Wilson menatap kotak makan di atas mejanya dengan ekspresi yang gelap. Salad sayuran yang sudah layu dan kentang madu yang mulai dingin hanya membuat suasana hatinya semakin memburuk. Sudah hampir satu jam berlalu sejak dia mengirim pesan kepada Juliet, namun gadis itu tidak kunjung muncul juga. Padahal, kemarin Juliet akan muncul tepat waktu, meskipun dengan wajah cemberut dan gerutuan yang ditahan, terlihat jelas. Pria itu mendengus pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi kerja. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, menandakan ketidaksabaran yang mulai memuncak di kepalanya. Rasa jengkel itu tidak bisa ditahan, dan saat meeting siang berlangsung, kemarahan Wilson tumpah tanpa bisa dikendalikan lagi. “Angka penjualan kalian stagnan selama dua minggu berturut-turut. Ini kantor atau tempat penampungan santai kalian, hah?” ucap Wilson tajam pada tim pemasaran
“... Apa katamu barusan, Thom?” Juliet menghentikan langkahnya di depan pintu lobi kantor, tubuhnya membeku seketika. Suara Thom di ujung telepon masih terdengar panik, nyaris tercekat saat menjelaskan kembali apa yang baru saja terjadi padanya. “Aku… aku tidak sengaja, Kak. Mobil itu parkir di tikungan blok kampus, aku tidak melihatnya! Aduh, ini… ini parah sekali rusaknya. Mobil ini pasti milik orang penting! Aku sudah minta maaf, tapi sopirnya minta aku untuk ganti rugi, dan… dan nilainya, seratus dua puluh juta!” suara Thom nyaris pecah. Jeder!!! Rasanya seperti tersambar petir dari segala arah saat mendengar itu. “Thom, kau sedang bercanda, ya?” tanya Juliet, waspada, menolak untuk percaya. “Aku juga maunya bercanda. Tetapi, ini tuh kenyataan, kak!” balas Thom. Juliet mencengkeram gagang ponsel erat-erat, matanya menatap kosong ke arah pintu kaca yang memantulkan bayanga
Juliet duduk diam mematung, seolah-olah tubuhnya membeku oleh tekanan yang datang bertubi-tubi. Tatapan Wilson tajam, tenang, namun begitu dingin hingga Juliet merasa seperti sedang berhadapan dengan hakim di ruang sidang. “Apa yang barusan pak Wilson bilang? A–apartemen? Kita?” tanya Juliet. Pikirannya mulai aneh. Tanpa sadar ia melingkarkan lengannya, menutupi dadanya. ‘Hah! Ini sangat gongg sekali! Dia mau menjadikan aku teman tidur?’ batinnya. Wilson menghela napasnya. “Otak mesum mu itu benar-benar bekerja dengan baik, ya?” ujarnya. Juliet pun tersentak kaget. Langsung saja menurunkan kedua lengannya. Dia tersenyum kikuk sambil berkata, “Ah, aku... tidak sedang memikirkan apa-apa. Mesum apanya? Pak Wilson salah paham.” Wilson berdecih mendengar alasan yang dilontarkan Juliet barusan. “Sudah aku bilang padamu, jangan coba-coba untuk menipuku dengan otak bodoh mu itu.” S
Glek... Juliet menelan ludah. ‘Mimpi apa aku semalam?’ batin Juliet saat melihat Wilson berdiri di hadapannya, di ambang pintu. Juliet menggelengkan kepalanya. Kenapa dia terpesona? Jelas-jelas dia adalah pria yang sama yang membuat dompetnya menjerit dan hidupnya berantakan akhir-akhir ini. Juliet ingin memutar balik dan kabur, tapi suara Wilson lebih cepat menghentikannya. “Cepat masuk. Jangan berdiri di sana seperti pengantar paket.” Juliet mendengus pelan, menyeret langkahnya masuk. Aroma khas sabun mahal dan wangi maskulin langsung menyambutnya, seolah apartemen itu juga ikut mengejek hidup super sederhana yang biasa dia jalani. Wilson berjalan santai ke ruang tengah, tanpa memperdulikan Juliet yang masih berdiri kikuk di ambang pintu. Pakaian santainya, kaus putih pas badan dan celana jogger abu, terlalu menggoda untuk seorang pria yang dikenal menyeb
“Apa yang sedang kau harapkan dengan memejamkan mata seperti ini, Juliet?” bisik William. Seketika itu Juliet membuka matanya. Dia langsung mencoba untuk berdiri dengan benar, menjauhkan tubuhnya dari Wilson. Glek! Hanya bisa menelan ludahnya. Gila...! dia benar-benar sangat membenci reaksi yang ditunjukkan olehnya tadi. Kenapa dia memejamkan mata? Sungguh, apakah di bawah alam sadarnya Juliet benar-benar ingin mencium bibir pria itu? Membayangkan niat terselubung dari otaknya sendiri, Juliet bahkan bergidik ngeri. “Sialan! Kenapa juga reaksi tubuhku benar-benar membuat diri sendiri malu,” batinnya. Juliet memberanikan diri untuk menatap Wilson yang terus menatapnya dengan sorot mata yang terlihat aneh. “A–aku... Aku sama sekali tidak berpikir seperti itu. Tadi itu, aku... memejamkan mata karena aku merasa lelah dan mengantuk.” Wilson menyeringai. “Benarkah?” Reaksi Wilson barus
Masih di apartemennya Wilson. Wilson menghela napas panjang, menatap semangkuk mie instan di hadapannya dengan tatapan datar. “Jadi ini yang kau sebut sebagai makan malam darurat?” Juliet yang duduk di seberangnya hanya mengangkat bahu sambil terus menyeruput mie-nya dengan semangat. “Ini makanan ajaib, tahu. Cepat, murah, dan bisa seketika membuat bahagia dalam tiga menit saja.” Wilson mendengus pelan, tapi akhirnya dia mengambil sumpit dan mencicipi suapan kecil. Baru satu gigitan, matanya langsung membulat. Rasa gurih kuah, telur setengah matang, dan sayuran rebus itu berpadu dengan cara yang sederhana tapi cukup memikat. “Aku… mengerti kenapa orang-orang bisa kecanduan makanan instan seperti ini,” gumamnya pelan, agak heran pada dirinya sendiri. Juliet melirik, terkekeh puas. “Tuh, kan? Aku bilang juga apa. Pak Wilson bahkan belum coba bagaimana rasanya jika menggunakan sambalnya. Emmm pokoknya ini enak!” Wilson se
Langkah kaki Wilson berhenti, reflek juga Juliet menghentikan langkahnya sempat ia membentur punggung pria itu. Dug! “Aduh!” pekik Juliet, mengusap dahinya pelan. Wilson membalikkan tubuhnya, menatap wanita paruh baya yang ternyata adalah ibunya. “Kita harus bicara, Wilson,” ucap ibunya Wilson, sejenak melirik kepada Juliet. Juliet yang tanggap akan hal itu segera bereaksi. “Kalau begitu, saya permisi...” ucapnya kikuk. “Permisi, Nyonya.” Akhirnya Juliet sampai di parkiran mobil. Dia mulai menyalakan mesin mobilnya. Tapi, pikirannya terus tertinggal di depan lift tadi. “Tadi itu siapanya pak Wilson ya? Kenapa ekspresinya menakutkan seperti itu? Ah, pasti Ibunya pak Wilson. Ekspresi mereka berdua sama saja,” gumam Juliet. Beberapa saat kemudian. Juliet yang awalnya hanya berniat menitipkan sarapan untuk Wilson di meja resepsionis, dibuat kesal karena harus bertemu dengan seseorang yang sama sekali tak ingin ia temui pagi itu, Rania. Wanita itu muncul tiba-tiba, me
Setelah beberapa saat, akhirnya Juliet sampai di tempatnya bekerja. Setelah menyapa rekan-rekannya sekilas, ia duduk di meja kerjanya dan segera fokus menyusun laporan penjualan bulanan yang belum rampung ia rangkum sejak seminggu yang lalu. Hari ini cukup penting karena manajer utama yang baru dijadwalkan akan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada pekerjaan divisi pemasaran. Beberapa saat kemudian, suasana kantor menjadi sedikit lebih tegang dan serius. Langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk ruangan. Semua anggota divisi dengan sigap berdiri dan memberi salam saat seorang pria berpenampilan rapi, dengan senyum ramah namun wibawa yang kentara, masuk ke dalam ruangan itu. “Selamat pagi, semuanya,” sapa pria itu dengan tenang. Juliet pun berdiri bersama yang lain, dan saat dia mengarahkan pandangannya ke arah pria tersebut… matanya membelalak sejenak saat m
Mendengar pertanyaan dari Rania, Wilson pun tersenyum namun sorot matanya yang dingin itu membuat Rania tanpa sadar memundurkan langkahnya. “Bercanda? Dengan mu?” katanya dengan nada yang terasa menekan. “Aku dan kalian berdua sama sekali tidak akrab, kenapa aku harus bercanda dengan kalian? Lagi pula, aku memang sudah lama menyukai Juliet. Gadis yang sangat multitalenta seperti dia, bagaimana mungkin ada orang yang tidak suka untuk jadi pasangannya?” Juliet menelan ludahnya dengan sangat kesulitan seolah-olah sedang menelan pasir gurun. Rania menggigit bibir bawahnya. Takut... sungguh dia takut sekali dengan cara Wilson menatap dan berbicara dengannya. Wilson mengarahkan tatapan matanya yang tajam itu kepada Argan. “Jangan lupa dengan beberapa waktu terakhir ini, kalian benar-benar membuat kehebohan yang cukup menggangguku. Aku sudah mengeluarkan surat peringatan untuk kalian berdua, sekarang kalian masih ingin mencari gara-gara?” Argan langsung menggelengkan kepalanya.
