“Ih, Paman.” Zia makin tersipu malu.
Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada bidangnya Sean dan memeluk tubuh lelaki itu erat. Tentu saja ia rindu. Sean lantas mendekapnya erat dan membelai lembut rambut gadis kecilnya.
Paginya terasa indah mendapatkan kunjungan dari Zia. Sean menyukainya. “Bagaimana kalau kita menikah hari ini?” usul Sean.
Tentu saja Zia terkejut. Ia bahkan langsung melepaskan pelukannya. Gadis manis itu menatap heran wajah lelaki di hadapannya.
“Paman lagi ngelamar aku?” tanyanya heran.
“Melamar? Saya ngajakin kamu nikah untuk memastikan kamu hanya milik saya,” jawab Sean lugas.
“Ya, itu sama aja ajakan lamaran,” jelas Zia diakhiri hembusan napas beratnya.
Sean mengerutkan dahinya. Jawaban gadis kecilnya tak sesuai dugaannya. Zia lantas membawa tubuhnya dan mengajaknya d
Pecahan kaca dari gelas porselin memecahkan kemarahan David. Lelaki itu langsung meraih remote kontrol dan mematikan televisi di hadapannya. Berita yang ditayangkan layar datar itulah sumber kemarahannya.“Mas, ada apa?” tanya Clarisa, istrinya yang baru saja muncul di hadapannya.Deru napas lelaki tua itu berpacu dengan cepat. Tangannya mengepal keras. Piring yang berisi roti lapis pendamping kopinya bersiap untuk ia banting ke lantai, tetapi David mengurungkannya. Indera penglihatannya langsung tertuju pada anak gadisnya yang baru saja menuruni tangga dan menghampiri dirinya.“Agnes! Apa kamu masih berniat mendekati Sean?” tanya dengan nada tinggi.Gadis itu tersentak. Tatapan tajam ayahnya membuatnya sedikit ketakutan. “Mem
“Pak Sadin, tolong cari tahu tentang kejadian lima tahun lalu yang melibatkan pengusaha Surya Syailendra bunuh diri!” perintah Sean saat mobil yang membawa dirinya melaju meninggalkan rumahnya.Sean juga menyerahkan ponselnya yang menunjukan sebuah artikel tentang orang tersebut. “Saya merasakan ada yang terlewatkan dari berita itu,” ucapnya setelah pak Sadin yang duduk di sebelahnya menerima ponselnya.Lelaki tua itu langsung membacanya dengan teliti. Sementara Sean kembali fokus pada map yang diberikan pak Sadin sebelumnya. Mereka bersiap menuju tempat untuk menyelesaikan masalah hotelnya yang tertunda karena sengketa tanah.“Tuan sean, ini ada hubungannya dengan tuan David? Kamu yakin akan menyelidikinya?” tanya pak Sadin setelah selesai membaca artikel tersebut.Lelaki tampan di sampingnya menoleh dan menatapnya heran. Sean bahkan mengerutkan keningnya. Wajah asisten, sekaligus sekretarisnya menatapnya cemas dan bingung.“Apa yang kamu cemaskan, Pak Sadin? Apa kamu punya masalah d
Wajah karyawan wanita yang tadi menyambutnya sedikit canggung. Namun, ia langsung mengiyakan perintah Sean dan langsung berbalik meninggalkan mereka. Tak sampai dua menit, karyawan tadi sudah menghampiri mereka.“Silahkan ikut saya, Tuan,” ucapnya ramah seraya mengulurkan tangannya ke arah kanannya.Tentu saja Sean dan pak Sadin langsung mengikutinya memasuki ruangan lain yang berdinding kaca sebagai pembatas ruangan atasannya dan ruang karyawan. Hanya bagian tengahnya yang tertutup warna abu-abu agar orang yang ada di ruangan tersebut tak terlihat. Tampaknya kedua lelaki itu tak mendapatkan sambutan hangat dari pemilik ruangan tersebut.“Silahkan duduk, Tuan!” sambut lelaki yang lebih tua dari Sean sekitar lima tahun. Lelaki itu tersenyum sinis dan tampak mena
“Ah, Paman, turunin aku!”Wajah Zia memerah. Kemudian ia memberontak dalam gendongan Sean, tetapi lelaki itu menguatkan tangannya agar gadis kecilnya tak terlepas dalam gendongannya. Tentu saja, Zia hanya memberontak pelan. Sadar diri, ia tak ingin membuat Sean kelelahan.Hingga akhirnya Zia berhenti memberontak dan memilih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Sean yang sedari tadi tertawa kecil melihat wajah Zia yang memerah. “Kenapa kamu jadi malu-malu begitu. Saya jadi makin nggak sabar buat mandiin kamu,” goda Sean.“Aku beneran malu, Paman. Jangan ngegoda aku!” jawab Zia tanpa menyingkirkan kedua tangannya dari wajahnya.“Malu kenapa?” tanya Sean menghentikan tawanya. “Bukankah saya sudah pernah melihat seluruh tubuhmu.”Zia tersentak. Wajahnya makin meringis di balik kedua telapak tangannya. Tentu saja Sean da
Namun, Sean justru memilih duduk di tempat yang sama dengan Zia. Duduk di sampingnya di atas karpet dan menyandarkan punggungnya pada sofa. Zia menatapnya heran dan penuh tanya. “Ternyata nyaman juga duduk lesehan di bawah,” guman Sean, Seraya merangkul punggung gadis kecilnya. Sean lantas mencondongkan wajahnya, hendak mencium pipi mulusnya Zia yang sedari tadi belum ia sentuh, tetapi gadis kecilnya langsung menahan wajahnya. “Fokus sama tulisan aku dulu!” ujarnya tegas hingga membuat lelaki itu menghela napas panjang. “Malu juga kalau keliatan bi Asti lagi,” tambah Zia seraya membawa wajah Sean memutar pada layar laptopnya. “Memangnya kenapa? Bi Asti juga pernah muda dan pernah pacaran,” protes Sean menahan kesal. “Udah, ah! Aku pengen cepet kelar review-nya, biar tahu mana yang perlu aku revisi,” sahut Zia tegas. Sayangnya Sean tak punya pilihan lain. Waktu gadis kecilnya hanya tinggal satu minggu sebelum kontrak kerjanya berakhir. Ia pun memilih menurut kemauan Zia, review tu
Sean benar-benar meninggalkan gadis kecilnya sendirian di mall yang termasuk mall terbesar di ibukota. Namun, lelaki itu bukan menuju kamar mandi seperti ucapannya pada Zia, melainkan memasuki gerai perhiasan. Ya, Sean berencana membeli cincin untuk melamar gadis kecil kesayangannya.Sementara Zia yang masih mematung memandangi deretan gerai pakaian dan perlengkapan kebutuhan sandang lainnya memasang wajah bingung. Sejujurnya, ia tak terlalu suka dengan keramaian. Melihat banyaknya etalase berbagai jenis pakaiannya membuat kepalanya terasa berdenyut.Namun, ia tak bisa terus mematung sendirian di sana. Akhirnya ia memutuskan melangkahkan kakinya memasuki sebuah toko pakaian pria. Tiba-tiba saja gadis itu teringat akan ayahnya.“Aku udah lama nggak beliin baju buat ayah,” guman Zia seraya memindai deretan rak pakaian di dalam gerai toko.“Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tawar salah satu pramuniaga yang menyadari kemunculan Zia.Gadis itu tersenyum canggung. Rangkaian baju dari kemeja,
“Tuan Sean pemilik hotel tempat kita magang?” tanya Bianca berbisik pada Dion.Sean mendesis dan melirik sinis. Ia melirik satu persatu wajah para pembully gadis kecilnya. “Pantas saja saya merasa tidak asing dengan wajah kalian. Besok temui saya di ruang kerja saya!” suaranya penuh penekanan rasa marahnya.“Paman, ayo kita pergi saja!” ajak Zia seraya meraih lengannya.Zia tahu betul kalau Sean tengah marah. Ia tak ingin masalahnya menjadi panjang. Namun, Sean justru meraih tangannya dan menurunkannya, kemudian ia menggenggamnya erat.“Paman? Kamu manggil Tuan Sean paman?” celetuk Raisa menatap heran dan curiga pada Zia. Kemudian ia menatap cemas pada Sean. “Tuan, Tuan Sean tahu nggak siapa ga
“Apa ini surprisenya?” tanya Zia seraya memamerkan cincin pada jari manisnya diikuti senyumannya yang terus mengembang sempurna.“Bukan, itu adalah simbol kalau kamu adalah milik saya dan tidak ada yang berhak memiliki kamu selain saya,” jawab Sean lugas.Zia menaikkan sudut kanan bibirnya, kemudian ia memajukan bibirnya. “Emangnya aku apaan pake dikatain simbol,” protesnya tak terima dengan jawaban Sean.Lelaki beriris keperakkan itu tertawa kecil. Ia tahu, gadis kecilnya menginginkan jawaban lain yang lebih romantis. Sean lalu meraih tangan kiri Zia yang tadi dipamerkan padanya. Kemudian menatap sebentar cincin yang melingkar pada jari manis Zia. Ia mengecupnya lembut punggung tangan gadis kecilnya.“Tentu saja ini lambang cinta saya untukmu. Berlian ini artinya kekuatan, kesuksesan, keagungan. Seperti kamu, Gadis Kecil,” ucap Sean bangga. “Kamu