(POV Calvin)
"Kakak harus melupakan Nona Agnes mulai sekarang, dan belajarlah untuk kembali mencintaiku seperti dulu." "Mencintaimu...?" Kata-kata itu bergema di telingaku, sebuah nada yang janggal dalam pikiranku. Rasanya aneh saja, mengapa Viona memintaku untuk kembali mencintainya? Apakah itu penting, untuk hubungan kita? "Kak, kok diem? Kenapa bengong?" Viona mengibaskan tangannya di depan wajahku, suaranya sedikit tercampur kekecewaan. "Apa Kakak nggak mau?" Aku langsung tersentak, karena sempat melamun. "Kalau tentang melupakan Agnes, aku tidak akan berjanji, tapi akan membuktikannya. Tapi kalau tentang mencintaimu lagi..." Suaraku terhenti, kata-kata itu tiba-tiba terjebak di tenggorokanku. Tapi aku juga ingin melihat bagaimana reaksi Viona. Ingatan tentang janjiku kepada Ayah begitu tajam dan jelas dalam benakku. Dia percaya ini jalan yang benar untukku. Tapi mengapa sekApa-apaan dia ini? Jelas Viona sedang menggodaku, bukan? Apalagi sudah secara terang-terangan tanpa malu membuka bajunya di hadapanku.Viona, dengan tatapan yang menggoda, kini berjalan mendekatiku. Dia mendorong sedikit bahuku, membuatku terjatuh ke belakang. Bibirnya mendekat, dan aku merasakan sentuhannya yang lembut."Viona!" Aku terkesiap. Apakah benar, dia memang mencintaiku? Sampai ingin kembali bercinta denganku?Atau... ini hanya sebuah rasa n@fsu belaka?Aku tak berani berharap terlalu tinggi, takut kecewa. Namun, godaannya tak tertahankan. Rasa panas menjalar di tubuhku, ketika tangannya yang halus membelai dadaku."Aahhh..." desahku, merasakan tubuhnya yang hangat dan lembut. Dia begitu dekat, dan aku merasakan hasrat yang membara di dalam diriku. "Viona, aku..." Kalimatku terhenti, tertelan oleh ciumannya yang dalam.Kobaran api dalam dada semakin membara, memaksaku untuk mengambil kendali atas situasi ini.
"Bahaya? Bahaya kenapa?" tanyaku bingung, mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Segera, kuraih ponsel Viona lalu menatap layar. Tertera sebuah chat dari nomor baru, yang isinya adalah: [Kenzie sedang dalam bahaya, hati-hati.] "Siapa yang mengirim chat, Vio?" tanyaku bingung, menatap Viona. Perempuan itu langsung menggeleng cepat. "Aku juga nggak tau, Kak. Nomornya enggak aku kenal." Aku langsung memencet ikon memanggil, sekaligus mengakhiri panggilan dari Om Erick. Tanganku gemetar, rasanya seperti ada jutaan jarum yang menusuk-nusuk kulitku. Sayangnya, nomor baru itu justru tidak aktif. "Nomornya nggak aktif, tapi kamu jangan panik dulu," ucapku mencoba menenangkan Viona, sebab kulihat dia begitu gelisah. Bahkan sudah bangkit dari tempat tidur. "Bagaimana aku nggak panik, Kak, sementara Kenzie dalam bahaya. Masa Kakak khawatir, sih?" Viona menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, mencerminkan kepanikan yang mendalam. Tentu saja aku pun khawatir, tapi aku merasa tidak perc
"Walaikum salam. Bagaimana kabarmu dan Viona di sana?" Suara Papa terdengar ramah di seberang sana, seolah menjawab semua rasa gelisahku mengenai Kenzie. "Baik, Pa. Maaf sebelumnya, aku ingin meminta nomor kepala sekolah Kenzie sama Papa, kata Viona Papa punya." "Kepala sekolah?? Mau apa memangnya, Cal?" "Si Viona, tadi ada yang ngirim chat, ngasih tau kalau Kenzie dalam bahaya. Aku sama Viona jadi khawatir Kenzie kenapa-kenapa, Pa." "Siapa yang mengirim chat? Kenzie baik-baik saja kok, dia lagi sekolah." "Nomor nggak dike-" Ucapanku terpotong saat Viona tiba-tiba bicara. "Apa Papa bisa memastikan kalau Kenzie benar-benar ada di sekolah?" "Bisa," jawab Papa. "Tadi pagi Papa sempat mampir ke sekolah dan ketemu Kenzie di sana." "Serius, Pa? Sampai Kenzie masuk kelas, kan?" tanya V
Konyol sekali memang, pada akhirnya aku tak mampu menolak lagi permintaan Viona. Aneh, pakai jurus apa Viona ini, sampai selalu bisa membuat hatiku luluh.Kami pun pergi ke rumah Bapak penjual es kelapa, yang katanya ada pohon kelapa di depan rumahnya.Sesampainya di sana, ternyata benar, di depan rumahnya ada pohon kelapa, bahkan lebih dari satu. Rumahnya juga tepat di tepi pantai, membuat Viona langsung merengek ingin berenang.Aku baru tahu, kalau perempuan hamil bisa bertingkah seperti anak kecil. Tapi, aku merasa gemas melihat tingkahnya."Jadi, kamu mau kita berenang dulu, atau minum air kelapa di atas pohon dulu?" tanyaku sambil menatap Viona yang terlihat berbinar-binar, memandangi suasana pantai yang ramai. Banyak orang berenang di air laut yang jernih."Aku mau minum air kelapa sambil berenang saja deh, Kak."Lho, berubah pikiran dia sekarang."Nggak jadi minum air kelapa di atas pohonnya?" tanyaku memastikan,
Tubuhku bergetar hebat, seakan tersambar petir, saat mendengar kabar buruk tentang Kenzie yang hilang. Ya Allah, aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi lagi. Rasa takut dan cemas mencengkeram jantungku. "Kamu tunggu di sini dulu ya? Aku mau pergi menemui Bunda dan Ayah," pamit Kak Calvin, langsung berlari meninggalkan aku. Namun, aku segera mengejarnya, kakiku terasa ringan bagai diangkat angin, hingga sampai ke halaman rumah. Aku menarik tangannya, menahannya untuk pergi. "Aku mau ikut, Kak!" seruku dengan suara bergetar, dipenuhi kepanikan. Tak mungkin aku bisa berdiam diri di sini menunggu saja, sementara anakku hilang. Selain itu, aku penasaran dengan alasannya hilang, karena rasanya aneh, seperti ada yang tak beres. "Tapi kamu nanti capek, Vio, aku takut kamu kenapa-kenapa," ujar Kak Calvin, suaranya terdengar khawatir, seolah melarangku untuk pergi bersamanya. "Justru yang ada pikiranku yang capek, Kak, kalau disuruh nunggu. Aku juga mau tahu alasan Kenzie hilang,
Tak lama kemudian, dua mobil datang. Salah satunya adalah mobil polisi. Hatiku berdebar kencang. Aku tak bisa diam, tangan mengepal erat, mataku terus tertuju pada pintu mall. Apakah Kenzie sudah ditemukan? Apakah dia baik-baik saja? Sejuta pertanyaan berputar di kepalaku, menggerogoti ketenangan yang berusaha kutepis. Beberapa orang keluar dari mobil. Salah satunya adalah Ayah Andre. Mereka langsung berhamburan masuk ke dalam mall, mencari Kenzie. Aku, Bunda, dan Chika tetap di dalam mobil. Tangan Bunda menenangkan punggungku, lembut dan hangat. "Jangan berhenti berdoa, Vio," bisiknya. "Kenzie anak yang kuat dan pintar. Dia pasti akan baik-baik saja. Kita harus berpikir positif, ya." "Iya, Bun," jawabku, berusaha meyakinkan diri sendiri. Chika masih terlihat terpuruk, matanya berkaca-kaca. "Mbak, maafin Chika, ya. Gara-gara Chika, Dedek Kenzie hilang..." Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Ini bukan salahmu, Chik. Ini musibah." Bunda tiba-tiba berbisik, "Vio, Bu
"Tapi kok Kakak bisa tau, kalau Kenzie ada di rumah Nona Agnes? Apa Nona Agnes menghubungi Kakak?" tanyaku, d*daku terasa panas. Aku sangat berharap mereka sudah tak lagi berkomunikasi, tapi sepertinya harapanku terlalu tinggi, ya?"Aku tau dari Ayah. Agnes memberitahukan melalui Ayah," jawab Kak Calvin."Ayah?" Lega rasanya mendengarnya.**Tak lama, mobil yang kami tunggangi akhirnya sampai di depan halaman rumah Nona Agnes. Dari kejauhan, kulihat Kenzie berdiri di sana bersama Nona Agnes. Tampaknya dia menunggu kedatangan kami, dan hatiku langsung berbunga melihatnya dalam keadaan baik."Bundaaaa!! Ayaaahh!!" Kenzie berteriak, dan langsung berlari menghambur ke pelukan kami saat kami baru saja turun dari mobil. Tapi yang lebih dulu dia peluk adalah Kak Calvin, lalu selanjutnya adalah aku."Kamu baik-baik saja 'kan, Nak? Apa kamu terluka?" Aku segera menggendong Kenzie, lalu kuperhatikan seluruh tubuh dan wajahnya sambil k
Hari berganti. "Tunggu sebentar, ya, aku mau angkat telepon dari rekan bisnisku dulu," kata Kak Calvin, suaranya sedikit terburu-buru, sebelum pamit dari ruang makan. "Iya, Kak." Aku mengangguk. Segera kutuangkan nasi goreng di atas piring Kenzie. Bocah kecilku duduk di sampingku. Dia sudah mandi dan berpakaian rapih dengan seragam sekolahnya, tapi Kak Calvin meminta agar Kenzie tidak masuk sekolah dulu. Aku tahu dia pasti masih takut, mungkin trauma, atas apa yang telah terjadi pada anak kami. Dan aku pun begitu. Rasa takut itu masih mencengkeram erat, tak mau melepaskan. "Kenzie mau makannya disuapi Ayah, Bunda." Kenzie menggelengkan kepala, saat baru saja aku hendak menyuapinya. "Ya udah, kita tunggu Ayah selesai menelepon dulu, ya?" tanyaku lembut, tangannya meraih tanganku. Kenzie mengangguk, matanya menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenzie duduk di sini dulu,
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora