Setelah beberapa saat, akhirnya Juliet sampai di tempatnya bekerja. Setelah menyapa rekan-rekannya sekilas, ia duduk di meja kerjanya dan segera fokus menyusun laporan penjualan bulanan yang belum rampung ia rangkum sejak seminggu yang lalu. Hari ini cukup penting karena manajer utama yang baru dijadwalkan akan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada pekerjaan divisi pemasaran. Beberapa saat kemudian, suasana kantor menjadi sedikit lebih tegang dan serius. Langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk ruangan. Semua anggota divisi dengan sigap berdiri dan memberi salam saat seorang pria berpenampilan rapi, dengan senyum ramah namun wibawa yang kentara, masuk ke dalam ruangan itu. “Selamat pagi, semuanya,” sapa pria itu dengan tenang. Juliet pun berdiri bersama yang lain, dan saat dia mengarahkan pandangannya ke arah pria tersebut… matanya membelalak sejenak saat m
Karina meninggalkan ruangan Wilson bekerja dengan ekspresi yang tidak baik. Pembicaraan di antara mereka berakhir dengan kesimpulan yang terus bertolak belakang. Meskipun Wilson sendiri teguh pendirian, Begitu juga dengan Karina, ditambah kedua orang tua mereka. Tidak ingin larut dan terus memikirkan hal yang tidak terlalu penting, Wilson kembali fokus dengan pekerjaannya. Dia tidak ingin lembur hari ini, harus selesai tepat waktu. Namun, konsentrasinya itu tidak bertahan lama. Wilson tengah menatap layar ponselnya saat sebuah pesan masuk dari sahabat lamanya semasa kuliah dulu. Isinya sederhana, ajakan untuk bertemu dan makan malam bersama seperti dulu. Tanpa ragu, Wilson langsung membalas dengan kata setuju dan senyum tipis terukir di wajahnya, mengingat masa-masa yang sudah lama berlalu diantara mereka. Tidak lama setelah itu, ia pun membuka aplikasi
“Buka!” teriak seseorang di depan pintu apartemennya Wilson. “Ahhh...! Kenapa lama sekali, sih?” Mendengar itu secara tidak sengaja saat Juliet akan mengambil minum di dapur, dia mencoba mengabaikan suara itu karena bisa saja suara itu dari depan pintu unit lain. “Sialan! Kenapa pintu apartemennya tidak bisa dibuka!” ucap orang itu lagi. Hah! Juliet mengerutkan keningnya, mirip seperti suaranya Wilson. Tapi... Kenapa juga suaranya terdengar aneh? “Apa jangan-jangan dia terinfeksi virus, sekarang sudah jadi zombie?” gumam Juliet. Membayangkan hal itu, tubuhnya bahkan bergidik ngeri. Yah, zombie di dunia nyata manalah ada?! Dengan langkah gugup dan didorong oleh penasaran, Juliet mulai mendekati pintu. Untung saja ada cara untuk mengintip keluar dari pintu itu. “Alamakk!” Juliet membelalak kaget saat melihat dari balik kaca kecil di pintu, benar saja, itu Wilson. Tapi penampilannya
Ciuman itu masih membekas di bibir Juliet, panas, lembut, dan membuatnya mulai kehilangan logika. Napasnya memburu, wajahnya memerah tidak karuan. Saat Wilson mulai melepaskan kancing kemejanya dan kembali mendekat, Juliet sempat memejamkan mata, jantungnya berdentam seperti genderang perang. Siap menerima ciuman bibir Wilson yang memabukkan itu. Namun alih-alih sesuatu yang romantis atau menggoda terjadi, tubuh Wilson justru ambruk begitu saja di atas Juliet, membuat gadis itu terhimpit dan terperangah tak percaya. Pria itu sudah benar-benar tidak sadarkan diri. Juliet mendesah kesal sambil menggerutu dalam hati, “Bisa-bisanya aku nyaris terbawa perasaan oleh pria mabuk ini!” Dengan sekuat tenaga, Juliet mendorong tubuh Wilson agar bergeser ke samping. Setelah berhasil, ia duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipisnya. Wajahnya masih merah, tapi kini bukan hanya karena malu, melainkan karena sebal pada dirinya sendiri. Dia tidak menyangka akan mudah baginya kehilang
“Juliet, sini!” ucap Reiner, pria itu melambaikan tangannya kepada Juliet yang harus saja sampai di kantin kantor. Melihat Reiner yang saat itu bersama seorang gadis, Juliet pun merasa canggung. Jujur saja, dia menyukai Reiner yang sangat ramah dan tidak gengsi menyapa walaupun Juliet adalah staff biasanya. Namun, kehadiran wanita itu membuat Juliet paham kalau dia tidak boleh lupa diri. Ia pun berjalan mendekati Reiner, lalu menyapa dengan ramah, dan tidak melupakan rasa hormatnya kepada atasannya. Walaupun dia tidak pernah berkenalan langsung dengan Karina, Juliet beberapa kali melihat Karina datang ke kantor melalui lift eksekutif, maka sudah jelas kalau Karina bukan pegawai biasa. Juliet tersenyum tipis sambil mengangguk sopan saat Reiner memperkenalkan Karina padanya. “Senang bertemu dengan Anda, Nona,” ucap Juliet dengan suara tenang.
Buk!! Juliet melotot kaget saat Wilson meletakkan segepok uang. Glek... Ia pun menelan ludah. Wilson sempat merasa gugup, takut kalau caranya ini dianggap meremehkan Juliet. “Aku tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dengan tulus. Aku juga tidak ingin berhutang apapun. Kejadian semalam... aku tidak sengaja karena aku dalam pengaruh alkohol. Kalau kau merasa uang ini tidak—” “Tentu saja tidak pantas!” tandas Juliet. Matanya yang melotot itu membuat Wilson merasa gugup. “Pak, anda pikir aku perempuan macam apa? Segepok uang ini... apa anda ingin menghina ku?” Wilson tercekat. Gila... ternyata dia melakukan kesalahan. Sejenak Wilson terdiam. Sungguh, dia tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dengan tulus. Dia bingung, bagaimanapun cuma uang yang dia punya. Yah, kebanyakan wanita juga akan merasa terhina. Mereka tidak setuju dianggap wanita tidak benar. Tapi, Wilson ingin mencoba sekali lagi. Dia merogoh jasnya, mengeluarkan dua gepok uang lalu ditumpuk
Juliet mengerutkan keningnya saat melihat telinga Wilson. “Pak, telingamu merah, kenapa?” Wilson mencoba untuk mengabaikannya pertanyaan itu. Dia terlalu gugup dan malu saat ini. Tidak mendapatkan jawaban membuat Juliet mengerutkan keningnya. “Pak? Pak Wilson kenapa sih diam saja? Apa pak Wilson sedang sakit? Apa ada yang terjepit sampai harus menahan jadi telinganya merah?” Wilson pun menjadi kesal oleh pertanyaan itu. Terjepit?! Bisa-bisanya yang dipikirkan oleh Juliet sampai sejauh itu. “Diam lah, Juliet. Aku bukan Bapak mu, kenapa kau terus semangat bicara dan memanggilku ‘pak’ dari tadi? Kau pikir kau anakku yang sedang minta lolipop?” kesan Wilson. “... Lolipop? Lolipop kan...” Wilson menelan ludah. Matanya mulai menunjukkan keterkejutannya. “Apa yang kau pikirkan setelah mendengar lolipop, hah? Otak mu terbang sampai ke mana?!” Juliet tersentak kaget saat Wilson bertanya sambil membentak-bentaknya. “Pak... sekarang pikiran Pak Wilson yang ke mana? Ngomong-ng
