar sambil bekerja," jawab Vivian dengan senyum tulus. Celine tampak merenung sejenak, kemudian tersenyum kembali dan berkata, "Baiklah, Mama akan atur untukmu!" Ia pun memeluk putrinya erat, merasakan ketegu
Malam itu, suasana kamar rumah sakit begitu hening dan sepi. Emily berjaga di samping Bryan, yang telah terbaring lemah selama hampir dua bulan. Tangannya mencengkeram erat tangan Bryan, merasakan denyut nadi yang lemah namun masih ada. Raut wajah Emily terlihat tegar, meski di dalam hati dia merasa cemas dan takut. "Bryan, apa pun yang terjadi, aku akan tetap setia menemanimu hingga kamu sembuh. Kamu pasti bisa, Bryan," ucap Emily dengan suara bergetar, berusaha memberikan semangat kepada pria yang selama ini menjadi cinta hatinya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu kamar. Emily menoleh dan melihat sosok Micheal yang berdiri di ambang pintu. Wajah Micheal terlihat serius."Ternyata kamu masih di sini," ujar Micheal"Aku hanya ingin menemani Bryan," jawab Emily singkat, tak ingin mengungkit masalah lain dengan Micheal. Micheal menghela napas, lalu berkata, "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Ayo kita keluar sebentar." Kemudian, Micheal beranjak meninggalkan