Malam itu, suasana kamar rumah sakit begitu hening dan sepi. Emily berjaga di samping Bryan, yang telah terbaring lemah selama hampir dua bulan. Tangannya mencengkeram erat tangan Bryan, merasakan denyut nadi yang lemah namun masih ada. Raut wajah Emily terlihat tegar, meski di dalam hati dia merasa cemas dan takut. "Bryan, apa pun yang terjadi, aku akan tetap setia menemanimu hingga kamu sembuh. Kamu pasti bisa, Bryan," ucap Emily dengan suara bergetar, berusaha memberikan semangat kepada pria yang selama ini menjadi cinta hatinya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu kamar. Emily menoleh dan melihat sosok Micheal yang berdiri di ambang pintu. Wajah Micheal terlihat serius."Ternyata kamu masih di sini," ujar Micheal"Aku hanya ingin menemani Bryan," jawab Emily singkat, tak ingin mengungkit masalah lain dengan Micheal. Micheal menghela napas, lalu berkata, "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Ayo kita keluar sebentar." Kemudian, Micheal beranjak meninggalkan
Billy yang sedang duduk di sofa kamar hotel mulai melepaskan dasinya dengan perlahan. Wajah tampannya terlihat tegang, tanpa senyuman seperti biasa. Di ruangan itu, Vivian dan dua rekannya berdiri dengan rasa cemas dan tidak nyaman. "Tuan, makan siang akan disediakan. Silakan menunggu sebentar!" ucap salah satu rekan Vivian dengan suara lembut dan sopan, berusaha mencairkan suasana yang terasa berat. Namun, Billy tidak menyambut baik ucapan tersebut. Tanpa menoleh ke arah mereka, ia mengeluarkan perintah yang tegas, "Jangan mengangguku, keluar!" Mendengar perintah tersebut, Vivian dan kedua rekannya hanya bisa menelan ludah dan beranjak pergi dari sana dengan langkah yang tergesa-gesa. "Istri seorang Jenderal bekerja di sini, sementara Bryan Anderson menghilang begitu lama." Rasa penasarannya terhadap situasi ini semakin membuat Billy merasa frustasi dan tidak sabar.***Di tengah hutan yang lebat di Los Angeles, pasukan prajurit yang dipimpin oleh Edward tengah memburu sekelompok
Klien menatap cemas wajah Edward yang serius, "Ada yang tahu bahwa Jenderal tidak berada di markas?" tanyanya dengan suara berat. "Bisa jadi! Mungkin di antara kita ada mata-mata," jawab Edward dengan ekspresi tajam, memperhatikan gerak-gerik para prajurit melalui jendela kantornya."Markas begitu banyak jumlah prajurit, bagaimana kita cari orangnya?" tanya Klien, merasa khawatir akan keselamatan Jenderal. "Kita hanya bisa buktikan bahwa Jenderal dalam keadaan baik-baik saja," jawab Edward dengan tegas. "Caranya?" tanya Klien, penasaran dengan strategi yang akan diterapkan Edward. "Kumpulkan semua pasukan kita, dan umumkan ada yang ingin saya sampaikan!" perintah Edward. "Siap," jawab Klien, mengangguk dan segera melaksanakan perintah Edward. Tak lama kemudian, seluruh pasukan berkumpul di lapangan markas. Mereka berdiri tegak, menunggu apa yang akan disampaikan oleh Edward. Wajah mereka tampak serius dan tegang, menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam markas. Edward berdi
Vivian yang gugup ia bertanya," Ada apa, Tuan?" Billy menatap tajam tajam pada mata indah wanita itu," Di mana suamimu? Apakah dia bekerja di sini?" Vivian terdiam dan tentu hampir tidak percaya dengan pertanyaan aneh dari pria itu," Kenapa Anda bertanya tentang dia?" tanya Vivian penasaran.Billy menatap tajam ke arah jari manis Vivian, mencari keberadaan cincin pernikahan yang seharusnya ada di situ. "Tidak ada! Seorang wanita yang telah menikah tidak mengenakan cincin pernikahan, bukankah sungguh aneh," ujar Billy dengan nada dingin dan sinis. Vivian merasa tersudut, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, "Sepertinya ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya." Wajah Vivian tampak tegang, namun ia berusaha menutupinya dengan senyuman paksa. Billy kemudian beralih tatapan pada hidangan yang disediakan hotel, seolah mencari topik pembicaraan lain. "Apakah hotel ini milik suamimu? Agak aneh ketika dia membiarkan istrinya melayani tamu hotel," ujar Billy mencoba m
Vivian berdiri di depan cermin, meremas-remas rambutnya dengan ekspresi wajah kesal. Tangannya gemetar karena emosinya yang tak terkendali. "Bryan, apa kamu sehat-sehat saja? Emily adalah dokter, dia pasti bisa menjagamu. Untuk apa aku harus khawatir lagi," ucap Vivian dengan suara parau. Mata Vivian berkaca-kaca, menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. "Sudah sekian lama kita berpisah, mana mungkin kamu masih ingat denganku. Aku sangat bodoh sekali. Sudah mulai hidup baru, masih saja hidup dalam bayanganmu. Apa yang harus aku lakukan agar bisa melupakanmu," ujar Vivian sambil menepuk kepalanya dengan keras. Vivian kemudian duduk di tepi ranjang, merenung. "Lebih baik aku fokus dengan pekerjaanku, agar tidak mengecewakan mama," batin Vivian sambil menghela napas panjang. Dia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dari kenangan Bryan dan Emily, berusaha keras untuk melupakan rasa sakit yang menghantui hatinya. Tapi semakin dia mencoba, semakin dia merasa terpuruk dalam kenangan
Billy duduk di meja makan, ia mencicipi makanan yang disajikan di depannya. Setiap gigitan menghasilkan ekspresi biasa di wajahnya, walau ia merasa puas akan tetapi tidak menunjukan ekspresi memuaskan.Aroma yang menggugah selera dan tekstur yang pas di lidahnya membuat Billy semakin terpesona dengan kelezatan hidangan yang ada di hadapannya. Sementara itu, Vivian berdiri di sampingnya, menahan napas seakan menunggu putusan penting. Raut wajahnya terlihat gugup.Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah makanan yang ia siapkan benar-benar sesuai dengan selera Billy. Billy melanjutkan menyantap makanan itu, sesekali meneguk minuman yang disediakan Vivian. Setelah beberapa suapan, ia meletakkan garpu dan pisau di piring, menatap Vivian dengan tajam. "Apakah hanya kebetulan?" tanya Billy, penasaran dengan bagaimana Vivian bisa mengetahui selera makanannya. Merasa diperhatikan, Vivian tersenyum gugup dan menjawab, "Pihak hotel berusaha menyediakan makanan sesuai selera tamu, Tuan." Suaranya t
Karyawan hotel itu, Natalie, tampak gugup ketika menerima perintah dari Tony dan Tomy. Ia segera menyediakan hidangan makanan malam untuk salah satu tamu VIP hotel tersebut. Setelah makanan siap, ia mendorong troli makanan menuju ke salah satu kamar VIP. Dengan hati berdebar, ia mengetuk pintu kamar itu. Tuk! Tuk!"?Klek!" Pintu dibuka perlahan, dan di baliknya tampak Billy yang wajahnya tampak serius. Natalie mencoba tersenyum ramah. "Tuan, hidangan malam telah disediakan," ucap Natalie sambil membungkukkan badannya.Billy mengerutkan keningnya, menatap dingin pada Natalie. "Kenapa kamu yang mengantarnya? Di mana Vivian Alexander?" tanyanya dengan nada tegas. Natalie menelan ludah, merasa terintimidasi oleh tatapan Billy. "Ini adalah pesanan darinya, Tuan. Vivian sedang memantau lantai atas," jawab Natalie dengan suara gemetar. Billy masih menatap Natalie dengan pandangan tajam, seakan mencoba membaca kejujuran di wajah gadis itu. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka pintu
Lampu senter yang menerangi wajah Billy menyadarkannya akan bahaya yang sedang menghampiri. Tomy, tanpa ragu, langsung menendang Billy yang segera mempertahankan diri. Billy bangkit dengan cepat, melayangkan pukulan keras ke wajah dan perut Tomy. Suara 'Bruk! Bruk!' terdengar nyaring, membuat Tomy mengerang kesakitan. "Aahh!" Tony bergegas ingin menghampiri Billy, namun tiba-tiba ditahan oleh Vivian yang mencoba melindungi tamunya. Marah, Tony langsung menampar wajah Vivian dengan keras. "Dasar jalang!" serunya sambil menampar, "Plak!" Tamparan itu membuat Vivian pingsan, kepalanya terbentur sesuatu saat jatuh. Billy mendengar suara tamparan keras itu, kemarahannya membara. Dia meninju wajah Tomy dan Tony berulang kali, membuat keduanya terkapar tak berdaya. Tidak lama kemudian lampu kembali menyala menerangi ruangan kamar yang luas itu Sementara itu, wajah Billy tampak merah padam, nafasnya terengah-engah, dan tatapannya penuh amarah. Kondisinya yang baru membaik ia berusaha ber