Zia terdiam hingga detik kelima dan terus menatap wajah lelaki di hadapannya. Sean tersenyum tipis. Tampaknya ia tak bisa menebak ekspresi diamnya Zia. Tentu saja! Biasanya Zia memasang wajah panik atau salah tingkah. Kini gadis itu benar-benar diam tanpa ekspresi. Sean berdeham pelan. “Lupakan saja kalau begitu dan ja--” “Tuan Sean!” panggil Zia memotong kalimat Sean. “Aku yakin Tuan punya alasan baik. Bukankah Tuan sendiri yang meminta untuk tak memasukkan pertanyaan itu daftar interview?” Zia tersenyum tipis mengakhiri ucapannya. Sean mendesis pelan. Kemudian ia tersenyum tipis, Sean bisa menebak isi pikiran gadis kecilnya. Benar, Zia penasaran dengan pertanyaannya. Tentu saja, Sean melihat jelas wajah gadis itu memerah dan tersipu malu saat ia mengunjunginya siang tadi hanya untuk mengatakan penolakan perjodohannya. Namun, gadis kecilnya terus menahan dirinya untuk mengakui kalau sebenarnya ia bahagia. Sean seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia memikirkan ca
Kedua bola mata Zia langsung membulat sempurna. Ia terdiam dalam satu detik. Detik kedua, saat bibirnya merasakan lembutnya bibir Sean, kedua bola matanya langsung menutup sempurna. Sean tak menyia-nyiakannya. Ia langsung melumat lembut bibir Zia. Gadis kecilnya tak menolaknya, kedua bola matanya masih tertutup. Tunggu! Zia membalas lumatan bibir Sean? Benar, ia membalasnya. Bukan hanya Sean yang tergoda pada bibirnya, tetapi ia juga. Ya, sejak Sean membuka pintu kamarnya dengan rambut basah dan dadanya yang terbuka. Zia tahu Sean sengaja, dan saat lelaki itu memainkan bibirnya, ia juga tahu kalau Sean sengaja menggodanya. Zia masih bisa menahannya. Namun, kenapa sekarang ia membalasnya? Zia pun tak tahu. Ia hanya ingin menghilangkan sedikit rasa frustasinya karena godaan Sean. Mungkinkah dulu, lima tahun yang lalu kejadiannya seperti ini? Belum sempat Zia menerawang pikirannya sendiri, Sean sudah menyudahi gerakan bibirnya membuyarkan semua pikirannya yang tak karuan. Tentu saja
Wajah Zia panik. Tatapan tuan Alan, lebih membuatnya tak berdaya dibandingkan anaknya, Sean. Ia refleks menundukkan tubuhnya. “Maaf, Tuan. Sa—saya Zia,” suara Zia gagap. Ia tak berani menaikkan wajahnya. “Zia? Zia siapa? Kenapa kamu bisa berada di mansion anakku?” Tuan Alan mencecarnya seraya berjalan mendekat pada Zia. Tubuh Zia gemetar hebat. Ia gugup. Tentu saja ia dapat melihat lelaki setengah baya itu bergerak ke arahnya melalui pantulan lantai di bawahnya. “Tuan Alan!” Suara bi Asti menghentikan langkah kaki lelaki itu. Tuan Sean langsung menoleh ke arah suara asisten rumah tangga anaknya. Bi Asti tersenyum dan melangkah cepat ke arahnya. “Kapan Tuan sampai? Kenapa tak mengabari jika hendak datang?” bi Asti mencecar ayah dari majikannya seperti seorang teman. “Haruskah aku izin padamu dulu jika ingin menemui anakku sendiri,” ketus tuan Alan seraya memasang wajah kesal. Bi Asti tertawa kecil, membuat Zia bingung. Bagaimana bisa bi Asti berani membuat ayah majikannya marah?
