Tuan Alan bangkit dari duduknya setelah mendapatkan pertanyaan dari anak lelakinya. Ia lantas berjalan mendekati Sean, lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu sudah dewasa, dan kamu tidak pernah mengecewakan ayah. Ayah hanya berharap kamu tidak akan menyesali keputusanmu!” ucapnya.“Mas Alan!” seru nyonya Felicia keras. Wanita itu juga bangkit dari duduknya dengan tatapan tak terima.“Tenanglah istriku!” sahut tuan Alan tanpa menoleh ke arah nyonya Felicia. Sean tersenyum tipis melihat wajah kesal wanita tua itu.Tangan kanan tuan Alan yang masih berada di pundak Sean berpindah pada tangan Agnes. Ia menggenggam tangan gadis cantik itu erat. Perlahan wajah merah Agnes berubah kembali pada warna cantiknya mengikuti senyuman tuan Alan.“Tidak usah buru, Nak! Kalian masih muda dan masih punya banyak waktu, kamu harus tahu kalau Sean tidak suka dipaksa,” ucapnya dengan nada lembut diakhiri senyuman lelaki tua itu.Wajah Sean terlihat lega. Walaupun penjelasan ayahnya bertujuan menenangkan gad
“Oh my God, Zia! Ternyata kamu nakal juga,” guman Risma seraya menutup mulutnya dan menatap nakal gadis di hadapannya setelah Sean tak terlihat dari balik pintu kamar Zia.Gadis di hadapannya meringis dan tersipu malu. Tiba-tiba ia memukul keras punggung Risma. Tentu saja, ia terlalu malu dan tak percaya dengan tindakan Sean. Lelaki itu langsung menenangkan hatinya yang sedang dilanda cemburu.Zia juga tahu ucapan editornya hanya menggodanya saja. Bukan meledeknya dengan kalimat nakal. Terlihat, Risma yang mendapatkan pukulan darinya justru tertawa puas, membuat wajahnya makin memerah.“Apaan sih, Kak Risma,” guman Zia seraya memajukkan bibirnya.Sayangnya, gadis itu tak bisa menyembunyikan semua perasaannya dari editor sekaligus sahabat baiknya. Ia lalu tersenyum simpul hingga Risma menghentikan tawanya. Wanita itu memangku wajahnya dan menatap Zia dengan tatapan menggoda.“Ceritakan padaku, bagaimana tuan Sean bisa klepek-klepek sama kamu?” Risma menggoda Zia. Kedua pipi gadis di h
“Interview. Aku ingin meminta waktu tuan Sean untuk interview,” sahut Zia secepat mungkin, menghindari rasa gugupnya.Ya, Zia sengaja pura-pura tak mendengar ucapan Sean yang menggodanya. Lelaki di hadapannya mengerutkan dahinya, lalu tersenyum tipis. Sean lantas membuka lebar pintu kamarnya, lalu membentangkan tangan kanannya ke dalam.“Silahkan masuk!” Sean mempersilahkan.Zia refleks menunjuk wajahnya lalu menunjuk arah dalam kamar Sean mengikuti bentangan tangan Sean. “Masuk ke kamar?” tanyanya dengan tatapan cemas.“Yeah, katanya mau interview?” Sean bertanya balik seraya menaikkan satu alisnya.Gadis di hadapannya menjulurkan sedikit kepalanya ke depan. Ia memindai isi kamar Sean dengan tatapan makin cemas. Entah apa yang ia pikirkan, yang pasti Zia bingung.“Apa yang kamu cari, Gadis Kecil?” tanya Sean menghentikan pemindaian Zia pada kamarnya.Zia tersadar. Ia langsung tersenyum. Indera penglihatannya kembali menangkap rambut basah Sean dan dada bidangnya, hingga ia terpaksa h
Zia terdiam hingga detik kelima dan terus menatap wajah lelaki di hadapannya. Sean tersenyum tipis. Tampaknya ia tak bisa menebak ekspresi diamnya Zia. Tentu saja! Biasanya Zia memasang wajah panik atau salah tingkah. Kini gadis itu benar-benar diam tanpa ekspresi. Sean berdeham pelan. “Lupakan saja kalau begitu dan ja--” “Tuan Sean!” panggil Zia memotong kalimat Sean. “Aku yakin Tuan punya alasan baik. Bukankah Tuan sendiri yang meminta untuk tak memasukkan pertanyaan itu daftar interview?” Zia tersenyum tipis mengakhiri ucapannya. Sean mendesis pelan. Kemudian ia tersenyum tipis, Sean bisa menebak isi pikiran gadis kecilnya. Benar, Zia penasaran dengan pertanyaannya. Tentu saja, Sean melihat jelas wajah gadis itu memerah dan tersipu malu saat ia mengunjunginya siang tadi hanya untuk mengatakan penolakan perjodohannya. Namun, gadis kecilnya terus menahan dirinya untuk mengakui kalau sebenarnya ia bahagia. Sean seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia memikirkan ca
Kedua bola mata Zia langsung membulat sempurna. Ia terdiam dalam satu detik. Detik kedua, saat bibirnya merasakan lembutnya bibir Sean, kedua bola matanya langsung menutup sempurna. Sean tak menyia-nyiakannya. Ia langsung melumat lembut bibir Zia. Gadis kecilnya tak menolaknya, kedua bola matanya masih tertutup. Tunggu! Zia membalas lumatan bibir Sean? Benar, ia membalasnya. Bukan hanya Sean yang tergoda pada bibirnya, tetapi ia juga. Ya, sejak Sean membuka pintu kamarnya dengan rambut basah dan dadanya yang terbuka. Zia tahu Sean sengaja, dan saat lelaki itu memainkan bibirnya, ia juga tahu kalau Sean sengaja menggodanya. Zia masih bisa menahannya. Namun, kenapa sekarang ia membalasnya? Zia pun tak tahu. Ia hanya ingin menghilangkan sedikit rasa frustasinya karena godaan Sean. Mungkinkah dulu, lima tahun yang lalu kejadiannya seperti ini? Belum sempat Zia menerawang pikirannya sendiri, Sean sudah menyudahi gerakan bibirnya membuyarkan semua pikirannya yang tak karuan. Tentu saja
Wajah Zia panik. Tatapan tuan Alan, lebih membuatnya tak berdaya dibandingkan anaknya, Sean. Ia refleks menundukkan tubuhnya. “Maaf, Tuan. Sa—saya Zia,” suara Zia gagap. Ia tak berani menaikkan wajahnya. “Zia? Zia siapa? Kenapa kamu bisa berada di mansion anakku?” Tuan Alan mencecarnya seraya berjalan mendekat pada Zia. Tubuh Zia gemetar hebat. Ia gugup. Tentu saja ia dapat melihat lelaki setengah baya itu bergerak ke arahnya melalui pantulan lantai di bawahnya. “Tuan Alan!” Suara bi Asti menghentikan langkah kaki lelaki itu. Tuan Sean langsung menoleh ke arah suara asisten rumah tangga anaknya. Bi Asti tersenyum dan melangkah cepat ke arahnya. “Kapan Tuan sampai? Kenapa tak mengabari jika hendak datang?” bi Asti mencecar ayah dari majikannya seperti seorang teman. “Haruskah aku izin padamu dulu jika ingin menemui anakku sendiri,” ketus tuan Alan seraya memasang wajah kesal. Bi Asti tertawa kecil, membuat Zia bingung. Bagaimana bisa bi Asti berani membuat ayah majikannya marah?
“Jangan hiraukan saya, Nona ...,”“Nona Zia, Tuan Alan,” sambung bi Asti, tampaknya lelaki itu belum menangkap jelas nama gadis di hadapannya. “Oh, Nona Zia. Tolong jangan hiraukan saya, yah! Saya hanya ingin mengunjungi anak saya saja, tapi sepertinya Sean sudah berangkat,” tuan Sean menyambung penjelasannya.Zia melebarkan senyumannya, sedangkan wajahnya makin terlihat kebingungan. Ia lantas memilih berbalik bergerak menuju meja makan, mengikuti gerakan tangan tuan Alan yang memintanya mengabaikan lelaki itu dan bi Asti. Setelah Zia benar-benar membelakangi tuan Alan dan bi Asti, mereka berdua langsung berbalik juga.“Jangan buat gadis itu canggung!” Suara tuan Alan yang memberi perintah pada bi Asti dapat tertangkap jelas pada indera pendengaran Zia. Namun, suara keluhan cacing dalam perutnya kembali terdengar. Ia pun memilih fokus pada tugasnya, meredamkan bunyi cacing sebelum fokus pada pekerjaannya.Benar, Zia belum sempat menyelesaikan hasil interview nya tadi malam dengan Se
“Cukup, Nyonya!” Suara Zia tak terlalu tinggi dan juga tak terlalu rendah, tetapi langsung membuat nyonya Felicia dan tuan Alan terkejut. Begitu juga dengan Niko, ia makin menatap Zia penuh curiga. Mereka bertiga menatap Zia heran. Zia sadar diri, memang dirinya tidak selevel dengan Sean. Alasan itu juga yang membuat dirinya merasa rendah diri saat Sean menunjukkan rasa suka dan pedulinya. Namun, ucapan Niko dan nyonya melukai harga dirinya.“Tuan Sean yang meminta saya menjadi penulisnya dan meminta saya tinggal di sini karena lebih memudahkan tuan Sean saat saya harus melakukan sesi interview kalau tuan Sean sudah di rumah. Pastinya Nyonya tahu kalau tuan Sean selalu sibuk ‘kan?” terang Zia menahan rasa sesak di dadanya. “Saya sadar diri kalau saya memang tidak sekelas dengan tuan Sean, tetapi keberadaan saya di sini karena pekerjaan saya sebagai seorang penulis bukan seorang penggoda seperti yang nyonya sangkakan,” pungkasnya.Gadis itu memutar sedikit tubuhnya menghadap tuan Ala
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te