"Bicara dengan tenang pada Viona, Cal. Bunda tidak ingin membuatnya terkejut, dia baru saja sadar," Bunda Dinda memperingatkan sebelum aku memasuki kamar Viona. Aku mengangguk, lalu menitipkan Kenzie kepadanya. Klik~ Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Viona terbaring lemah, kulitnya pucat. Tatapannya bertemu pandang denganku, namun ada kilatan kebingungan yang menusuk dalam kedalaman matanya, bukan hanya heran. "Viona sayang... bagaimana keadaanmu? Apa yang kamu rasakan? Apa yang sakit?" Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar tanpa bisa kucegah, gelisah menggigitku. Aku mendekat, hatiku berdebar, ingin menyentuh puncak rambutnya yang lembut. Namun, dengan gerakan tiba-tiba, Viona menepis tanganku. Tubuhku menegang. Kenapa? Apakah dia marah padaku? Pikiran itu menusukku, karena memang, aku tak bisa menyangkal kelalaianku. "Aku minta maaf, Vio. Maaf karena aku telah menjadi—" Kalimatku terhenti, terpotong oleh
Aku terkejut mendengar suaranya, suara itu seperti milik.... Agnes. Apakah benar dia Agnes? Dengan gerakan cepat, kucabut masker yang menutupi wajahnya. "Agnes!" Nama itu terlontar dari bibirku, suara penuh tak percaya dan amarah. Benar, itu dia. "Br*ngsek kau, Agnes!!" Amarah membuncah, mengalir deras bagai lava panas. Tanpa banyak berpikir, aku langsung mencekik lehernya, mendorong tubuhnya hingga menempel di dinding yang dingin. "Ma-maf... aku ingin menjelas-kan, Mas. Jangan ...." Agnes memohon, suaranya terputus-putus, diselingi isakan yang nyaris tak terdengar. Namun, kemarahan membutakan penglihatanku. Hanya dendam yang membara di d*daku. "Penjelasanmu tak kubu-tuhkan lagi! Kau monster, Nes! Kau telah memb*nuh anakku, dan sekarang... aku akan memb*nuhmu!" Kekuatan penuh kucurahkan untuk menjerat lehernya. Wajah Agnes membiru, matanya melotot, napasnya tersenggal-senggal. Tubuhnya menggigi
"Ya sudah, kalau begitu aku mau mencari ruangan dokter yang menangani Viona dulu, Yah." Dadaku sesak mengingat kondisi Viona saat ini. Wajah pucatnya, tubuhnya yang lemah. "Ayok, Cal," ajak Ayah, suaranya terdengar berat. Aku hanya mengangguk, langkahku terasa berat. Kami berjalan bersama, untungnya Ayah tahu ruangan Dokter Meka. Dua polisi yang tadi bersama Ayah tidak ikut, tugas mereka mengawasi Agnes agar perempuan itu tidak kabur lagi. Sesampainya di ruangan dokter, aku menceritakan semuanya—tentang Viona yang tak mengenaliku, tentang dia yang tak ingat kejadian mengerikan yang telah dialaminya. Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa begitu pahit. Ayah tampak terkejut, wajahnya berubah pucat. Dia langsung bertanya pada dokter, suaranya bergetar, "Apakah ini artinya Viona amnesia, Dok?" Dokter itu hanya mengangguk pelan, "Kita langsung ke kamar Bu Viona saja, Pak. Biar saya periksa dia dulu,
"Iya, mandi bareng. Apalagi sekalian .…" Aku mendekat ke arah telinganya, suara berbisik penuh godaan. "Bercinta." "Iihhhh!!!" Viona langsung mendorongku menjauh, wajahnya memerah padam seperti buah delima yang ranum. "Kenapa sih?" Entah mengapa aku gemas melihatnya, ingin kembali menggodanya. Viona terlihat seperti anak gadis yang sedang dimabuk cinta, lucu dan menggemaskan. "Aku hanya jujur. Dan kamu sendiri yang sering memintanya duluan." "Bapak! Aku geli sekali mendengarnya!" omelnya, bibirnya mengerucut cemberut. Aku terkekeh pelan. "Iya iya, maaf. Sekarang ayo kita ke kamar mandi, mangkanya kamu nggak perlu malu sega .…" Ucapanku terhenti saat aku kembali menyentuh tubuh Viona. Gerakanku terhenti saat jariku menyentuh celana istriku yang basah. "Lho, kok basah?" "Iihhh!!" Viona terlihat malu, langsung menarik selimutnya. Aroma samar-samar menusuk hidungku. Sekarang aku tahu kenapa celananya basah.
