"Vivian, Apakah selain kamu, Mereka masih memiliki anak yang lain atau kamu pernah melihat mereka membawa pulang anak kecil?" tanya Charlie.Vivian menatap jauh, mencoba menggali kenangan masa lalu yang terpendam dalam benaknya. Dia mengernyitkan dahi, berusaha keras mengingat setiap detail yang sempat terlewatkan. "Saat aku berusia dua belas tahun, aku pernah menyaksikan momen di mana mamaku menangis pilu sambil berbicara dengan papaku. Aku tak sengaja mendengar mereka membahas tentang kehilangan anak kesayangan dan betapa menyesalnya mereka," ungkap Vivian dengan nada sedih."Charlie menatap Vivian dengan ekspresi penuh penasaran, "Anak yang mereka maksudkan itu siapa ? Apakah sebelumnya mamamu pernah mengalami keguguran, atau ada cerita lain yang belum kamu ketahui?" Vivian menggelengkan kepala, "Aku tidak tahu pasti, Charlie. Apa yang aku dengar saat itu sudah hampir aku lupakan. Mereka tidak suka banyak bicara denganku sehingga aku tidak berani bertanya," jawab Vivian."Andaikan
Keringat dingin mulai mengucur di dahi Ryan dan Ruby saat mereka mendengar ancaman Celine yang akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Mereka berdua tak bisa menyembunyikan rasa cemas yang semakin memuncak. "Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini pada kami. Kami sudah membesarkan putrimu. Seharusnya kamu berterima kasih pada kami," teriak Ryan dengan nafas yang tersengal-sengal. Sementara itu, anak buah Celine dengan paksa menarik tangan Ryan ke arah mobil yang telah menunggu. "Alex, layangkan tuntutan pada mereka. Karena telah menculik putriku...," ucap Celine dengan tegas, namun suaranya mendadak terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya."Direktur, apakah ada masalah lain?" tanya Alex dengan nada khawatir. Matanya menatap Celine yang terlihat sedang berpikir keras. "Vivian... aku harus memberitahu dia dan Charlie mengenai hal ini," gumam Celine lirih. Ryan dan Ruby terus menatap Celine dengan penuh kekhawatiran dan ketakutan. Mereka merasa dunia mereka seolah
Micheal mengeluh panjang saat menyusuri jalan di sekitar lokasi kecelakaan yang menimpa Hanz. Dia telah berusaha keras mencari bukti dengan menghampiri semua rumah di sana untuk memeriksa kamera CCTV yang mungkin terpasang di sekitar. Namun, upaya tersebut seakan sia-sia karena tak ada satupun kamera yang ditemukan. "Aku sudah mencari setengah hari di sini dan masih belum dapatkan kamera CCTV, apakah benar tidak ada yang pasang? Tidak mungkin juga, sungguh aneh," gumam Micheal yang berdiri seberang jalan dari lokasi kejadian, kebingungan terpancar di wajahnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, mengeluarkan suara notifikasi. Micheal segera mengangkatnya saat melihat nama Alexa di layar ponselnya. "Hallo!" sapa Micheal. "Apa kamu sudah melihat berita?" tanya Alexa dengan nada khawatir. Micheal mengernyit, belum sempat melihat berita hari ini karena sibuk mencari bukti. "Belum, kenapa?" tanyanya penasaran. Alexa menghela napas sebelum menjelaskan, "Berita tentang penyakit Charlie ada
Reporter yang terus mencatat jawaban Ronald akhirnya melontarkan pertanyaan berikutnya, "Pak, bukankah CIPA adalah penyakit keturunan? Lalu, bagaimana dengan kondisi Anda?" Mendengar pertanyaan itu, Ronald menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Kondisi saya sama sekali tidak mempengaruhi kesehatanku, karena sejak masih kecil saya sangat menjaga kesehatan. Menghindari pekerjaan berat dan banyak istirahat. Charlie ingin menjadi militer sehingga dia mengabaikan kondisinya. Saya cukup menyesal karena membiarkan dia bekerja keras sehingga berdampak buruk pada kesehatannya," ujarnya dengan nada pura-pura sedih. Wajah Ronald terlihat muram, matanya berkaca-kaca seolah ingin menangis. Namun, di dalam hatinya, ia merasa lega karena berhasil meyakinkan reporter bahwa ia berhasil mengelabui mereka.Reporter itu mengangguk mengerti, mencatat jawaban Ronald dengan seksama sebelum mengakhiri wawancara.***Alexa yang sedang melihat berita konferensi Pers Ronald sambil bergumam," Ternyata dia
"Brak! Brak!" Suara tabrakan mobil terdengar keras dari kanan kiri jalan. Mobil yang dikendarai oleh Micheal tampak rusak parah, bodi mobil penyok dan kaca jendelanya pecah berantakan. Mobil Micheal hampir-hampir tidak berbentuk lagi. Tabrakan yang terjadi beruntun di sepanjang jalan, membuat Micheal sulit untuk meloloskan diri. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Tak lama kemudian, beberapa mobil besar muncul dari kejauhan, dikendarai oleh prajurit Edward bersama anak buahnya. Mereka bergerak cepat mendekati Micheal yang terperangkap dalam situasi genting ini. "Siapa mereka?" gumam Micheal panik, sambil menyetir dengan gegabah, belok ke kanan dan kiri, kehilangan kendali atas mobilnya. Matanya menatap nanar ke depan, berusaha mencari jalan keluar dari bahaya yang semakin mengancam nyawanya. "Singkirkan mereka!" perintah Edward dengan tegas pada anak buahnya yang ikut dari belakang mobilnya. Segera saja, mobil yang mengikutinya dari belakang m
Charlie dan Emily sedang mengobrol ketika tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Mereka menoleh dan melihat Vivian, istri Charlie, berdiri di pintu dengan ekspresi bingung di wajahnya. "Maaf, aku tidak tahu kamu sedang sibuk," ucap Vivian dengan nada ragu, lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan. Namun, sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, Charlie segera menghampirinya. "Vivian," panggil Charlie, membuat istrinya itu menghentikan langkahnya. "Iya, ada apa?" tanya Vivian. "Aku ingin memperkenalkan Emily kepada kamu. Dia seorang dokter lulusan Kanada yang akan dipindahkan ke sini," jelas Charlie sambil menunjuk ke arah Emily yang masih berdiri di tempatnya. Emily merasa jantungnya berdebar kencang. Sejenak, dia tak bisa berkata apa-apa. Ini adalah pertemuan pertama mereka, dan dia sangat cemas karena sebenarnya dia mencintai Charlie. Emily akhirnya mengumpulkan keberanian dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Vivian. "Halo, Vivian. Senang bisa bertemu denganm
Di dalam ruangan megah berdinding kaca, sejumlah petinggi pemerintah duduk di sekeliling meja rapat yang panjang dan berhiaskan mahkota emas. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela membuat ruangan itu terasa hangat dan menegangkan. Charlie dengan seragam jenderal yang anggun, duduk di ujung meja rapat sambil menatap lurus ke depan, wajahnya terlihat tenang dan bersiap menghadapi apa pun konsekuensi yang diberikan oleh mereka. Raut wajah para petinggi yang serius dan fokus menandakan bahwa topik yang mereka bahas bukanlah hal yang sepele. Beberapa di antara mereka bergumam, sementara yang lain mencatat poin-poin penting pada catatan mereka. Tiba-tiba, salah satu petinggi yang duduk di tengah, seorang pria berkacamata dengan rambut putih, berbicara dengan nada tegas dan keras, "Charlie Parkitson, mengenai informasi yang kami dapatkan, Anda adalah penderita CIPA sejak kecil. Akan tetapi selama ini Anda menutupinya. Apakah penjelasan Anda?" Semua mata langsung tertuju pa
Vivian terdiam sejenak setelah mendengar nada wanita itu yang sedikit meninggi."Aku akan sampaikan padanya, Tenang saja!" ujar Vivian."Sekarang aku adalah dokter pribadinya, Sebagai dokter aku harus periksa kondisinya setiap hari. Jadi, aku berharap kamu bisa bekerja sama untuk menasehatinya!" ucap Emily dengan nada tinggi. Vivian, yang berusaha tetap tenang, dan menjawab, "Sudah ku katakan, aku akan sampaikan pesananmu padanya." Emily menghela napas, rasa frustrasinya semakin terasa. "Di mana dia sekarang? Aku tidak bisa menghubunginya? Dia adalah pasienku dan harus aku pantau selalu. Jaga makanan dan minumannya. Jangan sampai lalai!" pesan Emily dengan tegas. Vivian mulai merasa curiga. "Apakah wanita ini benar-benar demi kebaikan Charlie atau sedang bermusuhan denganku?"gumamnya.Mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan kediaman, Andrew segera turun dari mobil dan berjalan menuju pintu belakang. Dengan sigap, ia membuka pintu mobil untuk membantu Charlie, atasannya
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya