Share

Omongan Serius

Malam minggu ini, Bagas meminta izin pada orang tua Dini untuk mengajak calon istrinya itu keluar. Datang di pukul lima sore, setelah berbincang sebentar dengan orang tua Dini di ruang tamu, mereka lantas pergi meninggalkan rumah saat jarum jam menunjuk ke angka sembilan. Mengenakan terusan di atas lutut berwarna maroon, dipadukan dengan sepatu teplek berwarna coklat, membuat tampilan Dini sangat manis malam ini. Mereka menuju salah satu tempat hangout yang selalu ramai di setiap malamnya. Meski merasa sedikit terganggu dengan bisingnya suara musik yang memenuhi ruangan, Dini berusaha tetap menikmati acara makan malam itu.

"Kamu masih mau di sini?" tanya Bagas saat melihat Dini menutup sendok dan garpunya di atas piring yang telah kosong. Dini menggeleng pelan.

"Oke. Kita keluar dari sini." Bagas bangkit berdiri diikuti Dini setelah selesai membayar tagihan makan mereka.

"Aku baru kali ini datang ke tempat itu dan ternyata tempat itu biasanya, beda sama yang orang bilang," ucap Dini setelah mereka berada di dalam mobil.

"Aku pikir, orang seumuran kamu suka hangout di tempat yang kayak gitu," ucap Bagas seraya tertawa kecil. Pria itu mengemudikan pelan mobilnya, di atas jalan ibukota yang sudah padat merayap sedari tadi.

"Tempatnya memang oke, tapi suasananya yang gak nyaman, terlalu berisik." Dini menggelengkan kepala sembari melirik jam di tangannya. Sudah pukul setengah delapan malam.

"Kenapa? Ini masih terlalu cepat untuk pulang. Masih sore. Kamu gak lihat matahari masih bersinar," ucap Bagas seraya melayangkan pandangan ke arah luar.

"Matahari?" ulang Dini bingung.

Mereka akhirnya memutuskan untuk tetap berada dalam mobil. Mengukur jalan, karena tak tahu harus kemana. Dengan kecepatan yang stabil, Bagas mengemudikan mobilnya.

"Jadi kamu gak keberatan dengan pernikahan ini?"

"Kan sudah aku bilang kemarin, aku gak ada alasan buat nolak. Kecuali tolakan itu datang dari kamu sendiri." Dini memandang pria berjambang yang malam ini mengenakan kaos berwarna hitam.

"Kemarin Mama sudah mulai menunjukkan beberapa model kebaya yang akan dipakainya saat acara pernikahan, bagaimana mungkin aku bisa menolak saat orang tua sudah mulai melakukan persiapan?" Bagas mengecilkan volume suara radio mobilnya.

"Saat kita telah benar-benar terikat dalam pernikahan, mungkin aku tidak bisa menjadi suami seutuhnya. Waktuku tak sepenuhnya akan ada di rumah."

Dini tersenyum. "Aku tahu. Aku juga tak menuntut banyak, hanya tiga permintaan."

"Tiga? Kenapa gak sepuluh sekalian?"

"Sebenarnya permintaan aku ada banyak, tapi tiga aja aku sangsi kamu bisa penuhi," ucap Dini. Bagas terdiam sejenak, kemudian meminta Dini menyebutkan tiga permintaannya. Dengan mantap ia menyebutkan tiga permintaan yang diharapkannya, dapat Bagas tepati selama pernikahan.

"Harus saling memberi kabar, tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, baik perkataan dan tindakan. Lalu yang terakhir, saat kamu bertemu dengan lawan jenis-"

"Maksudnya apa permintaan kamu yang terakhir itu?" Potong Bagas sebelum Dini menyelesaikan omongannya.

"Kita kan menikah dengan situasi seperti ini, belum saling mengenal satu sama lain. Pernikahan bagi aku pribadi, itu ikatan yang sangat sakral. Saat yakin dengan pernikahan, aku gak akan menodai pernikahan itu dengan tidak menghargai pasangan. Kalau memang ditengah pernikahan kita ini, kamu ngerasa gak cocok dan menemukan orang lain di luar sana, aku mohon kamu gak ketemu secara diam-diam di belakang aku. Tapi itu bukan artinya kamu bisa bebas ketemu dengan orang lain itu di depan aku. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu menyudahi saja pernikahan ini."

"Kamu tinggal bilang, jangan selingkuh aja harus mutar-mutar dulu," sahut Bagas sambil mengarahkan mobilnya, putar balik menuju arah rumah Dini.

Dini menjentikkan jarinya. "Betul. Ternyata kamu memperhatikan setiap omongan aku ya, buktinya kamu bisa ngambil kesimpulan."

"Aku tampung tiga permintaan kamu itu dan sebisa mungkin aku akan menepatinya."

"Kamu sendiri gak ada permintaan khusus, sebelum kita benar-benar menikah?" tanya Dini.

"Permintaan khusus?" Bagas menghela nafas. "Gak ada. Di awal pernikahan pasti kita akan merasa asing tinggal bersama, di apartemen."

"Apartemen?" Ulang Dini.

"Iya. Apartemen yang sudah Mama siapkan untuk kita setelah menikah nanti. Aku harap kita bisa saling menjaga privasi satu sama lain. Meski kita berbagi apartemen, sebaiknya kita tidak mencampuri kehidupan pribadi masing-masing. Menjalani hidup seperti biasa hingga waktu yang akan menunjukkan apakah pernikahan perjodohan ini membawa kebaikan bagi kita berdua, mungkin itu permintaan khusus dariku."

"Oke, masing-masing dari kita sudah tahu bagaimana kita menyikapi pernikahan perjodohan ini." Dini menatap Bagas yang ternyata tengah memandangnya.

"Kalau kamu sendiri, berharap apa sama pernikahan ini?" tanya Bagas. Ia melajukan mobilnya pelan setelah berhenti beberapa menit di lampu merah.

"Kalau pernikahan yang didasari dengan rasa saling cinta satu sama lain, pastilah harapanku banyak. Tapi dengan pernikahan perjodohan ini, harapanku ya itu tadi, kamu bisa memenuhi tiga permintaan yang aku sebutkan tadi."

"Oke. Jadi kita berdua sepakat dengan perjodohan ini kan?" Bagas kembali menatap Dini yang telah menganggukkan kepalanya beberapa kali.

Mengukur jalan hampir satu setengah jam, akhirnya mereka sampai juga di depan rumah Dini. Bagas memarkirkan mobilnya dan ikut turun bersama dengan Dini. Tampak Papa dan Mama tengah duduk di teras, sedang menunggu Dini pulang.

"Saya pamit pulang dulu ya Om, Tante." Bagas menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Dini.

"Hati-hati di jalan ya," ucap Papa seraya melambaikan tangan.

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah setelah Bagas pergi. Mama mengajak Dini duduk di ruang tengah sementara Papa mengambil remote tv dan mencari siaran berita nasional.

"Jadi tadi gimana? Kalian cocok?"

"Hmm, sejauh ini cocok-cocok aja, Ma. Omongan kita juga nyambung. Dia juga kelihatannya baik, gak macam-macam." Cerita Dini tentang pandangan terhadap Bagas.

"Syukur lah. Mama gak mau kamu terbebani dengan perjodohan ini."

"Nggak, Ma. Dini gak terbebani sama sekali. Dini malah senang, Mama sama Papa benar-benar memikirkan Dini, sampai mencarikan pasangan yang terbaik untuk Dini," ucap Dini. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia memang tak keberatan dengan permintaan orang tuanya ini. Apalagi setelah berbicara dengan calon jodohnya tadi, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa pria itu orang baik. Meski terlalu cepat mengambil kesimpulan itu.

Papa dan Mama merapat lantas memeluk Dini. Ucapan yang bijaksana keluar dari mulut anak gadis yang telah dewasa kini.

***

Di kamarnya, Bagas baru saja membersihkan diri dan berganti pakaian tidur. Ia merebahkan diri dan membantali kepalanya dengan tangan kanannya yang terlipat. Memandang langit-langit kamar dengan cahaya redup di kamarnya. Ia mencoba menyakinkan diri bahwa keputusannya menerima perjodohan ini adalah benar. Karena sejak ia memutuskan untuk melupakan masa lalunya, seolah hasrat untuk memiliki pasangan telah memudar. Mungkin bila ia sebatang kara di dunia ini, ia bisa saja melajang seumur hidup, tapi ia masih memiliki orang tua. Meski tak pernah didesak untuk segera menikah, ia tahu bahwa orang tuanya sudah ingin melihatnya mempunyai pasangan hidup.

'Jalani aja lah. Semuanya juga akan bisa karena terbiasa' batinnya. Ia meraih ponsel dari nakas sebelah kiri dan membuka sosial medianya. Ia lalu menekan gambar kaca pembesar pada instagramnya sehingga muncul beberapa gambar juga video. Saat jempol tangannya menekan satu postingan video, matanya terbuka lebar.

"Harusnya tadi ini juga dibahas dengan Dini," ucapnya sambil menikmati video berdurasi pendek berisikan adegan semi dewasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status