Wajah Zia panik. Tatapan tuan Alan, lebih membuatnya tak berdaya dibandingkan anaknya, Sean. Ia refleks menundukkan tubuhnya. “Maaf, Tuan. Sa—saya Zia,” suara Zia gagap. Ia tak berani menaikkan wajahnya. “Zia? Zia siapa? Kenapa kamu bisa berada di mansion anakku?” Tuan Alan mencecarnya seraya berjalan mendekat pada Zia. Tubuh Zia gemetar hebat. Ia gugup. Tentu saja ia dapat melihat lelaki setengah baya itu bergerak ke arahnya melalui pantulan lantai di bawahnya. “Tuan Alan!” Suara bi Asti menghentikan langkah kaki lelaki itu. Tuan Sean langsung menoleh ke arah suara asisten rumah tangga anaknya. Bi Asti tersenyum dan melangkah cepat ke arahnya. “Kapan Tuan sampai? Kenapa tak mengabari jika hendak datang?” bi Asti mencecar ayah dari majikannya seperti seorang teman. “Haruskah aku izin padamu dulu jika ingin menemui anakku sendiri,” ketus tuan Alan seraya memasang wajah kesal. Bi Asti tertawa kecil, membuat Zia bingung. Bagaimana bisa bi Asti berani membuat ayah majikannya marah?
“Jangan hiraukan saya, Nona ...,”“Nona Zia, Tuan Alan,” sambung bi Asti, tampaknya lelaki itu belum menangkap jelas nama gadis di hadapannya. “Oh, Nona Zia. Tolong jangan hiraukan saya, yah! Saya hanya ingin mengunjungi anak saya saja, tapi sepertinya Sean sudah berangkat,” tuan Sean menyambung penjelasannya.Zia melebarkan senyumannya, sedangkan wajahnya makin terlihat kebingungan. Ia lantas memilih berbalik bergerak menuju meja makan, mengikuti gerakan tangan tuan Alan yang memintanya mengabaikan lelaki itu dan bi Asti. Setelah Zia benar-benar membelakangi tuan Alan dan bi Asti, mereka berdua langsung berbalik juga.“Jangan buat gadis itu canggung!” Suara tuan Alan yang memberi perintah pada bi Asti dapat tertangkap jelas pada indera pendengaran Zia. Namun, suara keluhan cacing dalam perutnya kembali terdengar. Ia pun memilih fokus pada tugasnya, meredamkan bunyi cacing sebelum fokus pada pekerjaannya.Benar, Zia belum sempat menyelesaikan hasil interview nya tadi malam dengan Se
“Cukup, Nyonya!” Suara Zia tak terlalu tinggi dan juga tak terlalu rendah, tetapi langsung membuat nyonya Felicia dan tuan Alan terkejut. Begitu juga dengan Niko, ia makin menatap Zia penuh curiga. Mereka bertiga menatap Zia heran. Zia sadar diri, memang dirinya tidak selevel dengan Sean. Alasan itu juga yang membuat dirinya merasa rendah diri saat Sean menunjukkan rasa suka dan pedulinya. Namun, ucapan Niko dan nyonya melukai harga dirinya.“Tuan Sean yang meminta saya menjadi penulisnya dan meminta saya tinggal di sini karena lebih memudahkan tuan Sean saat saya harus melakukan sesi interview kalau tuan Sean sudah di rumah. Pastinya Nyonya tahu kalau tuan Sean selalu sibuk ‘kan?” terang Zia menahan rasa sesak di dadanya. “Saya sadar diri kalau saya memang tidak sekelas dengan tuan Sean, tetapi keberadaan saya di sini karena pekerjaan saya sebagai seorang penulis bukan seorang penggoda seperti yang nyonya sangkakan,” pungkasnya.Gadis itu memutar sedikit tubuhnya menghadap tuan Ala
“Ada apa, Pak Sadin?” tanya Sean saat asisten pribadinya berdiri di hadapan ruang kerjanya dengan tatapan cemas.“Saya dapat telpon keluhan dari rumah sakit. Bu Resa mengamuk karena tidak bisa mendapatkan informasi tentang pak Darul,” jawab pak Sadin dengan nada berat.Kemudian pak Sadin memberikan tablet yang sedari tadi berada di tangannya pada Sean. Isinya dari kamera pengintai di rumah sakit tempat Darul dirawat. Sean menghembuskan napas berat, lalu memberikan kembali tablet tersebut.“Hari ini saya tidak ada jadwal meeting ‘kan? Antar saya ke rumah sakit!” pinta Sean seraya merapihkan tumpukkan file di hadapannya. “Saya tidak boleh menyusahkan tempat umum!” imbuhnya.“Baik, Tuan!”Sejujurnya Sean memang berencana untuk menemui Resa, ibunya Zia. Mungkin saja ia bisa membujuk wanita itu untuk berubah, walaupun ia tak yakin saat melihat penampilannya dulu. Namun, jika berusaha sedikit saja, siapa tahu wanita itu bisa tersentuh.Seperti biasa, pak Sadin tak pernah banyak bicara selam
Sean mendesis, menahan rasa kesal dan miris. Wanita di hadapannya terlihat antusias, ia bahkan menopang dagunya dan menatap nakal pada Sean. Lantas Resa memainkan ujung rambutnya rambutnya yang diwarnai dengan warna coklat muda, lalu kembali tersenyum nakal. “Sepertinya kamu sangat tergila-gila pada Zia?” goda Resa dengan nada nakal. “Biarkan aku menemui Zia! Akan aku ajari beberapa tips untuk memuaskanmu, Tampan,” Lelaki muda di hadapan Resa menurunkan tumpangan kakinya. Ia memajukan sedikit bahunya dan meletakkan tangan kanannya di atas meja, seraya menatap wajah Resa yang makin antusias. Sean tersenyum sebentar padanya. “Benar! Saya memang tergila-gila pada Zia, karena itu saya membawanya ke tempat yang aman agar Zia bisa hidup tenang, tanpa gangguan,” ucap Sean tegas diakhiri senyuman memaksa. “Gangguan?” Resa memutar kedua bola matanya. Ia terlihat mencerna ucapan Sean, kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Maksudnya aku gangguan untuk Zia?” Sean tersenyum tipis. Tampaknya Resa
“Mas, aku berkata seperti itu demi kebaikan Sean. Jangan sampai Sean salah bergaul, kamu tidak lihat bagaimana gadis itu? Wajahnya saja terlihat seperti gadis penggoda, beda dengan Agne—““Cukup!” sentak tuan Alan menghentikan ucapan nyonya Felicia.Wanita masih belum selesai dengan argumentasinya tentang Zia. Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil, nyonya Felicia terus memberikan alasan atas pembenaran tindakannya.Sayangnya, hal tersebut membuat tuan Alan makin geram.“Mas, ka—kamu. Kamu tega membentak aku?” suara nyonya Felicia lirih diikuti ekspresi wajahnya yang murung.Tuan Alan menarik napas panjang. Ia melirik wanita di sampingnya. Bukan maksudnya membentak istrinya. “Aku tidak berniat membentakmu. Hanya saja aku tidak suka kamu ikut campur masalah pribadinya Sean,” jelasnya.“Aku tahu, niatmu baik. Tapi, aku percaya pada Sean. Dia sudah dewasa dan bisa memilih jalannya sendiri,” sambung tuan Alan seraya memutar sedikit tubuhnya menghadap nyonya Felicia. “Biarkan Sean deng
“Halo Gadis Kecil? Kamu merindukan saya?” Sapa Sean setelah menjawab panggilan telepon dari gadis kecilnya. Ia tahu tak seharusnya menggoda Zia. Pastinya gadis kecilnya tengah menahan kesal karena ulah nyonya Felicia dan Niko.“Gadis Kecil?” panggil Sean pelan dengan tatapan bingung.Lelaki itu menjauhkan ponselnya dari daun telinganya. Ia menatapnya layar ponselnya guna memastikan sambungan teleponnya masih terhubung. Senyuman Sean kembali mengembang sempurna. Sambungan teleponnya berpindah pada telepon video.“Kamu ingin bertatap muka dengan saya, yah?” gumannya seraya meneka menggeser tanda terima sambungan video.Senyuman Sean makin mengembang sempurna menyadari layar ponselnya menampilkan wajah Zia yang salah tingkah. Tak lama ia tertawa kecil. Tampaknya Zia mengarahkan layar kameranya ke arah lain. Sean tak mendapati wajah gadis kecilnya.“Kenapa kamu mengalihkan wajahmu, Gadis Kecil?” tanya Sean dengan nada menggoda.“Maaf, Tuan. Aku hanya memastikan saja kalau ponselmu benar
Sean mematung. Ia terdiam memandangi Niko yang tersenyum penuh kemenangan. Lelaki itu langsung bergegas keluar ruangan Sean tanpa menunggu saudara tirinya membalas ucapannya.Tiga detik setelah pintu ruangan kerjanya tertutup, Sean baru tersadar. Ia memejamkan matanya menahan kesal seraya memijat ujung alisnya pelan. Perlahan ia menghembuskan napasnya berat. Tak berapa lama pintu ruangan kerjanya terbuka.Pak Sadin yang sudah memasuki ruangan kerjanya langsung berjalan cepat menghadap Sean. Ia dapat menerka atasannya tengah menahan amarahnya. “Tuan Sean!” Panggilan pak Sadin langsung membuat Sean membuka matanya dan menyudahi pijatan tangannya pada ujung alisnya. Ia menatap dalam lelaki tua di hadapannya. Sean yakin, pak Sadin tidak akan melakukan kesalahan.“Ada apa, Tuan? Apa ada masalah serius?” tanya pak Sadin. Tentu ia tahu ekspresi wajah atasannya itu.“Tidak ada. Hanya saja, Niko tahu kalau Pak Sadin menyelidiki rumah bordil,” jawab Sean diakhiri senyuman tipisnya.Kedua bola
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te