"Ya sudah, kalau begitu aku mau mencari ruangan dokter yang menangani Viona dulu, Yah." Dadaku sesak mengingat kondisi Viona saat ini. Wajah pucatnya, tubuhnya yang lemah.
"Ayok, Cal," ajak Ayah, suaranya terdengar berat. Aku hanya mengangguk, langkahku terasa berat. Kami berjalan bersama, untungnya Ayah tahu ruangan Dokter Meka. Dua polisi yang tadi bersama Ayah tidak ikut, tugas mereka mengawasi Agnes agar perempuan itu tidak kabur lagi. Sesampainya di ruangan dokter, aku menceritakan semuanya—tentang Viona yang tak mengenaliku, tentang dia yang tak ingat kejadian mengerikan yang telah dialaminya. Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa begitu pahit. Ayah tampak terkejut, wajahnya berubah pucat. Dia langsung bertanya pada dokter, suaranya bergetar, "Apakah ini artinya Viona amnesia, Dok?" Dokter itu hanya mengangguk pelan, "Kita langsung ke kamar Bu Viona saja, Pak. Biar saya periksa dia dulu,"Iya, mandi bareng. Apalagi sekalian .…" Aku mendekat ke arah telinganya, suara berbisik penuh godaan. "Bercinta." "Iihhhh!!!" Viona langsung mendorongku menjauh, wajahnya memerah padam seperti buah delima yang ranum. "Kenapa sih?" Entah mengapa aku gemas melihatnya, ingin kembali menggodanya. Viona terlihat seperti anak gadis yang sedang dimabuk cinta, lucu dan menggemaskan. "Aku hanya jujur. Dan kamu sendiri yang sering memintanya duluan." "Bapak! Aku geli sekali mendengarnya!" omelnya, bibirnya mengerucut cemberut. Aku terkekeh pelan. "Iya iya, maaf. Sekarang ayo kita ke kamar mandi, mangkanya kamu nggak perlu malu sega .…" Ucapanku terhenti saat aku kembali menyentuh tubuh Viona. Gerakanku terhenti saat jariku menyentuh celana istriku yang basah. "Lho, kok basah?" "Iihhh!!" Viona terlihat malu, langsung menarik selimutnya. Aroma samar-samar menusuk hidungku. Sekarang aku tahu kenapa celananya basah.
"Aku mau pergi, tolong jaga di sini dan jangan kemana-mana!" perintahku tegas kepada dua orang pengawal yang berdiri tegap di sisi kanan dan kiri pintu.Sejak Viona dirawat, aku memang menyewa dua orang penjaga yang selalu siaga di depan kamarnya. Meskipun Agnes sudah ditangkap, rasa takut masih membayangi."Baik, Pak," jawab mereka serempak, suaranya kompak dan mantap.***"Calvin!!"Suara itu memecah kesunyian saat aku baru saja melangkah keluar rumah sakit. Aku menoleh, dan jantungku berdebar kencang melihat Om Erick tiba-tiba berlari menghampiri dan langsung berjongkok, lalu memeluk lututku. Tubuhnya gemetar."Calvin... tolong maafkan Agnes, jangan hukum dia," rayunya, suaranya terisak, mengungkapkan keputusasaan yang mendalam."Maaf?" Aku terkekeh hambar, sebuah senyum sinis terpatri di bibirku. "Kata maaf saja tidak akan mengembalikan semuanya, Om." Suaraku dingin, keras, mencerminkan luka yan
Empat hari berlalu, terasa begitu panjang.Akhirnya, dokter mengizinkan Viona pulang, yang kebetulan bertepatan dengan hari libur. Syukur Alhamdulillah.Selama empat hari di rumah sakit, dokter terus memantau perkembangannya. Terapi okupasi pun dilakukan dan beberapa obat Viona rutin konsumsi, namun tak ada hasil yang signifikan. Tatapan Viona masih terasa asing, ingatannya belum kembali.Meski begitu, rasa syukur tetap memenuhi hatiku. Viona sudah sehat kembali, tubuhnya segar seperti sedia kala. Namun, ada sesuatu yang mengganjal."Sebelum pulang, boleh saya bicara sebentar dengan Bapak, Pak Calvin?" Pinta dokter, tatapannya penuh makna. Aku mengangguk, lalu kami berdua masuk ke ruangannya. Aku duduk di hadapannya, hanya terhalang meja. "Meskipun Bu Viona sudah sehat secara fisik, tapi saya mohon Bapak untuk menahan diri. Tunda hubungan intim selama satu atau dua minggu."Wajahku memerah. Sejujurnya, sudah lebih dari semi
"Viona sayang... Ayo kita turun." Calvin telah lebih dulu turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untukku. Sementara Kenzie dan Pak Tatang juga ikut turun."Kita mau ngapain ke sini, Pak? Apakah kita sudah sampai?" tanyaku bingung."Kita mampir untuk ziarah, Sayang. Kamu harus bertemu dengan almarhum Kenzo." Kalimat Calvin terasa berat."Kenzo? Siapa Kenzo?" Nama itu sama sekali tak terpatri dalam ingatanku. Aku mencoba mengingat, namun hanya hampa yang kurasakan. "Kenzo itu adik bayi Bunda, adik bayi yang sudah Ayah beri nama," jelas Kenzie, suaranya terdengar polos.Air mata membasahi pipi Calvin saat dia berkata, "Kenzo adalah anak kedua kita, Sayang, adik Kenzie." Pandangannya sendu, bola matanya berkaca-kaca. "Sayangnya... dia tidak berhasil tertolong di dalam perutmu.""Maksudnya... aku sempat keguguran?" Aku mencoba mencerna setiap kata, setiap makna yang tersirat di baliknya."Iya," jawab Calvin, m
Mata Calvin membulat. "Ya Allah, Sayang! Enggak dong!" Dia menggeleng cepat. Suara Kenzie polos bertanya, "Anak haram itu apa, Ayah?" Pertanyaan polos itu menambah kekacauan di hatiku, mencampur aduk rasa bingung, takut, dan curiga. "Nanti Ayah jelaskan padamu. Tapi Ayah jelaskan hal ini kepada Bunda dulu, ya?" Calvin mengusap puncak kepala Kenzie dengan lembut, mencoba menenangkan putranya. Lalu, dia menatapku, matanya penuh pengertian. "Kenzie itu bukan anak haram, Sayang. Dia anak sah, hasil dari hubungan halal kita." "Tapi... kenapa dia sudah ada saat kita menikah? Harusnya dia baru lahir beberapa bulan setelah pernikahan kita," tanyaku masih bingung. Foto itu masih terbayang jelas di benakku. Calvin tersenyum, lalu menarikku untuk duduk di sofa empuk yang berada di sudut ruangan. "Sebelumnya, kita sempat menikah sebelum Kenzie lahir. Hanya saja, pernikahan kita waktu itu tidak berlangsung lama.
Satu bulan kemudian.... Tok! Tok! Tok! Suara ketukan palu di persidangan membuat hatiku lega. Hukuman Agnes penjara seumur hidup dan hukuman mati untuk kasus percobaan pembunuhan dan pembunuhan terhadap janin telah dijatuhkan. Keadilan telah ditegakkan. Setelah proses sidang ini selesai, aku memutuskan untuk pulang bersama Ayah. Sama sekali aku tak ada niat untuk menemui Agnes, karena bagiku, semuanya sudah selesai. Luka di hatiku masih terasa, tapi aku berusaha untuk move on. "Cal ... bagaimana keadaan Viona? Sudah ada perkembangan?" tanya Ayah, suaranya lembut namun penuh harap. Aku menoleh, menggeleng pelan, lesu. "Ingatannya belum pulih sepenuhnya, Yah. Tapi Viona sudah jauh lebih dekat dengan Kenzie dan Papa." "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah setelah Viona keluar dari rumah sakit, kamu sudah pernah menyentuhnya??" Wajahku langsung memanas. Aku bisa merasakan rona merah membakar pipiku, terlihat jelas di kaca spion. Maluku luar biasa. Sebenarnya, sampai sekarang a
Aku duduk di teras bersama Papa, sambil menyeruput secangkir kopi yang kubawa buatan Viona tadi. Aku penasaran dengan apa yang akan Papa bicarakan. Tampaknya serius, karena Kenzie pun tidak diizinkan untuk bergabung. "Sebenarnya Papa hanya ingin memberikan ini padamu, Cal." Papa mengambil sesuatu di dalam kantong celananya. Entah itu apa, tapi ada nama jamu yang tertera di sana. "Ini jamu, Pa?" tanyaku. Tapi aku bingung mengapa Papa ingin memberikan itu padaku. "Iya, ini jamu penyubur kandungan untuk Viona. Papa masih berharap Viona bisa hamil lagi, Cal. Biar Kenzie ada temannya." "Memangnya boleh, ya, Pa ... Viona minum jamu? Kan dia habis keracunan." Aku hanya khawatir, takut jamu ini mengandung bahan-bahan yang membuat Viona kembali mengalami keracunan. "Papa sudah sempat tanya sama dokter dan kata dia boleh kok, Cal." "Dokternya Viona bukan, Pa, yang bilang begitu?" tanyaku heran. "Iya." Papa mengangguk. "Eh tapi, Viona sendiri sedang mengkonsumsi obat subur nggak, Cal? Ba
"Iya, Kak." Viona mengangguk, matanya tertunduk malu. Seketika itu juga, rasa kecewa menusuk hatiku. Ah, pedih sekali. "Jadi, aku simpan pembalutnya nggak, Kak? Aku lupa, soalnya. Takutnya keburu bocor kalau aku nggak pakai sekarang." "Kamu nggak pernah menyimpan pembalut, Sayang," jawabku lirih, suaraku terdengar lesu. "Oh, begitu. Ya sudah, aku mau minta Bibi belikan saja, deh." Aku segera menahan tangan Viona saat dia hendak melangkah. "Biar aku yang belikan. Kamu tunggu di sini saja." Meskipun hatiku dipenuhi kecewa, aku harus tetap menjadi laki-laki yang bisa diandalkan. Hanya dengan begitu, mungkin hati Viona akan luluh. "Terima kasih, Kak. Maaf merepotkan." "Sama-sama." Aku tersenyum, lalu memberanikan diri untuk mendekat. Aku ingin mencium pipinya, namun Viona langsung mundur, menghindari sentuhanku. "Maaf. Apa mencium pipimu saja tidak boleh?" tanyaku dengan nada sedih.
"Iya, Kak." Viona mengangguk, matanya tertunduk malu. Seketika itu juga, rasa kecewa menusuk hatiku. Ah, pedih sekali. "Jadi, aku simpan pembalutnya nggak, Kak? Aku lupa, soalnya. Takutnya keburu bocor kalau aku nggak pakai sekarang." "Kamu nggak pernah menyimpan pembalut, Sayang," jawabku lirih, suaraku terdengar lesu. "Oh, begitu. Ya sudah, aku mau minta Bibi belikan saja, deh." Aku segera menahan tangan Viona saat dia hendak melangkah. "Biar aku yang belikan. Kamu tunggu di sini saja." Meskipun hatiku dipenuhi kecewa, aku harus tetap menjadi laki-laki yang bisa diandalkan. Hanya dengan begitu, mungkin hati Viona akan luluh. "Terima kasih, Kak. Maaf merepotkan." "Sama-sama." Aku tersenyum, lalu memberanikan diri untuk mendekat. Aku ingin mencium pipinya, namun Viona langsung mundur, menghindari sentuhanku. "Maaf. Apa mencium pipimu saja tidak boleh?" tanyaku dengan nada sedih.
Aku duduk di teras bersama Papa, sambil menyeruput secangkir kopi yang kubawa buatan Viona tadi. Aku penasaran dengan apa yang akan Papa bicarakan. Tampaknya serius, karena Kenzie pun tidak diizinkan untuk bergabung. "Sebenarnya Papa hanya ingin memberikan ini padamu, Cal." Papa mengambil sesuatu di dalam kantong celananya. Entah itu apa, tapi ada nama jamu yang tertera di sana. "Ini jamu, Pa?" tanyaku. Tapi aku bingung mengapa Papa ingin memberikan itu padaku. "Iya, ini jamu penyubur kandungan untuk Viona. Papa masih berharap Viona bisa hamil lagi, Cal. Biar Kenzie ada temannya." "Memangnya boleh, ya, Pa ... Viona minum jamu? Kan dia habis keracunan." Aku hanya khawatir, takut jamu ini mengandung bahan-bahan yang membuat Viona kembali mengalami keracunan. "Papa sudah sempat tanya sama dokter dan kata dia boleh kok, Cal." "Dokternya Viona bukan, Pa, yang bilang begitu?" tanyaku heran. "Iya." Papa mengangguk. "Eh tapi, Viona sendiri sedang mengkonsumsi obat subur nggak, Cal? Ba
Satu bulan kemudian.... Tok! Tok! Tok! Suara ketukan palu di persidangan membuat hatiku lega. Hukuman Agnes penjara seumur hidup dan hukuman mati untuk kasus percobaan pembunuhan dan pembunuhan terhadap janin telah dijatuhkan. Keadilan telah ditegakkan. Setelah proses sidang ini selesai, aku memutuskan untuk pulang bersama Ayah. Sama sekali aku tak ada niat untuk menemui Agnes, karena bagiku, semuanya sudah selesai. Luka di hatiku masih terasa, tapi aku berusaha untuk move on. "Cal ... bagaimana keadaan Viona? Sudah ada perkembangan?" tanya Ayah, suaranya lembut namun penuh harap. Aku menoleh, menggeleng pelan, lesu. "Ingatannya belum pulih sepenuhnya, Yah. Tapi Viona sudah jauh lebih dekat dengan Kenzie dan Papa." "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah setelah Viona keluar dari rumah sakit, kamu sudah pernah menyentuhnya??" Wajahku langsung memanas. Aku bisa merasakan rona merah membakar pipiku, terlihat jelas di kaca spion. Maluku luar biasa. Sebenarnya, sampai sekarang a
Mata Calvin membulat. "Ya Allah, Sayang! Enggak dong!" Dia menggeleng cepat. Suara Kenzie polos bertanya, "Anak haram itu apa, Ayah?" Pertanyaan polos itu menambah kekacauan di hatiku, mencampur aduk rasa bingung, takut, dan curiga. "Nanti Ayah jelaskan padamu. Tapi Ayah jelaskan hal ini kepada Bunda dulu, ya?" Calvin mengusap puncak kepala Kenzie dengan lembut, mencoba menenangkan putranya. Lalu, dia menatapku, matanya penuh pengertian. "Kenzie itu bukan anak haram, Sayang. Dia anak sah, hasil dari hubungan halal kita." "Tapi... kenapa dia sudah ada saat kita menikah? Harusnya dia baru lahir beberapa bulan setelah pernikahan kita," tanyaku masih bingung. Foto itu masih terbayang jelas di benakku. Calvin tersenyum, lalu menarikku untuk duduk di sofa empuk yang berada di sudut ruangan. "Sebelumnya, kita sempat menikah sebelum Kenzie lahir. Hanya saja, pernikahan kita waktu itu tidak berlangsung lama.
"Viona sayang... Ayo kita turun." Calvin telah lebih dulu turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untukku. Sementara Kenzie dan Pak Tatang juga ikut turun."Kita mau ngapain ke sini, Pak? Apakah kita sudah sampai?" tanyaku bingung."Kita mampir untuk ziarah, Sayang. Kamu harus bertemu dengan almarhum Kenzo." Kalimat Calvin terasa berat."Kenzo? Siapa Kenzo?" Nama itu sama sekali tak terpatri dalam ingatanku. Aku mencoba mengingat, namun hanya hampa yang kurasakan. "Kenzo itu adik bayi Bunda, adik bayi yang sudah Ayah beri nama," jelas Kenzie, suaranya terdengar polos.Air mata membasahi pipi Calvin saat dia berkata, "Kenzo adalah anak kedua kita, Sayang, adik Kenzie." Pandangannya sendu, bola matanya berkaca-kaca. "Sayangnya... dia tidak berhasil tertolong di dalam perutmu.""Maksudnya... aku sempat keguguran?" Aku mencoba mencerna setiap kata, setiap makna yang tersirat di baliknya."Iya," jawab Calvin, m
Empat hari berlalu, terasa begitu panjang.Akhirnya, dokter mengizinkan Viona pulang, yang kebetulan bertepatan dengan hari libur. Syukur Alhamdulillah.Selama empat hari di rumah sakit, dokter terus memantau perkembangannya. Terapi okupasi pun dilakukan dan beberapa obat Viona rutin konsumsi, namun tak ada hasil yang signifikan. Tatapan Viona masih terasa asing, ingatannya belum kembali.Meski begitu, rasa syukur tetap memenuhi hatiku. Viona sudah sehat kembali, tubuhnya segar seperti sedia kala. Namun, ada sesuatu yang mengganjal."Sebelum pulang, boleh saya bicara sebentar dengan Bapak, Pak Calvin?" Pinta dokter, tatapannya penuh makna. Aku mengangguk, lalu kami berdua masuk ke ruangannya. Aku duduk di hadapannya, hanya terhalang meja. "Meskipun Bu Viona sudah sehat secara fisik, tapi saya mohon Bapak untuk menahan diri. Tunda hubungan intim selama satu atau dua minggu."Wajahku memerah. Sejujurnya, sudah lebih dari semi
"Aku mau pergi, tolong jaga di sini dan jangan kemana-mana!" perintahku tegas kepada dua orang pengawal yang berdiri tegap di sisi kanan dan kiri pintu.Sejak Viona dirawat, aku memang menyewa dua orang penjaga yang selalu siaga di depan kamarnya. Meskipun Agnes sudah ditangkap, rasa takut masih membayangi."Baik, Pak," jawab mereka serempak, suaranya kompak dan mantap.***"Calvin!!"Suara itu memecah kesunyian saat aku baru saja melangkah keluar rumah sakit. Aku menoleh, dan jantungku berdebar kencang melihat Om Erick tiba-tiba berlari menghampiri dan langsung berjongkok, lalu memeluk lututku. Tubuhnya gemetar."Calvin... tolong maafkan Agnes, jangan hukum dia," rayunya, suaranya terisak, mengungkapkan keputusasaan yang mendalam."Maaf?" Aku terkekeh hambar, sebuah senyum sinis terpatri di bibirku. "Kata maaf saja tidak akan mengembalikan semuanya, Om." Suaraku dingin, keras, mencerminkan luka yan
"Iya, mandi bareng. Apalagi sekalian .…" Aku mendekat ke arah telinganya, suara berbisik penuh godaan. "Bercinta." "Iihhhh!!!" Viona langsung mendorongku menjauh, wajahnya memerah padam seperti buah delima yang ranum. "Kenapa sih?" Entah mengapa aku gemas melihatnya, ingin kembali menggodanya. Viona terlihat seperti anak gadis yang sedang dimabuk cinta, lucu dan menggemaskan. "Aku hanya jujur. Dan kamu sendiri yang sering memintanya duluan." "Bapak! Aku geli sekali mendengarnya!" omelnya, bibirnya mengerucut cemberut. Aku terkekeh pelan. "Iya iya, maaf. Sekarang ayo kita ke kamar mandi, mangkanya kamu nggak perlu malu sega .…" Ucapanku terhenti saat aku kembali menyentuh tubuh Viona. Gerakanku terhenti saat jariku menyentuh celana istriku yang basah. "Lho, kok basah?" "Iihhh!!" Viona terlihat malu, langsung menarik selimutnya. Aroma samar-samar menusuk hidungku. Sekarang aku tahu kenapa celananya basah.
"Ya sudah, kalau begitu aku mau mencari ruangan dokter yang menangani Viona dulu, Yah." Dadaku sesak mengingat kondisi Viona saat ini. Wajah pucatnya, tubuhnya yang lemah. "Ayok, Cal," ajak Ayah, suaranya terdengar berat. Aku hanya mengangguk, langkahku terasa berat. Kami berjalan bersama, untungnya Ayah tahu ruangan Dokter Meka. Dua polisi yang tadi bersama Ayah tidak ikut, tugas mereka mengawasi Agnes agar perempuan itu tidak kabur lagi. Sesampainya di ruangan dokter, aku menceritakan semuanya—tentang Viona yang tak mengenaliku, tentang dia yang tak ingat kejadian mengerikan yang telah dialaminya. Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa begitu pahit. Ayah tampak terkejut, wajahnya berubah pucat. Dia langsung bertanya pada dokter, suaranya bergetar, "Apakah ini artinya Viona amnesia, Dok?" Dokter itu hanya mengangguk pelan, "Kita langsung ke kamar Bu Viona saja, Pak. Biar saya periksa dia dulu,