Tak lama kemudian, dua mobil datang. Salah satunya adalah mobil polisi. Hatiku berdebar kencang. Aku tak bisa diam, tangan mengepal erat, mataku terus tertuju pada pintu mall. Apakah Kenzie sudah ditemukan? Apakah dia baik-baik saja? Sejuta pertanyaan berputar di kepalaku, menggerogoti ketenangan yang berusaha kutepis. Beberapa orang keluar dari mobil. Salah satunya adalah Ayah Andre. Mereka langsung berhamburan masuk ke dalam mall, mencari Kenzie. Aku, Bunda, dan Chika tetap di dalam mobil. Tangan Bunda menenangkan punggungku, lembut dan hangat. "Jangan berhenti berdoa, Vio," bisiknya. "Kenzie anak yang kuat dan pintar. Dia pasti akan baik-baik saja. Kita harus berpikir positif, ya." "Iya, Bun," jawabku, berusaha meyakinkan diri sendiri. Chika masih terlihat terpuruk, matanya berkaca-kaca. "Mbak, maafin Chika, ya. Gara-gara Chika, Dedek Kenzie hilang..." Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Ini bukan salahmu, Chik. Ini musibah." Bunda tiba-tiba berbisik, "Vio, Bu
"Tapi kok Kakak bisa tau, kalau Kenzie ada di rumah Nona Agnes? Apa Nona Agnes menghubungi Kakak?" tanyaku, d*daku terasa panas. Aku sangat berharap mereka sudah tak lagi berkomunikasi, tapi sepertinya harapanku terlalu tinggi, ya?"Aku tau dari Ayah. Agnes memberitahukan melalui Ayah," jawab Kak Calvin."Ayah?" Lega rasanya mendengarnya.**Tak lama, mobil yang kami tunggangi akhirnya sampai di depan halaman rumah Nona Agnes. Dari kejauhan, kulihat Kenzie berdiri di sana bersama Nona Agnes. Tampaknya dia menunggu kedatangan kami, dan hatiku langsung berbunga melihatnya dalam keadaan baik."Bundaaaa!! Ayaaahh!!" Kenzie berteriak, dan langsung berlari menghambur ke pelukan kami saat kami baru saja turun dari mobil. Tapi yang lebih dulu dia peluk adalah Kak Calvin, lalu selanjutnya adalah aku."Kamu baik-baik saja 'kan, Nak? Apa kamu terluka?" Aku segera menggendong Kenzie, lalu kuperhatikan seluruh tubuh dan wajahnya sambil k
"Aaahhh ... Aahhh." Di ruangan yang ber-AC dengan pencahayaan yang minim, aku mendesaah kuat dengan hati yang berdesir saat tubuhku berhasil dimasuki oleh seseorang yang dulu pernah menjadi suamiku. Awalnya aku menolak, tetapi Kak Calvin terus memaksaku, dan akhirnya aku terhanyut dalam permainannya. Selama masa pernikahan kami, kami hanya sekali berhubungan badan, dan aku bahkan tidak ingat bagaimana rasanya. Akan tetapi, dengan keanehan yang ada, kali ini aku merasakan kenikmatan yang begitu luar biasa. Ya Allah... aku memohon ampun-Mu, semua ini adalah kesalahan dan dosaku. Seharusnya dari awal aku tidak menuruti permintaan yang konyol dari bosku. Namun, di sisi lain, aku juga takut kehilangan pekerjaan. Mungkin, besok aku akan benar-benar dipecat jika Nona Agnes mengetahui kalau aku dan Kak Calvin telah memadu kasih semalam penuh. *** POV Viona (Flashback On) "Halo ... iya, Pa?" tanyaku dari pada sambungan telepon. Papaku yang bernama Tatang menelepon. "Bundaa
"Kak Calvin??" gumamku pelan merasa tak percaya, dengan siapa orang yang berada di hadapanku saat ini. Tidak! Kenapa aku harus bertemu dengan Kak Calvin yang merupakan mantan suamiku? Dan bukankah dia ini berada di Korea? Tapi kenapa malah ada di Indonesia? Selain itu, lima tahun sudah waktu yang telah berlalu. Tapi jika dilihat-lihat, wajahnya tampak semakin tampan dan berkharisma saja. Padahal dulu pas masih jadi suamiku—perasan biasa saja. Apa mungkin karena aku memang tidak ada rasa padanya? Ah bukankah sekarang pun sama saja? Hanya saja bedanya jantungku sekarang berdebar kencang saat berada di dekatnya. Tapi mungkin ini efek aku yang terlalu terkejut. "Kukira salah orang tadi. Ternyata benar." Kak Calvin menatap wajahku sebentar dan kulihat begitu sinis. Setelah itu dia berlalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Bahkan sebelum aku menanggapi ucapannya. Ada apa dengan Kak Calvin? Ah, seharusnya aku tahu. Sikapnya yang berubah mungkin disebabkan oleh luka ya
"Ada apa, Pak?" tanya salah satu security yang datang berjumlah dua orang, keduanya langsung berjongkok meraih tubuh Kak Calvin. "Rekanku tiba-tiba pingsan, dia tadi sempat mengeluh sakit kepala, Pak. Tolong sekarang angkat tubuh dia, bawa ke mobilku, aku akan membawanya ke rumah sakit." Pria itu menjelaskan. "Baik, Pak." Pak Security mengangguk, lalu bersama teman seprofesinya dia mencoba mengangkat tubuh Kak Calvin yang cukup besar, kemudian melangkah cepat membawanya keluar dari restoran dan disusul oleh pria tadi. "Eh, Pak! Tunggu, Pak!" Aku berteriak seraya berlari mengejar, karena tidak mungkin aku membiarkan mereka membawa Kak Calvin begitu saja, bisa-bisa rencanaku gagal. Dua pria berseragam yang hendak memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil langsung terhenti, saat dimana aku mencoba menghalanginya. "Nona mau ngapain? Menyingkir dari sini!" Rekan Kak Calvin berusaha menarikku untuk menjauh dari mobilnya, tapi diri ini mencoba menahan diri. "Biar aku saja yang membawa Kak C
Setelah puas menciumiku tanpa ampun, bahkan hampir membuatku kehabisan oksigen, kini bibir Kak Calvin turun ke leher. "Aahhhh!!" Aku terkejut, apa yang dia lakukan? Lidah, dia menyesap leherku sambil memainkan lidahnya dan itu sangat menggelitik hingga membuat seluruh tubuhku meremang. Bahkan dapat kurasakan seluruh bulu romaku berdiri tegak. Tapi, aku ingat bahwa aku belum mandi tadi sore. Pasti leher dan tubuhku ini beraroma kecut dan terasa asem, bisa-bisa Kak Calvin mual. "Huuuekk!!" Nah benar 'kan, baru saja aku menebak dan sekarang Kak Calvin terlihat seperti ingin muntah. Aktivitas itu terhenti sejenak, tapi kulihat Kak Calvin tengah sibuk melepaskan jas dan kemejanya. Ini kesempatan emas untukku supaya terlepas darinya, karena kalau sampai aku ketahuan Nona Agnes, bisa-bisa aku habis olehnya. Setelah mengeluarkan tenaga dalam, akhirnya aku berhasil mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari tubuhku. Kak Calvin terjungkal dari kasur dan langsung merintih kesakitan, karena
Bunyi hape seketika memecah keheningan, buru-buru kuambil kembali benda itu di atas kasur. Berharap Viona yang menghubungi, tapi ternyata Daddyku yang bernama—Erick. "Halo, Dad," ucapku yang baru saja mengangkat panggilan. "Halo, bagaimana? Kamu udah berhasil tidur dengan Calvin, kan?" "Belum, Dad." "Kok bisa belum? Bukannya semalam kamu bilang, kamu sudah reservasi hotel buat menjebak Calvin, ya?" "Iya. Tapi itu dia ... kan semalam aku meminta bantuan Viona, dia sendiri bilang rencana kita lancar dan sedang menuju hotel, tapi anehnya, sampai sekarang belum sampai juga, Dad," jawabku bingung. "Salah alamat nggak kamunya? Kan kamu tau sendiri bagaimana Viona, dia kadang agak begoo." "Bener kok, Dad," jawabku dengan yakin. "Sekarang udah dihubungi apa belum? Coba ditelepon Viona." "Udah dari tadi, tapi enggak diangkat-angkat. Nomor Mas Calvin juga nggak aktif, Dad." "Ya udah, sekarang kamu pergi aja ke rumah Calvin. Tunggu dia sampai pulang, nanti habis itu kamu tanya deh ...
"Iya, Kak. Aku sungguh-sungguh!" Tanpa banyak berpikir, aku langsung menjawabnya dengan mantap. Kupikir ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. "Baiklah." Kak Calvin langsung memundurkan langkah, menjauh dariku lalu memakai kembali jas biru navy-nya. Namun, kulihat wajahnya menjadi masam sekarang. Ada apa lagi dengannya? Kenapa seolah-olah jawaban yang aku berikan terdengar tidak mengenakan untuknya? Apa memang ini merugikannya? Padahal 'kan tidak, karena jelas-jelas aku yang telah diperkosa di sini. Kak Calvin ini benar-benar aneh sekali. Aku jadi bingung sendiri. "Aku minta maaf ya, Kak." Bingung ingin berbuat apa, jadi kuputuskan untuk meminta maaf saja. "Ngapain minta maaf, kan sudah jelas kamu korban di sini," sahut Kak Calvin dengan ketus, tanpa menatapku dia berjalan ke arah pintu. Handle pintu itu sudah dia pegang, dapat kulihat tubuhnya dari belakang. Namun, gerakan tangannya tiba-tiba terhenti. "Aku mau pulang. Kamu cepat pakai pakaianmu lalu segera pulang, karen
"Tapi kok Kakak bisa tau, kalau Kenzie ada di rumah Nona Agnes? Apa Nona Agnes menghubungi Kakak?" tanyaku, d*daku terasa panas. Aku sangat berharap mereka sudah tak lagi berkomunikasi, tapi sepertinya harapanku terlalu tinggi, ya?"Aku tau dari Ayah. Agnes memberitahukan melalui Ayah," jawab Kak Calvin."Ayah?" Lega rasanya mendengarnya.**Tak lama, mobil yang kami tunggangi akhirnya sampai di depan halaman rumah Nona Agnes. Dari kejauhan, kulihat Kenzie berdiri di sana bersama Nona Agnes. Tampaknya dia menunggu kedatangan kami, dan hatiku langsung berbunga melihatnya dalam keadaan baik."Bundaaaa!! Ayaaahh!!" Kenzie berteriak, dan langsung berlari menghambur ke pelukan kami saat kami baru saja turun dari mobil. Tapi yang lebih dulu dia peluk adalah Kak Calvin, lalu selanjutnya adalah aku."Kamu baik-baik saja 'kan, Nak? Apa kamu terluka?" Aku segera menggendong Kenzie, lalu kuperhatikan seluruh tubuh dan wajahnya sambil k
Tak lama kemudian, dua mobil datang. Salah satunya adalah mobil polisi. Hatiku berdebar kencang. Aku tak bisa diam, tangan mengepal erat, mataku terus tertuju pada pintu mall. Apakah Kenzie sudah ditemukan? Apakah dia baik-baik saja? Sejuta pertanyaan berputar di kepalaku, menggerogoti ketenangan yang berusaha kutepis. Beberapa orang keluar dari mobil. Salah satunya adalah Ayah Andre. Mereka langsung berhamburan masuk ke dalam mall, mencari Kenzie. Aku, Bunda, dan Chika tetap di dalam mobil. Tangan Bunda menenangkan punggungku, lembut dan hangat. "Jangan berhenti berdoa, Vio," bisiknya. "Kenzie anak yang kuat dan pintar. Dia pasti akan baik-baik saja. Kita harus berpikir positif, ya." "Iya, Bun," jawabku, berusaha meyakinkan diri sendiri. Chika masih terlihat terpuruk, matanya berkaca-kaca. "Mbak, maafin Chika, ya. Gara-gara Chika, Dedek Kenzie hilang..." Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Ini bukan salahmu, Chik. Ini musibah." Bunda tiba-tiba berbisik, "Vio, Bu
Tubuhku bergetar hebat, seakan tersambar petir, saat mendengar kabar buruk tentang Kenzie yang hilang. Ya Allah, aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi lagi. Rasa takut dan cemas mencengkeram jantungku. "Kamu tunggu di sini dulu ya? Aku mau pergi menemui Bunda dan Ayah," pamit Kak Calvin, langsung berlari meninggalkan aku. Namun, aku segera mengejarnya, kakiku terasa ringan bagai diangkat angin, hingga sampai ke halaman rumah. Aku menarik tangannya, menahannya untuk pergi. "Aku mau ikut, Kak!" seruku dengan suara bergetar, dipenuhi kepanikan. Tak mungkin aku bisa berdiam diri di sini menunggu saja, sementara anakku hilang. Selain itu, aku penasaran dengan alasannya hilang, karena rasanya aneh, seperti ada yang tak beres. "Tapi kamu nanti capek, Vio, aku takut kamu kenapa-kenapa," ujar Kak Calvin, suaranya terdengar khawatir, seolah melarangku untuk pergi bersamanya. "Justru yang ada pikiranku yang capek, Kak, kalau disuruh nunggu. Aku juga mau tahu alasan Kenzie hilang,
Konyol sekali memang, pada akhirnya aku tak mampu menolak lagi permintaan Viona. Aneh, pakai jurus apa Viona ini, sampai selalu bisa membuat hatiku luluh.Kami pun pergi ke rumah Bapak penjual es kelapa, yang katanya ada pohon kelapa di depan rumahnya.Sesampainya di sana, ternyata benar, di depan rumahnya ada pohon kelapa, bahkan lebih dari satu. Rumahnya juga tepat di tepi pantai, membuat Viona langsung merengek ingin berenang.Aku baru tahu, kalau perempuan hamil bisa bertingkah seperti anak kecil. Tapi, aku merasa gemas melihat tingkahnya."Jadi, kamu mau kita berenang dulu, atau minum air kelapa di atas pohon dulu?" tanyaku sambil menatap Viona yang terlihat berbinar-binar, memandangi suasana pantai yang ramai. Banyak orang berenang di air laut yang jernih."Aku mau minum air kelapa sambil berenang saja deh, Kak."Lho, berubah pikiran dia sekarang."Nggak jadi minum air kelapa di atas pohonnya?" tanyaku memastikan,
"Walaikum salam. Bagaimana kabarmu dan Viona di sana?" Suara Papa terdengar ramah di seberang sana, seolah menjawab semua rasa gelisahku mengenai Kenzie. "Baik, Pa. Maaf sebelumnya, aku ingin meminta nomor kepala sekolah Kenzie sama Papa, kata Viona Papa punya." "Kepala sekolah?? Mau apa memangnya, Cal?" "Si Viona, tadi ada yang ngirim chat, ngasih tau kalau Kenzie dalam bahaya. Aku sama Viona jadi khawatir Kenzie kenapa-kenapa, Pa." "Siapa yang mengirim chat? Kenzie baik-baik saja kok, dia lagi sekolah." "Nomor nggak dike-" Ucapanku terpotong saat Viona tiba-tiba bicara. "Apa Papa bisa memastikan kalau Kenzie benar-benar ada di sekolah?" "Bisa," jawab Papa. "Tadi pagi Papa sempat mampir ke sekolah dan ketemu Kenzie di sana." "Serius, Pa? Sampai Kenzie masuk kelas, kan?" tanya V
"Bahaya? Bahaya kenapa?" tanyaku bingung, mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Segera, kuraih ponsel Viona lalu menatap layar. Tertera sebuah chat dari nomor baru, yang isinya adalah: [Kenzie sedang dalam bahaya, hati-hati.] "Siapa yang mengirim chat, Vio?" tanyaku bingung, menatap Viona. Perempuan itu langsung menggeleng cepat. "Aku juga nggak tau, Kak. Nomornya enggak aku kenal." Aku langsung memencet ikon memanggil, sekaligus mengakhiri panggilan dari Om Erick. Tanganku gemetar, rasanya seperti ada jutaan jarum yang menusuk-nusuk kulitku. Sayangnya, nomor baru itu justru tidak aktif. "Nomornya nggak aktif, tapi kamu jangan panik dulu," ucapku mencoba menenangkan Viona, sebab kulihat dia begitu gelisah. Bahkan sudah bangkit dari tempat tidur. "Bagaimana aku nggak panik, Kak, sementara Kenzie dalam bahaya. Masa Kakak khawatir, sih?" Viona menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, mencerminkan kepanikan yang mendalam. Tentu saja aku pun khawatir, tapi aku merasa tidak perc
Apa-apaan dia ini? Jelas Viona sedang menggodaku, bukan? Apalagi sudah secara terang-terangan tanpa malu membuka bajunya di hadapanku.Viona, dengan tatapan yang menggoda, kini berjalan mendekatiku. Dia mendorong sedikit bahuku, membuatku terjatuh ke belakang. Bibirnya mendekat, dan aku merasakan sentuhannya yang lembut."Viona!" Aku terkesiap. Apakah benar, dia memang mencintaiku? Sampai ingin kembali bercinta denganku?Atau... ini hanya sebuah rasa n@fsu belaka?Aku tak berani berharap terlalu tinggi, takut kecewa. Namun, godaannya tak tertahankan. Rasa panas menjalar di tubuhku, ketika tangannya yang halus membelai dadaku."Aahhh..." desahku, merasakan tubuhnya yang hangat dan lembut. Dia begitu dekat, dan aku merasakan hasrat yang membara di dalam diriku. "Viona, aku..." Kalimatku terhenti, tertelan oleh ciumannya yang dalam.Kobaran api dalam dada semakin membara, memaksaku untuk mengambil kendali atas situasi ini.
(POV Calvin) "Kakak harus melupakan Nona Agnes mulai sekarang, dan belajarlah untuk kembali mencintaiku seperti dulu." "Mencintaimu...?" Kata-kata itu bergema di telingaku, sebuah nada yang janggal dalam pikiranku. Rasanya aneh saja, mengapa Viona memintaku untuk kembali mencintainya? Apakah itu penting, untuk hubungan kita? "Kak, kok diem? Kenapa bengong?" Viona mengibaskan tangannya di depan wajahku, suaranya sedikit tercampur kekecewaan. "Apa Kakak nggak mau?" Aku langsung tersentak, karena sempat melamun. "Kalau tentang melupakan Agnes, aku tidak akan berjanji, tapi akan membuktikannya. Tapi kalau tentang mencintaimu lagi..." Suaraku terhenti, kata-kata itu tiba-tiba terjebak di tenggorokanku. Tapi aku juga ingin melihat bagaimana reaksi Viona. Ingatan tentang janjiku kepada Ayah begitu tajam dan jelas dalam benakku. Dia percaya ini jalan yang benar untukku. Tapi mengapa sek
"Eeeugghhh ...." Kak Calvin mengerang sambil menggeliat, matanya perlahan terbuka dan menatapku dengan lekat. "Kamu sudah bangun, Vio? Maaf kalau tadi aku-""Ssttttt ...." Aku mendesis, langsung menempelkan jari telunjukku ke bibir Kak Calvin. Jantungku berdebar kencang, takut suara Kak Calvin akan membuat kami ketahuan.Segera, aku menunjuk jendela, memperlihatkan Pak Polisi yang masih berada di sana. Wajahnya kini menempel kaca, begitu dekat sekali, seakan penasaran ingin melihat orang yang berada di dalam mobil."Siapa itu? Eh, polisi? Kok ada polisi?" bisik Kak Calvin dengan mata membulat. Dia tampak terkejut dan heran, buru-buru mengambil pakaian kami yang berserakan di bawah kursi lalu membantuku memakai kembali pakaian.Selanjutnya, dia juga memakai pakaian miliknya. Gerakannya begitu terburu-buru. Aku tahu dia pasti panik.Dengan napas tersengal, Kak Calvin segera menurunkan jendela mobil untuk menemui Pak Polisi. Aku sedikit hera