“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.
Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya. “Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.” “Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.” Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang. Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya. Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup. Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan. Sekarang ia ada dalam posisi serba salah. Dalam hatinya ia berharap rumah tangga majikannya baik-baik saja. Denting pesan masuk membuat Dimas tersentak, buru-buru merogoh saku celananya. [Dim, usahakan pulang temani Erina melahirkan. Selama hamil, kamu sibuk bekerja, setidaknya saat anakmu akan lahir kamu ada di sini.] Dimas menghela nafas panjang membaca pesan dari ibunya. [Iya, Bu. Aku usahakan untuk pulang.] Niat Dimas berubah, ia bukan lagi mengajukan cuti tapi memilih untuk berhenti bekerja. Daripada di sini ia menjadi sumber masalah lebih baik pergi. Ia yakin setelah ini bisa kembali mendapatkan pekerjaan. Karena kejadian bulan kemarin, Dimas jadi tidak mau lagi merantau. Jika bukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mungkin Dimas tidak akan jauh-jauh pergi ke ibu kota. Namun semua sudah terjadi, takdir buruk tidak akan bisa ditolak. *** Semua mata tertuju pada Adeline, ia melenggang seperti di atas catwalk. Tidak akan ada lelaki yang melewatkan untuk menatap bidadari yang lewat di hadapan mereka. Bahkan para perempuan berdecak kagum melihat kecantikan seorang Adeline. Mereka tahu kalau Adeline adalah istri bos mereka jadi tidak ada yang berani mendekati atau sekedar menegur, mereka hanya menunduk hormat saja. Dengan ramahnya Adeline melemparkan senyum pada orang-orang yang dilewatinya. Membuat mereka semakin terpana. “Beruntung ya jadi Pak Bram, istrinya benar-benar seperti bidadari.” “Tampan dan cantik, mereka memang cocok.” “Kalau istrinya seperti Bu Adeline dijamin suami tidak akan selingkuh.” Adelin menyeringai mendengar bisik-bisik itu. Semua orang menganggap hidupnya sempurna padahal aslinya tidak, hidupnya berantakan. Tidak pernah Adeline mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia hanya ingin dicintai oleh suaminya tapi perjuangannya selama lima tahun ini tidak membuahkan hasil. “Suamiku ada di dalam?” tanya Adeline pada sekretaris Bram. “Ada, Bu. Silahkan.” Wanita bernama Nadira itu membukakan pintu untuk istri atasannya. “Terima kasih.” Bram yang terlihat serius di depan layar datar tidak menyadari kedatangan sang istri. “Mas, makan dulu.” Lelaki itu tersentak, ia mendongak. Senyumnya merekah melihat sosok cantik berjalan menghampirinya. “Dari tadi?” Adeline menggeleng. “Aku baru saja sampai. Lanjutkan saja, biar aku suapi ya.” Istri sebaik dia aku sia-siakan, aku beruntung karena tidak kehilangannya. Bram meraih pinggang Adeline dan mendekapnya mesra. “Kamu juga harus makan.” “Bik Atin masak makanan kesukaan kamu, Mas. Sayang sekali aku tidak bisa masak.” Adeline memasang wajah sedih. Bram berdiri, tangannya masih melingkar di pinggang Adeline. “Aku tidak mau kamu berada di dapur, bagaimana kalau kamu terluka? Duduk manis dan temani aku saja, itu sudah cukup.” Bram menyelipkan helaian rambut Adeline ke belakang telinga. “Istriku tidak boleh terluka seujung kukupun.” Kenapa tidak dari dulu kamu begini, Mas. Mungkin aku akan lebih bisa memaafkan. Sekarang tidak ada lagi pintu maaf untukmu, aku menyerah, aku akan mundur setelah kamu