“Cukup, Nyonya!” Suara Zia tak terlalu tinggi dan juga tak terlalu rendah, tetapi langsung membuat nyonya Felicia dan tuan Alan terkejut. Begitu juga dengan Niko, ia makin menatap Zia penuh curiga. Mereka bertiga menatap Zia heran. Zia sadar diri, memang dirinya tidak selevel dengan Sean. Alasan itu juga yang membuat dirinya merasa rendah diri saat Sean menunjukkan rasa suka dan pedulinya. Namun, ucapan Niko dan nyonya melukai harga dirinya.“Tuan Sean yang meminta saya menjadi penulisnya dan meminta saya tinggal di sini karena lebih memudahkan tuan Sean saat saya harus melakukan sesi interview kalau tuan Sean sudah di rumah. Pastinya Nyonya tahu kalau tuan Sean selalu sibuk ‘kan?” terang Zia menahan rasa sesak di dadanya. “Saya sadar diri kalau saya memang tidak sekelas dengan tuan Sean, tetapi keberadaan saya di sini karena pekerjaan saya sebagai seorang penulis bukan seorang penggoda seperti yang nyonya sangkakan,” pungkasnya.Gadis itu memutar sedikit tubuhnya menghadap tuan Ala
“Ada apa, Pak Sadin?” tanya Sean saat asisten pribadinya berdiri di hadapan ruang kerjanya dengan tatapan cemas.“Saya dapat telpon keluhan dari rumah sakit. Bu Resa mengamuk karena tidak bisa mendapatkan informasi tentang pak Darul,” jawab pak Sadin dengan nada berat.Kemudian pak Sadin memberikan tablet yang sedari tadi berada di tangannya pada Sean. Isinya dari kamera pengintai di rumah sakit tempat Darul dirawat. Sean menghembuskan napas berat, lalu memberikan kembali tablet tersebut.“Hari ini saya tidak ada jadwal meeting ‘kan? Antar saya ke rumah sakit!” pinta Sean seraya merapihkan tumpukkan file di hadapannya. “Saya tidak boleh menyusahkan tempat umum!” imbuhnya.“Baik, Tuan!”Sejujurnya Sean memang berencana untuk menemui Resa, ibunya Zia. Mungkin saja ia bisa membujuk wanita itu untuk berubah, walaupun ia tak yakin saat melihat penampilannya dulu. Namun, jika berusaha sedikit saja, siapa tahu wanita itu bisa tersentuh.Seperti biasa, pak Sadin tak pernah banyak bicara selam
Sean mendesis, menahan rasa kesal dan miris. Wanita di hadapannya terlihat antusias, ia bahkan menopang dagunya dan menatap nakal pada Sean. Lantas Resa memainkan ujung rambutnya rambutnya yang diwarnai dengan warna coklat muda, lalu kembali tersenyum nakal. “Sepertinya kamu sangat tergila-gila pada Zia?” goda Resa dengan nada nakal. “Biarkan aku menemui Zia! Akan aku ajari beberapa tips untuk memuaskanmu, Tampan,” Lelaki muda di hadapan Resa menurunkan tumpangan kakinya. Ia memajukan sedikit bahunya dan meletakkan tangan kanannya di atas meja, seraya menatap wajah Resa yang makin antusias. Sean tersenyum sebentar padanya. “Benar! Saya memang tergila-gila pada Zia, karena itu saya membawanya ke tempat yang aman agar Zia bisa hidup tenang, tanpa gangguan,” ucap Sean tegas diakhiri senyuman memaksa. “Gangguan?” Resa memutar kedua bola matanya. Ia terlihat mencerna ucapan Sean, kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Maksudnya aku gangguan untuk Zia?” Sean tersenyum tipis. Tampaknya Resa
“Mas, aku berkata seperti itu demi kebaikan Sean. Jangan sampai Sean salah bergaul, kamu tidak lihat bagaimana gadis itu? Wajahnya saja terlihat seperti gadis penggoda, beda dengan Agne—““Cukup!” sentak tuan Alan menghentikan ucapan nyonya Felicia.Wanita masih belum selesai dengan argumentasinya tentang Zia. Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil, nyonya Felicia terus memberikan alasan atas pembenaran tindakannya.Sayangnya, hal tersebut membuat tuan Alan makin geram.“Mas, ka—kamu. Kamu tega membentak aku?” suara nyonya Felicia lirih diikuti ekspresi wajahnya yang murung.Tuan Alan menarik napas panjang. Ia melirik wanita di sampingnya. Bukan maksudnya membentak istrinya. “Aku tidak berniat membentakmu. Hanya saja aku tidak suka kamu ikut campur masalah pribadinya Sean,” jelasnya.“Aku tahu, niatmu baik. Tapi, aku percaya pada Sean. Dia sudah dewasa dan bisa memilih jalannya sendiri,” sambung tuan Alan seraya memutar sedikit tubuhnya menghadap nyonya Felicia. “Biarkan Sean deng
“Halo Gadis Kecil? Kamu merindukan saya?” Sapa Sean setelah menjawab panggilan telepon dari gadis kecilnya. Ia tahu tak seharusnya menggoda Zia. Pastinya gadis kecilnya tengah menahan kesal karena ulah nyonya Felicia dan Niko.“Gadis Kecil?” panggil Sean pelan dengan tatapan bingung.Lelaki itu menjauhkan ponselnya dari daun telinganya. Ia menatapnya layar ponselnya guna memastikan sambungan teleponnya masih terhubung. Senyuman Sean kembali mengembang sempurna. Sambungan teleponnya berpindah pada telepon video.“Kamu ingin bertatap muka dengan saya, yah?” gumannya seraya meneka menggeser tanda terima sambungan video.Senyuman Sean makin mengembang sempurna menyadari layar ponselnya menampilkan wajah Zia yang salah tingkah. Tak lama ia tertawa kecil. Tampaknya Zia mengarahkan layar kameranya ke arah lain. Sean tak mendapati wajah gadis kecilnya.“Kenapa kamu mengalihkan wajahmu, Gadis Kecil?” tanya Sean dengan nada menggoda.“Maaf, Tuan. Aku hanya memastikan saja kalau ponselmu benar
Sean mematung. Ia terdiam memandangi Niko yang tersenyum penuh kemenangan. Lelaki itu langsung bergegas keluar ruangan Sean tanpa menunggu saudara tirinya membalas ucapannya.Tiga detik setelah pintu ruangan kerjanya tertutup, Sean baru tersadar. Ia memejamkan matanya menahan kesal seraya memijat ujung alisnya pelan. Perlahan ia menghembuskan napasnya berat. Tak berapa lama pintu ruangan kerjanya terbuka.Pak Sadin yang sudah memasuki ruangan kerjanya langsung berjalan cepat menghadap Sean. Ia dapat menerka atasannya tengah menahan amarahnya. “Tuan Sean!” Panggilan pak Sadin langsung membuat Sean membuka matanya dan menyudahi pijatan tangannya pada ujung alisnya. Ia menatap dalam lelaki tua di hadapannya. Sean yakin, pak Sadin tidak akan melakukan kesalahan.“Ada apa, Tuan? Apa ada masalah serius?” tanya pak Sadin. Tentu ia tahu ekspresi wajah atasannya itu.“Tidak ada. Hanya saja, Niko tahu kalau Pak Sadin menyelidiki rumah bordil,” jawab Sean diakhiri senyuman tipisnya.Kedua bola
Zia terdiam sesaat. Bukan karena ajakan lelaki di hadapannya, tetapi tatapan Sean yang terlihat berat. Berbeda dengan sebelumnya, Sean selalu menatapnya penuh semangat. “Tapi, aku belum mandi, Tuan,” jawab Zia setenang mungkin. “Hanya sebentar saja!” ucap Sean diakhiri senyuman tipisnya dan tetap tatapannya terlihat berat. Wajah Zia terlihat berpikir sejenak, kemudian ia mengangguk dan melebarkan pintu kamarnya. Sean pun langsung berjalan memasuki kamarnya. Lantas Zia mengekorinya dan duduk di kursi hadapan Sean. Hingga lima detik setelah mereka duduk saling berhadapan dan menciptakan suasana hening. Zia hanya bisa menunduk bingung. Ya, baru ini ia melihat Sean terlihat berat. Sean berdeham pelan, tampaknya ia menyadari keheningan tersebut karena dirinya. “Ini foto-foto ayahmu sebelum menjalani operasi,” ucap Sean seraya menyerahkan beberapa lembar kertas foto. Zia kembali terdiam. Benar, ia hampir melupakan ayahnya. Langsung saja ia meraih lembar foto pemberian Sean. Senyuman Z
“Berarti aku tidak perlu membayar uang yang aku curi dulu, ‘kan?” tanya Zia dengan nada ragu. Sean tersentak. Sepolos itukah gadis kecilnya? Bukankah seharusnya Zia terharu dengan pengakuan cintanya. Sayangnya, Zia memang sedang menatapnya polos dan cemas. “A—aku memang berencana mengembalikan uang itu, tapi tidak sekarang. Masalahnya, sekarang aku tidak punya uang sebanyak itu,” sambung Zia sedikit gagap. “Aku kan belum gajian dari hasil menulis biografinya Paman. Tapi kalau udah gajian, aku pasti balikin kok,” Benar, Zia lebih fokus dengan pembahasan uang yang ia curi daripada pengakuan cintanya Sean. Lelaki di hadapannya tertawa lepas kembali. Ia bisa menduga kalau gadis kecilnya belum pernah menjalin kasih dengan seorang laki-laki. Bukankah itu sangat menguntungkan untuknya. Tentu saja Zia memasang wajah bingung. Kali ini, tawa Sean tak selama sebelumnya. Ia lebih cepat mengendalikan dirinya. “Tidak perlu, Gadis Kecil,” katanya setelah Sean benar-benar bisa mengendalikan tawan