Bram duduk termenung, ia masih belum beranjak dari ruang kerjanya semenjak mertuanya pamit pulang. Ia sudah janji akan menyelesaikan masalahnya sendiri.Masih ada sisa kemarahan dalam hati wanita itu, kecewa sudah pasti. Siapapun yang mendapatkan pengkhianatan akan merasa sakit, itulah yang dirasakan Adeline dan sekarang Bram mengalaminya sendiri.Lelaki itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Andai kau tidak bodoh dengan memilih Sitta, Adeline tidak akan seperti ini.”Bram tidak menyalahkan Adeline, ia tahu istrinya seperti ini berawal karena sikapnya juga. Bertahun-tahun mengacuhkan keberadaan wanita itu, tidak pernah dianggap bahkan tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri. Mereka seperti orang asing yang tak sengaja tinggal satu atap.Untuk pertama kalinya, lelaki tak berperasaan itu meneteskan air mata.“Sakit yang kamu rasakan pasti lebih dari ini, maafkan aku.”Lelaki sejati memang seharusnya seperti ini, mengakui kesalahannya. Jangan mencari kambing h
Dimas dan Adeline tersentak, mereka buru-buru menuju sumber suara.Erina buru-buru mengusap pipinya yang basah, ia mengulum senyum meski hatinya seperti dirajam.“Maaf, tanganku licin tadi. Jadi piringnya jatuh, padahal ini rujak untuk Mbak Adel.” Saat ini, Erina memilih diam, ia tidak mau salah paham. Lebih baik cari tahu lebih dulu daripada langsung menuduh.“Ya ampun. Kamu duduk saja di depan, biar aku yang bereskan.” Dimas berjongkok untuk membersihkan lantai.“Maaf ya, Mas.”“Tidak apa. Kamu temani saja Nyonya Adel, biar aku selesaikan masakannya juga.”Jantung Dimas berdetak tidak karuan, ia benar-benar takut Erina mendengar semuanya.“Kamu jadi repot karena aku, Mas.”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu ke depan saja.”Erina mengangguk, ia membawa Adeline kembali ke ruang tamu, wanita itu juga tampak gelisah karena takut Erina tahu. Adeline tidak sejahat itu untuk merebut Dimas, ia hanya asal bicara saja.Adeline pernah merasakan kebahagiananya dihancurkan dan ia tidak akan mungkin ber
Selama dua hari Adeline disana tidak ada yang mencurigakan di mata Erina. Hari ini Adeline pindah ke rumah Pak Kades.“Maaf ya, Mbak. Aku tidak bisa antar.”“Aku tidak pindah jauh, nanti aku bisa ‘kan main ke sini?”“Tentu saja, Mbak. Aku senang kalau Mbak Adel mau main ke rumah.”Sekilas mereka seperti teman akrab, tapi di balik itu semua Erina menahan diri untuk tidak memperlihatkan bagaimana perasaannya. Bahkan sampai detik ini, ia belum memiliki jawaban soal hubungan Dimas dan Adeline sebenarnya.Erina tidak bisa mengantar, hanya Dimas dan ibunya yang mengantar.Jarak ke rumah yang akan ditempati juga tidak jauh. Rumah itu sudah siap untuk langsung ditempati.“Bu, minta tolong temani Nyonya Adel ya. Dia sedang ada masalah, jangan dibiarkan sendiri.”“Iya, Ibu pasti menjaganya. Dia dan suaminya sudah sangat baik selama ini padamu.”Bu Imah tentu saja tahu seperti apa baiknya majikan Dimas, karena setiap mendapat bonus pasti Dimas akan memberitahu istri dan ibunya.“Aku pulang dulu
Hati Dimas mencelos melihat istrinya hilang kesadaran, semakin erat ia menggenggam tangan Erina. Dalam hati tak henti melangitkan doa untuk keselamatan istri dan calon bayi mereka.“Bertahan, sayang. Kamu kuat, anak kita juga kuat.” Dimas berbisik di telinga Erina.Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat panjang. Baju Dimas sudah basah karena keringat, ia benar-benar ketakutan melihat kondisi istrinya yang hilang kesadaran.“Tenang ya, Pak. Doakan terus istrinya, Insya Allah baik-baik saja. Bu Erina tidak meminum obat selain dari saya ‘kan?” tanya bidan yang mendampingi.“Kalau soal itu saya kurang tahu, Bu Bidan. Saya baru kembali dari kota.”Bidan itu mengangguk, merasa ada sesuatu yang ganjil karena sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan di tempatnya kondisi Erina sangat baik.Sampai di rumah sakit, Erina langsung ditangani. Dimas menunggu dengan gelisah, ia menyempatkan untuk mengabari ibu dan mertuanya.Karena pendarahan hebat, Erina diharuskan untuk melakukan operasi. “Bu Bi
“Hamili aku.”Deg. Tubuh Dimas langsung menegang mendengar permintaan istri majikannya. Permintaan yang terdengar gila di telinga Dimas.Dimas menunduk tak sanggup menatap mata sang nyonya.“Kenapa diam?”“Anda lucu, Nyonya.” Lelaki tampan itu tertawa hambar untuk menutupi kegugupannya.“Dimas, tatap aku. Apa menurutmu aku bercanda?” Jari telunjuknya yang halus mengangkat dagu Dimas hingga mata mereka bertemu.Darah Dimas berdesir hebat, lututnya bahkan langsung lemas. Bagaimana tidak. Ia melihat dengan jarak sangat dekat wanita cantik dengan kulit seputih salju, matanya bulat dan bening, rambutnya hitam bergelombang dan bibirnya yang merekah indah membuat lelaki manapun tertarik untuk mengecupnya. Tubuhnya tinggi semampai, berisi dan terlihat sangat seksi. Fisiknya pasti menjadi impian setiap wanita.Fisiknya hampir tanpa cela.“Nyonya, saya-”“Aku tidak menerima penolakan, Dimas.”Kecupan singkat mendarat di sudut bibir Dimas membuat lelaki itu benar-benar lemas, jantung lelaki itu
“Buang ponselmu itu. Kenapa kau tidak bisa dihubungi hah?”Ada kelegaan yang dirasakan Dimas, ia pikir Bram tahu soal perbuatannya tadi malam. Ternyata marah karena Dimas tidak bisa dihubungi.“Maaf, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi.”Bram melangkah menuju kamar. Ia melihat istrinya terbaring dengan tubuhnya dibalut selimut.“Kamu sakit?”“Tidak. Hanya masih mengantuk,” sahutnya.Lelaki itu mengernyit heran karena tidak biasanya istrinya menjadi pemalas seperti ini. Adeline sangat rajin kalau soal mengurus suaminya. Ia selalu menunggu Bram pulang kerja, menyiapkan pakaian dan juga makanan meski bukan Adeline yang memasak. Ia sangat anti dengan peralatan dapur.Saat lahir ia sudah disuapi dengan sendok emas, tidak pernah melakukan pekerjaan rumah sekecil apapun. Dia diratukan oleh keluarganya dan sekarang menunggu diratukan oleh suaminya tapi setelah lima tahun menikah tidak kunjung mendapatkan apa yang menjadi haknya.Perannya sudah sangat mengesankan sebagai seorang istri tap
“Del.”Buru-buru wanita cantik itu mengusap pipinya yang basah. Berjalan menghampiri suaminya.“Kenapa, Mas?”“Besok malam kita pergi ke acara pernikahan teman kuliahku.”“Kenapa mendadak, Mas? Aku belum menyiapkan apapun.”“Aku lupa kasih tahu kamu. Aku mau menyelesaikan dulu pekerjaanku.” Bram kembali masuk ke dalam ruang kerjanya.Meski ada di rumah, lelaki itu tetap bekerja. Tidak ada sedikitpun waktu untuk Adeline. Kehadirannya di rumah ini tidak jauh beda dengan art.Lima tahun menikah, Adeline merasa jika ia hanya dijadikan pajangan saja. Bram mengajaknya keluar rumah hanya saat ada acara-acara penting saja, selain itu tidak pernah sekalipun Bram mengajak istrinya sekedar untuk jalan-jalan sore walaupun di sekitar rumah.Adeline sama sekali tidak pernah protes dengan apapun yang dilakukan suaminya. Namun ia mulai lelah karena semua yang dilakukannya seperti tidak ada timbal balik dari Bram. Adeline sudah menjadi istri yang baik, seharusnya Bram membalas dengan hal serupa bukann
Dimas tertegun, ia buru-buru menjauh.Astaghfirullah. Apa yang kau lakukan, Dimas!Lelaki itu merutuki dirinya karena terbawa suasana sampai menenangkan Adeline dengan cara memeluk wanita itu.Adeline menyeringai. “Sudah kuduga.” Ia beranjak, naik ke atas ranjang dan meringkuk di sana.Sedangkan Dimas menunggu di ambang pintu. Art yang seharusnya selalu di rumah tadi sempat pergi ke apotik, Dimas menunggunya kembali untuk membersihkan kamar Adeline.Bagaimanapun ia tidak akan mungkin berlama-lama di kamar majikannya. Kejadian saat itu kembali berputar di benak Dimas membuat ia kembali merasa bersalah. Rasanya ia ingin memutar waktu agar tidak melakukan kesalahan fatal itu.Dengan gelisah Dimas berdiri kaku di sana. Jika ditinggalkan, Dimas takut Adeline kembali nekat. Ia tidak tahu sedalam apa luka batin sang nyonya sampai hampir melakukan hal gila.“Tutup pintunya dan pergi, Dimas!”Mendengar perintah itu Dimas tersentak. “Tapi, Nyo-”“Aku tidak suka mengulang perintah.”Dimas menutu
Hati Dimas mencelos melihat istrinya hilang kesadaran, semakin erat ia menggenggam tangan Erina. Dalam hati tak henti melangitkan doa untuk keselamatan istri dan calon bayi mereka.“Bertahan, sayang. Kamu kuat, anak kita juga kuat.” Dimas berbisik di telinga Erina.Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat panjang. Baju Dimas sudah basah karena keringat, ia benar-benar ketakutan melihat kondisi istrinya yang hilang kesadaran.“Tenang ya, Pak. Doakan terus istrinya, Insya Allah baik-baik saja. Bu Erina tidak meminum obat selain dari saya ‘kan?” tanya bidan yang mendampingi.“Kalau soal itu saya kurang tahu, Bu Bidan. Saya baru kembali dari kota.”Bidan itu mengangguk, merasa ada sesuatu yang ganjil karena sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan di tempatnya kondisi Erina sangat baik.Sampai di rumah sakit, Erina langsung ditangani. Dimas menunggu dengan gelisah, ia menyempatkan untuk mengabari ibu dan mertuanya.Karena pendarahan hebat, Erina diharuskan untuk melakukan operasi. “Bu Bi
Selama dua hari Adeline disana tidak ada yang mencurigakan di mata Erina. Hari ini Adeline pindah ke rumah Pak Kades.“Maaf ya, Mbak. Aku tidak bisa antar.”“Aku tidak pindah jauh, nanti aku bisa ‘kan main ke sini?”“Tentu saja, Mbak. Aku senang kalau Mbak Adel mau main ke rumah.”Sekilas mereka seperti teman akrab, tapi di balik itu semua Erina menahan diri untuk tidak memperlihatkan bagaimana perasaannya. Bahkan sampai detik ini, ia belum memiliki jawaban soal hubungan Dimas dan Adeline sebenarnya.Erina tidak bisa mengantar, hanya Dimas dan ibunya yang mengantar.Jarak ke rumah yang akan ditempati juga tidak jauh. Rumah itu sudah siap untuk langsung ditempati.“Bu, minta tolong temani Nyonya Adel ya. Dia sedang ada masalah, jangan dibiarkan sendiri.”“Iya, Ibu pasti menjaganya. Dia dan suaminya sudah sangat baik selama ini padamu.”Bu Imah tentu saja tahu seperti apa baiknya majikan Dimas, karena setiap mendapat bonus pasti Dimas akan memberitahu istri dan ibunya.“Aku pulang dulu
Dimas dan Adeline tersentak, mereka buru-buru menuju sumber suara.Erina buru-buru mengusap pipinya yang basah, ia mengulum senyum meski hatinya seperti dirajam.“Maaf, tanganku licin tadi. Jadi piringnya jatuh, padahal ini rujak untuk Mbak Adel.” Saat ini, Erina memilih diam, ia tidak mau salah paham. Lebih baik cari tahu lebih dulu daripada langsung menuduh.“Ya ampun. Kamu duduk saja di depan, biar aku yang bereskan.” Dimas berjongkok untuk membersihkan lantai.“Maaf ya, Mas.”“Tidak apa. Kamu temani saja Nyonya Adel, biar aku selesaikan masakannya juga.”Jantung Dimas berdetak tidak karuan, ia benar-benar takut Erina mendengar semuanya.“Kamu jadi repot karena aku, Mas.”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu ke depan saja.”Erina mengangguk, ia membawa Adeline kembali ke ruang tamu, wanita itu juga tampak gelisah karena takut Erina tahu. Adeline tidak sejahat itu untuk merebut Dimas, ia hanya asal bicara saja.Adeline pernah merasakan kebahagiananya dihancurkan dan ia tidak akan mungkin ber
Bram duduk termenung, ia masih belum beranjak dari ruang kerjanya semenjak mertuanya pamit pulang. Ia sudah janji akan menyelesaikan masalahnya sendiri.Masih ada sisa kemarahan dalam hati wanita itu, kecewa sudah pasti. Siapapun yang mendapatkan pengkhianatan akan merasa sakit, itulah yang dirasakan Adeline dan sekarang Bram mengalaminya sendiri.Lelaki itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Andai kau tidak bodoh dengan memilih Sitta, Adeline tidak akan seperti ini.”Bram tidak menyalahkan Adeline, ia tahu istrinya seperti ini berawal karena sikapnya juga. Bertahun-tahun mengacuhkan keberadaan wanita itu, tidak pernah dianggap bahkan tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri. Mereka seperti orang asing yang tak sengaja tinggal satu atap.Untuk pertama kalinya, lelaki tak berperasaan itu meneteskan air mata.“Sakit yang kamu rasakan pasti lebih dari ini, maafkan aku.”Lelaki sejati memang seharusnya seperti ini, mengakui kesalahannya. Jangan mencari kambing h
Adeline membawa Dimas ke rumah sakit. Sekarang yang terpenting mengobati dulu Dimas, bagaimanapun lelaki itu luka begini karenanya. Mana mungkin Adeline tega membiarkan Dimas tidak diobati.“Diam, jangan banyak bicara!” Adeline langsung melotot saat Dimas baru saja buka mulut untuk bicara.Mau tidak mau Dimas mengurungkan niatnya. Rasanya perih saat bicara karena kondisi kedua sudut bibirnya yang terluka.Ponsel Adeline dari tadi tidak berhenti berdering, ia sampai kesal dan memutuskan untuk menonaktifkan benda pipih itu.Untuk sekarang Adeline hanya ingin pergi jauh dari tempat ini. Pengkhianatan Bram, perlakuan papinya yang kasar sudah membuat luka di hatinya. Adeline ingin menyembuhkan luka hatinya itu agar bisa melanjutkan hidup dengan benar.Bagaimanapun ada bayi dalam kandungannya. Meski sudah jelas itu anak Dimas, tapi tidak ada niatan Adeline untuk menggugurkannya. Ia akan mempertahankan kehamilannya apapun situasinya, meski Dimas tidak akan mengakui. Itu bukan masalah bagi Ad
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya.“Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.”“Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.”Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang.Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya.Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup.Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan.Sekarang ia ada dalam posisi s