merasakan sakitnya jadi aku. Adeline balas mengalungkan tangan di leher Bram membuat jarak mereka semakin dekat. “Istri macam apa yang tidak bisa memanjakan suaminya dengan masakannya.” Bibir Adeline mengerucut. Dengan gemas Bram menjawil hidung mancung istrinya. “Kamu istri terbaik, selama ini mengurusku tanpa mengeluh. Terima kasih masih bertahan, aku janji akan memberikan yang terbaik untukmu. Lusa aku sudah pesan tiket.” Kening Adeline berkerut dalam. “Tiket apa, Mas?” “Untuk bulan madu kita.” “Bulan madu yang tertunda selama lima tahun.” Adeline terkekeh meski hatinya perih. “Maafkan aku.” “Tak masalah, daripada tidak sama sekali. Tapi kamu pasti sibuk, Mas.” “Soal itu tidak usah dipikirkan, kita fokus saja untuk bulan madu kita.” Bram semakin mengikis jarak, hidung mereka bahkan sudah bersentuhan. Belum sempat ia meraup bibir merah muda itu, pintu ruangan dibuka dengan keras dari luar. Keduanya sampai terlonjak. “Brengsek kamu, Mas.” “Mbak, tolong jangan buat keributan di sini.” Nadira mencoba membawa wanita itu keluar. Sedangkan Bram berdiri tegang dengan keringat dingin, ia tidak menyangka jika Sitta akan datang ke kantornya. Padahal Bram sudah tidak lagi memberikan uang setelah mereka benar-benar berpisah, bahkan ia ambil semua kartu debit yang diberikan pada mantan istri keduanya itu. “Nadira, kamu bisa keluar.” “Baik, Bu.” Nadira menutup pintu ruangan itu. Adeline hanya tidak mau ribut di depan orang lain. “Siapa dia, Mas?” Adeline menatap sang suami. Bram tidak kunjung menjawab, ia merasa lidahnya kelu. “Aku istrinya Mas Bram, mau apa kamu?” “Oh.” Adeline menatap Sitta dari ujung ke ujung, ia tersenyum miring. “Istri keduanya yang tidak diakui itu ya. Sayang sekali. Lima tahun kamu disembunyikan, orang-orang taunya aku istri Mas Bram. Kasihan sekali sudah mati-matian menguasai suamiku malah dibuang begitu saja.” Sitta mengepalkan kedua tangannya, dada wanita itu bergemuruh. Apa yang dikatakan oleh Adeline seperti penghinaan untuknya. Sedangkan Bram sendiri kaget setengah mati karena Adeline ternyata tahu semuanya. ketakutan menyelimuti hati lelaki itu, takut jika akhirnya Adeline akan pergi. “Sayang ....” Adeline mengelus rahang suaminya. “Aku mengerti, Mas. Kamu hanya diperdaya oleh wanita iblis ini ‘kan? Aku percaya padamu.” “Dasar sinting! Kamu itu hanya dimanfaatkan oleh dia!” teriak Sitta. “Dari awal dia milikku sampai kapanpun akan menjadi milikku, jangan harap bisa mendapatkannya. Aku akan membongkar hubunganku dan Mas Bram biar semua orang tahu.” “Hanya wanita murahan yang mengejar suami orang. Dimana harga dirimu sebagai seorang wanita, apa tidak laku sampai menginginkan suami orang.” Adeline tersenyum mengejek. “Sialan!” Plak. Dengan gerakan cepat Sitta melayangkan tamparan pada pipi Adeline. “Sitta!” Plak. Bram membalasnya sampai wanita itu tersungkur dengan sudut bibir yang berdarah. “Jangan pernah berani sentuh istriku. Hubungan kita sudah selesai.” Mata Sitta berkaca-kaca. “Mas, kamu menamparku?” Ia memegangi pipinya yang memanas. Selama berhubungan dengan Bram, baru kali ini lelaki itu menamparnya bahkan di depan Adeline, wanita yang sangat Sitta benci. “Kamu tidak apa-apa, sayang?” Bram menatap khawatir pada Adeline. “Perih, Mas,” rengeknya. Sudut mata wanita itu melihat Sitta yang masih terduduk di lantai. Kau juga harus merasakan bagaimana sakitnya aku. Ini baru permulaan, Sitta. Ada kejutan lainnya untukmu yang akan membuatmu tidak berani memperlihatkan muka di depan orang lain.“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
Adeline membawa Dimas ke rumah sakit. Sekarang yang terpenting mengobati dulu Dimas, bagaimanapun lelaki itu luka begini karenanya. Mana mungkin Adeline tega membiarkan Dimas tidak diobati.“Diam, jangan banyak bicara!” Adeline langsung melotot saat Dimas baru saja buka mulut untuk bicara.Mau tidak mau Dimas mengurungkan niatnya. Rasanya perih saat bicara karena kondisi kedua sudut bibirnya yang terluka.Ponsel Adeline dari tadi tidak berhenti berdering, ia sampai kesal dan memutuskan untuk menonaktifkan benda pipih itu.Untuk sekarang Adeline hanya ingin pergi jauh dari tempat ini. Pengkhianatan Bram, perlakuan papinya yang kasar sudah membuat luka di hatinya. Adeline ingin menyembuhkan luka hatinya itu agar bisa melanjutkan hidup dengan benar.Bagaimanapun ada bayi dalam kandungannya. Meski sudah jelas itu anak Dimas, tapi tidak ada niatan Adeline untuk menggugurkannya. Ia akan mempertahankan kehamilannya apapun situasinya, meski Dimas tidak akan mengakui. Itu bukan masalah bagi Ad
Bram duduk termenung, ia masih belum beranjak dari ruang kerjanya semenjak mertuanya pamit pulang. Ia sudah janji akan menyelesaikan masalahnya sendiri.Masih ada sisa kemarahan dalam hati wanita itu, kecewa sudah pasti. Siapapun yang mendapatkan pengkhianatan akan merasa sakit, itulah yang dirasakan Adeline dan sekarang Bram mengalaminya sendiri.Lelaki itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Andai kau tidak bodoh dengan memilih Sitta, Adeline tidak akan seperti ini.”Bram tidak menyalahkan Adeline, ia tahu istrinya seperti ini berawal karena sikapnya juga. Bertahun-tahun mengacuhkan keberadaan wanita itu, tidak pernah dianggap bahkan tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri. Mereka seperti orang asing yang tak sengaja tinggal satu atap.Untuk pertama kalinya, lelaki tak berperasaan itu meneteskan air mata.“Sakit yang kamu rasakan pasti lebih dari ini, maafkan aku.”Lelaki sejati memang seharusnya seperti ini, mengakui kesalahannya. Jangan mencari kambing h
Dimas dan Adeline tersentak, mereka buru-buru menuju sumber suara.Erina buru-buru mengusap pipinya yang basah, ia mengulum senyum meski hatinya seperti dirajam.“Maaf, tanganku licin tadi. Jadi piringnya jatuh, padahal ini rujak untuk Mbak Adel.” Saat ini, Erina memilih diam, ia tidak mau salah paham. Lebih baik cari tahu lebih dulu daripada langsung menuduh.“Ya ampun. Kamu duduk saja di depan, biar aku yang bereskan.” Dimas berjongkok untuk membersihkan lantai.“Maaf ya, Mas.”“Tidak apa. Kamu temani saja Nyonya Adel, biar aku selesaikan masakannya juga.”Jantung Dimas berdetak tidak karuan, ia benar-benar takut Erina mendengar semuanya.“Kamu jadi repot karena aku, Mas.”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu ke depan saja.”Erina mengangguk, ia membawa Adeline kembali ke ruang tamu, wanita itu juga tampak gelisah karena takut Erina tahu. Adeline tidak sejahat itu untuk merebut Dimas, ia hanya asal bicara saja.Adeline pernah merasakan kebahagiananya dihancurkan dan ia tidak akan mungkin ber
“Hamili aku.”Deg. Tubuh Dimas langsung menegang mendengar permintaan istri majikannya. Permintaan yang terdengar gila di telinga Dimas.Dimas menunduk tak sanggup menatap mata sang nyonya.“Kenapa diam?”“Anda lucu, Nyonya.” Lelaki tampan itu tertawa hambar untuk menutupi kegugupannya.“Dimas, tatap aku. Apa menurutmu aku bercanda?” Jari telunjuknya yang halus mengangkat dagu Dimas hingga mata mereka bertemu.Darah Dimas berdesir hebat, lututnya bahkan langsung lemas. Bagaimana tidak. Ia melihat dengan jarak sangat dekat wanita cantik dengan kulit seputih salju, matanya bulat dan bening, rambutnya hitam bergelombang dan bibirnya yang merekah indah membuat lelaki manapun tertarik untuk mengecupnya. Tubuhnya tinggi semampai, berisi dan terlihat sangat seksi. Fisiknya pasti menjadi impian setiap wanita.Fisiknya hampir tanpa cela.“Nyonya, saya-”“Aku tidak menerima penolakan, Dimas.”Kecupan singkat mendarat di sudut bibir Dimas membuat lelaki itu benar-benar lemas, jantung lelaki itu
“Buang ponselmu itu. Kenapa kau tidak bisa dihubungi hah?”Ada kelegaan yang dirasakan Dimas, ia pikir Bram tahu soal perbuatannya tadi malam. Ternyata marah karena Dimas tidak bisa dihubungi.“Maaf, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi.”Bram melangkah menuju kamar. Ia melihat istrinya terbaring dengan tubuhnya dibalut selimut.“Kamu sakit?”“Tidak. Hanya masih mengantuk,” sahutnya.Lelaki itu mengernyit heran karena tidak biasanya istrinya menjadi pemalas seperti ini. Adeline sangat rajin kalau soal mengurus suaminya. Ia selalu menunggu Bram pulang kerja, menyiapkan pakaian dan juga makanan meski bukan Adeline yang memasak. Ia sangat anti dengan peralatan dapur.Saat lahir ia sudah disuapi dengan sendok emas, tidak pernah melakukan pekerjaan rumah sekecil apapun. Dia diratukan oleh keluarganya dan sekarang menunggu diratukan oleh suaminya tapi setelah lima tahun menikah tidak kunjung mendapatkan apa yang menjadi haknya.Perannya sudah sangat mengesankan sebagai seorang istri tap
Dimas dan Adeline tersentak, mereka buru-buru menuju sumber suara.Erina buru-buru mengusap pipinya yang basah, ia mengulum senyum meski hatinya seperti dirajam.“Maaf, tanganku licin tadi. Jadi piringnya jatuh, padahal ini rujak untuk Mbak Adel.” Saat ini, Erina memilih diam, ia tidak mau salah paham. Lebih baik cari tahu lebih dulu daripada langsung menuduh.“Ya ampun. Kamu duduk saja di depan, biar aku yang bereskan.” Dimas berjongkok untuk membersihkan lantai.“Maaf ya, Mas.”“Tidak apa. Kamu temani saja Nyonya Adel, biar aku selesaikan masakannya juga.”Jantung Dimas berdetak tidak karuan, ia benar-benar takut Erina mendengar semuanya.“Kamu jadi repot karena aku, Mas.”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu ke depan saja.”Erina mengangguk, ia membawa Adeline kembali ke ruang tamu, wanita itu juga tampak gelisah karena takut Erina tahu. Adeline tidak sejahat itu untuk merebut Dimas, ia hanya asal bicara saja.Adeline pernah merasakan kebahagiananya dihancurkan dan ia tidak akan mungkin ber
Bram duduk termenung, ia masih belum beranjak dari ruang kerjanya semenjak mertuanya pamit pulang. Ia sudah janji akan menyelesaikan masalahnya sendiri.Masih ada sisa kemarahan dalam hati wanita itu, kecewa sudah pasti. Siapapun yang mendapatkan pengkhianatan akan merasa sakit, itulah yang dirasakan Adeline dan sekarang Bram mengalaminya sendiri.Lelaki itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Andai kau tidak bodoh dengan memilih Sitta, Adeline tidak akan seperti ini.”Bram tidak menyalahkan Adeline, ia tahu istrinya seperti ini berawal karena sikapnya juga. Bertahun-tahun mengacuhkan keberadaan wanita itu, tidak pernah dianggap bahkan tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri. Mereka seperti orang asing yang tak sengaja tinggal satu atap.Untuk pertama kalinya, lelaki tak berperasaan itu meneteskan air mata.“Sakit yang kamu rasakan pasti lebih dari ini, maafkan aku.”Lelaki sejati memang seharusnya seperti ini, mengakui kesalahannya. Jangan mencari kambing h
Adeline membawa Dimas ke rumah sakit. Sekarang yang terpenting mengobati dulu Dimas, bagaimanapun lelaki itu luka begini karenanya. Mana mungkin Adeline tega membiarkan Dimas tidak diobati.“Diam, jangan banyak bicara!” Adeline langsung melotot saat Dimas baru saja buka mulut untuk bicara.Mau tidak mau Dimas mengurungkan niatnya. Rasanya perih saat bicara karena kondisi kedua sudut bibirnya yang terluka.Ponsel Adeline dari tadi tidak berhenti berdering, ia sampai kesal dan memutuskan untuk menonaktifkan benda pipih itu.Untuk sekarang Adeline hanya ingin pergi jauh dari tempat ini. Pengkhianatan Bram, perlakuan papinya yang kasar sudah membuat luka di hatinya. Adeline ingin menyembuhkan luka hatinya itu agar bisa melanjutkan hidup dengan benar.Bagaimanapun ada bayi dalam kandungannya. Meski sudah jelas itu anak Dimas, tapi tidak ada niatan Adeline untuk menggugurkannya. Ia akan mempertahankan kehamilannya apapun situasinya, meski Dimas tidak akan mengakui. Itu bukan masalah bagi Ad
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya.“Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.”“Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.”Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang.Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya.Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup.Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan.Sekarang ia ada dalam posisi s
Sekali bertindak, Adeline bisa langsung mengetahui semuanya bahkan hanya dalam waktu lima menit saja. Lima tahun ini ia sudah cukup sabar dan diam, rasa cintanya pada Bram yang mulai muncul harus dimusnahkan karena lelaki itu tak punya perasaan.Adeline hanya mencinta seorang diri. Wanita tulus pun akan pergi saat keberadaannya tak dihargai.“Lepas, Nyonya. Tangan Nyonya terluka.” Bik Asih cemas karena darah terus mengucur dan Adeline tak kunjung melepaskan pisau itu dari tangannya.Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit karena luka di tangannya tidak sebanding dengan luka di hatinya yang kembali disiram air garam.“Nyonya, Bibik mohon lepas, Nya.” Bik Atin semakin ketakutan.Wanita cantik itu menarik napas dalam-dalam, genggaman tangannya mengendur hingga pisau penuh darah itu terjatuh.“Dimas, Dimas!” Bik Atin memanggil Dimas.Dimas berlari dari kamarnya. Ia terbelalak melihat kondisi tangan Adeline dan darah yang mengotori meja dapur.“Siapkan mobil. Kita bawa Nyonya ke
Dimas tertegun, ia buru-buru menjauh.Astaghfirullah. Apa yang kau lakukan, Dimas!Lelaki itu merutuki dirinya karena terbawa suasana sampai menenangkan Adeline dengan cara memeluk wanita itu.Adeline menyeringai. “Sudah kuduga.” Ia beranjak, naik ke atas ranjang dan meringkuk di sana.Sedangkan Dimas menunggu di ambang pintu. Art yang seharusnya selalu di rumah tadi sempat pergi ke apotik, Dimas menunggunya kembali untuk membersihkan kamar Adeline.Bagaimanapun ia tidak akan mungkin berlama-lama di kamar majikannya. Kejadian saat itu kembali berputar di benak Dimas membuat ia kembali merasa bersalah. Rasanya ia ingin memutar waktu agar tidak melakukan kesalahan fatal itu.Dengan gelisah Dimas berdiri kaku di sana. Jika ditinggalkan, Dimas takut Adeline kembali nekat. Ia tidak tahu sedalam apa luka batin sang nyonya sampai hampir melakukan hal gila.“Tutup pintunya dan pergi, Dimas!”Mendengar perintah itu Dimas tersentak. “Tapi, Nyo-”“Aku tidak suka mengulang perintah.”Dimas menutu