Sayangnya bi Asti tak memenuhi janjinya pada Zia. Setelah satu jam mengantarkan gadis itu pada kamarnya, ia menghubungi Sean dan mengabarkan kondisi gadis tersebut. Tentu saja, lelaki itu bersedia pulang hanya untuk memeriksa kondisi gadis kecilnya.
Sean tak hanya pulang seorang diri. Ia datang dengan dokter pribadinya. Sama seperti dugaan Zia, Sean juga mengira sakitnya Zia karena efek samping obat perangsang. Ia menceritakan hal tersebut pada dokter pribadinya.
“Maafkan saya, Tuan. Kalau sudah membuat Tuan khawatir, tapi tadi nona Zia benar-benar pucat sekali,” adu bi Asti dengan tatapan cemasnya.
“Tidak apa-apa, Bi Asti. Saya seharusnya berterima kasih, kamu sudah menjaga Zia,” sahut Sean ramah. Kemudian Sean menoleh pada dokter lelaki di sampingnya.
“Sepertinya efek demam, jadi ucapanmu ngelantur,” ucap Sean seraya bangkit dari duduknya di tepi ranjang. “Sebaiknya kamu istirahat saja dan jangan banyak pikiran!”Sean bahkan tak menatap wajah Zia yang tengah menatapnya lemas. Lelaki itu memilih merapikan selimut pada tubuh gadis kecilnya, menyembunyikan rasa marah dan kesalnya. Tangan Zia langsung meraih tangan pamannya sebelum lelaki itu memutar tubuhnya.“Paman, marah padaku?” tanya Zia lirih.Pamannya terdiam. Sean masih enggan menatap wajah gadis kecilnya. Ia bahkan mengalihkan pandangannya pada botol infus di dekat kepalanya seraya mengatur napasnya agar emosinya mereda.“Sudahlah, istirahat saja!” pinta Sean memberanikan diri menatap Zia.Zia menatap lesu pada lelaki di hadapannya. “Paman, jangan marah padaku! Aku hanya—““Hanya
Zia tersenyum. Sayangnya Sean hanya terdiam. Ia seperti tengan mencari kesungguhan pada wajah gadis kecilnya. Hingga Zia pun memasang wajah sedih.“Paman, nggak percaya padaku?” pancing Zia.Sean berdesis pelan, kemudian tersenyum. “Tapi kamu harus janji kalau—““Aku janji, Paman. Aku tidak akan mengatakan kalimat itu lagi, aku janji akan tetap berada di samping Paman dan menemani Paman,” Zia memasang wajah sungguh-sungguh. “Paman percaya ‘kan padaku?”Sean tersenyum. Ia lalu mengangguk setelah yakin dengan ucapan gadis kecilnya. Kemudian ia mendekatkan satu tangannya pada wajah Zia, menghapus sisa air mata pada kedua pipi gadis kecilnya.“Saya harus pergi ke kantor lagi, kamu istirahat yah!” ucap Sean lembut dan langsung dijawab anggukan Zia.Zia membawa tangan kiri Sean yang berada dala
“Pekerjaan? Kamu jangan mencoba mengubah topik, Sean! Aku tahu siapa kamu. Kamu belum pernah bersikap seperti ini pada seorang gadis,” cicit dokter Ryan.Tangan Sean merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah plastik berisi botol beling kecil, lalu memberikannya pada dokter di sampingnya. Dokter Ryan mengerutkan dahinya seraya menerima pemberian sahabatnya. Ia lalu menatap Sean bingung.“Itu adalah botol yang berisi obat perangsang. Seharusnya makanan yang sudah dicampur obat perangsang itu aku yang memakannya, tetapi gadis itu lah yang memakannya. Seharusnya saya yang memakan hidangan berisi obat perangsang itu,” terang Sean lugas.Kedua bola mata lelaki di sampingnya membulat sempurna. Ia menatap tajam dan teliti pada botol super kecil yang terbungkus plastik. Sean memperhatikan wajah dokter Ryan dengan seksama.“Jadi gadis itu...,” dokter Ryan tak meneruskan ka
Indera penglihatan Sean mengikuti arah telunjuk pak Sadin. Kedua bola mata lelaki tampan itu membulat sempurna. Ia tampak terkejut seperti asisten pribadinya.“Tiara Dewi?” “Benar, Tuan. Saya yakin itu nona Tiara Dewi, pelayan yang menerobos masuk ke kamar rahasia Tuan Sean,” pak Sadin membenarkan dugaan atasannya. “Perlukan saya keluar untuk mematikannya?”Sean mengangkat tangan kanannya, isyarat tak menyetujui penawaran pak Sadin. Ia lantas mengatur napasnya sejenak. Sementara indera penglihatannya terus menatap pada wanita tersebut. Tiara, pelayan yang sudah ia pecat tengah menemui seorang lelaki. Sean meneliti lebih jeli pada wajah lelaki itu. Namun, sayang lelaki yang ditemui Tiara memakai topi hitam hingga menutupi matanya. Tak lama senyuman Sean menyimpul tipis saat menyadari wajah Tiara tampak gelisah, dan lelaki yang ditemuinya menaiki motornya, lantas meninggalkan wanita itu. “Ikuti lelaki yang ditemui wanita itu!” perintah Sean saat menyadari Tiara.“Tapi, Tuan. Bagaiman
Tubuh Sean bergerak dari sandaran duduknya. Ia kembali merapikan jas kasualnya. Kemudian Sean menatap pak Sadin dan tersenyum lebar. “Semoga berjalan lancar, Tuan,” ucap pak Sadin membalas senyuman atasannya. “Terima kasih, Pak Sadin,” sahut Sean santai. Pak Sadin langsung keluar dari mobilnya. Kemudian ia bergegas menuju pintu belakang, tempat Sean berada untuk membukakan pintunya. Sean pun keluar dari mobilnya dengan percaya diri. Langkah kaki Sean berjalan penuh wibawa menuju gedung yang dimasuki pemotor tadi. Sementara pak Sadin yang mengekori atasannya, tak kalah menawan dari Sean. Hanya jauh lebih tua dari Sean saja. Saat mendekat pada pintu lobi gedung, pak Sadin mendahului langkah Sean hanya untuk membukakan pintu untuknya. Tentu saja hal itu agar Sean terlihat lebih berwibawa di mata orang lain. Lelaki tua itu juga tak keberatan, karena memang itu adalah salah satu tugasnya. Ternyata pemimpin redaksi gedung tersebut sudah berdiri di dalam lobi. Apalagi kalau bukan untuk
“Bagaimana, Tuan Sean? Apakah ada yang kurang dari anggota staf saya?” pertanyaan pak Simon langsung membuat fokus Sean pada lelaki itu terputus. Cepat-cepat Sean mengukir senyuman lebar dan menatap pak Simon. “Saya menyukai semangat bekerja mereka. Tampaknya mereka fokus dan mencintai pekerjaan mereka ... mm, saya tak melihat wajah penuh beban pada wajah mereka,” jawabnya dan menimpali dengan candaan. Pak Simon tertawa kecil. Tentu saja Sean ikut tertawa kecil pula. Tawa Sean terhenti saat lelaki yang tadi berdiri di depan mesin fotocopy sudah selesai dengan pekerjaannya. Tampaknya jalan satu-satunya yang harus dilewati lelaki itu adalah melintas di hadapan Sean. Ya, itu adalah kesempatan Sean untuk mencari tahu nama lelaki itu. Pak Sadin pun tampaknya bersiap membaca dan menghafalkan namanya pada tanda karyawan yang mengalung pada lehernya. Anwar Fuadi, nama yang berhasil Sean dan pak Sadin ingat. &
Siapa yang tak takut dengan kekuasaan Sean yang bisa saja membungkam sebuah perusahaan kecil di bawahnya. Apalagi ia sudah memberi peringatan saat jumpa pers tadi pagi. Pastinya, lelaki tua di hadapannya panik karena hal tersebut. Sean menghela napas sebentar. "Sa—saya hanya mengikuti berita yang sedang viral saja, Tuan. Redaksi kamu juga menayangkan siaran jumpa pers pagi tadi secara langsung, ‘kan,” pak Simon memberi alasan dengan sedikit gugup. “Saya percaya. Pak Simon tidak usah khawatir!” sahut Sean santai. “Tapi ada satu karyawan pak Simon yang sedikit mengganggu saya,” “Siapa itu, Tuan?” seru pak Simon seraya memajukan sedikit tubuhnya. Sean menggerakan ponsel pak Sadin pada hadapan pak Simon. Ia menunjukkan wajah dan nama penulis artikel. Pak Simon langsung meraih ponsel tersebut dan menatap Sean cemas. “Maafkan saya, Tuan Sean. Sepertinya karyawan saya melakukan kesalahan dan belum menurunkan berita tersebut.” Suara pak Simon bergetar dan langsung menundukkan wajahnya.
Tangan Anwar menekan tanda putar pada layar ponsel Sean. Belum sampai satu menit video itu berlangsung, tangan Anwar langsung menjeda putaran videonya. Bibirnya terlihat gemetar, begitu juga dengan tangannya. “Izinkan saya merangkum alurnya,” ucap Sean seraya menurunkan tumpangan kakinya. Tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi indera penglihatannya menatap tajam pada wajah Anwar.“Flashdisk yang diberikan nona Tiara Dewi adalah hasil perbuatannya menerobos masuk ke kamar rahasia saya, lalu memberikannya kepada Anda untuk dijadikan berita,” Sean menjeda ucapannya. Anwar melongo sesuai dugaanya. “Anda tahu pak Anwar? Dengan video pengakuan nona Tiara Dewi itu sangat cukup membuatnya mendekam di balik jeruji besi dalam waktu yang lama,” pungkasnya.Sean menaikkan bahunya. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan bersikap senyaman mungkin. Sementara wajah Anwar makin panik dan mulai pucat.“Ah, satu hal lagi,” ucapan Sean yang belum tuntas langsung membuat wajah lelaki di hadapann
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te