Papa menggeleng kepala, lalu menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Coba dibuka, Cal. Kita lihat apa isinya."
"Iya, Pa." Aku meletakkan kotak itu di atas meja. Bersama Kenzie, kami membuka bungkusan itu. Ternyata isinya dua buah dress model ibu hamil. Warna dan motifnya sangat cantik, kainnya terasa lembut dan mewah—jelas seperti baju mahal."Baju, ya? Bagus sekali," puji Papa, jari-jarinya menyentuh kain lembut itu dengan penuh perhatian. Namun, di bawah baju itu ada selembar kertas terlipat rapi, seperti sebuah surat."Ada suratnya juga, Pa.""Coba baca, Cal."Aku mengangguk, lalu membacakan surat itu dengan suara pelan. "‘Viona, aku harap kamu bisa menerima dan memakai baju yang aku berikan. Aku juga berharap... setelah semua yang terjadi, hubungan kita masih baik. Semoga kehamilanmu selalu sehat, ya.’" Aku membacanya dengan hati-hati, berusaha menangkap setiap emosi yang tersirat di balik kata-kata Agnes. Ada ketulusSebuah tangan kasar tiba-tiba mencengkram mulutku dari belakang, sapu tangan kasar menekan bibirku dengan kuat. Bau menyengat langsung menerjang hidungku, membuat kepala terasa berat, pandangan kabur, dan tubuhku lemas tak berdaya. Seolah-olah dunia berputar, aku merasakan tubuhku ambruk ke tanah. Jeritan minta tolong menggema di telingaku. "Kakak... tolonggg!!" Viona? Suara itu... Kenapa dia memanggilku? Apa yang terjadi? Ketakutan menusuk jantungku, sebuah rasa cemas yang dingin mencengkeram perutku. Namun, tubuhku tak berdaya. *** Entah sudah berapa lama mataku terpejam, rasanya seperti berabad-abad. Ketika akhirnya aku membuka mata, yang kulihat adalah langit-langit putih, khas kamar rumah sakit. Aku terbaring di ranjang, tubuhku terasa berat dan lemas. Pandanganku menjelajahi ruangan, mencari-cari sosok Viona. Jantungku berdebar kencang, kenangan jeritannya masih bergema dalam benakku. Apakah aku pingsan? Semoga saja Viona baik-baik saja. "Calvin... kamu sudah bangun? Syu
"Kenzie aman, Cal. Dia saat ini sedang berada dalam perjalanan pulang sekolah mau ke sini." Jawaban dari Ayah membuat hatiku sedikit lega, tapi rasa cemasku tetap mendera setelah mengetahui Viona diculik. Aku juga merasa kecewa pada diriku sendiri yang tidak becus melindungi Viona. Astaghfirullah ya, Allah ... aku harus segera mencari Viona. Aku benar-benar khawatir, apalagi dia sedang hamil. Aku segera duduk, lalu menarik diri hendak turun dari atas ranjang. Namun, seseorang tiba-tiba membuka pintu kamarku. Ceklek~ Masuklah Kenzie yang berlari kencang menghampiriku, bersama Papa Tatang yang menyusul. "Ayaaahhhh." "Dek!!" Aku langsung berjongkok, merentangkan kedua lenganku lebar-lebar menyambut pelukan hangat yang baru saja Kenzie berikan kepadaku. Kuciumi berulang kali puncak rambutnya. "Ayah, Ayah kenapa masuk lumah sakit? Ayah sakit apa?" tanyanya penuh perhatian, Kenzie menangkup kedua pipiku dan menatap dalam bola mata ini. "Ayah nggak apa-apa kok, Sayang. Tadi kamu pu
"Aaaaa sss ...." Aku mendesis, saat lakban dibibirku ditarik kasar oleh Nona Agnes, lalu dia menyentuh daguku dengan kasar, seperti ingin mencengkeramnya. "Apa kau tau, aku selama ini sudah bekerja keras hanya demi bisa menikah dengan Mas Calvin. Tapi usahaku sia-sia hanya karena kau, Viona! Hanya karena kesalahan yang kau perbuat!!" Nona Agnes berteriak, suaranya menggelegar dan membuat telingaku sakit. Rupanya, alasan dia melakukan hal ini karena Kak Calvin. Dugaanku selama ini memang benar, bahwa dia belum bisa move on dan pasti berencana ingin merebut Kak Calvin dariku. "Seharusnya, malam itu Mas Calvin bersamaku. Tidur denganku, bukan justru tidur denganmu sampai membuatmu hamil!!" Matanya melotot tajam, penuh dengan amarah dan kebencian. "Nona, bukankah masalah ini sudah—" Ucapanku seketika terhenti saat tangan mulus Nona Agnes menampar pipi kananku, membuatku tersentak dengan mata membulat. Rasa sakit yang
(POV Calvin)Aku mengemudikan mobil sesuai arahan dari Ayah, karena Ayah sudah berkoordinasi dengan Polisi untuk melacak kendaraan yang dipakai Viona dengan rekaman kamera pengawas di berbagai jalan.Namun, seketika aku menghentikan laju kendaraanku di pertigaan sebuah jalanan yang dipenuhi pepohonan, karena melihat suatu benda yang tergeletak dijalan."Kenapa berhenti, Cal?" tanya Ayah, suaranya terdengar khawatir. Aku segera turun dari mobil, lalu mendekat ke arah benda dan memungutnya. Benda itu adalah sepatu sebelah kanan, dan aku ingat betul ini adalah sepatu yang dipakai Viona."Ini sepatu Viona, Ayah. Aku yakin Viona berada di dekat sini."Dengan penuh semangat aku kembali masuk ke dalam mobil. Jantungku berdebar kencang, aku tidak sabar ingin segera menemukan Viona. Rasa khawatir akan keadaannya meningkat pesat, aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya.Ayah ikut masuk bersamaku, lalu mobil yang k
"Mungkin ini akan terdengar menyedihkan, Pak. Tapi saya harus menyampaikannya." Suara Dokter terdengar lirih, membuat jantungku berdebar cepat. Kegelisahan menyeruak, mencengkeram erat d*daku. Napasku tersengal, tubuhku mulai gemetar."Apa itu, Dok? Tolong katakan." Suaraku serak, hampir tak terdengar."Anak Anda tidak berhasil selamat. Dia meninggal di dalam kandungan karena racun yang masuk ke tubuh istri Anda sangatlah mematikan."Mataku membulat sempurna. Aku merasa hancur, tubuhku lemas dan aku hampir saja terjatuh jika tak ada lengan Papa yang menopangku."Racun?!"Ya Allah, istriku diberi racun dalam keadaan hamil?? Tega sekali orang yang melakukan hal itu. Amarah langsung membara di dalam d*da, menggerogoti hati dan jiwaku."Kalau Vionanya sendiri bagaimana, Dok? Anakku ... anakku pasti kuat. Dia pasti selamat, kan?" tanya Papa dengan suara gemetar. Kulihat sudah menangis, air mataku pun ikut berjatuhan mengalir membasa
Ayah dan aku bergegas menuju rumah Om Erick, diiringi para polisi. Harapanku, Agnes ada di sana, mempermudah penangkapannya. Awalnya, Ayah dan aku berniat menghajar pria suruhan Agnes terlebih dahulu. Namun, beberapa polisi menghalangi. Mau tak mau, kami mengurungkan niat itu. Yang terpenting kini adalah menangkap Agnes dan buronan lainnya. "Cal, Ayah nggak nyangka Agnes berbuat kejam sampai sejauh ini. Hanya karena perpisahan denganmu," Ayah berkata, suaranya kecewa, tatapannya tertuju padaku yang fokus menyetir. "Aku juga nggak nyangka, Ayah. Selama ini ... aku selalu menganggapnya perempuan yang baik." Beberapa menit kemudian, kami tiba. Namun, rumah mewah itu sunyi senyap. Tak ada satu pun mobil yang terparkir di halaman. "Selamat malam, Pak Calvin. Bapak mau bertamu?" Seorang satpam rumah menyapa, segera membukakan gerbang. Namun, raut wajahnya sedikit terkejut saat melihat mobil polisi di belakang mobilku. "Malam juga, Pak. Agnes ada di dalam?" tanyaku. "Nona Agnes
"Bicara dengan tenang pada Viona, Cal. Bunda tidak ingin membuatnya terkejut, dia baru saja sadar," Bunda Dinda memperingatkan sebelum aku memasuki kamar Viona. Aku mengangguk, lalu menitipkan Kenzie kepadanya. Klik~ Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Viona terbaring lemah, kulitnya pucat. Tatapannya bertemu pandang denganku, namun ada kilatan kebingungan yang menusuk dalam kedalaman matanya, bukan hanya heran. "Viona sayang... bagaimana keadaanmu? Apa yang kamu rasakan? Apa yang sakit?" Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar tanpa bisa kucegah, gelisah menggigitku. Aku mendekat, hatiku berdebar, ingin menyentuh puncak rambutnya yang lembut. Namun, dengan gerakan tiba-tiba, Viona menepis tanganku. Tubuhku menegang. Kenapa? Apakah dia marah padaku? Pikiran itu menusukku, karena memang, aku tak bisa menyangkal kelalaianku. "Aku minta maaf, Vio. Maaf karena aku telah menjadi—" Kalimatku terhenti, terpotong oleh
Aku terkejut mendengar suaranya, suara itu seperti milik.... Agnes. Apakah benar dia Agnes? Dengan gerakan cepat, kucabut masker yang menutupi wajahnya. "Agnes!" Nama itu terlontar dari bibirku, suara penuh tak percaya dan amarah. Benar, itu dia. "Br*ngsek kau, Agnes!!" Amarah membuncah, mengalir deras bagai lava panas. Tanpa banyak berpikir, aku langsung mencekik lehernya, mendorong tubuhnya hingga menempel di dinding yang dingin. "Ma-maf... aku ingin menjelas-kan, Mas. Jangan ...." Agnes memohon, suaranya terputus-putus, diselingi isakan yang nyaris tak terdengar. Namun, kemarahan membutakan penglihatanku. Hanya dendam yang membara di d*daku. "Penjelasanmu tak kubu-tuhkan lagi! Kau monster, Nes! Kau telah memb*nuh anakku, dan sekarang... aku akan memb*nuhmu!" Kekuatan penuh kucurahkan untuk menjerat lehernya. Wajah Agnes membiru, matanya melotot, napasnya tersenggal-senggal. Tubuhnya menggigi
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora