Perlahan ia menarik kacamata bulat yang masih terselip di atas hidung mungilnya Zia. Ia tak boleh membangunkan gadis kecilnya. Secara perlahan dan hati-hati, ia menggeser tubuh Zia dan meraih pinggang serta kakinya, lalu menggendongnya.
Ya, Sean harus memindahkan tubuh Zia ke atas ranjangnya. Tubuh gadis kecilnya terasa ringan dalam gendongannya, tetapi ia tetap menurunkan tubuh Zia secara perlahan setelah berada di atas kasur empuknya. Tangannya bergerak secara lembut meletakan kepala gadis kecilnya di atas bantal.
Kemudian ia memasukan kakinya Zia ke dalam selimut dan menarik ujung hingga menutupi dada gadis kecilnya. Tangannya menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantiknya Zia. Namun, tiba-tiba ia menghentikan gerak bibirnya yang hendak mengecup bibir mungil gadis kecilnya.
Zia menggeliat diikuti suara seraknya. Perlahan kedua bola matanya terbuka. Ia mengedarkan indera penglihatannya pada sekeliling ruang kamarnya sembari mengumpulkan kesadarannya.“Siapa yang memindahkan aku ke kasur?” tanyanya pada dirinya heran.Gadis itu lalu menoleh pada meja di dekat ranjang empuknya. Tampaknya kesadaran gadis itu mulai terkumpul. Mejanya sudah rapi. Tak ada buku yang terbuka dan laptopnya pun sudah tertutup.“Jangan-jangan paman yang memindahkan aku ke kasur dan merapikan meja,” duganya seraya membawa tubuhnya turun dari ranjang yang dilapisi seprai putih polos.Kakinya langsung melangkah mendekati meja tersebut. Tangannya langsung meraih kertas tempel di atas laptopnya. Tampaknya Sean meninggalkan catatan untuknya.“Selamat pagi, Gadis Kecil. Kamu pasti ketiduran karena menunggu saya pulang? Saya belikan es krim gelato kesukaanmu dan sudah saya masukan ke freezer. Makanlah jika kamu sudah bangun! I love you,”Wajah Zia tersipu malu saat ia membaca tulisan tangan
“Ih, Paman.” Zia makin tersipu malu.Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada bidangnya Sean dan memeluk tubuh lelaki itu erat. Tentu saja ia rindu. Sean lantas mendekapnya erat dan membelai lembut rambut gadis kecilnya.Paginya terasa indah mendapatkan kunjungan dari Zia. Sean menyukainya. “Bagaimana kalau kita menikah hari ini?” usul Sean.Tentu saja Zia terkejut. Ia bahkan langsung melepaskan pelukannya. Gadis manis itu menatap heran wajah lelaki di hadapannya.“Paman lagi ngelamar aku?” tanyanya heran.“Melamar? Saya ngajakin kamu nikah untuk memastikan kamu hanya milik saya,” jawab Sean lugas.“Ya, itu sama aja ajakan lamaran,” jelas Zia diakhiri hembusan napas beratnya.Sean mengerutkan dahinya. Jawaban gadis kecilnya tak sesuai dugaannya. Zia lantas membawa tubuhnya dan mengajaknya d
Pecahan kaca dari gelas porselin memecahkan kemarahan David. Lelaki itu langsung meraih remote kontrol dan mematikan televisi di hadapannya. Berita yang ditayangkan layar datar itulah sumber kemarahannya.“Mas, ada apa?” tanya Clarisa, istrinya yang baru saja muncul di hadapannya.Deru napas lelaki tua itu berpacu dengan cepat. Tangannya mengepal keras. Piring yang berisi roti lapis pendamping kopinya bersiap untuk ia banting ke lantai, tetapi David mengurungkannya. Indera penglihatannya langsung tertuju pada anak gadisnya yang baru saja menuruni tangga dan menghampiri dirinya.“Agnes! Apa kamu masih berniat mendekati Sean?” tanya dengan nada tinggi.Gadis itu tersentak. Tatapan tajam ayahnya membuatnya sedikit ketakutan. “Mem
“Pak Sadin, tolong cari tahu tentang kejadian lima tahun lalu yang melibatkan pengusaha Surya Syailendra bunuh diri!” perintah Sean saat mobil yang membawa dirinya melaju meninggalkan rumahnya.Sean juga menyerahkan ponselnya yang menunjukan sebuah artikel tentang orang tersebut. “Saya merasakan ada yang terlewatkan dari berita itu,” ucapnya setelah pak Sadin yang duduk di sebelahnya menerima ponselnya.Lelaki tua itu langsung membacanya dengan teliti. Sementara Sean kembali fokus pada map yang diberikan pak Sadin sebelumnya. Mereka bersiap menuju tempat untuk menyelesaikan masalah hotelnya yang tertunda karena sengketa tanah.“Tuan sean, ini ada hubungannya dengan tuan David? Kamu yakin akan menyelidikinya?” tanya pak Sadin setelah selesai membaca artikel tersebut.Lelaki tampan di sampingnya menoleh dan menatapnya heran. Sean bahkan mengerutkan keningnya. Wajah asisten, sekaligus sekretarisnya menatapnya cemas dan bingung.“Apa yang kamu cemaskan, Pak Sadin? Apa kamu punya masalah d
Wajah karyawan wanita yang tadi menyambutnya sedikit canggung. Namun, ia langsung mengiyakan perintah Sean dan langsung berbalik meninggalkan mereka. Tak sampai dua menit, karyawan tadi sudah menghampiri mereka.“Silahkan ikut saya, Tuan,” ucapnya ramah seraya mengulurkan tangannya ke arah kanannya.Tentu saja Sean dan pak Sadin langsung mengikutinya memasuki ruangan lain yang berdinding kaca sebagai pembatas ruangan atasannya dan ruang karyawan. Hanya bagian tengahnya yang tertutup warna abu-abu agar orang yang ada di ruangan tersebut tak terlihat. Tampaknya kedua lelaki itu tak mendapatkan sambutan hangat dari pemilik ruangan tersebut.“Silahkan duduk, Tuan!” sambut lelaki yang lebih tua dari Sean sekitar lima tahun. Lelaki itu tersenyum sinis dan tampak mena
“Ah, Paman, turunin aku!”Wajah Zia memerah. Kemudian ia memberontak dalam gendongan Sean, tetapi lelaki itu menguatkan tangannya agar gadis kecilnya tak terlepas dalam gendongannya. Tentu saja, Zia hanya memberontak pelan. Sadar diri, ia tak ingin membuat Sean kelelahan.Hingga akhirnya Zia berhenti memberontak dan memilih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Sean yang sedari tadi tertawa kecil melihat wajah Zia yang memerah. “Kenapa kamu jadi malu-malu begitu. Saya jadi makin nggak sabar buat mandiin kamu,” goda Sean.“Aku beneran malu, Paman. Jangan ngegoda aku!” jawab Zia tanpa menyingkirkan kedua tangannya dari wajahnya.“Malu kenapa?” tanya Sean menghentikan tawanya. “Bukankah saya sudah pernah melihat seluruh tubuhmu.”Zia tersentak. Wajahnya makin meringis di balik kedua telapak tangannya. Tentu saja Sean da
Namun, Sean justru memilih duduk di tempat yang sama dengan Zia. Duduk di sampingnya di atas karpet dan menyandarkan punggungnya pada sofa. Zia menatapnya heran dan penuh tanya. “Ternyata nyaman juga duduk lesehan di bawah,” guman Sean, Seraya merangkul punggung gadis kecilnya. Sean lantas mencondongkan wajahnya, hendak mencium pipi mulusnya Zia yang sedari tadi belum ia sentuh, tetapi gadis kecilnya langsung menahan wajahnya. “Fokus sama tulisan aku dulu!” ujarnya tegas hingga membuat lelaki itu menghela napas panjang. “Malu juga kalau keliatan bi Asti lagi,” tambah Zia seraya membawa wajah Sean memutar pada layar laptopnya. “Memangnya kenapa? Bi Asti juga pernah muda dan pernah pacaran,” protes Sean menahan kesal. “Udah, ah! Aku pengen cepet kelar review-nya, biar tahu mana yang perlu aku revisi,” sahut Zia tegas. Sayangnya Sean tak punya pilihan lain. Waktu gadis kecilnya hanya tinggal satu minggu sebelum kontrak kerjanya berakhir. Ia pun memilih menurut kemauan Zia, review tu
Sean benar-benar meninggalkan gadis kecilnya sendirian di mall yang termasuk mall terbesar di ibukota. Namun, lelaki itu bukan menuju kamar mandi seperti ucapannya pada Zia, melainkan memasuki gerai perhiasan. Ya, Sean berencana membeli cincin untuk melamar gadis kecil kesayangannya.Sementara Zia yang masih mematung memandangi deretan gerai pakaian dan perlengkapan kebutuhan sandang lainnya memasang wajah bingung. Sejujurnya, ia tak terlalu suka dengan keramaian. Melihat banyaknya etalase berbagai jenis pakaiannya membuat kepalanya terasa berdenyut.Namun, ia tak bisa terus mematung sendirian di sana. Akhirnya ia memutuskan melangkahkan kakinya memasuki sebuah toko pakaian pria. Tiba-tiba saja gadis itu teringat akan ayahnya.“Aku udah lama nggak beliin baju buat ayah,” guman Zia seraya memindai deretan rak pakaian di dalam gerai toko.“Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tawar salah satu pramuniaga yang menyadari kemunculan Zia.Gadis itu tersenyum canggung. Rangkaian baju dari kemeja,
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te