Reiner memicingkan matanya. Jelas Itu bukan sebuah kebetulan, Wilson tidak mungkin menggunakan lipstik. “Wilson, Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, ya? Wah... calon istrimu itu pasti barusan dari sini, kan?” Mendengar ledekan dari Reiner, Wilson dengan segera memperbaiki ekspresi wajahnya. Dia membuang napas kasar, mencoba untuk berbicara dengan santai. “Jangan banyak berpikir. Calon istri apanya? Kau sendiri juga tahu bagaimana jalan ceritanya. Lipstik itu... sebenarnya bukan lipstik, vitamin bibir, pelembab. Tidak mungkin kalau kau tidak tahu. Di jaman sekarang, bukan sebuah dosa kalau laki-laki menggunakan pelembab bibir.” Reiner yang merasa semakin curiga tidak dapat menahan dorongan untuk membuktikan instingnya. Dengan langkah cepat, ia tiba-tiba berlari menuju lorong apartemen Wilson.“Hei, Reiner!!” “Siapa tahu kau menyembunyikan seorang wanita di sini, bukan?” ujarnya dengan nada setengah bercanda namun penuh rasa i
Setelah menguatkan diri, Juliet perlahan membuka pintu kamarnya. Aroma harum roti panggang dan kopi menyambutnya, membuat perutnya yang kosong langsung berbunyi pelan.“Wah, aku kira Pak Wilson memasak bubur,” pikir Juliet. Di dapur, Wilson tengah sibuk membalik roti di atas wajan. Ia mengenakan kaus santai berwarna abu-abu dan celana training gelap, terlihat begitu berbeda dari sosoknya yang biasanya rapi dengan setelan jas. Meskipun sudah beberapa kali melihatnya, rasanya Juliet masih belum terbiasa. Yah... Memang benar Wilson itu ketampannya akan bertambah berkali lipat saat menggunakan pakaiannya santai. Juliet berdiri sejenak di ambang pintu, merasa canggung harus bertemu dengan Wilson setelah apa yang terjadi semalam. Ia memainkan ujung lengan bajunya, ragu untuk melangkah masuk. Wilson akhirnya menoleh dan tersenyum kecil. “Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu? Apa sudah membaik?” tanyanya sambil menuangkan kopi ke dalam ca
Tubuh Juliet menggigil pelan di balik selimut, napasnya memburu dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Di dalam tidurnya yang gelisah, ia terus mengigau, suaranya lirih, jelas, namun penuh dengan kesedihan. “Ibu... Ayah...” lirih Juliet, tangannya berusaha meraih sesuatu di udara, seolah mencari kehangatan yang tidak kunjung ia temukan. “Aku sakit... kenapa kalian tidak ada di sini? Kenapa?” gumamnya dengan suara serak. Tangis perlahan pecah dari bibirnya, suara sesenggukan menggema di ruangan yang sunyi itu. “Kenapa Ayah tidak peluk aku...” isaknya, suaranya begitu rapuh. “Kenapa Ibu tidak menyuapiku obat... kenapa kalian meninggalkan aku begitu saja?” Juliet menggeliat dengan resah, tubuhnya tampak semakin lemah. Air mata menetes dari sudut matanya, membasahi pipinya yang pucat. “Kenapa Tuhan sekali? Kenapa mengambil Ayah dan Ibu...” suaranya nyaris tidak terdengar,
