Argan menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerja dengan wajah yang keruh. Matanya kosong, pandangannya tertuju pada layar komputer yang sejak tadi tidak bergerak. Tangannya terulur pelan, namun justru mengusap wajahnya dengan kasar, berulang kali, seolah ingin menghapus kebingungan yang menumpuk di kepalanya setelah melihat Juliet pergi ke ruang kerja Wilson. Juliet... Kenapa Juliet bisa-bisanya mengantar sarapan ke Wilson, CEO tempatnya bekerja? Ini bagaikan mimpi untuknya. Itu hal yang sangat tidak masuk akal. Juliet bukan karyawan di perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan selama ini, Argan tahu betul kalau Juliet tidak pernah sekalipun menyinggung soal Wilson. Tidak ada kedekatan. Tidak ada obrolan. Tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke sana. “Dia berubah belakangan ini dan perubahan itu apakah sejak ada sesuatu dengan Pak Wilson?” gumam Argan lirih. Pikirannya makin berkecamuk. Apa mungkin Juliet punya hubungan khusus dengan Wilson? Atau jangan-jangan Juliet sengaja mend
Juliet akhirnya sampai di kantor tempatnya bekerja, nyaris saja terlambat. Napasnya masih memburu, sepatu hak tingginya seperti ingin memberontak dari kakinya. Pegal sekali! “Gila… baru sekali ini jalan kaki dari parkiran belakang rasanya seperti naik gunung,” gumamnya dalam hati. Biasanya, Juliet memang selalu naik Bus. Bahkan untuk jarak dua blok pun dia lebih memilih duduk manis dalam kabin ber-AC. Tapi sejak drama bersama Argan dan misi ‘mengantarkan sarapan untuk CEO menyebalkan’, gaya hidupnya jadi ikut terseret perubahan yang tidak dia inginkan. Begitu sampai di mejanya, Juliet langsung menjatuhkan diri ke kursi kerja. Anggota tim pemasaran sudah mulai sibuk sejak tadi, suara ketikan dan gumaman pelan memenuhi ruangan itu. Juliet menghembuskan napas panjang, merapikan rambutnya sekilas, lalu menyalakan laptopnya. Hari ini dia harus fokus. Harus bereskan laporan mingguan, lalu setor ke kepala divisi sebelum siang tiba. Dia membuka spreadsheet, mengintip angka-ang
Juliet menatap dengan tatapan ngeri. “Apa-apaan ini?” bisiknya. Tangannya gemetar saat memegang buku menu lebih mirip buku dosa besar bagi isi dompetnya. Desert seukuran koin lima ratus rupiah dihargai empat ratus ribu rupiah. Dan itu belum termasuk pajak dan servis 21%. Dompet Juliet pasti sedang Tremor sekarang. “Aku harus cari cara supaya bisa kabur,” batinnya. Dia menelan ludah berkali-kali. Jantungnya seperti ikut berdetak sesuai jumlah angka nol yang tercetak tebal di sebelah kanan nama menu. Sementara itu, di seberangnya, Wilson duduk dengan sangat tenang dan elegan. Mengenakan jas berpotongan rapi, pria itu tampak seperti pangeran dalam dongeng, pangeran super tampan yang sayangnya berjiwa jutaan iblis dalam tubuhnya. “Rasanya lumayan juga,” gumam Wilson sambil mengunyah potongan wagyu steak yang nyaris transparan karena kelembutannya. Juliet hanya menatapnya. Tatapan yang pen
“Aku keluar dulu, Pak,” ucap Juliet sambil membuka pintu mobilnya. “Tunggu!” cegah Wilson, menahan lengan Juliet. “... Ada apa, Pak? Kalau mau membahas soal menu sarapan besok, kita lanjutkan nanti—” Dug! Juliet terkejut saat tiba-tiba saja Wilson mengusap bibir Juliet. Seketika itu ia menjauhkan wajahnya, mundur. “K–kenapa?” Wilson terdiam sesaat. “Warna lipstik mu membuat mataku sakit,” jawabnya. Mendengar itu, Juliet mengerutkan kening. Dia benar-benar heran, padahal cukup gelap di dalam mobil. Kenapa juga warna lipstik yang soft itu harus membuat matanya sakit? ‘Dasar bedebah sialan!’ batin Juliet. “Kalau begitu, daripada mata anda sakit terlalu lama, aku keluar dulu saja,” buru-buru Juliet keluar dari mobil itu. Ah, lega!!! Wilson menghela napasnya. Matanya seolah menerawang dalam. “Perempuan bodoh ini...” gumamnya. Begitu Juliet keluar dari
Thom menghela napas panjang dan lega setelah mendengar pintu rumah tertutup rapat. Ia berjalan pelan ke ruang tamu, melihat Juliet duduk dengan wajah kesal sambil menatap kotak makanan di hadapannya, pemberian dari Rania yang tidak sedikit pun menggugah seleranya. “Kenapa Kakak masih berteman dengan Rania, sih?” tanya Thom dengan nada serius, sambil melirik kotak makanan itu dengan tatapan tidak suka. Juliet tersenyum tipis lalu menyodorkan kotak makanan itu kepadanya. “Kalau kau mau, ambil saja. Aku tidak berniat memakannya. Tidak ada selera sedikitpun.” Thom menggeleng dengan ekspresi muak. “Aku sudah kenyang, dan jujur saja, aku tidak percaya dengan apa pun yang datangnya dari dia.” Juliet menghela napas panjang, lalu bersandar di sandaran sofa. “Aku sudah tidak benar-benar berteman dengannya lagi. Aku hanya ingin pura-pura sebentar.” Thom duduk di sampin
Juliet berjalan cepat, hampir setengah berlari, dia bahkan hampir jatuh, setelah menitipkan kotak sarapan untuk Wilson ke meja resepsionis. Resepsionis yang kebingungan sempat hendak bertanya, tapi Juliet hanya melambaikan tangan buru-buru sambil berkata, “Tolong sampaikan ke Pak Wilson, saya titip di sini, ya.” Ia tidak menunggu jawaban, langsung bergegas menuju lantai 8, tempat di mana ia sempat melihat Rania menyeret Argan menjauh tadi. Begitu sampai di lantai yang sepi itu, Juliet menyelinap ke dekat pantry. Suaranya jelas terdengar, bahkan tanpa perlu terlalu dekat. Rania dan Argan sedang berbicara dengan nada yang tegang. Juliet segera mengaktifkan perekam video di ponselnya, menyelipkannya ke dalam saku blazer agar tidak mencolok. “Aku tidak percaya kau sampai mengatakan hal semacam itu pada Juliet!” suara Rania terdengar jelas, penuh kemarahan. “Bukannya awalnya kau cuma ingin memanfaatkan dia untuk semua fasilitas?!” Argan terdengar berusaha menenangkan. “Rania, de
Wilson menatap kotak makan di atas mejanya dengan ekspresi yang gelap. Salad sayuran yang sudah layu dan kentang madu yang mulai dingin hanya membuat suasana hatinya semakin memburuk. Sudah hampir satu jam berlalu sejak dia mengirim pesan kepada Juliet, namun gadis itu tidak kunjung muncul juga. Padahal, kemarin Juliet akan muncul tepat waktu, meskipun dengan wajah cemberut dan gerutuan yang ditahan, terlihat jelas. Pria itu mendengus pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi kerja. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, menandakan ketidaksabaran yang mulai memuncak di kepalanya. Rasa jengkel itu tidak bisa ditahan, dan saat meeting siang berlangsung, kemarahan Wilson tumpah tanpa bisa dikendalikan lagi. “Angka penjualan kalian stagnan selama dua minggu berturut-turut. Ini kantor atau tempat penampungan santai kalian, hah?” ucap Wilson tajam pada tim pemasaran
“... Apa katamu barusan, Thom?” Juliet menghentikan langkahnya di depan pintu lobi kantor, tubuhnya membeku seketika. Suara Thom di ujung telepon masih terdengar panik, nyaris tercekat saat menjelaskan kembali apa yang baru saja terjadi padanya. “Aku… aku tidak sengaja, Kak. Mobil itu parkir di tikungan blok kampus, aku tidak melihatnya! Aduh, ini… ini parah sekali rusaknya. Mobil ini pasti milik orang penting! Aku sudah minta maaf, tapi sopirnya minta aku untuk ganti rugi, dan… dan nilainya, seratus dua puluh juta!” suara Thom nyaris pecah. Jeder!!! Rasanya seperti tersambar petir dari segala arah saat mendengar itu. “Thom, kau sedang bercanda, ya?” tanya Juliet, waspada, menolak untuk percaya. “Aku juga maunya bercanda. Tetapi, ini tuh kenyataan, kak!” balas Thom. Juliet mencengkeram gagang ponsel erat-erat, matanya menatap kosong ke arah pintu kaca yang memantulkan bayanga
Glek... Juliet menelan ludah. ‘Mimpi apa aku semalam?’ batin Juliet saat melihat Wilson berdiri di hadapannya, di ambang pintu. Juliet menggelengkan kepalanya. Kenapa dia terpesona? Jelas-jelas dia adalah pria yang sama yang membuat dompetnya menjerit dan hidupnya berantakan akhir-akhir ini. Juliet ingin memutar balik dan kabur, tapi suara Wilson lebih cepat menghentikannya. “Cepat masuk. Jangan berdiri di sana seperti pengantar paket.” Juliet mendengus pelan, menyeret langkahnya masuk. Aroma khas sabun mahal dan wangi maskulin langsung menyambutnya, seolah apartemen itu juga ikut mengejek hidup super sederhana yang biasa dia jalani. Wilson berjalan santai ke ruang tengah, tanpa memperdulikan Juliet yang masih berdiri kikuk di ambang pintu. Pakaian santainya, kaus putih pas badan dan celana jogger abu, terlalu menggoda untuk seorang pria yang dikenal menyeb
Juliet duduk diam mematung, seolah-olah tubuhnya membeku oleh tekanan yang datang bertubi-tubi. Tatapan Wilson tajam, tenang, namun begitu dingin hingga Juliet merasa seperti sedang berhadapan dengan hakim di ruang sidang. “Apa yang barusan pak Wilson bilang? A–apartemen? Kita?” tanya Juliet. Pikirannya mulai aneh. Tanpa sadar ia melingkarkan lengannya, menutupi dadanya. ‘Hah! Ini sangat gongg sekali! Dia mau menjadikan aku teman tidur?’ batinnya. Wilson menghela napasnya. “Otak mesum mu itu benar-benar bekerja dengan baik, ya?” ujarnya. Juliet pun tersentak kaget. Langsung saja menurunkan kedua lengannya. Dia tersenyum kikuk sambil berkata, “Ah, aku... tidak sedang memikirkan apa-apa. Mesum apanya? Pak Wilson salah paham.” Wilson berdecih mendengar alasan yang dilontarkan Juliet barusan. “Sudah aku bilang padamu, jangan coba-coba untuk menipuku dengan otak bodoh mu itu.” S
“... Apa katamu barusan, Thom?” Juliet menghentikan langkahnya di depan pintu lobi kantor, tubuhnya membeku seketika. Suara Thom di ujung telepon masih terdengar panik, nyaris tercekat saat menjelaskan kembali apa yang baru saja terjadi padanya. “Aku… aku tidak sengaja, Kak. Mobil itu parkir di tikungan blok kampus, aku tidak melihatnya! Aduh, ini… ini parah sekali rusaknya. Mobil ini pasti milik orang penting! Aku sudah minta maaf, tapi sopirnya minta aku untuk ganti rugi, dan… dan nilainya, seratus dua puluh juta!” suara Thom nyaris pecah. Jeder!!! Rasanya seperti tersambar petir dari segala arah saat mendengar itu. “Thom, kau sedang bercanda, ya?” tanya Juliet, waspada, menolak untuk percaya. “Aku juga maunya bercanda. Tetapi, ini tuh kenyataan, kak!” balas Thom. Juliet mencengkeram gagang ponsel erat-erat, matanya menatap kosong ke arah pintu kaca yang memantulkan bayanga
Wilson menatap kotak makan di atas mejanya dengan ekspresi yang gelap. Salad sayuran yang sudah layu dan kentang madu yang mulai dingin hanya membuat suasana hatinya semakin memburuk. Sudah hampir satu jam berlalu sejak dia mengirim pesan kepada Juliet, namun gadis itu tidak kunjung muncul juga. Padahal, kemarin Juliet akan muncul tepat waktu, meskipun dengan wajah cemberut dan gerutuan yang ditahan, terlihat jelas. Pria itu mendengus pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi kerja. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, menandakan ketidaksabaran yang mulai memuncak di kepalanya. Rasa jengkel itu tidak bisa ditahan, dan saat meeting siang berlangsung, kemarahan Wilson tumpah tanpa bisa dikendalikan lagi. “Angka penjualan kalian stagnan selama dua minggu berturut-turut. Ini kantor atau tempat penampungan santai kalian, hah?” ucap Wilson tajam pada tim pemasaran
Juliet berjalan cepat, hampir setengah berlari, dia bahkan hampir jatuh, setelah menitipkan kotak sarapan untuk Wilson ke meja resepsionis. Resepsionis yang kebingungan sempat hendak bertanya, tapi Juliet hanya melambaikan tangan buru-buru sambil berkata, “Tolong sampaikan ke Pak Wilson, saya titip di sini, ya.” Ia tidak menunggu jawaban, langsung bergegas menuju lantai 8, tempat di mana ia sempat melihat Rania menyeret Argan menjauh tadi. Begitu sampai di lantai yang sepi itu, Juliet menyelinap ke dekat pantry. Suaranya jelas terdengar, bahkan tanpa perlu terlalu dekat. Rania dan Argan sedang berbicara dengan nada yang tegang. Juliet segera mengaktifkan perekam video di ponselnya, menyelipkannya ke dalam saku blazer agar tidak mencolok. “Aku tidak percaya kau sampai mengatakan hal semacam itu pada Juliet!” suara Rania terdengar jelas, penuh kemarahan. “Bukannya awalnya kau cuma ingin memanfaatkan dia untuk semua fasilitas?!” Argan terdengar berusaha menenangkan. “Rania, de
Thom menghela napas panjang dan lega setelah mendengar pintu rumah tertutup rapat. Ia berjalan pelan ke ruang tamu, melihat Juliet duduk dengan wajah kesal sambil menatap kotak makanan di hadapannya, pemberian dari Rania yang tidak sedikit pun menggugah seleranya. “Kenapa Kakak masih berteman dengan Rania, sih?” tanya Thom dengan nada serius, sambil melirik kotak makanan itu dengan tatapan tidak suka. Juliet tersenyum tipis lalu menyodorkan kotak makanan itu kepadanya. “Kalau kau mau, ambil saja. Aku tidak berniat memakannya. Tidak ada selera sedikitpun.” Thom menggeleng dengan ekspresi muak. “Aku sudah kenyang, dan jujur saja, aku tidak percaya dengan apa pun yang datangnya dari dia.” Juliet menghela napas panjang, lalu bersandar di sandaran sofa. “Aku sudah tidak benar-benar berteman dengannya lagi. Aku hanya ingin pura-pura sebentar.” Thom duduk di sampin
“Aku keluar dulu, Pak,” ucap Juliet sambil membuka pintu mobilnya. “Tunggu!” cegah Wilson, menahan lengan Juliet. “... Ada apa, Pak? Kalau mau membahas soal menu sarapan besok, kita lanjutkan nanti—” Dug! Juliet terkejut saat tiba-tiba saja Wilson mengusap bibir Juliet. Seketika itu ia menjauhkan wajahnya, mundur. “K–kenapa?” Wilson terdiam sesaat. “Warna lipstik mu membuat mataku sakit,” jawabnya. Mendengar itu, Juliet mengerutkan kening. Dia benar-benar heran, padahal cukup gelap di dalam mobil. Kenapa juga warna lipstik yang soft itu harus membuat matanya sakit? ‘Dasar bedebah sialan!’ batin Juliet. “Kalau begitu, daripada mata anda sakit terlalu lama, aku keluar dulu saja,” buru-buru Juliet keluar dari mobil itu. Ah, lega!!! Wilson menghela napasnya. Matanya seolah menerawang dalam. “Perempuan bodoh ini...” gumamnya. Begitu Juliet keluar dari
Juliet menatap dengan tatapan ngeri. “Apa-apaan ini?” bisiknya. Tangannya gemetar saat memegang buku menu lebih mirip buku dosa besar bagi isi dompetnya. Desert seukuran koin lima ratus rupiah dihargai empat ratus ribu rupiah. Dan itu belum termasuk pajak dan servis 21%. Dompet Juliet pasti sedang Tremor sekarang. “Aku harus cari cara supaya bisa kabur,” batinnya. Dia menelan ludah berkali-kali. Jantungnya seperti ikut berdetak sesuai jumlah angka nol yang tercetak tebal di sebelah kanan nama menu. Sementara itu, di seberangnya, Wilson duduk dengan sangat tenang dan elegan. Mengenakan jas berpotongan rapi, pria itu tampak seperti pangeran dalam dongeng, pangeran super tampan yang sayangnya berjiwa jutaan iblis dalam tubuhnya. “Rasanya lumayan juga,” gumam Wilson sambil mengunyah potongan wagyu steak yang nyaris transparan karena kelembutannya. Juliet hanya menatapnya. Tatapan yang pen
Juliet akhirnya sampai di kantor tempatnya bekerja, nyaris saja terlambat. Napasnya masih memburu, sepatu hak tingginya seperti ingin memberontak dari kakinya. Pegal sekali! “Gila… baru sekali ini jalan kaki dari parkiran belakang rasanya seperti naik gunung,” gumamnya dalam hati. Biasanya, Juliet memang selalu naik Bus. Bahkan untuk jarak dua blok pun dia lebih memilih duduk manis dalam kabin ber-AC. Tapi sejak drama bersama Argan dan misi ‘mengantarkan sarapan untuk CEO menyebalkan’, gaya hidupnya jadi ikut terseret perubahan yang tidak dia inginkan. Begitu sampai di mejanya, Juliet langsung menjatuhkan diri ke kursi kerja. Anggota tim pemasaran sudah mulai sibuk sejak tadi, suara ketikan dan gumaman pelan memenuhi ruangan itu. Juliet menghembuskan napas panjang, merapikan rambutnya sekilas, lalu menyalakan laptopnya. Hari ini dia harus fokus. Harus bereskan laporan mingguan, lalu setor ke kepala divisi sebelum siang tiba. Dia membuka spreadsheet, mengintip angka-ang