Juliet benar-benar tidak mengerti kenapa Wilson bereaksi sangat keras seperti itu. “Padahal, aku kan tidak masalah kalau tidak laku seumur hidup. Lagi pula, kalau nanti aku menikah, terus punya anak, terus hidupnya susah, mau dikasih makan apa anaknya nanti? Yah... orang seperti Pak Wilson mana mungkin berpikir sampai sejauh itu? Dia kan punya banyak uang,” gumamnya. Wilson sendiri sudah kembali ke kamarnya. Kini, Juliet tengah merapikan kembali tempat tidurnya sebelum dia tidur. Esok paginya, di parkiran apartemen, Juliet berdiri dengan wajah kesal di samping mobilnya. Ia menendang ban mobil yang kempes beberapa kali, rasa lelah benar-benar menguasainya saat ini, sejak pagi ia sudah menghabiskan tenaga untuk membersihkan apartemen Wilson dan menyiapkan sarapan, semuanya terasa sangat melelahkan. Wilson yang baru saja tiba menghampiri dengan ekspresi heran. “Ada apa? Kenapa e
Pertanyaan dari Juliet membuat Wilson hanya menghela napas, lalu menatap Juliet dalam-dalam. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. “Kau baik-baik saja?” Juliet mengangguk pelan, kemudian ia mulai memunguti barang-barang yang berjatuhan. Tapi dalam hatinya, ia juga tak bisa menahan perasaan geli bercampur malu yang menggulung cepat. Dia juga tahu kalau Wilson sengaja tidak memberikan jawaban untuk pertanyaannya. Memang siapa dia? Mau punya pacar atau tidak, itu adalah haknya Wilson. Di sisi lain, Wilson juga tidak bisa menahan senyumnya yang makin merekah. Meskipun situasinya menjadi kacau, entah mengapa kehadiran Juliet membuat apartemennya terasa lebih hidup. Setelah Juliet selesai memunguti pakaiannya, mereka pun duduk di lantai bersama. “Ngomong-ngomong, Kenapa kau bisa mengenal Reiner? Cara mu menyebut namanya, Kalian pasti bukan hanya memiliki hubungan yang biasa, kan?” Ada senyum di bibir Juliet. Tapi, saat mengingat apa yang terjadi di kantor tadi, Juliet
Reiner memicingkan matanya. Jelas Itu bukan sebuah kebetulan, Wilson tidak mungkin menggunakan lipstik. “Wilson, Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, ya? Wah... calon istrimu itu pasti barusan dari sini, kan?” Mendengar ledekan dari Reiner, Wilson dengan segera memperbaiki ekspresi wajahnya. Dia membuang napas kasar, mencoba untuk berbicara dengan santai. “Jangan banyak berpikir. Calon istri apanya? Kau sendiri juga tahu bagaimana jalan ceritanya. Lipstik itu... sebenarnya bukan lipstik, vitamin bibir, pelembab. Tidak mungkin kalau kau tidak tahu. Di jaman sekarang, bukan sebuah dosa kalau laki-laki menggunakan pelembab bibir.” Reiner yang merasa semakin curiga tidak dapat menahan dorongan untuk membuktikan instingnya. Dengan langkah cepat, ia tiba-tiba berlari menuju lorong apartemen Wilson.“Hei, Reiner!!” “Siapa tahu kau menyembunyikan seorang wanita di sini, bukan?” ujarnya dengan nada setengah bercanda namun penuh rasa i
Juliet mengerutkan keningnya saat melihat telinga Wilson. “Pak, telingamu merah, kenapa?” Wilson mencoba untuk mengabaikannya pertanyaan itu. Dia terlalu gugup dan malu saat ini. Tidak mendapatkan jawaban membuat Juliet mengerutkan keningnya. “Pak? Pak Wilson kenapa sih diam saja? Apa pak Wilson sedang sakit? Apa ada yang terjepit sampai harus menahan jadi telinganya merah?” Wilson pun menjadi kesal oleh pertanyaan itu. Terjepit?! Bisa-bisanya yang dipikirkan oleh Juliet sampai sejauh itu. “Diam lah, Juliet. Aku bukan Bapak mu, kenapa kau terus semangat bicara dan memanggilku ‘pak’ dari tadi? Kau pikir kau anakku yang sedang minta lolipop?” kesan Wilson. “... Lolipop? Lolipop kan...” Wilson menelan ludah. Matanya mulai menunjukkan keterkejutannya. “Apa yang kau pikirkan setelah mendengar lolipop, hah? Otak mu terbang sampai ke mana?!” Juliet tersentak kaget saat Wilson bertanya sambil membentak-bentaknya. “Pak... sekarang pikiran Pak Wilson yang ke mana? Ngomong-ng
Buk!! Juliet melotot kaget saat Wilson meletakkan segepok uang. Glek... Ia pun menelan ludah. Wilson sempat merasa gugup, takut kalau caranya ini dianggap meremehkan Juliet. “Aku tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dengan tulus. Aku juga tidak ingin berhutang apapun. Kejadian semalam... aku tidak sengaja karena aku dalam pengaruh alkohol. Kalau kau merasa uang ini tidak—” “Tentu saja tidak pantas!” tandas Juliet. Matanya yang melotot itu membuat Wilson merasa gugup. “Pak, anda pikir aku perempuan macam apa? Segepok uang ini... apa anda ingin menghina ku?” Wilson tercekat. Gila... ternyata dia melakukan kesalahan. Sejenak Wilson terdiam. Sungguh, dia tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dengan tulus. Dia bingung, bagaimanapun cuma uang yang dia punya. Yah, kebanyakan wanita juga akan merasa terhina. Mereka tidak setuju dianggap wanita tidak benar. Tapi, Wilson ingin mencoba sekali lagi. Dia merogoh jasnya, mengeluarkan dua gepok uang lalu ditumpuk
“Juliet, sini!” ucap Reiner, pria itu melambaikan tangannya kepada Juliet yang harus saja sampai di kantin kantor. Melihat Reiner yang saat itu bersama seorang gadis, Juliet pun merasa canggung. Jujur saja, dia menyukai Reiner yang sangat ramah dan tidak gengsi menyapa walaupun Juliet adalah staff biasanya. Namun, kehadiran wanita itu membuat Juliet paham kalau dia tidak boleh lupa diri. Ia pun berjalan mendekati Reiner, lalu menyapa dengan ramah, dan tidak melupakan rasa hormatnya kepada atasannya. Walaupun dia tidak pernah berkenalan langsung dengan Karina, Juliet beberapa kali melihat Karina datang ke kantor melalui lift eksekutif, maka sudah jelas kalau Karina bukan pegawai biasa. Juliet tersenyum tipis sambil mengangguk sopan saat Reiner memperkenalkan Karina padanya. “Senang bertemu dengan Anda, Nona,” ucap Juliet dengan suara tenang.
Ciuman itu masih membekas di bibir Juliet, panas, lembut, dan membuatnya mulai kehilangan logika. Napasnya memburu, wajahnya memerah tidak karuan. Saat Wilson mulai melepaskan kancing kemejanya dan kembali mendekat, Juliet sempat memejamkan mata, jantungnya berdentam seperti genderang perang. Siap menerima ciuman bibir Wilson yang memabukkan itu. Namun alih-alih sesuatu yang romantis atau menggoda terjadi, tubuh Wilson justru ambruk begitu saja di atas Juliet, membuat gadis itu terhimpit dan terperangah tak percaya. Pria itu sudah benar-benar tidak sadarkan diri. Juliet mendesah kesal sambil menggerutu dalam hati, “Bisa-bisanya aku nyaris terbawa perasaan oleh pria mabuk ini!” Dengan sekuat tenaga, Juliet mendorong tubuh Wilson agar bergeser ke samping. Setelah berhasil, ia duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipisnya. Wajahnya masih merah, tapi kini bukan hanya karena malu, melainkan karena sebal pada dirinya sendiri. Dia tidak menyangka akan mudah baginya kehilang
“Buka!” teriak seseorang di depan pintu apartemennya Wilson. “Ahhh...! Kenapa lama sekali, sih?” Mendengar itu secara tidak sengaja saat Juliet akan mengambil minum di dapur, dia mencoba mengabaikan suara itu karena bisa saja suara itu dari depan pintu unit lain. “Sialan! Kenapa pintu apartemennya tidak bisa dibuka!” ucap orang itu lagi. Hah! Juliet mengerutkan keningnya, mirip seperti suaranya Wilson. Tapi... Kenapa juga suaranya terdengar aneh? “Apa jangan-jangan dia terinfeksi virus, sekarang sudah jadi zombie?” gumam Juliet. Membayangkan hal itu, tubuhnya bahkan bergidik ngeri. Yah, zombie di dunia nyata manalah ada?! Dengan langkah gugup dan didorong oleh penasaran, Juliet mulai mendekati pintu. Untung saja ada cara untuk mengintip keluar dari pintu itu. “Alamakk!” Juliet membelalak kaget saat melihat dari balik kaca kecil di pintu, benar saja, itu Wilson. Tapi penampilannya