Malam itu, Juliet kembali ke apartemen Wilson dengan tubuh lelah dan mata yang nyaris tidak mampu untuk terbuka. Meskipun begitu, ia tahu benar bahwa dirinya tidak bisa berleha-leha. Ada “hutang” yang harus ia lunasi, bukan dalam bentuk uang, melainkan rasa tanggung jawab atas tempat tinggal yang diberi secara cuma-cuma.“Sudahlah... nanti juga membaik,” pikirnya. Dengan sigap, Juliet menyalakan robot pembersih lantai, lalu memisahkan cucian berdasarkan warna sebelum memasukkannya ke dalam mesin cuci. Sambil menunggu, ia membersihkan sofa menggunakan mesin penyedot debu. Apartemen yang tadinya terlihat tenang dan sunyi, perlahan berubah menjadi tempat yang penuh aktivitas meski hanya dilakukan oleh satu orang saja di dalam sana. Begitu semua urusan bersih-bersih selesai, Juliet melangkah ke dapur. Ia membuka kulkas, melihat bahan makanan yang tersedia, lalu mencari inspirasi melalui internet. Meski kemampuan memasaknya masih jauh dari sempur
Mendengar pertanyaan dari Rania, Wilson pun tersenyum namun sorot matanya yang dingin itu membuat Rania tanpa sadar memundurkan langkahnya. “Bercanda? Dengan mu?” katanya dengan nada yang terasa menekan. “Aku dan kalian berdua sama sekali tidak akrab, kenapa aku harus bercanda dengan kalian? Lagi pula, aku memang sudah lama menyukai Juliet. Gadis yang sangat multitalenta seperti dia, bagaimana mungkin ada orang yang tidak suka untuk jadi pasangannya?” Juliet menelan ludahnya dengan sangat kesulitan seolah-olah sedang menelan pasir gurun. Rania menggigit bibir bawahnya. Takut... sungguh dia takut sekali dengan cara Wilson menatap dan berbicara dengannya. Wilson mengarahkan tatapan matanya yang tajam itu kepada Argan. “Jangan lupa dengan beberapa waktu terakhir ini, kalian benar-benar membuat kehebohan yang cukup menggangguku. Aku sudah mengeluarkan surat peringatan untuk kalian berdua, sekarang kalian masih ingin mencari gara-gara?” Argan langsung menggelengkan kepalanya.
Juliet benar-benar tidak mengerti kenapa Wilson bereaksi sangat keras seperti itu. “Padahal, aku kan tidak masalah kalau tidak laku seumur hidup. Lagi pula, kalau nanti aku menikah, terus punya anak, terus hidupnya susah, mau dikasih makan apa anaknya nanti? Yah... orang seperti Pak Wilson mana mungkin berpikir sampai sejauh itu? Dia kan punya banyak uang,” gumamnya. Wilson sendiri sudah kembali ke kamarnya. Kini, Juliet tengah merapikan kembali tempat tidurnya sebelum dia tidur. Esok paginya, di parkiran apartemen, Juliet berdiri dengan wajah kesal di samping mobilnya. Ia menendang ban mobil yang kempes beberapa kali, rasa lelah benar-benar menguasainya saat ini, sejak pagi ia sudah menghabiskan tenaga untuk membersihkan apartemen Wilson dan menyiapkan sarapan, semuanya terasa sangat melelahkan. Wilson yang baru saja tiba menghampiri dengan ekspresi heran. “Ada apa? Kenapa e
Pertanyaan dari Juliet membuat Wilson hanya menghela napas, lalu menatap Juliet dalam-dalam. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. “Kau baik-baik saja?” Juliet mengangguk pelan, kemudian ia mulai memunguti barang-barang yang berjatuhan. Tapi dalam hatinya, ia juga tak bisa menahan perasaan geli bercampur malu yang menggulung cepat. Dia juga tahu kalau Wilson sengaja tidak memberikan jawaban untuk pertanyaannya. Memang siapa dia? Mau punya pacar atau tidak, itu adalah haknya Wilson. Di sisi lain, Wilson juga tidak bisa menahan senyumnya yang makin merekah. Meskipun situasinya menjadi kacau, entah mengapa kehadiran Juliet membuat apartemennya terasa lebih hidup. Setelah Juliet selesai memunguti pakaiannya, mereka pun duduk di lantai bersama. “Ngomong-ngomong, Kenapa kau bisa mengenal Reiner? Cara mu menyebut namanya, Kalian pasti bukan hanya memiliki hubungan yang biasa, kan?” Ada senyum di bibir Juliet. Tapi, saat mengingat apa yang terjadi di kantor tadi, Juliet