"Aku mau pergi, tolong jaga di sini dan jangan kemana-mana!" perintahku tegas kepada dua orang pengawal yang berdiri tegap di sisi kanan dan kiri pintu.Sejak Viona dirawat, aku memang menyewa dua orang penjaga yang selalu siaga di depan kamarnya. Meskipun Agnes sudah ditangkap, rasa takut masih membayangi."Baik, Pak," jawab mereka serempak, suaranya kompak dan mantap.***"Calvin!!"Suara itu memecah kesunyian saat aku baru saja melangkah keluar rumah sakit. Aku menoleh, dan jantungku berdebar kencang melihat Om Erick tiba-tiba berlari menghampiri dan langsung berjongkok, lalu memeluk lututku. Tubuhnya gemetar."Calvin... tolong maafkan Agnes, jangan hukum dia," rayunya, suaranya terisak, mengungkapkan keputusasaan yang mendalam."Maaf?" Aku terkekeh hambar, sebuah senyum sinis terpatri di bibirku. "Kata maaf saja tidak akan mengembalikan semuanya, Om." Suaraku dingin, keras, mencerminkan luka yan
Empat hari berlalu, terasa begitu panjang.Akhirnya, dokter mengizinkan Viona pulang, yang kebetulan bertepatan dengan hari libur. Syukur Alhamdulillah.Selama empat hari di rumah sakit, dokter terus memantau perkembangannya. Terapi okupasi pun dilakukan dan beberapa obat Viona rutin konsumsi, namun tak ada hasil yang signifikan. Tatapan Viona masih terasa asing, ingatannya belum kembali.Meski begitu, rasa syukur tetap memenuhi hatiku. Viona sudah sehat kembali, tubuhnya segar seperti sedia kala. Namun, ada sesuatu yang mengganjal."Sebelum pulang, boleh saya bicara sebentar dengan Bapak, Pak Calvin?" Pinta dokter, tatapannya penuh makna. Aku mengangguk, lalu kami berdua masuk ke ruangannya. Aku duduk di hadapannya, hanya terhalang meja. "Meskipun Bu Viona sudah sehat secara fisik, tapi saya mohon Bapak untuk menahan diri. Tunda hubungan intim selama satu atau dua minggu."Wajahku memerah. Sejujurnya, sudah lebih dari semi
"Viona sayang... Ayo kita turun." Calvin telah lebih dulu turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untukku. Sementara Kenzie dan Pak Tatang juga ikut turun."Kita mau ngapain ke sini, Pak? Apakah kita sudah sampai?" tanyaku bingung."Kita mampir untuk ziarah, Sayang. Kamu harus bertemu dengan almarhum Kenzo." Kalimat Calvin terasa berat."Kenzo? Siapa Kenzo?" Nama itu sama sekali tak terpatri dalam ingatanku. Aku mencoba mengingat, namun hanya hampa yang kurasakan. "Kenzo itu adik bayi Bunda, adik bayi yang sudah Ayah beri nama," jelas Kenzie, suaranya terdengar polos.Air mata membasahi pipi Calvin saat dia berkata, "Kenzo adalah anak kedua kita, Sayang, adik Kenzie." Pandangannya sendu, bola matanya berkaca-kaca. "Sayangnya... dia tidak berhasil tertolong di dalam perutmu.""Maksudnya... aku sempat keguguran?" Aku mencoba mencerna setiap kata, setiap makna yang tersirat di baliknya."Iya," jawab Calvin, m
Mata Calvin membulat. "Ya Allah, Sayang! Enggak dong!" Dia menggeleng cepat. Suara Kenzie polos bertanya, "Anak haram itu apa, Ayah?" Pertanyaan polos itu menambah kekacauan di hatiku, mencampur aduk rasa bingung, takut, dan curiga. "Nanti Ayah jelaskan padamu. Tapi Ayah jelaskan hal ini kepada Bunda dulu, ya?" Calvin mengusap puncak kepala Kenzie dengan lembut, mencoba menenangkan putranya. Lalu, dia menatapku, matanya penuh pengertian. "Kenzie itu bukan anak haram, Sayang. Dia anak sah, hasil dari hubungan halal kita." "Tapi... kenapa dia sudah ada saat kita menikah? Harusnya dia baru lahir beberapa bulan setelah pernikahan kita," tanyaku masih bingung. Foto itu masih terbayang jelas di benakku. Calvin tersenyum, lalu menarikku untuk duduk di sofa empuk yang berada di sudut ruangan. "Sebelumnya, kita sempat menikah sebelum Kenzie lahir. Hanya saja, pernikahan kita waktu itu tidak berlangsung lama.
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora