Malam minggu ini, Bagas meminta izin pada orang tua Dini untuk mengajak calon istrinya itu keluar. Datang di pukul lima sore, setelah berbincang sebentar dengan orang tua Dini di ruang tamu, mereka lantas pergi meninggalkan rumah saat jarum jam menunjuk ke angka sembilan. Mengenakan terusan di atas lutut berwarna maroon, dipadukan dengan sepatu teplek berwarna coklat, membuat tampilan Dini sangat manis malam ini. Mereka menuju salah satu tempat hangout yang selalu ramai di setiap malamnya. Meski merasa sedikit terganggu dengan bisingnya suara musik yang memenuhi ruangan, Dini berusaha tetap menikmati acara makan malam itu.
"Kamu masih mau di sini?" tanya Bagas saat melihat Dini menutup sendok dan garpunya di atas piring yang telah kosong. Dini menggeleng pelan. "Oke. Kita keluar dari sini." Bagas bangkit berdiri diikuti Dini setelah selesai membayar tagihan makan mereka. "Aku baru kali ini datang ke tempat itu dan ternyata tempat itu biasanya, beda sama yang orang bilang," ucap Dini setelah mereka berada di dalam mobil. "Aku pikir, orang seumuran kamu suka hangout di tempat yang kayak gitu," ucap Bagas seraya tertawa kecil. Pria itu mengemudikan pelan mobilnya, di atas jalan ibukota yang sudah padat merayap sedari tadi. "Tempatnya memang oke, tapi suasananya yang gak nyaman, terlalu berisik." Dini menggelengkan kepala sembari melirik jam di tangannya. Sudah pukul setengah delapan malam. "Kenapa? Ini masih terlalu cepat untuk pulang. Masih sore. Kamu gak lihat matahari masih bersinar," ucap Bagas seraya melayangkan pandangan ke arah luar. "Matahari?" ulang Dini bingung. Mereka akhirnya memutuskan untuk tetap berada dalam mobil. Mengukur jalan, karena tak tahu harus kemana. Dengan kecepatan yang stabil, Bagas mengemudikan mobilnya. "Jadi kamu gak keberatan dengan pernikahan ini?" "Kan sudah aku bilang kemarin, aku gak ada alasan buat nolak. Kecuali tolakan itu datang dari kamu sendiri." Dini memandang pria berjambang yang malam ini mengenakan kaos berwarna hitam. "Kemarin Mama sudah mulai menunjukkan beberapa model kebaya yang akan dipakainya saat acara pernikahan, bagaimana mungkin aku bisa menolak saat orang tua sudah mulai melakukan persiapan?" Bagas mengecilkan volume suara radio mobilnya. "Saat kita telah benar-benar terikat dalam pernikahan, mungkin aku tidak bisa menjadi suami seutuhnya. Waktuku tak sepenuhnya akan ada di rumah." Dini tersenyum. "Aku tahu. Aku juga tak menuntut banyak, hanya tiga permintaan." "Tiga? Kenapa gak sepuluh sekalian?" "Sebenarnya permintaan aku ada banyak, tapi tiga aja aku sangsi kamu bisa penuhi," ucap Dini. Bagas terdiam sejenak, kemudian meminta Dini menyebutkan tiga permintaannya. Dengan mantap ia menyebutkan tiga permintaan yang diharapkannya, dapat Bagas tepati selama pernikahan. "Harus saling memberi kabar, tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, baik perkataan dan tindakan. Lalu yang terakhir, saat kamu bertemu dengan lawan jenis-" "Maksudnya apa permintaan kamu yang terakhir itu?" Potong Bagas sebelum Dini menyelesaikan omongannya. "Kita kan menikah dengan situasi seperti ini, belum saling mengenal satu sama lain. Pernikahan bagi aku pribadi, itu ikatan yang sangat sakral. Saat yakin dengan pernikahan, aku gak akan menodai pernikahan itu dengan tidak menghargai pasangan. Kalau memang ditengah pernikahan kita ini, kamu ngerasa gak cocok dan menemukan orang lain di luar sana, aku mohon kamu gak ketemu secara diam-diam di belakang aku. Tapi itu bukan artinya kamu bisa bebas ketemu dengan orang lain itu di depan aku. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu menyudahi saja pernikahan ini." "Kamu tinggal bilang, jangan selingkuh aja harus mutar-mutar dulu," sahut Bagas sambil mengarahkan mobilnya, putar balik menuju arah rumah Dini. Dini menjentikkan jarinya. "Betul. Ternyata kamu memperhatikan setiap omongan aku ya, buktinya kamu bisa ngambil kesimpulan." "Aku tampung tiga permintaan kamu itu dan sebisa mungkin aku akan menepatinya." "Kamu sendiri gak ada permintaan khusus, sebelum kita benar-benar menikah?" tanya Dini. "Permintaan khusus?" Bagas menghela nafas. "Gak ada. Di awal pernikahan pasti kita akan merasa asing tinggal bersama, di apartemen." "Apartemen?" Ulang Dini. "Iya. Apartemen yang sudah Mama siapkan untuk kita setelah menikah nanti. Aku harap kita bisa saling menjaga privasi satu sama lain. Meski kita berbagi apartemen, sebaiknya kita tidak mencampuri kehidupan pribadi masing-masing. Menjalani hidup seperti biasa hingga waktu yang akan menunjukkan apakah pernikahan perjodohan ini membawa kebaikan bagi kita berdua, mungkin itu permintaan khusus dariku." "Oke, masing-masing dari kita sudah tahu bagaimana kita menyikapi pernikahan perjodohan ini." Dini menatap Bagas yang ternyata tengah memandangnya. "Kalau kamu sendiri, berharap apa sama pernikahan ini?" tanya Bagas. Ia melajukan mobilnya pelan setelah berhenti beberapa menit di lampu merah. "Kalau pernikahan yang didasari dengan rasa saling cinta satu sama lain, pastilah harapanku banyak. Tapi dengan pernikahan perjodohan ini, harapanku ya itu tadi, kamu bisa memenuhi tiga permintaan yang aku sebutkan tadi." "Oke. Jadi kita berdua sepakat dengan perjodohan ini kan?" Bagas kembali menatap Dini yang telah menganggukkan kepalanya beberapa kali. Mengukur jalan hampir satu setengah jam, akhirnya mereka sampai juga di depan rumah Dini. Bagas memarkirkan mobilnya dan ikut turun bersama dengan Dini. Tampak Papa dan Mama tengah duduk di teras, sedang menunggu Dini pulang. "Saya pamit pulang dulu ya Om, Tante." Bagas menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Dini. "Hati-hati di jalan ya," ucap Papa seraya melambaikan tangan. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah setelah Bagas pergi. Mama mengajak Dini duduk di ruang tengah sementara Papa mengambil remote tv dan mencari siaran berita nasional. "Jadi tadi gimana? Kalian cocok?" "Hmm, sejauh ini cocok-cocok aja, Ma. Omongan kita juga nyambung. Dia juga kelihatannya baik, gak macam-macam." Cerita Dini tentang pandangan terhadap Bagas. "Syukur lah. Mama gak mau kamu terbebani dengan perjodohan ini." "Nggak, Ma. Dini gak terbebani sama sekali. Dini malah senang, Mama sama Papa benar-benar memikirkan Dini, sampai mencarikan pasangan yang terbaik untuk Dini," ucap Dini. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia memang tak keberatan dengan permintaan orang tuanya ini. Apalagi setelah berbicara dengan calon jodohnya tadi, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa pria itu orang baik. Meski terlalu cepat mengambil kesimpulan itu. Papa dan Mama merapat lantas memeluk Dini. Ucapan yang bijaksana keluar dari mulut anak gadis yang telah dewasa kini. *** Di kamarnya, Bagas baru saja membersihkan diri dan berganti pakaian tidur. Ia merebahkan diri dan membantali kepalanya dengan tangan kanannya yang terlipat. Memandang langit-langit kamar dengan cahaya redup di kamarnya. Ia mencoba menyakinkan diri bahwa keputusannya menerima perjodohan ini adalah benar. Karena sejak ia memutuskan untuk melupakan masa lalunya, seolah hasrat untuk memiliki pasangan telah memudar. Mungkin bila ia sebatang kara di dunia ini, ia bisa saja melajang seumur hidup, tapi ia masih memiliki orang tua. Meski tak pernah didesak untuk segera menikah, ia tahu bahwa orang tuanya sudah ingin melihatnya mempunyai pasangan hidup. 'Jalani aja lah. Semuanya juga akan bisa karena terbiasa' batinnya. Ia meraih ponsel dari nakas sebelah kiri dan membuka sosial medianya. Ia lalu menekan gambar kaca pembesar pada instagramnya sehingga muncul beberapa gambar juga video. Saat jempol tangannya menekan satu postingan video, matanya terbuka lebar. "Harusnya tadi ini juga dibahas dengan Dini," ucapnya sambil menikmati video berdurasi pendek berisikan adegan semi dewasa.Di sabtu pagi yang cerah ini, setelah Dini selesai sarapan pagi bersama kedua orang tua, Bagas yang berjanji akan menjemputnya di pukul setengah sembilan pagi, baru datang sejam kemudian. Dari pesan yang dikirimnya, Bagas harus mengantar orang tuanya ke bandara pagi-pagi karena ada acara keluarga di kota Balikpapan."Maaf ya telat," ucap Bagas saat sampai di rumah orang tua Dini."Gak apa-apa," sahut Dini. Mama dan Papa yang baru datang dari ruang makan, ikut bergabung di ruang tamu. Basa basi Mama menawarkan sarapan pagi pada Bagas yang ternyata disambut senang oleh Bagas, karena memang ia belum makan dan sedang lapar saat ini."Dini, ayo temenin Bagas makan." Perintah Mama."Ayo, Gas, anggap rumah sendiri aja," sambung Papa."Iya, Om." Bagas mengikuti Dini berjalan menuju ruang makan. Ia mengambilkan piring dan melayani Bagas. Menyendokkan nasi dan meletakkan beberapa lauk di piring makan Bagas."Udah, udah. Entar aku kekenyangan terus jadi ngantuk," ucap Bagas sebelum Dini lebih ba
Bagas baru saja sampai di rumah setelah seharian bekerja, Bagas berniat untuk langsung masuk ke kamar. Namun, saat Mira melihat anak semata wayangnya itu, ia yang tengah memegang kalender segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Bagas dengan langkah cepat."Gas, ayo duduk sama Mama dulu," ajak Mira. Menggandeng tangan Bagas dan menariknya duduk di ruang tengah. Jari tangan Mira menunjuk beberapa angka di kalender meja yang di pegangnya dan meminta pendapat untuk tanggal bersejarah anaknya nanti."Kalau Mama sudah jahit baju dan pilih-pilih tanggal kayak gini, artinya kamu harus cepat nentuin kapan kamu menghalalkan Dini." Hendri datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah, baru selesai mandi."Iya Pa, Ma. Bagas yang terbaik aja. Mama mau tanggal berapa? Biar nanti Bagas sama Dini atur sama wedding organizer nya," kata Bagas. Mira kemudian menunjuk satu tanggal di dua bulan ke depan. Tak ada sanggahan, Bagas mengiyakan ucapan Mira. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu dan m
Entah apa yang di membuat Dini begitu bersemangat hari ini. Akhir pekan yang sangat dinantikannya, sejak mentari belum bersinar. Setelah mencuci wajah dan merapikan rambutnya, gadis itu keluar rumah kala langit masih gelap. Dini jogging berkeliling komplek rumah sekitar setengah jam, membuat tubuhnya dibanjiri keringat. Dengan nafas yang masih sedikit ngos-ngosan, ia beristirahat sambil meluruskan kakinya di teras rumah."Tumben kamu jogging, Din?" tanya Papa yang sedari tadi sudah asyik menyiram tanaman."Biar fresh, Pa. Udah lama juga gak olahraga," sahut Dini menyapu peluh yang mengalir di keningnya dengan tangan."Jadi hari ini jalan sama Bagas?" Mama datang dari dalam sambil membawakan segelas teh untuk Papa yang diletakkannya di meja kecil teras."Iya, Ma. Mau ketemu Thomas, staff wedding organizer. Dia nanti yang bantuin ngurus ini itu waktu acara.""Mama perhatiin, dari kemarin kamu bawaannya bahagia banget. Sebelum tidur Mama lihat kamu maskeran, hari ini jogging. Mau ketemu
"Din, kamu ikut masuk ke ruang rapat ya," pinta Pak Hasan, atasannya. Siang ini di ruang rapat kantor, ada pertemuan dengan beberapa pengurus perusahaan dan notaris. Menurut informasi dari Pak Hasan akan ada perubahan pengurus perusahaan yang menyebabkan perubahan di akta perusahaan. Dini dan Pak Hasan telah stand by di ruang rapat saat beberapa orang pengurus perusahaan datang. Dini yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, merasakan tangannya dicolek oleh seseorang."Hai," sapa Dini pada pria yang mencolek tangannya. Pria dengan tinggi seratus tujuh puluh lima centi berkulit sawo matang itu berdiri di depannya, tersenyum dengan lesung pipi yang menambah manis wajahnya. Pria itu bernama Aditya."Kamu apa kabar? Hampir dua bulan aku gak main kesini, jadi kangen sama kamu."Dini tertawa terbahak-bahak. "Bercanda aja kamu, Dit. Kangen kan tinggal nyamperin.""Nanti kalau disamperin ada yang marah," ucap Aditya mengedipkan sebelah mata kemudian berjalan masuk dan duduk di salah satu kursi
Mereka kembali bertemu dengan Thomas sesuai janji beberapa waktu yang lalu. Untuk kali ini, sepulang kerja Dini dijemput oleh Bagas. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil hitam Bagas, setelah lima menit menunggu di pos satpam. Tak ada percakapan sepanjang perjalanan menuju tempat Thomas. Sekilas Dini melihat wajah Bagas sewaktu masuk ke dalam mobil, tampak sangat lelah."Tunggu, biar aku ambil payung sebentar," ucap Bagas. Ia turun lebih dulu dari mobil dan membuka pintu belakang mengambil payung. Ia berjalan dan membukakan pintu lantas merangkul pundak Dini lebih dekat dengannya, agar tetap berada di bawah payung yang sama dengannya.Tanpa basa basi, Bagas langsung meminta Thomas menjelaskan apa hasil negosiasinya dengan beberapa vendor yang telah mereka pilih, mulai dari vendor souvenir, undangan, dan gedung resepsi. Bagas terlihat sangat serius mendengar penjelasan Thomas, sementara Dini asyik membolak balik beberapa majalah yang ada di meja."Jadi semuanya deal ya, Mas?" Bagas m
Setelah meeting bersama vendor dan keluarga kedua belah pihak, semua persiapan sudah dipastikan telah siap sembilan puluh sembilan persen. Tinggal menunggu hari H nya saja. Undangan juga telah disebar ke semua keluarga dan teman. Teman-teman kantor Dini dibuat cukup terkejut, saat gadis itu membagikan undangan pernikahannya."Kamu ih, gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba udah mau merid aja.""Sama siapa sih, Din? Bagas Wiratmaja," ucap salah satu temannya sambil membaca isi undangan."Yaitu, Bagas Wiratmaja. Anak temen Papa aku.""Dijodohin?"Dini tersenyum. "Iya gitu deh.""Semoga langgeng ya. Pokoknya yang terbaik deh buat kamu.""Makasih ya," jawab Dini.***"Yang mau nikah." Suara yang sangat familiar terdengar di telinganya saat Dini tengah menunggu antrian di mesin ATM. Ia berbalik dan mendapati Aditya berdiri di belakangnya."Eh, Dit." Dini merogoh isi tasnya dan mengeluarkan undangan.Pria yang mengenakan kemeja berwarna biru muda itu menerima undangan yang diberikan Dini, m
Riuh gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan yang luasnya kira-kira sepuluh kali luas rumah Dini. Semua orang yang berada di ruangan itu saling tersenyum dan mengucap syukur saat Bagas dan Dini dengan tegas dan mantap mengucap janji pernikahan. Disaksikan kedua belah pihak keluarga dan tamu yang datang, Bagas mengecup kening Dini dengan lembut, setelah mereka berdua saling bertukar cincin. Tampak beberapa teman dari Bagas dan juga Dini yang datang tak menyiakan kesempatan untuk mengambil foto selfie dengan pengantin, sebelum mereka menaiki panggung dan siap menerima setiap tamu yang datang.Tak dapat mengelak, Bagas begitu terpesona dengan penampilan Dini saat ini. Riasan wajahnya yang natural dan kebaya putih yang membalut tubuhnya, membuat Dini sangat cantik. Begitu pun sebaliknya. Di dalam hatinya, Dini berdecak kagum memuji ketampanan Bagas yang hakiki, mengenakan jas berwarna biru malam lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Senyum mengambang di bibir keduanya saat menerima tamu y
Kado-kado pernikahan yang dari kemarin masih tersusun rapi di lantai ruang tamu, baru saja selesai mereka bereskan. Sementara Bagas membersihkan diri, Dini pergi ke dapur guna mempersiapkan makan malam. Karena diluar hujan sedang turun, ia bermaksud ingin memasak makanan yang berkuah untuk menghangatkan badan. Dini meraih ponsel dan membuka salah satu aplikasi memasak untuk mencari resep sup ayam yang praktis. Menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan, ia segera asyik bereksperimen di dapur. Begitu semua bahan telah masuk ke dalam panci, ia menyetel api kompornya agar tidak terlalu besar."Oke deh," ucap Dini setelah selesai meletakkan peralatan makan di meja makan. Ia berbalik, bersiap menuju kamar. Namun langkahnya tertahan saat melihat Bagas berjalan ke arahnya sambil memakai baju. Bulu di dadanya terlihat jelas. Membuat Dini terbelalak."Sudah selesai masaknya?"Tak ada sahutan."Kamu sudah selesai masak belum?" tanya Bagas untuk kedua kalinya dengan nada suara sedikit lebih kencang.
Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi
Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua
Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke
Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y
Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B
Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.
Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam
Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs