“Buang ponselmu itu. Kenapa kau tidak bisa dihubungi hah?”
Ada kelegaan yang dirasakan Dimas, ia pikir Bram tahu soal perbuatannya tadi malam. Ternyata marah karena Dimas tidak bisa dihubungi. “Maaf, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi.” Bram melangkah menuju kamar. Ia melihat istrinya terbaring dengan tubuhnya dibalut selimut. “Kamu sakit?” “Tidak. Hanya masih mengantuk,” sahutnya. Lelaki itu mengernyit heran karena tidak biasanya istrinya menjadi pemalas seperti ini. Adeline sangat rajin kalau soal mengurus suaminya. Ia selalu menunggu Bram pulang kerja, menyiapkan pakaian dan juga makanan meski bukan Adeline yang memasak. Ia sangat anti dengan peralatan dapur. Saat lahir ia sudah disuapi dengan sendok emas, tidak pernah melakukan pekerjaan rumah sekecil apapun. Dia diratukan oleh keluarganya dan sekarang menunggu diratukan oleh suaminya tapi setelah lima tahun menikah tidak kunjung mendapatkan apa yang menjadi haknya. Perannya sudah sangat mengesankan sebagai seorang istri tapi itu belum bisa mengetuk pintu hati Bram hingga membuat Adeline lelah sendiri. “Jam berapa Mami datang?” “Sebentar lagi. Dimas akan menjemputnya. Kenapa kamu pulang cepat sekali, Mas? Apa pekerjaannya sudah selesai?” “Hm.” Bram menaruh ponselnya di atas nakas lalu melangkah ke kamar mandi. Badannya terasa sangat lengket, ia bahkan masih memakai baju yang kemarin dikenakannya untuk berangkat ke kantor. Mendengar gemericik air dari kamar mandi. Adeline turun dari ranjang, berlari kecil menuju walk in closet sambil menahan perih. Mengganti baju tidur tipisnya dengan baju tidur biasa. Ada sisa-saia percintaannya dengan Dimas di baju dinas malam itu. Jantung Adeline berdebar saat mengingat kejadian tadi malam. Ia yang menginginkannya dan ia sama sekali tidak menyesal. Getar ponsel Bram di atas nakas menarik perhatian Adeline yang keluar dari walk in closet membawa baju di tangannya. Ia melempar baju itu ke keranjang dan beralih untuk melihat ponsel Bram. Berpikir itu adalah telepon penting tapi ternyata dari nomor tidak bernama. Baru saja Adeline menyentuh benda canggih itu, getar ponsel berhenti dan masuk sebuah pesan dari nomor yang sama. Fotonya seorang wanita tapi Adeline tidak mengenalnya. [Kita selesaikan masalah baik-baik, kenapa kamu malah pulang sebelum semuanya jelas!] Kening Adeline berkerut dalam. “Siapa ini?” “Apa ada yang menelepon, Lin?” Suara bariton Bram membuat Adeline tersentak. “Iya, Mas.” Ia menyerahkan ponsel itu pada sang empunya. “Bisa siapkan sarapan untukku?” Adeline mengangguk patuh. “Aku mandi dulu sebentar ya, Mas.” “Ya.” Sebisa mungkin Adeline berjalan biasa agar suaminya tidak curiga. Bram berjalan cepat ke arah balkon saat Adeline sudah berada di dalam kamar mandi. Menghubungi balik orang yang mengirimkan pesan tadi. “Sudah kubilang jangan menelepon atau mengirimkan pesan saat aku di rumah, Sitta!” “Salah kamu sendiri. Masalah kita belum beres kamu malah sudah pulang. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus kembali kesini, Mas.” Wanita di ujung telepon itu merajuk. “Aku tidak bisa, Sitta. Aku-” “Datang sekarang atau jangan menemuiku tiga bulan kedepan!” Sitta melayangkan ancaman. “Terserah! Aku lelah mendengarmu terus merajuk, menuntut untuk ini dan itu. Lima tahun ini bahkan waktuku lebih banyak untukmu daripada Adeline. Dia saja tidak pernah marah apalagi menuntut banyak dariku, sedangkan kamu? Kamu benar-benar tidak bersyukur. Bisanya hanya membuat kepalaku sakit.” Bram memutuskan sambungan telepon sepihak. Dada lelaki itu naik turun karena emosi. Digenggamnya erat ponsel hitam itu. *** “Kamu sedang apa, Dek?” “Aku menunggu penjual bakso, Mas. Biasanya jam segini sudah lewat, tapi ini belum.” “Anak ayah pasti yang mau makan bakso ya?” Dimas terkekeh. “Iya, Mas. Dari tadi gerak-gerak terus.” Erina mengarahkan kamera belakang ke arah perutnya yang sudah membuncit. “Kalau Mas sibuk bekerja, aku di sini ditemani Ibu sama Ambu jadi Mas tidak usah khawatir.” Meski mengatakan tidak apa-apa tapi sorot mata Erina tidak bisa berbohong, ia mendambakan sang suami hadir di sampingnya. Bahkan saat awal-awal kehamilan mereka berjauhan. Erina menghadapi ngidamnya seorang diri. Beruntung ibu dan ibu mertuanya selalu ada. “Aku akan usahakan pulang, Dek. Mana mungkin aku tidak ada di sampingmu.” “Mas jangan lupa siapkan namanya ya. Beberapa bulan lagi kita bertemu dengan jagoan kita ini.” Erina mengelus lembut perutnya yang bergerak-gerak. Obrolan santai mereka terus mengalir. Meski dipisahkan oleh jarak tapi dalam sehari saja mereka tidak pernah putus untuk saling memberi kabar. Maafkan aku, Dek. Aku benar-benar khilaf. Perasaan bersalah tiba-tiba menyusup ke dalam hati Dimas. Mengingat kejadian beberapa hari lalu. Setelahnya ia berusaha untuk menghindar dari Adeline karena wanita itu juga terlihat tidak ingin mengatakan apapun. Bram sering di rumah jadi Dimas juga tidak ada kesempatan untuk bicara dan menyelesaikan semuanya. Sepasang mata yang berkaca-kaca memperhatikan Dimas dari kejauhan. Beruntungnya jadi istri Dimas. Kapan aku bisa merasakan kasih sayang dari suamiku sendiri? Untuk menyentuhku saja dia seperti jijik. Sosok itu bergumam pelan dengan gemuruh di dalam dada meratapi kisah pernikahan yang tragis. Ternyata bergelimang harta tidak menjamin bahagia.“Del.”Buru-buru wanita cantik itu mengusap pipinya yang basah. Berjalan menghampiri suaminya.“Kenapa, Mas?”“Besok malam kita pergi ke acara pernikahan teman kuliahku.”“Kenapa mendadak, Mas? Aku belum menyiapkan apapun.”“Aku lupa kasih tahu kamu. Aku mau menyelesaikan dulu pekerjaanku.” Bram kembali masuk ke dalam ruang kerjanya.Meski ada di rumah, lelaki itu tetap bekerja. Tidak ada sedikitpun waktu untuk Adeline. Kehadirannya di rumah ini tidak jauh beda dengan art.Lima tahun menikah, Adeline merasa jika ia hanya dijadikan pajangan saja. Bram mengajaknya keluar rumah hanya saat ada acara-acara penting saja, selain itu tidak pernah sekalipun Bram mengajak istrinya sekedar untuk jalan-jalan sore walaupun di sekitar rumah.Adeline sama sekali tidak pernah protes dengan apapun yang dilakukan suaminya. Namun ia mulai lelah karena semua yang dilakukannya seperti tidak ada timbal balik dari Bram. Adeline sudah menjadi istri yang baik, seharusnya Bram membalas dengan hal serupa bukann
Dimas tertegun, ia buru-buru menjauh.Astaghfirullah. Apa yang kau lakukan, Dimas!Lelaki itu merutuki dirinya karena terbawa suasana sampai menenangkan Adeline dengan cara memeluk wanita itu.Adeline menyeringai. “Sudah kuduga.” Ia beranjak, naik ke atas ranjang dan meringkuk di sana.Sedangkan Dimas menunggu di ambang pintu. Art yang seharusnya selalu di rumah tadi sempat pergi ke apotik, Dimas menunggunya kembali untuk membersihkan kamar Adeline.Bagaimanapun ia tidak akan mungkin berlama-lama di kamar majikannya. Kejadian saat itu kembali berputar di benak Dimas membuat ia kembali merasa bersalah. Rasanya ia ingin memutar waktu agar tidak melakukan kesalahan fatal itu.Dengan gelisah Dimas berdiri kaku di sana. Jika ditinggalkan, Dimas takut Adeline kembali nekat. Ia tidak tahu sedalam apa luka batin sang nyonya sampai hampir melakukan hal gila.“Tutup pintunya dan pergi, Dimas!”Mendengar perintah itu Dimas tersentak. “Tapi, Nyo-”“Aku tidak suka mengulang perintah.”Dimas menutu
Sekali bertindak, Adeline bisa langsung mengetahui semuanya bahkan hanya dalam waktu lima menit saja. Lima tahun ini ia sudah cukup sabar dan diam, rasa cintanya pada Bram yang mulai muncul harus dimusnahkan karena lelaki itu tak punya perasaan.Adeline hanya mencinta seorang diri. Wanita tulus pun akan pergi saat keberadaannya tak dihargai.“Lepas, Nyonya. Tangan Nyonya terluka.” Bik Asih cemas karena darah terus mengucur dan Adeline tak kunjung melepaskan pisau itu dari tangannya.Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit karena luka di tangannya tidak sebanding dengan luka di hatinya yang kembali disiram air garam.“Nyonya, Bibik mohon lepas, Nya.” Bik Atin semakin ketakutan.Wanita cantik itu menarik napas dalam-dalam, genggaman tangannya mengendur hingga pisau penuh darah itu terjatuh.“Dimas, Dimas!” Bik Atin memanggil Dimas.Dimas berlari dari kamarnya. Ia terbelalak melihat kondisi tangan Adeline dan darah yang mengotori meja dapur.“Siapkan mobil. Kita bawa Nyonya ke
“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya.“Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.”“Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.”Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang.Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya.Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup.Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan.Sekarang ia ada dalam posisi s
“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
Adeline membawa Dimas ke rumah sakit. Sekarang yang terpenting mengobati dulu Dimas, bagaimanapun lelaki itu luka begini karenanya. Mana mungkin Adeline tega membiarkan Dimas tidak diobati.“Diam, jangan banyak bicara!” Adeline langsung melotot saat Dimas baru saja buka mulut untuk bicara.Mau tidak mau Dimas mengurungkan niatnya. Rasanya perih saat bicara karena kondisi kedua sudut bibirnya yang terluka.Ponsel Adeline dari tadi tidak berhenti berdering, ia sampai kesal dan memutuskan untuk menonaktifkan benda pipih itu.Untuk sekarang Adeline hanya ingin pergi jauh dari tempat ini. Pengkhianatan Bram, perlakuan papinya yang kasar sudah membuat luka di hatinya. Adeline ingin menyembuhkan luka hatinya itu agar bisa melanjutkan hidup dengan benar.Bagaimanapun ada bayi dalam kandungannya. Meski sudah jelas itu anak Dimas, tapi tidak ada niatan Adeline untuk menggugurkannya. Ia akan mempertahankan kehamilannya apapun situasinya, meski Dimas tidak akan mengakui. Itu bukan masalah bagi Ad
Hati Dimas mencelos melihat istrinya hilang kesadaran, semakin erat ia menggenggam tangan Erina. Dalam hati tak henti melangitkan doa untuk keselamatan istri dan calon bayi mereka.“Bertahan, sayang. Kamu kuat, anak kita juga kuat.” Dimas berbisik di telinga Erina.Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat panjang. Baju Dimas sudah basah karena keringat, ia benar-benar ketakutan melihat kondisi istrinya yang hilang kesadaran.“Tenang ya, Pak. Doakan terus istrinya, Insya Allah baik-baik saja. Bu Erina tidak meminum obat selain dari saya ‘kan?” tanya bidan yang mendampingi.“Kalau soal itu saya kurang tahu, Bu Bidan. Saya baru kembali dari kota.”Bidan itu mengangguk, merasa ada sesuatu yang ganjil karena sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan di tempatnya kondisi Erina sangat baik.Sampai di rumah sakit, Erina langsung ditangani. Dimas menunggu dengan gelisah, ia menyempatkan untuk mengabari ibu dan mertuanya.Karena pendarahan hebat, Erina diharuskan untuk melakukan operasi. “Bu Bi
Selama dua hari Adeline disana tidak ada yang mencurigakan di mata Erina. Hari ini Adeline pindah ke rumah Pak Kades.“Maaf ya, Mbak. Aku tidak bisa antar.”“Aku tidak pindah jauh, nanti aku bisa ‘kan main ke sini?”“Tentu saja, Mbak. Aku senang kalau Mbak Adel mau main ke rumah.”Sekilas mereka seperti teman akrab, tapi di balik itu semua Erina menahan diri untuk tidak memperlihatkan bagaimana perasaannya. Bahkan sampai detik ini, ia belum memiliki jawaban soal hubungan Dimas dan Adeline sebenarnya.Erina tidak bisa mengantar, hanya Dimas dan ibunya yang mengantar.Jarak ke rumah yang akan ditempati juga tidak jauh. Rumah itu sudah siap untuk langsung ditempati.“Bu, minta tolong temani Nyonya Adel ya. Dia sedang ada masalah, jangan dibiarkan sendiri.”“Iya, Ibu pasti menjaganya. Dia dan suaminya sudah sangat baik selama ini padamu.”Bu Imah tentu saja tahu seperti apa baiknya majikan Dimas, karena setiap mendapat bonus pasti Dimas akan memberitahu istri dan ibunya.“Aku pulang dulu
Dimas dan Adeline tersentak, mereka buru-buru menuju sumber suara.Erina buru-buru mengusap pipinya yang basah, ia mengulum senyum meski hatinya seperti dirajam.“Maaf, tanganku licin tadi. Jadi piringnya jatuh, padahal ini rujak untuk Mbak Adel.” Saat ini, Erina memilih diam, ia tidak mau salah paham. Lebih baik cari tahu lebih dulu daripada langsung menuduh.“Ya ampun. Kamu duduk saja di depan, biar aku yang bereskan.” Dimas berjongkok untuk membersihkan lantai.“Maaf ya, Mas.”“Tidak apa. Kamu temani saja Nyonya Adel, biar aku selesaikan masakannya juga.”Jantung Dimas berdetak tidak karuan, ia benar-benar takut Erina mendengar semuanya.“Kamu jadi repot karena aku, Mas.”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu ke depan saja.”Erina mengangguk, ia membawa Adeline kembali ke ruang tamu, wanita itu juga tampak gelisah karena takut Erina tahu. Adeline tidak sejahat itu untuk merebut Dimas, ia hanya asal bicara saja.Adeline pernah merasakan kebahagiananya dihancurkan dan ia tidak akan mungkin ber
Bram duduk termenung, ia masih belum beranjak dari ruang kerjanya semenjak mertuanya pamit pulang. Ia sudah janji akan menyelesaikan masalahnya sendiri.Masih ada sisa kemarahan dalam hati wanita itu, kecewa sudah pasti. Siapapun yang mendapatkan pengkhianatan akan merasa sakit, itulah yang dirasakan Adeline dan sekarang Bram mengalaminya sendiri.Lelaki itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Andai kau tidak bodoh dengan memilih Sitta, Adeline tidak akan seperti ini.”Bram tidak menyalahkan Adeline, ia tahu istrinya seperti ini berawal karena sikapnya juga. Bertahun-tahun mengacuhkan keberadaan wanita itu, tidak pernah dianggap bahkan tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri. Mereka seperti orang asing yang tak sengaja tinggal satu atap.Untuk pertama kalinya, lelaki tak berperasaan itu meneteskan air mata.“Sakit yang kamu rasakan pasti lebih dari ini, maafkan aku.”Lelaki sejati memang seharusnya seperti ini, mengakui kesalahannya. Jangan mencari kambing h
Adeline membawa Dimas ke rumah sakit. Sekarang yang terpenting mengobati dulu Dimas, bagaimanapun lelaki itu luka begini karenanya. Mana mungkin Adeline tega membiarkan Dimas tidak diobati.“Diam, jangan banyak bicara!” Adeline langsung melotot saat Dimas baru saja buka mulut untuk bicara.Mau tidak mau Dimas mengurungkan niatnya. Rasanya perih saat bicara karena kondisi kedua sudut bibirnya yang terluka.Ponsel Adeline dari tadi tidak berhenti berdering, ia sampai kesal dan memutuskan untuk menonaktifkan benda pipih itu.Untuk sekarang Adeline hanya ingin pergi jauh dari tempat ini. Pengkhianatan Bram, perlakuan papinya yang kasar sudah membuat luka di hatinya. Adeline ingin menyembuhkan luka hatinya itu agar bisa melanjutkan hidup dengan benar.Bagaimanapun ada bayi dalam kandungannya. Meski sudah jelas itu anak Dimas, tapi tidak ada niatan Adeline untuk menggugurkannya. Ia akan mempertahankan kehamilannya apapun situasinya, meski Dimas tidak akan mengakui. Itu bukan masalah bagi Ad
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya.“Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.”“Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.”Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang.Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya.Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup.Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan.Sekarang ia ada dalam posisi s