Sekali bertindak, Adeline bisa langsung mengetahui semuanya bahkan hanya dalam waktu lima menit saja. Lima tahun ini ia sudah cukup sabar dan diam, rasa cintanya pada Bram yang mulai muncul harus dimusnahkan karena lelaki itu tak punya perasaan.
Adeline hanya mencinta seorang diri. Wanita tulus pun akan pergi saat keberadaannya tak dihargai. “Lepas, Nyonya. Tangan Nyonya terluka.” Bik Asih cemas karena darah terus mengucur dan Adeline tak kunjung melepaskan pisau itu dari tangannya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit karena luka di tangannya tidak sebanding dengan luka di hatinya yang kembali disiram air garam. “Nyonya, Bibik mohon lepas, Nya.” Bik Atin semakin ketakutan. Wanita cantik itu menarik napas dalam-dalam, genggaman tangannya mengendur hingga pisau penuh darah itu terjatuh. “Dimas, Dimas!” Bik Atin memanggil Dimas. Dimas berlari dari kamarnya. Ia terbelalak melihat kondisi tangan Adeline dan darah yang mengotori meja dapur. “Siapkan mobil. Kita bawa Nyonya ke rumah sakit.” “Tidak. Aku baik-baik saja.” Adeline mengulum senyum, ponsel di tangannya dia taruh dengan kasar. “Kalau sampai ada apa-apa nanti Bibik dan Dimas yang dipecat, Nyonya. Kita ke rumah sakit ya.” Itu cara ampuh Bik Atin untuk membujuk sang nyonya. Akhirnya Adeline menyerah, ia tahu dirinya tidak boleh lemah. * “Ini tangan kamu kenapa sebenarnya?” Bram yang biasanya tak peduli kini tampak khawatir. “Hanya luka kecil, Mas.” Adeline mengulas senyum manis menyembunyikan luka hatinya yang menganga. “Bik Atin hanya bilang kamu dibawa ke rumah sakit. Tidak bilang penyebabnya.” Adeline menatap lelaki itu dengan sorot mata sendu. “Kamu masih marah padaku, Mas?” Bram menghela napas berat, ia ingat tadi malam meninggalkan Adeline dalam keadaan marah. Lelaki itu berlutut, menggenggam tangan sang istri. Melihat itu membuat Adeline mengernyit heran karena Bram tidak pernah seperti ini. “Maafkan aku. Aku sedang banyak pikiran dan melampiaskannya padamu. Aku janji tidak akan begitu lagi.” “Tidak apa, Mas. Aku juga yang salah karena tidak tahu situasi. Mas sudah sarapan?” Tangan wanita itu terangkat mengusap rahang tegas sang suami. Darah Bram tiba-tiba berdesir, ia tidak pernah seintim ini dengan Adeline. Ditatapnya wajah ayu sang istri, mata sendu dan bibir merekah indah. Bodoh sekali aku selama ini. Kenapa aku mengabaikannya karena wanita yang bahkan tidak pernah menghargaiku. Sebelum terlambat, aku akan memperbaiki hubunganku dengan Adel. Ketampanannya di atas rata-rata, banyak wanita yang mengincarnya meski dijadikan selir. Tapi Bram bukan lelaki yang akan sembarangan berhubungan dengan wanita, meskipun itu dulu sebelum menikah. Bram setia pada orang yang salah, Sitta tidak pernah menghargainya. Malah Bram yang selalu dikendalikan wanita itu. Mereka sudah sepuluh tahun bersama dan Sitta selalu mendominasi hingga akhirnya Bram ada di titik lelah dan memilih menyerah. Tadi malam, ia sudah mengakhiri hubungannya dengan Sitta. Dan Adeline tahu itu, ia hanya diam tidak mengatakan apapun soal perselingkuhan Bram meski rasanya ingin sekali berteriak memaki lelaki itu. Menancapkan kuku di wajah rupawan Bram. “Mas, kenapa melamun?” “Kita cari sarapan di luar ya.” “Di luar?” “Iya. Kamu mau sarapan apa?” “Mas, kamu ‘kan harus ke kantor. Bagaimana kalau nanti saja makan siang, aku akan bawa bekal ke kantor?” Adeline memasang tampang seceria mungkin. Pernah sekali Adeline datang ke kantor Bram saat awal-awal menikah tapi tidak mau lagi karena terlanjur sakit hati, lelaki itu memilih untuk makan di luar, katanya bersama klien padahal bersama Sitta. “Ya sudah. Kalau begitu aku mandi dulu.” Kecupan mendarat di kening Adeline membuat jantungnya berdenyut nyeri. Andai Bram tidak selingkuh, ia akan sangat bahagia diperlakukan semanis ini oleh semuanya. Tapi kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Suka atau tidak, Adeline harus menerimanya. “Apa semua lelaki begitu? Harus punya pemain utama dan juga cadangan.” Adeline menyeringai. * “Dim, kunci mobil mana?” “Nyonya mau kemana? Biar saya antar.” “Tidak usah. Aku pergi sendiri, aku mau ke kantor suamiku.” Dimas gegas mengambilkan kunci mobil dan menyerahkannya pada sang nyonya. “Nyonya.” Langkah Adeline terhenti. Wanita itu berbalik. “Tidak usah lagi membahas yang pernah terjadi, kecuali kau menginginkannya lagi.” Dimas tersentak dengan perkataan Adeline yang diluar dugaan. Buru-buru ia mengalihkan pembicaraan. “Bukan itu. Saya mau izin pulang kampung, dua bulan lagi istri saya melahirkan.” “Terserah.” Adeline menjawab singkat lalu melangkah menjauh. “Kok terserah? Dimas meringis. Ia jadi bingung dengan maksud kata terserah itu, ia tahu wanita itu kadang mengatakan sesuatu yang tidak sesuai keinginannya. Semua wanita sama. Masalahnya tadi Dimas sudah izin pada Bram dan lelaki itu mengatakan Dimas izin saja pada Adeline karena Bram masih bisa pergi seorang diri kemana-mana sedangkan Adeline harus ada yang menemani. Bram tidak percaya untuk mencari supir lain, ia tidak tahu saja karyawan yang sangat dipercayanya itu sudah meniduri istrinya. Entah semarah apa lelaki itu saat tahu. “Dim, jangan main-main pada Nyonya Adel.” Dimas terlonjak kaget, mengusap dadanya. “Bibik membuatku kaget saja.” “Bibik lihat waktu itu Nyonya keluar dari kamarmu saat pagi hari. Kalau Tuan Bram tahu mungkin kamu hanya dipecat tapi kalau sampai Papinya Nyonya Adel tahu, mungkin kamu tinggal nama.” Tubuh Dimas menegang, tangannya tiba-tiba dingin.“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya.“Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.”“Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.”Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang.Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya.Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup.Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan.Sekarang ia ada dalam posisi s
“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
Adeline membawa Dimas ke rumah sakit. Sekarang yang terpenting mengobati dulu Dimas, bagaimanapun lelaki itu luka begini karenanya. Mana mungkin Adeline tega membiarkan Dimas tidak diobati.“Diam, jangan banyak bicara!” Adeline langsung melotot saat Dimas baru saja buka mulut untuk bicara.Mau tidak mau Dimas mengurungkan niatnya. Rasanya perih saat bicara karena kondisi kedua sudut bibirnya yang terluka.Ponsel Adeline dari tadi tidak berhenti berdering, ia sampai kesal dan memutuskan untuk menonaktifkan benda pipih itu.Untuk sekarang Adeline hanya ingin pergi jauh dari tempat ini. Pengkhianatan Bram, perlakuan papinya yang kasar sudah membuat luka di hatinya. Adeline ingin menyembuhkan luka hatinya itu agar bisa melanjutkan hidup dengan benar.Bagaimanapun ada bayi dalam kandungannya. Meski sudah jelas itu anak Dimas, tapi tidak ada niatan Adeline untuk menggugurkannya. Ia akan mempertahankan kehamilannya apapun situasinya, meski Dimas tidak akan mengakui. Itu bukan masalah bagi Ad
Bram duduk termenung, ia masih belum beranjak dari ruang kerjanya semenjak mertuanya pamit pulang. Ia sudah janji akan menyelesaikan masalahnya sendiri.Masih ada sisa kemarahan dalam hati wanita itu, kecewa sudah pasti. Siapapun yang mendapatkan pengkhianatan akan merasa sakit, itulah yang dirasakan Adeline dan sekarang Bram mengalaminya sendiri.Lelaki itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Andai kau tidak bodoh dengan memilih Sitta, Adeline tidak akan seperti ini.”Bram tidak menyalahkan Adeline, ia tahu istrinya seperti ini berawal karena sikapnya juga. Bertahun-tahun mengacuhkan keberadaan wanita itu, tidak pernah dianggap bahkan tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri. Mereka seperti orang asing yang tak sengaja tinggal satu atap.Untuk pertama kalinya, lelaki tak berperasaan itu meneteskan air mata.“Sakit yang kamu rasakan pasti lebih dari ini, maafkan aku.”Lelaki sejati memang seharusnya seperti ini, mengakui kesalahannya. Jangan mencari kambing h
Dimas dan Adeline tersentak, mereka buru-buru menuju sumber suara.Erina buru-buru mengusap pipinya yang basah, ia mengulum senyum meski hatinya seperti dirajam.“Maaf, tanganku licin tadi. Jadi piringnya jatuh, padahal ini rujak untuk Mbak Adel.” Saat ini, Erina memilih diam, ia tidak mau salah paham. Lebih baik cari tahu lebih dulu daripada langsung menuduh.“Ya ampun. Kamu duduk saja di depan, biar aku yang bereskan.” Dimas berjongkok untuk membersihkan lantai.“Maaf ya, Mas.”“Tidak apa. Kamu temani saja Nyonya Adel, biar aku selesaikan masakannya juga.”Jantung Dimas berdetak tidak karuan, ia benar-benar takut Erina mendengar semuanya.“Kamu jadi repot karena aku, Mas.”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu ke depan saja.”Erina mengangguk, ia membawa Adeline kembali ke ruang tamu, wanita itu juga tampak gelisah karena takut Erina tahu. Adeline tidak sejahat itu untuk merebut Dimas, ia hanya asal bicara saja.Adeline pernah merasakan kebahagiananya dihancurkan dan ia tidak akan mungkin ber
Selama dua hari Adeline disana tidak ada yang mencurigakan di mata Erina. Hari ini Adeline pindah ke rumah Pak Kades.“Maaf ya, Mbak. Aku tidak bisa antar.”“Aku tidak pindah jauh, nanti aku bisa ‘kan main ke sini?”“Tentu saja, Mbak. Aku senang kalau Mbak Adel mau main ke rumah.”Sekilas mereka seperti teman akrab, tapi di balik itu semua Erina menahan diri untuk tidak memperlihatkan bagaimana perasaannya. Bahkan sampai detik ini, ia belum memiliki jawaban soal hubungan Dimas dan Adeline sebenarnya.Erina tidak bisa mengantar, hanya Dimas dan ibunya yang mengantar.Jarak ke rumah yang akan ditempati juga tidak jauh. Rumah itu sudah siap untuk langsung ditempati.“Bu, minta tolong temani Nyonya Adel ya. Dia sedang ada masalah, jangan dibiarkan sendiri.”“Iya, Ibu pasti menjaganya. Dia dan suaminya sudah sangat baik selama ini padamu.”Bu Imah tentu saja tahu seperti apa baiknya majikan Dimas, karena setiap mendapat bonus pasti Dimas akan memberitahu istri dan ibunya.“Aku pulang dulu
Hati Dimas mencelos melihat istrinya hilang kesadaran, semakin erat ia menggenggam tangan Erina. Dalam hati tak henti melangitkan doa untuk keselamatan istri dan calon bayi mereka.“Bertahan, sayang. Kamu kuat, anak kita juga kuat.” Dimas berbisik di telinga Erina.Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat panjang. Baju Dimas sudah basah karena keringat, ia benar-benar ketakutan melihat kondisi istrinya yang hilang kesadaran.“Tenang ya, Pak. Doakan terus istrinya, Insya Allah baik-baik saja. Bu Erina tidak meminum obat selain dari saya ‘kan?” tanya bidan yang mendampingi.“Kalau soal itu saya kurang tahu, Bu Bidan. Saya baru kembali dari kota.”Bidan itu mengangguk, merasa ada sesuatu yang ganjil karena sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan di tempatnya kondisi Erina sangat baik.Sampai di rumah sakit, Erina langsung ditangani. Dimas menunggu dengan gelisah, ia menyempatkan untuk mengabari ibu dan mertuanya.Karena pendarahan hebat, Erina diharuskan untuk melakukan operasi. “Bu Bi
Selama dua hari Adeline disana tidak ada yang mencurigakan di mata Erina. Hari ini Adeline pindah ke rumah Pak Kades.“Maaf ya, Mbak. Aku tidak bisa antar.”“Aku tidak pindah jauh, nanti aku bisa ‘kan main ke sini?”“Tentu saja, Mbak. Aku senang kalau Mbak Adel mau main ke rumah.”Sekilas mereka seperti teman akrab, tapi di balik itu semua Erina menahan diri untuk tidak memperlihatkan bagaimana perasaannya. Bahkan sampai detik ini, ia belum memiliki jawaban soal hubungan Dimas dan Adeline sebenarnya.Erina tidak bisa mengantar, hanya Dimas dan ibunya yang mengantar.Jarak ke rumah yang akan ditempati juga tidak jauh. Rumah itu sudah siap untuk langsung ditempati.“Bu, minta tolong temani Nyonya Adel ya. Dia sedang ada masalah, jangan dibiarkan sendiri.”“Iya, Ibu pasti menjaganya. Dia dan suaminya sudah sangat baik selama ini padamu.”Bu Imah tentu saja tahu seperti apa baiknya majikan Dimas, karena setiap mendapat bonus pasti Dimas akan memberitahu istri dan ibunya.“Aku pulang dulu
Dimas dan Adeline tersentak, mereka buru-buru menuju sumber suara.Erina buru-buru mengusap pipinya yang basah, ia mengulum senyum meski hatinya seperti dirajam.“Maaf, tanganku licin tadi. Jadi piringnya jatuh, padahal ini rujak untuk Mbak Adel.” Saat ini, Erina memilih diam, ia tidak mau salah paham. Lebih baik cari tahu lebih dulu daripada langsung menuduh.“Ya ampun. Kamu duduk saja di depan, biar aku yang bereskan.” Dimas berjongkok untuk membersihkan lantai.“Maaf ya, Mas.”“Tidak apa. Kamu temani saja Nyonya Adel, biar aku selesaikan masakannya juga.”Jantung Dimas berdetak tidak karuan, ia benar-benar takut Erina mendengar semuanya.“Kamu jadi repot karena aku, Mas.”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu ke depan saja.”Erina mengangguk, ia membawa Adeline kembali ke ruang tamu, wanita itu juga tampak gelisah karena takut Erina tahu. Adeline tidak sejahat itu untuk merebut Dimas, ia hanya asal bicara saja.Adeline pernah merasakan kebahagiananya dihancurkan dan ia tidak akan mungkin ber
Bram duduk termenung, ia masih belum beranjak dari ruang kerjanya semenjak mertuanya pamit pulang. Ia sudah janji akan menyelesaikan masalahnya sendiri.Masih ada sisa kemarahan dalam hati wanita itu, kecewa sudah pasti. Siapapun yang mendapatkan pengkhianatan akan merasa sakit, itulah yang dirasakan Adeline dan sekarang Bram mengalaminya sendiri.Lelaki itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Andai kau tidak bodoh dengan memilih Sitta, Adeline tidak akan seperti ini.”Bram tidak menyalahkan Adeline, ia tahu istrinya seperti ini berawal karena sikapnya juga. Bertahun-tahun mengacuhkan keberadaan wanita itu, tidak pernah dianggap bahkan tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri. Mereka seperti orang asing yang tak sengaja tinggal satu atap.Untuk pertama kalinya, lelaki tak berperasaan itu meneteskan air mata.“Sakit yang kamu rasakan pasti lebih dari ini, maafkan aku.”Lelaki sejati memang seharusnya seperti ini, mengakui kesalahannya. Jangan mencari kambing h
Adeline membawa Dimas ke rumah sakit. Sekarang yang terpenting mengobati dulu Dimas, bagaimanapun lelaki itu luka begini karenanya. Mana mungkin Adeline tega membiarkan Dimas tidak diobati.“Diam, jangan banyak bicara!” Adeline langsung melotot saat Dimas baru saja buka mulut untuk bicara.Mau tidak mau Dimas mengurungkan niatnya. Rasanya perih saat bicara karena kondisi kedua sudut bibirnya yang terluka.Ponsel Adeline dari tadi tidak berhenti berdering, ia sampai kesal dan memutuskan untuk menonaktifkan benda pipih itu.Untuk sekarang Adeline hanya ingin pergi jauh dari tempat ini. Pengkhianatan Bram, perlakuan papinya yang kasar sudah membuat luka di hatinya. Adeline ingin menyembuhkan luka hatinya itu agar bisa melanjutkan hidup dengan benar.Bagaimanapun ada bayi dalam kandungannya. Meski sudah jelas itu anak Dimas, tapi tidak ada niatan Adeline untuk menggugurkannya. Ia akan mempertahankan kehamilannya apapun situasinya, meski Dimas tidak akan mengakui. Itu bukan masalah bagi Ad
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya.“Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.”“Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.”Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang.Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya.Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup.Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan.Sekarang ia ada dalam posisi s