“Aku dengar kekasih tercintamu itu ulang tahun kemarin. Kenapa kau justru ada di bar sendirian?”
Mendengar ucapan Wilson, Juliet yang memang sudah mengenakan pakaiannya seketika lesu. Setelah meminum segelas air mineral yang tersedia, Juliet mulai mengingat dengan jelas apa yang terjadi semalam. Dia benar-benar menyerang Wilson! Bisa-bisanya Juliet seperti singa betina yang kelaparan mencium Wilson, membuka bajunya, menyentuh tubuh kekar pria itu, bahkan…. “Apa Kau diam karena sedang merasa bersalah sudah mengkhianatinya?” tanya Wilson lagi menyadarkan Juliet dari lamunan. Merasa bersalah? Yang benar saja! Kalau bukan karena pria itu, dia tak akan kehilangan akal, hingga berakhir seperti ini! “Aku ingin memberikan kejutan untuknya, tapi malah aku yang terkejut menemukannya berselingkuh,” jawab Juliet tampak menahan emosi. Di sisi lain, Wilson menyembunyikan senyumnya. Setiap kali dia melihat Argan, dia pasti akan melihat Juliet. Wanita itu selalu mengantar-jemput Argan dari perusahaan. Wilson sampai bingung. Juliet itu kekasihnya Argan atau ibunya pria itu? Rasanya cukup puas juga melihat perempuan bodoh dan gila cinta akhirnya tersadarkan. “Makanya, kalau sudah tahu kau kekasihnya, bersikaplah sebagaimana mestinya jangan bersikap seolah-olah Kau adalah ibunya,” ujar Wilson. Jleb! Juliet hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Bukan hanya satu atau dua orang saja yang mengatakan hal itu, tapi Juliet terlalu mencintai Argan dan menulikan telinganya. Siapa sangka, ucapan mereka justru terbukti…. Tanpa sadar Juliet menjedotkan kepalanya ke bantal, merutuki kebodohan. Wilson sendiri menggelengkan kepalanya melihat tingkah juliet. “Sudahlah. Mengajakmu bicara sekarang ini percuma saja. Kita bertemu lagi malam nanti. Pagi ini, aku ada meeting penting.” Mendengar itu, Juliet seketika menatap Wilson dengan tatapan terkejut. Meeting penting? “PAK!” teriak Juliet tiba-tiba yang membuat Wilson mengangkat alis. “Bisakah kita bicara biasa saja?” tegur pria tampan itu pada Juliet. “Maaf, Pak CEO,” ujar Juliet tak enak, tapi dia sungguh penasaran, “meeting penting hari ini apakah harus melibatkan Argan dan Rania?” Wilson mengerutkan kening. “Kenapa?” Juliet mengatur napasnya. “Pak CEO, sebenarnya... semalam aku...” Ia mendadak ragu untuk menceritakan apa yang ia lakukan, takut itu akan membuatnya menjadi narapidana. “Cepat, Juliet.” Gadis itu menelan ludahnya. “Pak, sebenarnya semalam aku melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Itu ... karena aku sedang kalut, jadi aku memasukkan lem perekat super ke krim pelumas. Mereka berdua pasti sudah menggunakannya. Sepertinya mereka...” “Pak, kalau ketahuan apa aku akan dipenjara?” panik Juliet ketakutan sekarang. “Ehem!” Wilson berdehem guna mengusir rasa ingin tertawanya itu. Dia berusaha mengontrol ekspresinya. “Yah, bisa jadi.” Juliet merasakan tubuhnya semakin lemas. “Ahhh! Bagaimana ini?! Cicilan mobil belum lunas, biaya sekolah adik belum lunas juga, listrik belum bayar, bahan makanan sudah mau habis, belum beli—” “Jika kau tahu susahnya cari uang, kenapa sibuk menghidupi pacarmu juga?” Deg! Ucapan Wilson sedari tadi menyakitkan, tapi nyatanya selalu benar. Mobil yang ia beli dengan sistem kredit itu, bukan dia yang menggunakan. Tapi, Argan! Sedangkan Juliet? Dia pergi ke mana pun harus menggunakan bus. Memang sontoloyo! Kalau buru-buru barulah dia akan pakai taksi. “Sudahlah. Sekarang ini aku harus pergi. Kita bertemu di kafe nanti, ada banyak hal yang perlu aku bicarakan padamu,” ucap