Vivian yang gugup ia bertanya," Ada apa, Tuan?" Billy menatap tajam tajam pada mata indah wanita itu," Di mana suamimu? Apakah dia bekerja di sini?" Vivian terdiam dan tentu hampir tidak percaya dengan pertanyaan aneh dari pria itu," Kenapa Anda bertanya tentang dia?" tanya Vivian penasaran.Billy menatap tajam ke arah jari manis Vivian, mencari keberadaan cincin pernikahan yang seharusnya ada di situ. "Tidak ada! Seorang wanita yang telah menikah tidak mengenakan cincin pernikahan, bukankah sungguh aneh," ujar Billy dengan nada dingin dan sinis. Vivian merasa tersudut, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, "Sepertinya ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya." Wajah Vivian tampak tegang, namun ia berusaha menutupinya dengan senyuman paksa. Billy kemudian beralih tatapan pada hidangan yang disediakan hotel, seolah mencari topik pembicaraan lain. "Apakah hotel ini milik suamimu? Agak aneh ketika dia membiarkan istrinya melayani tamu hotel," ujar Billy mencoba m
Vivian berdiri di depan cermin, meremas-remas rambutnya dengan ekspresi wajah kesal. Tangannya gemetar karena emosinya yang tak terkendali. "Bryan, apa kamu sehat-sehat saja? Emily adalah dokter, dia pasti bisa menjagamu. Untuk apa aku harus khawatir lagi," ucap Vivian dengan suara parau. Mata Vivian berkaca-kaca, menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. "Sudah sekian lama kita berpisah, mana mungkin kamu masih ingat denganku. Aku sangat bodoh sekali. Sudah mulai hidup baru, masih saja hidup dalam bayanganmu. Apa yang harus aku lakukan agar bisa melupakanmu," ujar Vivian sambil menepuk kepalanya dengan keras. Vivian kemudian duduk di tepi ranjang, merenung. "Lebih baik aku fokus dengan pekerjaanku, agar tidak mengecewakan mama," batin Vivian sambil menghela napas panjang. Dia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dari kenangan Bryan dan Emily, berusaha keras untuk melupakan rasa sakit yang menghantui hatinya. Tapi semakin dia mencoba, semakin dia merasa terpuruk dalam kenangan
Billy duduk di meja makan, ia mencicipi makanan yang disajikan di depannya. Setiap gigitan menghasilkan ekspresi biasa di wajahnya, walau ia merasa puas akan tetapi tidak menunjukan ekspresi memuaskan.Aroma yang menggugah selera dan tekstur yang pas di lidahnya membuat Billy semakin terpesona dengan kelezatan hidangan yang ada di hadapannya. Sementara itu, Vivian berdiri di sampingnya, menahan napas seakan menunggu putusan penting. Raut wajahnya terlihat gugup.Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah makanan yang ia siapkan benar-benar sesuai dengan selera Billy. Billy melanjutkan menyantap makanan itu, sesekali meneguk minuman yang disediakan Vivian. Setelah beberapa suapan, ia meletakkan garpu dan pisau di piring, menatap Vivian dengan tajam. "Apakah hanya kebetulan?" tanya Billy, penasaran dengan bagaimana Vivian bisa mengetahui selera makanannya. Merasa diperhatikan, Vivian tersenyum gugup dan menjawab, "Pihak hotel berusaha menyediakan makanan sesuai selera tamu, Tuan." Suaranya t
Karyawan hotel itu, Natalie, tampak gugup ketika menerima perintah dari Tony dan Tomy. Ia segera menyediakan hidangan makanan malam untuk salah satu tamu VIP hotel tersebut. Setelah makanan siap, ia mendorong troli makanan menuju ke salah satu kamar VIP. Dengan hati berdebar, ia mengetuk pintu kamar itu. Tuk! Tuk!"?Klek!" Pintu dibuka perlahan, dan di baliknya tampak Billy yang wajahnya tampak serius. Natalie mencoba tersenyum ramah. "Tuan, hidangan malam telah disediakan," ucap Natalie sambil membungkukkan badannya.Billy mengerutkan keningnya, menatap dingin pada Natalie. "Kenapa kamu yang mengantarnya? Di mana Vivian Alexander?" tanyanya dengan nada tegas. Natalie menelan ludah, merasa terintimidasi oleh tatapan Billy. "Ini adalah pesanan darinya, Tuan. Vivian sedang memantau lantai atas," jawab Natalie dengan suara gemetar. Billy masih menatap Natalie dengan pandangan tajam, seakan mencoba membaca kejujuran di wajah gadis itu. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka pintu
