Tubuh Sean bergerak dari sandaran duduknya. Ia kembali merapikan jas kasualnya. Kemudian Sean menatap pak Sadin dan tersenyum lebar. “Semoga berjalan lancar, Tuan,” ucap pak Sadin membalas senyuman atasannya. “Terima kasih, Pak Sadin,” sahut Sean santai. Pak Sadin langsung keluar dari mobilnya. Kemudian ia bergegas menuju pintu belakang, tempat Sean berada untuk membukakan pintunya. Sean pun keluar dari mobilnya dengan percaya diri. Langkah kaki Sean berjalan penuh wibawa menuju gedung yang dimasuki pemotor tadi. Sementara pak Sadin yang mengekori atasannya, tak kalah menawan dari Sean. Hanya jauh lebih tua dari Sean saja. Saat mendekat pada pintu lobi gedung, pak Sadin mendahului langkah Sean hanya untuk membukakan pintu untuknya. Tentu saja hal itu agar Sean terlihat lebih berwibawa di mata orang lain. Lelaki tua itu juga tak keberatan, karena memang itu adalah salah satu tugasnya. Ternyata pemimpin redaksi gedung tersebut sudah berdiri di dalam lobi. Apalagi kalau bukan untuk
“Bagaimana, Tuan Sean? Apakah ada yang kurang dari anggota staf saya?” pertanyaan pak Simon langsung membuat fokus Sean pada lelaki itu terputus. Cepat-cepat Sean mengukir senyuman lebar dan menatap pak Simon. “Saya menyukai semangat bekerja mereka. Tampaknya mereka fokus dan mencintai pekerjaan mereka ... mm, saya tak melihat wajah penuh beban pada wajah mereka,” jawabnya dan menimpali dengan candaan. Pak Simon tertawa kecil. Tentu saja Sean ikut tertawa kecil pula. Tawa Sean terhenti saat lelaki yang tadi berdiri di depan mesin fotocopy sudah selesai dengan pekerjaannya. Tampaknya jalan satu-satunya yang harus dilewati lelaki itu adalah melintas di hadapan Sean. Ya, itu adalah kesempatan Sean untuk mencari tahu nama lelaki itu. Pak Sadin pun tampaknya bersiap membaca dan menghafalkan namanya pada tanda karyawan yang mengalung pada lehernya. Anwar Fuadi, nama yang berhasil Sean dan pak Sadin ingat. &
Siapa yang tak takut dengan kekuasaan Sean yang bisa saja membungkam sebuah perusahaan kecil di bawahnya. Apalagi ia sudah memberi peringatan saat jumpa pers tadi pagi. Pastinya, lelaki tua di hadapannya panik karena hal tersebut. Sean menghela napas sebentar. "Sa—saya hanya mengikuti berita yang sedang viral saja, Tuan. Redaksi kamu juga menayangkan siaran jumpa pers pagi tadi secara langsung, ‘kan,” pak Simon memberi alasan dengan sedikit gugup. “Saya percaya. Pak Simon tidak usah khawatir!” sahut Sean santai. “Tapi ada satu karyawan pak Simon yang sedikit mengganggu saya,” “Siapa itu, Tuan?” seru pak Simon seraya memajukan sedikit tubuhnya. Sean menggerakan ponsel pak Sadin pada hadapan pak Simon. Ia menunjukkan wajah dan nama penulis artikel. Pak Simon langsung meraih ponsel tersebut dan menatap Sean cemas. “Maafkan saya, Tuan Sean. Sepertinya karyawan saya melakukan kesalahan dan belum menurunkan berita tersebut.” Suara pak Simon bergetar dan langsung menundukkan wajahnya.
Tangan Anwar menekan tanda putar pada layar ponsel Sean. Belum sampai satu menit video itu berlangsung, tangan Anwar langsung menjeda putaran videonya. Bibirnya terlihat gemetar, begitu juga dengan tangannya. “Izinkan saya merangkum alurnya,” ucap Sean seraya menurunkan tumpangan kakinya. Tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi indera penglihatannya menatap tajam pada wajah Anwar.“Flashdisk yang diberikan nona Tiara Dewi adalah hasil perbuatannya menerobos masuk ke kamar rahasia saya, lalu memberikannya kepada Anda untuk dijadikan berita,” Sean menjeda ucapannya. Anwar melongo sesuai dugaanya. “Anda tahu pak Anwar? Dengan video pengakuan nona Tiara Dewi itu sangat cukup membuatnya mendekam di balik jeruji besi dalam waktu yang lama,” pungkasnya.Sean menaikkan bahunya. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan bersikap senyaman mungkin. Sementara wajah Anwar makin panik dan mulai pucat.“Ah, satu hal lagi,” ucapan Sean yang belum tuntas langsung membuat wajah lelaki di hadapann
Sean mengerutkan dahinya. Tentu saja ia tak percaya dengan ucapan lelaki di hadapannya. Ia yakin sekali pasti lelaki di hadapannya memiliki waktu sebentar saja hanya untuk memeriksa isi flashdisk tersebut “Saya berani bersumpah, Tuan!” Anwar meyakinkan Sean dengan sumpahnya. Lelaki itu bahkan kini mengangkat satu tangannya dan menatap Sean dengan tatapan penuh keyakinan. Sean tak menjawab. Ia merogoh saku jasnya lagi mengeluarkan sebuah benda kecil. Kemudian Sean mengambil ponsel miliknya dan memasukkan benda tadi yang merupakan konektor yang bisa menjadi penghubung ponselnya dan flashdisk tersebut. Tentu saja, Sean harus memeriksa kebenaran flashdisk tersebut. Indera penglihatan Sean menatap tajam pada layar ponselnya. Tampaknya ia tak berniat mengedipkan matanya, walaupun satu kali saja. Ia benar-benar fokus memeriksa isi flashdisk tersebut. Anwar terlihat menghembuskan napas lega saat menyadari wajah Sean terlihat lebih tenang. Namun, ia kembali berubah tegang dan panik saat Sea
“Bi Asti?” Suara panggilan Zia menghentikan langkah asisten rumah tangganya Sean. Ia hanya berniat memeriksa keadaan gadis itu setelah Sean lama pergi dalam waktu yang lama. Bi Asti mendekat pada Zia yang kini sudah membuka matanya. “Nona Zia, nggak tidur?” tanyanya dengan tatapan bersalah. Tentu saja wanita paruh baya itu merasa bersalah sudah mengganggu istirahatnya Zia. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Wajahnya kini sudah tak terlalu pucat saat Sean membawa dokter untuknya. “Nona Zia, nggak bisa tidur?” tanya bi Asti lagi dan langsung dijawab anggukan kepala Zia. “Ada apa, Nona? Sepertinya Nona sedang banyak pikiran? Kalau Nona mau cerita, saya bersedia menjadi pendengarnya. Nona, tenang saja, saya bisa jaga rahasia!” pungkasnya diakhiri tawa kecilnya. Zia ikut terkikih. Tampaknya bi Asti pandai merayu dirinya. Perlahan tubuh Zia bergerak naik. Tangan bi Asti refleks membantunya bangun dan mengambilkan satu bantai untuk gadis itu bersandar. “Terima kasih, Bi Asti,” ucap Zia
“Nona Zia pasti tidak menyangka ‘kan kalau takdir kalian ternyata sudah terjalin sejak dulu,” ucapan bi Asti membuat kedua bola mata Zia yang membulat sempurna kembali ke ukuran normal.“Maksud bi Asti?” tanya Zia penasaran.Wanita paruh baya di hadapan gadis manis itu tersenyum tipis. “Pak Darul sudah seperti ayah kedua buat tuan Sean. Tuan Sean muda sangat menghormati pak Darul yang sangat santun dan lembut padanya, walaupun dia hanya seorang sopir,” jawabnya.“Seringnya tuan Alan jarang di rumah dan pak Darul yang selalu menghiburnya. Pak Darul dan saya sama-sama bekerja di rumah tuan Alan di tahun yang sama, jadi kami sering bercerita tentang keluarga masing-masing. Saya tidak menyangka ternyata bisa bertemu dengan Nona Zia, anak teman saya,” ucap bi Asti diakhiri senyuman lebarnya.Zia tersenyum. Kemudian ia kembali tertunduk. Pikirannya masih bercabang.“Lalu bagaimana dengan ayahku dan tuan Sean setelah kepergian nyonya Lucy?” tanya Zia dengan tatapan berat.Bi Asti terdiam sej
Pertanyaan bi Asti membuat gadis itu langsung menaikkan pandangannya. Benar, Zia dan Sean memang saling menyukai. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa rendah diri saat menyadari siapa dirinya dan Sean. Ia hanya mencoba menuruti permintaan ayahnya menjaga lelaki yang menjadi tokoh biografinya.Bukannya Zia tak mau bersama dengan Sean. Namun, pengalamannya sebagai seorang penulis novel romansa. Kisah antara si miskin dan si kaya hanyalah khayalan semata saja. Tentunya ia sudah melakukan beberapa riset untuk semua novelnya, tak ada yang berhasil dengan perbedaan status yang jauh.Mungkin, ia lebih suka menjalani posisinya sebagai sugar baby-nya Sean. Bisa menjaga dan mencintai lelaki tampan itu tanpa bisa memiliki. Kebaikan Sean untuk ayahnya dan juga uang yang sudah ia curi lima tahun lalu sudah sangat cukup untuknya menjaga Sean.“Aku pasti akan menjaga tuan Sean sebisaku, Bi, tapi hanya sebatas itu saja. Waktuku di sin