Reporter yang terus mencatat jawaban Ronald akhirnya melontarkan pertanyaan berikutnya, "Pak, bukankah CIPA adalah penyakit keturunan? Lalu, bagaimana dengan kondisi Anda?" Mendengar pertanyaan itu, Ronald menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Kondisi saya sama sekali tidak mempengaruhi kesehatanku, karena sejak masih kecil saya sangat menjaga kesehatan. Menghindari pekerjaan berat dan banyak istirahat. Charlie ingin menjadi militer sehingga dia mengabaikan kondisinya. Saya cukup menyesal karena membiarkan dia bekerja keras sehingga berdampak buruk pada kesehatannya," ujarnya dengan nada pura-pura sedih. Wajah Ronald terlihat muram, matanya berkaca-kaca seolah ingin menangis. Namun, di dalam hatinya, ia merasa lega karena berhasil meyakinkan reporter bahwa ia berhasil mengelabui mereka.Reporter itu mengangguk mengerti, mencatat jawaban Ronald dengan seksama sebelum mengakhiri wawancara.***Alexa yang sedang melihat berita konferensi Pers Ronald sambil bergumam," Ternyata dia
"Brak! Brak!" Suara tabrakan mobil terdengar keras dari kanan kiri jalan. Mobil yang dikendarai oleh Micheal tampak rusak parah, bodi mobil penyok dan kaca jendelanya pecah berantakan. Mobil Micheal hampir-hampir tidak berbentuk lagi. Tabrakan yang terjadi beruntun di sepanjang jalan, membuat Micheal sulit untuk meloloskan diri. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Tak lama kemudian, beberapa mobil besar muncul dari kejauhan, dikendarai oleh prajurit Edward bersama anak buahnya. Mereka bergerak cepat mendekati Micheal yang terperangkap dalam situasi genting ini. "Siapa mereka?" gumam Micheal panik, sambil menyetir dengan gegabah, belok ke kanan dan kiri, kehilangan kendali atas mobilnya. Matanya menatap nanar ke depan, berusaha mencari jalan keluar dari bahaya yang semakin mengancam nyawanya. "Singkirkan mereka!" perintah Edward dengan tegas pada anak buahnya yang ikut dari belakang mobilnya. Segera saja, mobil yang mengikutinya dari belakang m
Charlie dan Emily sedang mengobrol ketika tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Mereka menoleh dan melihat Vivian, istri Charlie, berdiri di pintu dengan ekspresi bingung di wajahnya. "Maaf, aku tidak tahu kamu sedang sibuk," ucap Vivian dengan nada ragu, lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan. Namun, sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, Charlie segera menghampirinya. "Vivian," panggil Charlie, membuat istrinya itu menghentikan langkahnya. "Iya, ada apa?" tanya Vivian. "Aku ingin memperkenalkan Emily kepada kamu. Dia seorang dokter lulusan Kanada yang akan dipindahkan ke sini," jelas Charlie sambil menunjuk ke arah Emily yang masih berdiri di tempatnya. Emily merasa jantungnya berdebar kencang. Sejenak, dia tak bisa berkata apa-apa. Ini adalah pertemuan pertama mereka, dan dia sangat cemas karena sebenarnya dia mencintai Charlie. Emily akhirnya mengumpulkan keberanian dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Vivian. "Halo, Vivian. Senang bisa bertemu denganm
Di dalam ruangan megah berdinding kaca, sejumlah petinggi pemerintah duduk di sekeliling meja rapat yang panjang dan berhiaskan mahkota emas. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela membuat ruangan itu terasa hangat dan menegangkan. Charlie dengan seragam jenderal yang anggun, duduk di ujung meja rapat sambil menatap lurus ke depan, wajahnya terlihat tenang dan bersiap menghadapi apa pun konsekuensi yang diberikan oleh mereka. Raut wajah para petinggi yang serius dan fokus menandakan bahwa topik yang mereka bahas bukanlah hal yang sepele. Beberapa di antara mereka bergumam, sementara yang lain mencatat poin-poin penting pada catatan mereka. Tiba-tiba, salah satu petinggi yang duduk di tengah, seorang pria berkacamata dengan rambut putih, berbicara dengan nada tegas dan keras, "Charlie Parkitson, mengenai informasi yang kami dapatkan, Anda adalah penderita CIPA sejak kecil. Akan tetapi selama ini Anda menutupinya. Apakah penjelasan Anda?" Semua mata langsung tertuju pa
Vivian terdiam sejenak setelah mendengar nada wanita itu yang sedikit meninggi."Aku akan sampaikan padanya, Tenang saja!" ujar Vivian."Sekarang aku adalah dokter pribadinya, Sebagai dokter aku harus periksa kondisinya setiap hari. Jadi, aku berharap kamu bisa bekerja sama untuk menasehatinya!" ucap Emily dengan nada tinggi. Vivian, yang berusaha tetap tenang, dan menjawab, "Sudah ku katakan, aku akan sampaikan pesananmu padanya." Emily menghela napas, rasa frustrasinya semakin terasa. "Di mana dia sekarang? Aku tidak bisa menghubunginya? Dia adalah pasienku dan harus aku pantau selalu. Jaga makanan dan minumannya. Jangan sampai lalai!" pesan Emily dengan tegas. Vivian mulai merasa curiga. "Apakah wanita ini benar-benar demi kebaikan Charlie atau sedang bermusuhan denganku?"gumamnya.Mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan kediaman, Andrew segera turun dari mobil dan berjalan menuju pintu belakang. Dengan sigap, ia membuka pintu mobil untuk membantu Charlie, atasannya
Pasukan polisi dengan sigap mendobrak pintu penginapan yang diduga menjadi tempat persembunyian tersangka. Suara keras "Brak! Brak!" menggema di lorong penginapan tersebut. Debu dan serpihan kayu berserakan di lantai akibat kejadian yang begitu mendadak. Tersangka yang sedang tidur pulas di kamar seketika terbangun dan terkesiap. Wajahnya tampak pucat dan ketakutan saat menyadari ada banyak polisi bersenjata di sekelilingnya. Salah satu polisi yang memimpin pasukan segera memerintahkan, "Tahan dia!" Supir truk yang merupakan tersangka itu berdiri dengan tubuh telanjang dada dan hanya ditutupi oleh selimut yang ia genggam erat. Dengan suara bergetar, ia bertanya, "Siapa kalian?" "Kami dari LAPD," jawab polisi yang memimpin tadi, sambil menunjuk ke arah tersangka. "Gerard Leans, Kamu ditangkap atas tuduhan melakukan tabrak lari yang menyebabkan kematian korban bernama Hanz." Wajah Gerard menjadi semakin pucat. Matanya terbelalak tak percaya, dan tubuhnya bergetar hebat saat polisi
Dokter berdiri di samping tubuh Rayni yang telah tak bernyawa, meski ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya. Detak jantung Rayni sudah tak terdengar lagi, dan wajah Dokter itu terlihat sangat sedih. Ia menatap Rayni dengan mata berkaca-kaca, mengetahui bahwa ia telah gagal menyelamatkan pasiennya.Dokter itu menghela napas berat sebelum akhirnya berbicara, "Maaf, kami sudah berusaha sekuat tenaga. Namun, tubuh pasien memilih untuk pasrah. Racun yang telah mempengaruhi jantungnya sejak lama membuatnya meninggal akibat gagal jantung." Charlie yang mendengarkan penjelasan Dokter , merasa sedih yang tak terkira. Meskipun ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kenyataan ini, tetap saja perasaan kehilangan itu terasa sangat menyakitkan. Ia menggigit bibirnya untuk menahan tangis, lalu berkata dengan suara bergetar, "Dokter, buat laporan medis kondisi Rayni. Kita akan gunakan laporan tersebut sebagai bukti untuk menangkap pelakunya!" Dokter mengangguk setuju, menatap C
Malam itu, langit dipenuhi dengan gemerlap bintang yang menambah suasana semakin dramatis. Di ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya lampu dinding, Micheal duduk bersama Charlie, Alexa, dan Andrew di Villa Charlie. Mereka saling berpandangan, serius menyimak bukti yang tersimpan dalam flashdisk yang ditinggalkan oleh Rayni. Ungkapan tegang terpancar dari wajah mereka, terutama Charlie yang terlihat menahan amarah. Di tengah kesunyian, tiba-tiba Alexa bangkit dari duduknya, berjalan kesana-kemari sambil meremas-remas tangannya, seolah mencari jawaban dari pertanyaan yang mengganjal di benaknya. "Dengan semua bukti dan saksi yang terkumpul, kapan kita akan mengambil tindakan?" tanya Alexa, suaranya terdengar penuh dengan kegusaran. Charlie menatap lurus ke arah Alexa,"Aku butuh pengakuan papaku," ujarnya lirih, "Untuk membuktikan bahwa dirinya dikurung selama tiga puluh lima tahun." "Dua anak buah Ronald sama sekali tidak tahu menahu soal ini, Mereka hanya dibayar untuk mengawas