“Jangan hiraukan saya, Nona ...,”“Nona Zia, Tuan Alan,” sambung bi Asti, tampaknya lelaki itu belum menangkap jelas nama gadis di hadapannya. “Oh, Nona Zia. Tolong jangan hiraukan saya, yah! Saya hanya ingin mengunjungi anak saya saja, tapi sepertinya Sean sudah berangkat,” tuan Sean menyambung penjelasannya.Zia melebarkan senyumannya, sedangkan wajahnya makin terlihat kebingungan. Ia lantas memilih berbalik bergerak menuju meja makan, mengikuti gerakan tangan tuan Alan yang memintanya mengabaikan lelaki itu dan bi Asti. Setelah Zia benar-benar membelakangi tuan Alan dan bi Asti, mereka berdua langsung berbalik juga.“Jangan buat gadis itu canggung!” Suara tuan Alan yang memberi perintah pada bi Asti dapat tertangkap jelas pada indera pendengaran Zia. Namun, suara keluhan cacing dalam perutnya kembali terdengar. Ia pun memilih fokus pada tugasnya, meredamkan bunyi cacing sebelum fokus pada pekerjaannya.Benar, Zia belum sempat menyelesaikan hasil interview nya tadi malam dengan Se
“Cukup, Nyonya!” Suara Zia tak terlalu tinggi dan juga tak terlalu rendah, tetapi langsung membuat nyonya Felicia dan tuan Alan terkejut. Begitu juga dengan Niko, ia makin menatap Zia penuh curiga. Mereka bertiga menatap Zia heran. Zia sadar diri, memang dirinya tidak selevel dengan Sean. Alasan itu juga yang membuat dirinya merasa rendah diri saat Sean menunjukkan rasa suka dan pedulinya. Namun, ucapan Niko dan nyonya melukai harga dirinya.“Tuan Sean yang meminta saya menjadi penulisnya dan meminta saya tinggal di sini karena lebih memudahkan tuan Sean saat saya harus melakukan sesi interview kalau tuan Sean sudah di rumah. Pastinya Nyonya tahu kalau tuan Sean selalu sibuk ‘kan?” terang Zia menahan rasa sesak di dadanya. “Saya sadar diri kalau saya memang tidak sekelas dengan tuan Sean, tetapi keberadaan saya di sini karena pekerjaan saya sebagai seorang penulis bukan seorang penggoda seperti yang nyonya sangkakan,” pungkasnya.Gadis itu memutar sedikit tubuhnya menghadap tuan Ala
“Ada apa, Pak Sadin?” tanya Sean saat asisten pribadinya berdiri di hadapan ruang kerjanya dengan tatapan cemas.“Saya dapat telpon keluhan dari rumah sakit. Bu Resa mengamuk karena tidak bisa mendapatkan informasi tentang pak Darul,” jawab pak Sadin dengan nada berat.Kemudian pak Sadin memberikan tablet yang sedari tadi berada di tangannya pada Sean. Isinya dari kamera pengintai di rumah sakit tempat Darul dirawat. Sean menghembuskan napas berat, lalu memberikan kembali tablet tersebut.“Hari ini saya tidak ada jadwal meeting ‘kan? Antar saya ke rumah sakit!” pinta Sean seraya merapihkan tumpukkan file di hadapannya. “Saya tidak boleh menyusahkan tempat umum!” imbuhnya.“Baik, Tuan!”Sejujurnya Sean memang berencana untuk menemui Resa, ibunya Zia. Mungkin saja ia bisa membujuk wanita itu untuk berubah, walaupun ia tak yakin saat melihat penampilannya dulu. Namun, jika berusaha sedikit saja, siapa tahu wanita itu bisa tersentuh.Seperti biasa, pak Sadin tak pernah banyak bicara selam
Sean mendesis, menahan rasa kesal dan miris. Wanita di hadapannya terlihat antusias, ia bahkan menopang dagunya dan menatap nakal pada Sean. Lantas Resa memainkan ujung rambutnya rambutnya yang diwarnai dengan warna coklat muda, lalu kembali tersenyum nakal. “Sepertinya kamu sangat tergila-gila pada Zia?” goda Resa dengan nada nakal. “Biarkan aku menemui Zia! Akan aku ajari beberapa tips untuk memuaskanmu, Tampan,” Lelaki muda di hadapan Resa menurunkan tumpangan kakinya. Ia memajukan sedikit bahunya dan meletakkan tangan kanannya di atas meja, seraya menatap wajah Resa yang makin antusias. Sean tersenyum sebentar padanya. “Benar! Saya memang tergila-gila pada Zia, karena itu saya membawanya ke tempat yang aman agar Zia bisa hidup tenang, tanpa gangguan,” ucap Sean tegas diakhiri senyuman memaksa. “Gangguan?” Resa memutar kedua bola matanya. Ia terlihat mencerna ucapan Sean, kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Maksudnya aku gangguan untuk Zia?” Sean tersenyum tipis. Tampaknya Resa
“Mas, aku berkata seperti itu demi kebaikan Sean. Jangan sampai Sean salah bergaul, kamu tidak lihat bagaimana gadis itu? Wajahnya saja terlihat seperti gadis penggoda, beda dengan Agne—““Cukup!” sentak tuan Alan menghentikan ucapan nyonya Felicia.Wanita masih belum selesai dengan argumentasinya tentang Zia. Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil, nyonya Felicia terus memberikan alasan atas pembenaran tindakannya.Sayangnya, hal tersebut membuat tuan Alan makin geram.“Mas, ka—kamu. Kamu tega membentak aku?” suara nyonya Felicia lirih diikuti ekspresi wajahnya yang murung.Tuan Alan menarik napas panjang. Ia melirik wanita di sampingnya. Bukan maksudnya membentak istrinya. “Aku tidak berniat membentakmu. Hanya saja aku tidak suka kamu ikut campur masalah pribadinya Sean,” jelasnya.“Aku tahu, niatmu baik. Tapi, aku percaya pada Sean. Dia sudah dewasa dan bisa memilih jalannya sendiri,” sambung tuan Alan seraya memutar sedikit tubuhnya menghadap nyonya Felicia. “Biarkan Sean deng