Reiner memicingkan matanya. Jelas Itu bukan sebuah kebetulan, Wilson tidak mungkin menggunakan lipstik. “Wilson, Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, ya? Wah... calon istrimu itu pasti barusan dari sini, kan?” Mendengar ledekan dari Reiner, Wilson dengan segera memperbaiki ekspresi wajahnya. Dia membuang napas kasar, mencoba untuk berbicara dengan santai. “Jangan banyak berpikir. Calon istri apanya? Kau sendiri juga tahu bagaimana jalan ceritanya. Lipstik itu... sebenarnya bukan lipstik, vitamin bibir, pelembab. Tidak mungkin kalau kau tidak tahu. Di jaman sekarang, bukan sebuah dosa kalau laki-laki menggunakan pelembab bibir.” Reiner yang merasa semakin curiga tidak dapat menahan dorongan untuk membuktikan instingnya. Dengan langkah cepat, ia tiba-tiba berlari menuju lorong apartemen Wilson.“Hei, Reiner!!” “Siapa tahu kau menyembunyikan seorang wanita di sini, bukan?” ujarnya dengan nada setengah bercanda namun penuh rasa i
Juliet mengerutkan keningnya saat melihat telinga Wilson. “Pak, telingamu merah, kenapa?” Wilson mencoba untuk mengabaikannya pertanyaan itu. Dia terlalu gugup dan malu saat ini. Tidak mendapatkan jawaban membuat Juliet mengerutkan keningnya. “Pak? Pak Wilson kenapa sih diam saja? Apa pak Wilson sedang sakit? Apa ada yang terjepit sampai harus menahan jadi telinganya merah?” Wilson pun menjadi kesal oleh pertanyaan itu. Terjepit?! Bisa-bisanya yang dipikirkan oleh Juliet sampai sejauh itu. “Diam lah, Juliet. Aku bukan Bapak mu, kenapa kau terus semangat bicara dan memanggilku ‘pak’ dari tadi? Kau pikir kau anakku yang sedang minta lolipop?” kesan Wilson. “... Lolipop? Lolipop kan...” Wilson menelan ludah. Matanya mulai menunjukkan keterkejutannya. “Apa yang kau pikirkan setelah mendengar lolipop, hah? Otak mu terbang sampai ke mana?!” Juliet tersentak kaget saat Wilson bertanya sambil membentak-bentaknya. “Pak... sekarang pikiran Pak Wilson yang ke mana? Ngomong-ng
Buk!! Juliet melotot kaget saat Wilson meletakkan segepok uang. Glek... Ia pun menelan ludah. Wilson sempat merasa gugup, takut kalau caranya ini dianggap meremehkan Juliet. “Aku tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dengan tulus. Aku juga tidak ingin berhutang apapun. Kejadian semalam... aku tidak sengaja karena aku dalam pengaruh alkohol. Kalau kau merasa uang ini tidak—” “Tentu saja tidak pantas!” tandas Juliet. Matanya yang melotot itu membuat Wilson merasa gugup. “Pak, anda pikir aku perempuan macam apa? Segepok uang ini... apa anda ingin menghina ku?” Wilson tercekat. Gila... ternyata dia melakukan kesalahan. Sejenak Wilson terdiam. Sungguh, dia tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dengan tulus. Dia bingung, bagaimanapun cuma uang yang dia punya. Yah, kebanyakan wanita juga akan merasa terhina. Mereka tidak setuju dianggap wanita tidak benar. Tapi, Wilson ingin mencoba sekali lagi. Dia merogoh jasnya, mengeluarkan dua gepok uang lalu ditumpuk