Lampu senter yang menerangi wajah Billy menyadarkannya akan bahaya yang sedang menghampiri. Tomy, tanpa ragu, langsung menendang Billy yang segera mempertahankan diri. Billy bangkit dengan cepat, melayangkan pukulan keras ke wajah dan perut Tomy. Suara 'Bruk! Bruk!' terdengar nyaring, membuat Tomy mengerang kesakitan. "Aahh!" Tony bergegas ingin menghampiri Billy, namun tiba-tiba ditahan oleh Vivian yang mencoba melindungi tamunya. Marah, Tony langsung menampar wajah Vivian dengan keras. "Dasar jalang!" serunya sambil menampar, "Plak!" Tamparan itu membuat Vivian pingsan, kepalanya terbentur sesuatu saat jatuh. Billy mendengar suara tamparan keras itu, kemarahannya membara. Dia meninju wajah Tomy dan Tony berulang kali, membuat keduanya terkapar tak berdaya. Tidak lama kemudian lampu kembali menyala menerangi ruangan kamar yang luas itu Sementara itu, wajah Billy tampak merah padam, nafasnya terengah-engah, dan tatapannya penuh amarah. Kondisinya yang baru membaik ia berusaha ber
"Unik sekali, Charlie Parkitson memiliki seorang istri yang tidak peduli dengan nyawa sendiri. Tapi, apa alasannya mereka bercerai?" guma Billy dalam hati."Tuan, Charlie Parkitson...maksud saya Bryan Anderson tidak ada kabar sama sekali. Hampir seluruh rumah sakit di bagian Amerika sudah diselidiki. Tapi, masih belum menemukan dia," kata Jhones.Billy menatap tajam pada asistennya dan menghampirinya," Kalau rumah sakit juga tidak ada, Kamu bisa selidiki seluruh hotel atau datanya. Apakah dia masih di negara itu atau tidak. Apakah butuh aku yang mengajarimu?" tanya Billy.Jhones menunduk dan berkata," Maaf, Tuan. Saya segera menyampaikan pada mereka!""Sekalian, selidiki kenapa dia dan istrinya bisa bercerai!" perintah Billy yang kemudian duduk di sofa dengan bersilang kaki."Iya, Tuan."Jhones penasaran dengan atasannya itu, dan hanya bisa menuruti perintahnya," Aneh sekali! Untuk apa tuan ingin tahu alasan perceraian mereka," batinnya.Vivian duduk di ruangan manager dengan wajah te
Edward menatap pria itu dengan tatapan aura membunuh," Kau sangat yakin sekali. Percaya atau tidak kami akan menahan kalian semua," kecam Edward."Kami tidak takut pada kematian, Bunuh saja!" jawab pria itu dengan menantang. Tanpa rasa takut sedikit pun.Karena tidak mengakui, pria itu akhirnya dibawa ke markas untuk disiksa.Andrew sangat khawatir dengan situasi yang mulai tidak aman," Mereka yang kita tahan sebelumnya lebih memilih mati dari pada memberitahu kita siapa dalangnya," ujar Andrew."Organisasi mana yang mengincar jenderal? Aneh sekali. Dia seakan tahu bahwa jenderal tidak ada di sini," ucap Edward.Di sebuah ruangan yang sunyi, Jeff, pengacara Bryan, duduk berhadapan dengan Micheal di samping tempat tidur Bryan yang terbaring lemah. Wajah Bryan tampak pucat, matanya terbuka lebar namun tak mampu berkedip, hanya bisa mendengarkan percakapan di sekelilingnya. "Apakah Vivian masih menolak?" tanya Micheal dengan raut wajah yang khawatir. "Iya, dia dengan tegas menolak mene
Vivian berdiri di samping Billy yang tengah asik memilih pakaian wanita di toko busana. Dalam hati, Vivian merasa heran dan penasaran dengan pilihan tamunya tersebut. Sementara itu, Jhones yang berdiri di pintu toko hanya bisa menatap keheranan pada Billy dan Vivian. Tangan Vivian sudah penuh dengan pakaian yang dipilih Billy. Setiap kali Billy menemukan pakaian yang menarik perhatiannya, ia akan mengambilnya dan melemparkannya ke arah Vivian yang berusaha keras untuk tidak menjatuhkan tumpukan pakaian tersebut. "Hitung semuanya!" perintah Billy pada pelayan toko yang segera mengangguk dan menjawab dengan sopan, "Baik, Tuan." Vivian mencoba untuk menahan rasa penasarannya. "Pria ini kenapa memilih banyak pakaian wanita," gumamnya dalam hati, sambil melirik Billy yang tampak serius dalam memilih pakaian. Billy lalu berhenti sejenak dan menoleh ke Vivian yang sedang berjuang dengan tumpukan pakaian di tangannya. Ia tersenyum simpul, seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Vivian.
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya