“Hamili aku.”
Deg. Tubuh Dimas langsung menegang mendengar permintaan istri majikannya. Permintaan yang terdengar gila di telinga Dimas. Dimas menunduk tak sanggup menatap mata sang nyonya. “Kenapa diam?” “Anda lucu, Nyonya.” Lelaki tampan itu tertawa hambar untuk menutupi kegugupannya. “Dimas, tatap aku. Apa menurutmu aku bercanda?” Jari telunjuknya yang halus mengangkat dagu Dimas hingga mata mereka bertemu. Darah Dimas berdesir hebat, lututnya bahkan langsung lemas. Bagaimana tidak. Ia melihat dengan jarak sangat dekat wanita cantik dengan kulit seputih salju, matanya bulat dan bening, rambutnya hitam bergelombang dan bibirnya yang merekah indah membuat lelaki manapun tertarik untuk mengecupnya. Tubuhnya tinggi semampai, berisi dan terlihat sangat seksi. Fisiknya pasti menjadi impian setiap wanita. Fisiknya hampir tanpa cela. “Nyonya, saya-” “Aku tidak menerima penolakan, Dimas.” Kecupan singkat mendarat di sudut bibir Dimas membuat lelaki itu benar-benar lemas, jantung lelaki itu seperti loncat dari tempatnya. “Dimas. Cepat, Tuan sudah menunggu di mobil.” Suara teriakan Bik Atin membuat Dimas tersentak. Ia buru-buru meninggalkan halaman belakang dan Adeline yang masih belum beranjak. Dimas menggeleng mencoba menepis apa yang baru saja terjadi. Itu pasti hanya halusinasiku saja. Tidak mungkin Nyonya Adel benar-benar melakukannya. Dia tidak buta. “Kalau sakit tidak usah bekerja, Dim.” Bram langsung menegur Dimas yang wajahnya tampak pucat dengan keringat dingin bercucuran di pelipis. “Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja.” Tangan Dimas gemetar. Ia takut ketahuan. Bisa-bisa langsung kehilangan pekerjaan. Tapi itu lebih baik daripada disiksa oleh majikannya. Apalagi Bram sosok yang sangat keras, ia paling benci pada penghianat. Dimas sudah tujuh tahun bekerja pada Bram. Sebelumnya Dimas hanya sebagai supir di kantor tapi dialihkan dua tahun lalu saat Pak Sugianto, supir lama Bram berhenti. Meski terlihat arogan, Bram sebenarnya baik. Tak jarang ia memberikan bonus pada karyawannya. Dimas bekerja seperti biasa meski pikirannya tidak tenang. Malamnya setelah Bram selesai bekerja, Dimas langsung mengantarnya ke bandara. Lelaki itu ada pekerjaan di luar kota. Baru kali ini Dimas takut untuk pulang. Takut bertemu dengan Adeline. Mungkin kalau wanita itu bukan istri majikannya, Dimas tidak akan setakut ini. Bisa jadi ia merespon atau mungkin langsung marah dengan kelancangan wanita itu. “Kamu mengantar Mas Bram sampai bandara, Dim?” tanya Adeline yang baru saja mengambil air dari dapur. Dimas memalingkan wajahnya melihat sang majikan hanya mengenakan gaun tidur tipis. Ia merutuki diri sendiri karena berniat untuk mengisi perutnya. Kalau tahu ada sang nyonya di dapur pasti Dimas akan langsung ke kamarnya. “Iya, Nyonya. Saya permisi.” Tanpa disadari oleh Dimas, Adeline mengikutinya dari belakang. Matanya menatap tajam seperti sedang mengintai mangsanya. “Kamu dengar yang tadi pagi aku bilang? Aku tidak menerima penolakan.” * Tubuh Dimas gemetar hebat saat melihat Adeline berbaring di sampingnya. Mereka sama-sama dalam keadaan polos. “Apa yang sudah kulakukan?” Dimas buru-buru turun dari ranjang dan memakai bajunya yang berserakan di lantai kamar yang sempit itu. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia takut akan dipenjarakan karena sudah meniduri istri majikannya. Kalau sampai itu terjadi bagaimana dengan istrinya di kampung? Ibunya juga pasti akan kecewa jika tahu perbuatan tercela Dimas di perantauan ini. “Kamu sudah bangun?” Dimas tersentak. Adeline sudah bangun. Dimas membalikan tubuhnya saat sang majikan menyingkap selimut. “Sa-saya tunggu di luar, Nyonya.” Adeline gegas mengenakan pakaiannya setelah Dimas keluar dari kamar itu. Ia meregangkan tangannya, merasa tubuhnya sangat pegal dan sakit di bagian bawah tubuhnya begitu menyiksa. Senyum tersungging di bibir sensual anak semata wayang keluarga Wirakusuma itu. Pipinya merona. “Aku benar-benar sudah melakukannya?” Tok. Tok. “Nyonya, Tuan sudah pulang.” Terdengar nada panik dari suara Dimas. Tidak biasanya Bram kembali secepat ini bahkan tanpa menghubungi Dimas untuk dijemput. Sambil meringis, Adeline menyeret langkah keluar meninggalkan kondisi kamar yang berantakan setelah pertempuran tadi malam. “Siap-siap. Kamu harus jemput Mami di bandara.” “Tadi malam-” “Kita bahas nanti. Cepat!” Adeline berjalan perlahan dan tampak sedikit melebarkan kakinya sambil menahan sakit. “Apa aku terlalu kasar?” Dimas semakin gelisah. Ia kembali masuk ke dalam kamar. Tertegun melihat noda merah di sprei putih miliknya. “Da-darah?” Dimas mendekat untuk memperhatikan lebih jelas. Kepalanya menggeleng. “Apa aku sangat kasar sampai-” “Pelan-pelan, Dim. Ini pengalaman pertamaku.” Mulut Dimas terbuka lebar. Ingatannya kembali, ia sempat mendengar itu dari Adeline tadi malam sebelum mereka benar-benar melakukan dosa. Lima tahun Nyonya Adeline menikah dan dia ... masih perawan? Pertanyaan itu memenuhi benak Dimas. Ia bukan anak kemarin sore. Dimas juga lelaki yang sudah menikah dan tentu saja bisa membedakan. Rasa bersalahnya semakin dalam, tidak hanya pada pada sang nyonya tapi pada istrinya di kampung. Kondisi rumah yang sepi, di luar hujan deras dan godaan bertubi-tubi dari Adeline membuat setan semakin memperdaya dan akhirnya Dimas terjerumus. Ia mengkhianati janji suci pernikahannya. Dimas lelaki normal apalagi ia sudah berkeluarga. Enam bulan ia tidak pulang. Sudah pasti ada kebutuhan biologis yang harus dicukupi dan ia mendapatkannya dari Adeline. Tuhan, ampuni dosaku. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi setelah ini. “Dimas!” teriakan Bram menyentak Dimas.“Buang ponselmu itu. Kenapa kau tidak bisa dihubungi hah?”Ada kelegaan yang dirasakan Dimas, ia pikir Bram tahu soal perbuatannya tadi malam. Ternyata marah karena Dimas tidak bisa dihubungi.“Maaf, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi.”Bram melangkah menuju kamar. Ia melihat istrinya terbaring dengan tubuhnya dibalut selimut.“Kamu sakit?”“Tidak. Hanya masih mengantuk,” sahutnya.Lelaki itu mengernyit heran karena tidak biasanya istrinya menjadi pemalas seperti ini. Adeline sangat rajin kalau soal mengurus suaminya. Ia selalu menunggu Bram pulang kerja, menyiapkan pakaian dan juga makanan meski bukan Adeline yang memasak. Ia sangat anti dengan peralatan dapur.Saat lahir ia sudah disuapi dengan sendok emas, tidak pernah melakukan pekerjaan rumah sekecil apapun. Dia diratukan oleh keluarganya dan sekarang menunggu diratukan oleh suaminya tapi setelah lima tahun menikah tidak kunjung mendapatkan apa yang menjadi haknya.Perannya sudah sangat mengesankan sebagai seorang istri tap
“Del.”Buru-buru wanita cantik itu mengusap pipinya yang basah. Berjalan menghampiri suaminya.“Kenapa, Mas?”“Besok malam kita pergi ke acara pernikahan teman kuliahku.”“Kenapa mendadak, Mas? Aku belum menyiapkan apapun.”“Aku lupa kasih tahu kamu. Aku mau menyelesaikan dulu pekerjaanku.” Bram kembali masuk ke dalam ruang kerjanya.Meski ada di rumah, lelaki itu tetap bekerja. Tidak ada sedikitpun waktu untuk Adeline. Kehadirannya di rumah ini tidak jauh beda dengan art.Lima tahun menikah, Adeline merasa jika ia hanya dijadikan pajangan saja. Bram mengajaknya keluar rumah hanya saat ada acara-acara penting saja, selain itu tidak pernah sekalipun Bram mengajak istrinya sekedar untuk jalan-jalan sore walaupun di sekitar rumah.Adeline sama sekali tidak pernah protes dengan apapun yang dilakukan suaminya. Namun ia mulai lelah karena semua yang dilakukannya seperti tidak ada timbal balik dari Bram. Adeline sudah menjadi istri yang baik, seharusnya Bram membalas dengan hal serupa bukann
Dimas tertegun, ia buru-buru menjauh.Astaghfirullah. Apa yang kau lakukan, Dimas!Lelaki itu merutuki dirinya karena terbawa suasana sampai menenangkan Adeline dengan cara memeluk wanita itu.Adeline menyeringai. “Sudah kuduga.” Ia beranjak, naik ke atas ranjang dan meringkuk di sana.Sedangkan Dimas menunggu di ambang pintu. Art yang seharusnya selalu di rumah tadi sempat pergi ke apotik, Dimas menunggunya kembali untuk membersihkan kamar Adeline.Bagaimanapun ia tidak akan mungkin berlama-lama di kamar majikannya. Kejadian saat itu kembali berputar di benak Dimas membuat ia kembali merasa bersalah. Rasanya ia ingin memutar waktu agar tidak melakukan kesalahan fatal itu.Dengan gelisah Dimas berdiri kaku di sana. Jika ditinggalkan, Dimas takut Adeline kembali nekat. Ia tidak tahu sedalam apa luka batin sang nyonya sampai hampir melakukan hal gila.“Tutup pintunya dan pergi, Dimas!”Mendengar perintah itu Dimas tersentak. “Tapi, Nyo-”“Aku tidak suka mengulang perintah.”Dimas menutu
Sekali bertindak, Adeline bisa langsung mengetahui semuanya bahkan hanya dalam waktu lima menit saja. Lima tahun ini ia sudah cukup sabar dan diam, rasa cintanya pada Bram yang mulai muncul harus dimusnahkan karena lelaki itu tak punya perasaan.Adeline hanya mencinta seorang diri. Wanita tulus pun akan pergi saat keberadaannya tak dihargai.“Lepas, Nyonya. Tangan Nyonya terluka.” Bik Asih cemas karena darah terus mengucur dan Adeline tak kunjung melepaskan pisau itu dari tangannya.Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit karena luka di tangannya tidak sebanding dengan luka di hatinya yang kembali disiram air garam.“Nyonya, Bibik mohon lepas, Nya.” Bik Atin semakin ketakutan.Wanita cantik itu menarik napas dalam-dalam, genggaman tangannya mengendur hingga pisau penuh darah itu terjatuh.“Dimas, Dimas!” Bik Atin memanggil Dimas.Dimas berlari dari kamarnya. Ia terbelalak melihat kondisi tangan Adeline dan darah yang mengotori meja dapur.“Siapkan mobil. Kita bawa Nyonya ke
“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya.“Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.”“Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.”Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang.Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya.Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup.Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan.Sekarang ia ada dalam posisi s
“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
Dimas dan Adeline tersentak, mereka buru-buru menuju sumber suara.Erina buru-buru mengusap pipinya yang basah, ia mengulum senyum meski hatinya seperti dirajam.“Maaf, tanganku licin tadi. Jadi piringnya jatuh, padahal ini rujak untuk Mbak Adel.” Saat ini, Erina memilih diam, ia tidak mau salah paham. Lebih baik cari tahu lebih dulu daripada langsung menuduh.“Ya ampun. Kamu duduk saja di depan, biar aku yang bereskan.” Dimas berjongkok untuk membersihkan lantai.“Maaf ya, Mas.”“Tidak apa. Kamu temani saja Nyonya Adel, biar aku selesaikan masakannya juga.”Jantung Dimas berdetak tidak karuan, ia benar-benar takut Erina mendengar semuanya.“Kamu jadi repot karena aku, Mas.”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu ke depan saja.”Erina mengangguk, ia membawa Adeline kembali ke ruang tamu, wanita itu juga tampak gelisah karena takut Erina tahu. Adeline tidak sejahat itu untuk merebut Dimas, ia hanya asal bicara saja.Adeline pernah merasakan kebahagiananya dihancurkan dan ia tidak akan mungkin ber
Bram duduk termenung, ia masih belum beranjak dari ruang kerjanya semenjak mertuanya pamit pulang. Ia sudah janji akan menyelesaikan masalahnya sendiri.Masih ada sisa kemarahan dalam hati wanita itu, kecewa sudah pasti. Siapapun yang mendapatkan pengkhianatan akan merasa sakit, itulah yang dirasakan Adeline dan sekarang Bram mengalaminya sendiri.Lelaki itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Andai kau tidak bodoh dengan memilih Sitta, Adeline tidak akan seperti ini.”Bram tidak menyalahkan Adeline, ia tahu istrinya seperti ini berawal karena sikapnya juga. Bertahun-tahun mengacuhkan keberadaan wanita itu, tidak pernah dianggap bahkan tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri. Mereka seperti orang asing yang tak sengaja tinggal satu atap.Untuk pertama kalinya, lelaki tak berperasaan itu meneteskan air mata.“Sakit yang kamu rasakan pasti lebih dari ini, maafkan aku.”Lelaki sejati memang seharusnya seperti ini, mengakui kesalahannya. Jangan mencari kambing h
Adeline membawa Dimas ke rumah sakit. Sekarang yang terpenting mengobati dulu Dimas, bagaimanapun lelaki itu luka begini karenanya. Mana mungkin Adeline tega membiarkan Dimas tidak diobati.“Diam, jangan banyak bicara!” Adeline langsung melotot saat Dimas baru saja buka mulut untuk bicara.Mau tidak mau Dimas mengurungkan niatnya. Rasanya perih saat bicara karena kondisi kedua sudut bibirnya yang terluka.Ponsel Adeline dari tadi tidak berhenti berdering, ia sampai kesal dan memutuskan untuk menonaktifkan benda pipih itu.Untuk sekarang Adeline hanya ingin pergi jauh dari tempat ini. Pengkhianatan Bram, perlakuan papinya yang kasar sudah membuat luka di hatinya. Adeline ingin menyembuhkan luka hatinya itu agar bisa melanjutkan hidup dengan benar.Bagaimanapun ada bayi dalam kandungannya. Meski sudah jelas itu anak Dimas, tapi tidak ada niatan Adeline untuk menggugurkannya. Ia akan mempertahankan kehamilannya apapun situasinya, meski Dimas tidak akan mengakui. Itu bukan masalah bagi Ad
Dimas melayangkan pukulan hingga membuat tangan Bram lepas dari leher Adeline.Tubuh Adeline ambruk. Ia meraup oksigen dengan rakus sambil terbatuk-batuk.“Kurang ajar! Berani kau padaku, Dimas.” Dengan dada turun naik, Bram menghampiri Dimas dan melayangkan pukul membuat lelaki itu tersungkur.Dimas kembali berdiri untuk melindungi Adeline agar tidak disakiti lagi oleh Bram. Dimas tak sengaja mendengar ada keributan saat akan lewat untuk membenarkan kran di kamar tamu. Ia bahkan memberanikan diri masuk ke kamar majikannya. karena tidak tenang mendengar keributan hanya diam saja.“Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong jangan kasar pada perempuan.” Permintaan maaf Dimas disini tentu saja soal dosanya karena sudah menghamili Adeline.“Beraninya kau menghalangiku.” Bram mencengkram kerah baju Dimas dan kembali melayangkan pukulan.Bram melampiaskan kemarahannya memukul Dimas bertubi-tubi, lelaki itu tidak melawan, hanya diam menerima semua pukulan dan tendangan Tuannya. Baginya itu lebih baik d
“Kamu suka, sayang?”Adeline mengangguk, matanya terpejam menghirup dalam-dalam aroma laut. Saat ini mereka ada di pantai pribadi milik keluarga Bram.Lelaki itu memiliki segalanya begitupun keluarga Adeline, mereka sama-sama dari kalangan atas.“Bagaimana kalau satu bulan di sini?”Mata Adeline langsung terbuka lebar. “Tidak. Satu minggu saja.”“Kenapa?” Bram merangkul mesra pinggang sang istri. “Aku ingin menebus waktu kita yang terbuang sebelumnya.”Adeline menggeleng. “Kamu harus bekerja, Mas. Kamu memiliki tanggung jawab, soal liburan kita bisa lain kali. Aku tidak mau kamu mengabaikan pekerjaan hanya untuk libur panjang.”Mendengar itu membuat Bram terkagum, istrinya memang dari dulu sangat pengertian dan sampai sekarang tidak berubah. Dalam waktu singkat saja ia bisa dibuat nyaman, hanya saja baru menyadarinya sekarang.Bram malah tidak ingin berjauhan dari Adeline, wanita itu memiliki pesona yang luar biasa. Selama ini Bram tutup mata hanya karena kesetiaannya pada sang istri
“Nadira! Seret wanita ini keluar.”Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan.“Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu.Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram.“Sayang, maafkan aku.”Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?”Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.”“Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.”“Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.”“Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah.“Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui
“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya.“Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.”“Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.”Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang.Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya.Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup.Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan.Sekarang ia ada dalam posisi s
Sekali bertindak, Adeline bisa langsung mengetahui semuanya bahkan hanya dalam waktu lima menit saja. Lima tahun ini ia sudah cukup sabar dan diam, rasa cintanya pada Bram yang mulai muncul harus dimusnahkan karena lelaki itu tak punya perasaan.Adeline hanya mencinta seorang diri. Wanita tulus pun akan pergi saat keberadaannya tak dihargai.“Lepas, Nyonya. Tangan Nyonya terluka.” Bik Asih cemas karena darah terus mengucur dan Adeline tak kunjung melepaskan pisau itu dari tangannya.Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit karena luka di tangannya tidak sebanding dengan luka di hatinya yang kembali disiram air garam.“Nyonya, Bibik mohon lepas, Nya.” Bik Atin semakin ketakutan.Wanita cantik itu menarik napas dalam-dalam, genggaman tangannya mengendur hingga pisau penuh darah itu terjatuh.“Dimas, Dimas!” Bik Atin memanggil Dimas.Dimas berlari dari kamarnya. Ia terbelalak melihat kondisi tangan Adeline dan darah yang mengotori meja dapur.“Siapkan mobil. Kita bawa Nyonya ke
Dimas tertegun, ia buru-buru menjauh.Astaghfirullah. Apa yang kau lakukan, Dimas!Lelaki itu merutuki dirinya karena terbawa suasana sampai menenangkan Adeline dengan cara memeluk wanita itu.Adeline menyeringai. “Sudah kuduga.” Ia beranjak, naik ke atas ranjang dan meringkuk di sana.Sedangkan Dimas menunggu di ambang pintu. Art yang seharusnya selalu di rumah tadi sempat pergi ke apotik, Dimas menunggunya kembali untuk membersihkan kamar Adeline.Bagaimanapun ia tidak akan mungkin berlama-lama di kamar majikannya. Kejadian saat itu kembali berputar di benak Dimas membuat ia kembali merasa bersalah. Rasanya ia ingin memutar waktu agar tidak melakukan kesalahan fatal itu.Dengan gelisah Dimas berdiri kaku di sana. Jika ditinggalkan, Dimas takut Adeline kembali nekat. Ia tidak tahu sedalam apa luka batin sang nyonya sampai hampir melakukan hal gila.“Tutup pintunya dan pergi, Dimas!”Mendengar perintah itu Dimas tersentak. “Tapi, Nyo-”“Aku tidak suka mengulang perintah.”Dimas menutu