Wilson. Juliet pun menganggukkan kepala dengan lesu. Sudahlah... Hilang semuanya. Cintanya, kesuciannya, otaknya, dan harga dirinya. Bahkan... kemana pergi celana dalamnya? Juliet rasanya ingin tertawa dan menangis bersamaan karena kehilangan akal. “Ayo, aku antar kau pulang dulu atau mau langsung ke kantor,” ucap Wilson lagi. Juliet memaksakan diri untuk bangkit. “Langsung ke kantor saja, Pak. Aku kebetulan sudah menyiapkan beberapa setel pakaian di sana karena aku sering lembur.” Wilson menganggukkan kepalanya. “Yah. Kau memang gadis yang pekerja keras. Pacarmu itu memiliki gaya hidup yang tinggi, kau tentu harus lembur lebih banyak daripada yang sebelumnya.” Juliet sontak menatap tak percaya pada Wilson. Kali ini, ia yakin CEO tampan itu memang tengah mengejeknya. Tapi, siapa juga yang tak menertawakan kebodohan Juliet? Dia saja ingin mengatai dirinya sendiri, kok! “Aku benar-benar bodoh,” gumam Juliet dalam hati, lalu mengikuti langkah Wilson ke dalam mobil. Hanya saja, bersebelahan di mobil dengan Wilson membuatnya tak nyaman. Terlalu hening! Tidak ada pembicaraan apapun di sana. “Pak CEO, ini apa tidak akan terjadi masalah kalau pacarnya pak CEO tahu ada wanita lain yang duduk di mobil ini?” ucapnya mencoba mencairkan suasana. Wilson menghela napas. Pria itu nampak fokus mengemudi, tapi juga tertarik untuk menjawab pertanyaan dari Juliet. “Aku tidak punya pacar.” “Kenapa tidak punya pacar, Pak?” iseng Juliet bertanya. “Takut kalau nanti pacarku bodohnya sepertimu,” jawabnya singkat, padat, dan nyelekit pada Juliet.Kalau saja Juliet tidak sadar posisinya, dia yakin sudah memelintir usus besar CEO tampan itu!Hanya saja, Juliet mendadak teringat sesuatu!“Maaf, apakah aku bisa ikut ke kantor Pak CEO saja? Aku mau menemui Argan dan meminta kunci mobil,” ucapnya.Wilson tampak menoleh padanya sebelum menganggukkan kepala.Tidak butuh waktu lama, mereka pun tiba dan berpisah.Wilson langsung menuju ruangannya, meninggalkan Juliet yang menunggu di lobby perusahaan. Menunggu Argan, wanita itu mondar-mandir di dekat pintu lobi perusahaan dengan perasaan gelisah.Juliet bahkan tidak peduli penampilannya masih lusuh ataupun tubuhnya yang seperti tertimpa truk tronton. Selain tidak ingin buang-buang waktu lagi untuk mengambil kembali mobilnya, Juliet juga ingin memastikan keadaan dua pengkhianat itu.Bukan kenapa-kenapa, Juliet hanya takut berakhir dipenjara jika Argan dan Rania gancet!Untungnya, semua sirna kala Juliet akhirnya melihat Argan datang di depan halaman perusahaan.Pria itu tampak sangat k
“Ya ampun! Tolong tolong!” Sadar akan situasi, Juliet kembali berpura-pura panik. Semua yang datang langsung mendekat dengan penasaran. “... Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya satu diantara mereka. Juliet menggelengkan kepalanya. “Tidak tahu. Aku cuma memeluknya, tapi dia malah seperti itu.” “Lebih baik kita telepon ambulans, bawa saja ke rumah sakit!” ucap salah satu karyawan yang kebetulan di sana. Juliet menggigit bibir bawahnya. Itu tidak boleh terjadi! Ia pun langsung mencoba untuk menenangkan orang-orang yang ada di sana. “Tidak usah, pacar tersayang ku ini sangat ketakutan dengan rumah sakit. Aku akan urus dia sendiri saja, deh...” “Kau yakin? Dia terlihat kesakitan sekali, loh. Takutnya terjadi sesuatu yang serius dengan miliknya.” Juliet kembali tersenyum. “Pokoknya, Kalian tidak perlu khawatir. Kalian bisa lanjut untuk masuk ke kantor, sudah akan terlambat.” “Baiklah. Ayo kita masuk!” Argan menatap mereka semua yang pergi dengan tatapan tidak rela, tapi dia juga
Di sisi lain, Juliet tengah meminta izin kepala divisinya untuk cuti. Dia sebenarnya merasa tak enak, tapi dia harus melakukannya. Dari seberang, ia dapat mendengar Kepala Divisinya menghela napas. “Juliet, kau memiliki performa yang baik dalam pekerjaan. Tolong berhentilah terobsesi terhadap kekasihmu itu, kau akan rugi sendiri.”Juliet tersenyum pilu. Ternyata semua orang pun sudah bisa melihat dengan jelas.“Bu Kepala divisi, aku sudah sadar akan hal itu. Kali ini, cuti terakhirku untuk menyelesaikan semuanya.”Terdengar helaan napas dari seberang sebelum akhirnya atasan Juliet itu setuju.Begitu panggilan telepon berakhir, Juliet pun kembali fokus mengemudi. Dia menajamkan matanya sambil mencengkram kemudi mobil dengan erat. “Argan, semua yang aku berikan padamu, aku akan mengambilnya lagi! Lihat saja saat kau pulang kerja nanti. Semoga kau suka dengan hasil karyaku.”Tak lama, Juliet pun sampai di apartemen Argan dengan napas mulai sesak.Terlebih bayangan perselingkuhan yang
Juliet menggigit bibirnya, menahan tawa kecil yang hampir lolos. “Aku harus bayar uang sekolah adikku dan beberapa tunggakannya. Aku janji akan mengembalikan uangnya saat Kepala Divisi transfer nanti.” Argan terdiam cukup lama. Juliet bisa membayangkan pria itu sedang berpikir keras. “Argan, kumohon...” Juliet berbisik pelan, memaksimalkan kesan putus asa. “Ah, baiklah. tapi, janji untuk transfer aku setelah Kepala divisi mengirimkan uang padamu, ya?” ucap Argan dan suaranya terdengar masih tidak rela. “Iya.” Dan beberapa detik kemudian, 50 juta itu pun sampai di account bank Juliet! Melihat itu, Juliet pun tertawa terbahak-bahak. “Bagus! Argan, kau selalu berjanji akan mengembalikan setiap uang yang pinjam dariku. Kurang lebih, seperti itulah caramu meminjam uang dariku selama ini. Jadi... cobalah rasakan bagaimana rasanya menikmati janji palsu,” ucap Juliet. Dia pernah berpikir bahwa hidupnya pasti akan hancur lebur dan berantakan jika tidak bersama dengan argan lagi. Tern
Wilson berdecih kesal melihat tingkah Juliet. “Kenapa otakmu bahkan lebih mesum daripada yang aku duga?” sinis nya. Juliet berdecih sebal. Ia menurunkan tangannya. Matanya yang tadi terlihat waspada kini terlihat kikuk. “Harusnya Pak Wilson mengatakan saja secara jelas maunya apa. Kalau bicaranya setengah-setengah seperti itu, ya tentu saja bukan salahku yang akan salah paham,” balas Juliet yang tak mau terlalu dipojokkan. Wilson menghela napasnya. Tatapan tajam dan serius. “Sebagai bukti permintaan maaf yang tulus darimu, aku ingin kau datang setiap pagi untuk mengantarkan sarapan kepadaku. Ingat, wajahmu juga harus terlihat tulus selayaknya orang yang menyesal.” Juliet terperangah tak percaya. Matanya membesar, sulit percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa?” suaranya nyaris bergetar. “Kenapa aku harus mengantarkan sarapan setiap pagi, Pak Wilson? Bukankah ada cara yang lebih mudah untuk menyelesaikan masalah ini?” Wilson menegakkan tubuhnya, menatapnya seolah perm
Juliet tersentak kaget. Sadar telah menerima panggilan telepon dari Argan, Ia pun segera mengakhiri telepon. Sudahlah... Dia benar-benar sangat kelelahan sekarang. Otak dan tubuhnya butuh istirahat. Juliet melanjutkan tidurnya. Ah, ia sudah tidak peduli lagi. Namun, hal itu jelas berbanding terbalik dengan Argan. Dia sudah pusing karena mobilnya diambil Juliet, lalu uang 50 juta yang ada di tangan Juliet, dan Sekarang semua barang-barang pemberian Juliet tidak ada. Argan langsung meninggalkan apartemen, menuju ke tempat di mana Juliet tinggal. Dia harus mendapatkan penjelasan dari kekasihnya itu, sekaligus mengambil kembali apa yang Juliet ambil. ****Juliet menggosok matanya yang terasa begitu berat. Kantuk masih menguasai tubuhnya, tapi di hadapannya, Argan duduk dengan ekspresi penuh rasa frustrasi. Pria itu tampak tersiksa, berjalan pun sudah cukup menyakitkan baginya, tetapi tetap memaksakan diri untuk banyak bergerak hari ini tanpa mobil, dan sekarang harus datang
Argan melangkahkan kaki meninggalkan rumah Juliet dengan perasaan campur aduk, kesal, bingung, dan merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa ia kuasai. Pernyataannya Kenapa Juliet bisa berubah seperti sekarang ini tidak mendapatkan jawaban dari yang bersangkutan. Kalimat mengambang yang diucapkan oleh Juliet sebelum dia pergi benar-benar membuat Argan pusing. “Sepertinya kau butuh waktu lama untuk pulih, ya? Ya sudah... lebih baik sekarang kau pulang dan istirahat yang lama.” Argan mengusap wajahnya dengan kasar. Barang-barangnya di apartemen hilang entah ke mana. Uang 50 juta yang ia harapkan kembali telah raib. Mobil milik Juliet, yang diam-diam ingin ia kuasai juga tak tersentuh lagi. Langkahnya terasa semakin berat. Setiap langkah seolah menekan kesadarannya akan satu hal yang selama ini ia remehkan, Juliet bukanlah gadis bodoh yang bisa terus-menerus ia tipu. Argan mendesah panjang, mencoba berpikir. “Apa mungkin... Juliet tahu tentang aku dan Rania,
Argan menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerja dengan wajah yang keruh. Matanya kosong, pandangannya tertuju pada layar komputer yang sejak tadi tidak bergerak. Tangannya terulur pelan, namun justru mengusap wajahnya dengan kasar, berulang kali, seolah ingin menghapus kebingungan yang menumpuk di kepalanya setelah melihat Juliet pergi ke ruang kerja Wilson. Juliet... Kenapa Juliet bisa-bisanya mengantar sarapan ke Wilson, CEO tempatnya bekerja? Ini bagaikan mimpi untuknya. Itu hal yang sangat tidak masuk akal. Juliet bukan karyawan di perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan selama ini, Argan tahu betul kalau Juliet tidak pernah sekalipun menyinggung soal Wilson. Tidak ada kedekatan. Tidak ada obrolan. Tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke sana. “Dia berubah belakangan ini dan perubahan itu apakah sejak ada sesuatu dengan Pak Wilson?” gumam Argan lirih. Pikirannya makin berkecamuk. Apa mungkin Juliet punya hubungan khusus dengan Wilson? Atau jangan-jangan Juliet sengaja mend
Mendengar pertanyaan dari Rania, Wilson pun tersenyum namun sorot matanya yang dingin itu membuat Rania tanpa sadar memundurkan langkahnya. “Bercanda? Dengan mu?” katanya dengan nada yang terasa menekan. “Aku dan kalian berdua sama sekali tidak akrab, kenapa aku harus bercanda dengan kalian? Lagi pula, aku memang sudah lama menyukai Juliet. Gadis yang sangat multitalenta seperti dia, bagaimana mungkin ada orang yang tidak suka untuk jadi pasangannya?” Juliet menelan ludahnya dengan sangat kesulitan seolah-olah sedang menelan pasir gurun. Rania menggigit bibir bawahnya. Takut... sungguh dia takut sekali dengan cara Wilson menatap dan berbicara dengannya. Wilson mengarahkan tatapan matanya yang tajam itu kepada Argan. “Jangan lupa dengan beberapa waktu terakhir ini, kalian benar-benar membuat kehebohan yang cukup menggangguku. Aku sudah mengeluarkan surat peringatan untuk kalian berdua, sekarang kalian masih ingin mencari gara-gara?” Argan langsung menggelengkan kepalanya.
Juliet benar-benar tidak mengerti kenapa Wilson bereaksi sangat keras seperti itu. “Padahal, aku kan tidak masalah kalau tidak laku seumur hidup. Lagi pula, kalau nanti aku menikah, terus punya anak, terus hidupnya susah, mau dikasih makan apa anaknya nanti? Yah... orang seperti Pak Wilson mana mungkin berpikir sampai sejauh itu? Dia kan punya banyak uang,” gumamnya. Wilson sendiri sudah kembali ke kamarnya. Kini, Juliet tengah merapikan kembali tempat tidurnya sebelum dia tidur. Esok paginya, di parkiran apartemen, Juliet berdiri dengan wajah kesal di samping mobilnya. Ia menendang ban mobil yang kempes beberapa kali, rasa lelah benar-benar menguasainya saat ini, sejak pagi ia sudah menghabiskan tenaga untuk membersihkan apartemen Wilson dan menyiapkan sarapan, semuanya terasa sangat melelahkan. Wilson yang baru saja tiba menghampiri dengan ekspresi heran. “Ada apa? Kenapa e
Pertanyaan dari Juliet membuat Wilson hanya menghela napas, lalu menatap Juliet dalam-dalam. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. “Kau baik-baik saja?” Juliet mengangguk pelan, kemudian ia mulai memunguti barang-barang yang berjatuhan. Tapi dalam hatinya, ia juga tak bisa menahan perasaan geli bercampur malu yang menggulung cepat. Dia juga tahu kalau Wilson sengaja tidak memberikan jawaban untuk pertanyaannya. Memang siapa dia? Mau punya pacar atau tidak, itu adalah haknya Wilson. Di sisi lain, Wilson juga tidak bisa menahan senyumnya yang makin merekah. Meskipun situasinya menjadi kacau, entah mengapa kehadiran Juliet membuat apartemennya terasa lebih hidup. Setelah Juliet selesai memunguti pakaiannya, mereka pun duduk di lantai bersama. “Ngomong-ngomong, Kenapa kau bisa mengenal Reiner? Cara mu menyebut namanya, Kalian pasti bukan hanya memiliki hubungan yang biasa, kan?” Ada senyum di bibir Juliet. Tapi, saat mengingat apa yang terjadi di kantor tadi, Juliet
Reiner memicingkan matanya. Jelas Itu bukan sebuah kebetulan, Wilson tidak mungkin menggunakan lipstik. “Wilson, Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, ya? Wah... calon istrimu itu pasti barusan dari sini, kan?” Mendengar ledekan dari Reiner, Wilson dengan segera memperbaiki ekspresi wajahnya. Dia membuang napas kasar, mencoba untuk berbicara dengan santai. “Jangan banyak berpikir. Calon istri apanya? Kau sendiri juga tahu bagaimana jalan ceritanya. Lipstik itu... sebenarnya bukan lipstik, vitamin bibir, pelembab. Tidak mungkin kalau kau tidak tahu. Di jaman sekarang, bukan sebuah dosa kalau laki-laki menggunakan pelembab bibir.” Reiner yang merasa semakin curiga tidak dapat menahan dorongan untuk membuktikan instingnya. Dengan langkah cepat, ia tiba-tiba berlari menuju lorong apartemen Wilson.“Hei, Reiner!!” “Siapa tahu kau menyembunyikan seorang wanita di sini, bukan?” ujarnya dengan nada setengah bercanda namun penuh rasa i
Juliet mengerutkan keningnya saat melihat telinga Wilson. “Pak, telingamu merah, kenapa?” Wilson mencoba untuk mengabaikannya pertanyaan itu. Dia terlalu gugup dan malu saat ini. Tidak mendapatkan jawaban membuat Juliet mengerutkan keningnya. “Pak? Pak Wilson kenapa sih diam saja? Apa pak Wilson sedang sakit? Apa ada yang terjepit sampai harus menahan jadi telinganya merah?” Wilson pun menjadi kesal oleh pertanyaan itu. Terjepit?! Bisa-bisanya yang dipikirkan oleh Juliet sampai sejauh itu. “Diam lah, Juliet. Aku bukan Bapak mu, kenapa kau terus semangat bicara dan memanggilku ‘pak’ dari tadi? Kau pikir kau anakku yang sedang minta lolipop?” kesan Wilson. “... Lolipop? Lolipop kan...” Wilson menelan ludah. Matanya mulai menunjukkan keterkejutannya. “Apa yang kau pikirkan setelah mendengar lolipop, hah? Otak mu terbang sampai ke mana?!” Juliet tersentak kaget saat Wilson bertanya sambil membentak-bentaknya. “Pak... sekarang pikiran Pak Wilson yang ke mana? Ngomong-ng
Buk!! Juliet melotot kaget saat Wilson meletakkan segepok uang. Glek... Ia pun menelan ludah. Wilson sempat merasa gugup, takut kalau caranya ini dianggap meremehkan Juliet. “Aku tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dengan tulus. Aku juga tidak ingin berhutang apapun. Kejadian semalam... aku tidak sengaja karena aku dalam pengaruh alkohol. Kalau kau merasa uang ini tidak—” “Tentu saja tidak pantas!” tandas Juliet. Matanya yang melotot itu membuat Wilson merasa gugup. “Pak, anda pikir aku perempuan macam apa? Segepok uang ini... apa anda ingin menghina ku?” Wilson tercekat. Gila... ternyata dia melakukan kesalahan. Sejenak Wilson terdiam. Sungguh, dia tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dengan tulus. Dia bingung, bagaimanapun cuma uang yang dia punya. Yah, kebanyakan wanita juga akan merasa terhina. Mereka tidak setuju dianggap wanita tidak benar. Tapi, Wilson ingin mencoba sekali lagi. Dia merogoh jasnya, mengeluarkan dua gepok uang lalu ditumpuk
“Juliet, sini!” ucap Reiner, pria itu melambaikan tangannya kepada Juliet yang harus saja sampai di kantin kantor. Melihat Reiner yang saat itu bersama seorang gadis, Juliet pun merasa canggung. Jujur saja, dia menyukai Reiner yang sangat ramah dan tidak gengsi menyapa walaupun Juliet adalah staff biasanya. Namun, kehadiran wanita itu membuat Juliet paham kalau dia tidak boleh lupa diri. Ia pun berjalan mendekati Reiner, lalu menyapa dengan ramah, dan tidak melupakan rasa hormatnya kepada atasannya. Walaupun dia tidak pernah berkenalan langsung dengan Karina, Juliet beberapa kali melihat Karina datang ke kantor melalui lift eksekutif, maka sudah jelas kalau Karina bukan pegawai biasa. Juliet tersenyum tipis sambil mengangguk sopan saat Reiner memperkenalkan Karina padanya. “Senang bertemu dengan Anda, Nona,” ucap Juliet dengan suara tenang.
Ciuman itu masih membekas di bibir Juliet, panas, lembut, dan membuatnya mulai kehilangan logika. Napasnya memburu, wajahnya memerah tidak karuan. Saat Wilson mulai melepaskan kancing kemejanya dan kembali mendekat, Juliet sempat memejamkan mata, jantungnya berdentam seperti genderang perang. Siap menerima ciuman bibir Wilson yang memabukkan itu. Namun alih-alih sesuatu yang romantis atau menggoda terjadi, tubuh Wilson justru ambruk begitu saja di atas Juliet, membuat gadis itu terhimpit dan terperangah tak percaya. Pria itu sudah benar-benar tidak sadarkan diri. Juliet mendesah kesal sambil menggerutu dalam hati, “Bisa-bisanya aku nyaris terbawa perasaan oleh pria mabuk ini!” Dengan sekuat tenaga, Juliet mendorong tubuh Wilson agar bergeser ke samping. Setelah berhasil, ia duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipisnya. Wajahnya masih merah, tapi kini bukan hanya karena malu, melainkan karena sebal pada dirinya sendiri. Dia tidak menyangka akan mudah baginya kehilang
“Buka!” teriak seseorang di depan pintu apartemennya Wilson. “Ahhh...! Kenapa lama sekali, sih?” Mendengar itu secara tidak sengaja saat Juliet akan mengambil minum di dapur, dia mencoba mengabaikan suara itu karena bisa saja suara itu dari depan pintu unit lain. “Sialan! Kenapa pintu apartemennya tidak bisa dibuka!” ucap orang itu lagi. Hah! Juliet mengerutkan keningnya, mirip seperti suaranya Wilson. Tapi... Kenapa juga suaranya terdengar aneh? “Apa jangan-jangan dia terinfeksi virus, sekarang sudah jadi zombie?” gumam Juliet. Membayangkan hal itu, tubuhnya bahkan bergidik ngeri. Yah, zombie di dunia nyata manalah ada?! Dengan langkah gugup dan didorong oleh penasaran, Juliet mulai mendekati pintu. Untung saja ada cara untuk mengintip keluar dari pintu itu. “Alamakk!” Juliet membelalak kaget saat melihat dari balik kaca kecil di pintu, benar saja, itu Wilson. Tapi penampilannya