Entah apa yang di membuat Dini begitu bersemangat hari ini. Akhir pekan yang sangat dinantikannya, sejak mentari belum bersinar. Setelah mencuci wajah dan merapikan rambutnya, gadis itu keluar rumah kala langit masih gelap. Dini jogging berkeliling komplek rumah sekitar setengah jam, membuat tubuhnya dibanjiri keringat. Dengan nafas yang masih sedikit ngos-ngosan, ia beristirahat sambil meluruskan kakinya di teras rumah.
"Tumben kamu jogging, Din?" tanya Papa yang sedari tadi sudah asyik menyiram tanaman. "Biar fresh, Pa. Udah lama juga gak olahraga," sahut Dini menyapu peluh yang mengalir di keningnya dengan tangan. "Jadi hari ini jalan sama Bagas?" Mama datang dari dalam sambil membawakan segelas teh untuk Papa yang diletakkannya di meja kecil teras. "Iya, Ma. Mau ketemu Thomas, staff wedding organizer. Dia nanti yang bantuin ngurus ini itu waktu acara." "Mama perhatiin, dari kemarin kamu bawaannya bahagia banget. Sebelum tidur Mama lihat kamu maskeran, hari ini jogging. Mau ketemu sama Bagas ya makanya all out banget persiapannya?" Kedua pipi Dini mendadak bersemu merah mendengar ucapan Mama. Yang dikatakan Mama memang seratus persen benar. Sedikit demi sedikit ia mulai terbiasa dengan adanya Bagas yang sebentar lagi akan masuk ke dalam hidupnya, sebagai seorang suami. Meskipun suami yang akan dihadapinya nanti sudah pasti jauh dari segala ekspektasinya. Mengafirmasi dirinya dengan ucapan-ucapan baik, agar yang terjadi pun adalah hal yang baik. Ia bertekad memberikan yang terbaik dalam rumah tangganya kelak. Perlahan - lahan keyakinannya mulai tumbuh, bahwa perasaan saling mencintai satu sama lain pasti lama kelamaan akan tumbuh seiring berjalannya waktu bersama. *** Mengenakan kemeja sedikit longgar berwarna biru dengan model kimono dipadukan dengan jeans hitam, ia tampak sederhana tapi tetap menarik di mata Bagas. "Lancar urusannya ya," ucap Mama saat mereka berdua pamit. "Hati-hati di jalan ya kalian." Tambah papa. Pelan tapi pasti, mobil yang dikemudikan Bagas melaju di atas jalan raya. Beberapa kali pria di balik kemudi mobil itu mencuri pandang pada wanita yang duduk di sampingnya. Seolah ia tak ingin sedikitpun melewatkan waktu tanpa memandang Dini. 'Aku harus mulai belajar menerima dia dan pernikahan ini, bukan sekedar perjodohan saja. Tapi takdir yang digariskan Tuhan' batin Bagas. Ia sendiri juga tak ingin pernikahannya nanti berjalan dengan tak baik. Hingga ia berkemauan untuk mulai membuka hati untuk Dini. "Kelewatan. Tempatnya kelewatan," ujar Dini memandang keluar kemudian berganti memandang Bagas. "Eh, iya kelewatan." Bagas tersentak menyadari gedung yang akan dikunjungi telah terlewat. Dini masih memandangi Bagas, sedikit bingung kenapa Bagas tampak tak fokus. "Tenang, di depan ada jalan alternatifnya." Lanjut Bagas. Ia memasang lampu sign belok ke kiri dan tak berapa lama mereka akhirnya sampai. Thomas yang telah stand by di sudut ruangan, tersenyum saat Bagas dan Dini datang. Setelah basa basi menanyakan kabar, Bagas langsung menyampaikan tanggal baiknya pada Thomas. "Gak terlalu cepat kan, Mas?" "Enggak kok, Mas. Yang lebih cepat dari rencana pernikahan Mas sana Mbak juga banyak," ucap Thomas. "Jadi untuk tema pernikahannya apa?" Bagas dan Dini saling memandang. "Mau tema modern klasik, atau internasional wedding, atau tradisional?" Thomas memberikan pilihan. "Kamu mau yang mana?" Bagas menatap Dini. "Modern klasik aja ya," ucap Dini. "Modern klasik aja Mas kata dia." Bagas mengulangi ucapan Dini. Menyampaikan kembali pada Thomas. Setelah menentukan tema pernikahannya, mereka kemudian disuguhi beberapa pilihan vendor yang siap membantu, mulai dari urusan katering makanan, make up artist, desainer baju pengantin, hingga souvenir pernikahan. "Semua nama vendor yang ada di sini, mereka selalu siap membantu. Hanya saja untuk gedung kami tidak bisa memastikan, kalau dari Mas sama Mbak belum menyampaikan berapa tamu undangan yang akan datang nanti." "Tamunya ya, Mas," ulang Bagas lagi. "Betul, Mas. Kalau jumlah tamu yang akan diundang sudah tahu berapa banyak, kami bisa mencarikan gedung yang sesuai dengan undangan Mas dan Mbak. Atau mungkin sudah ada gedung yang bakal di sewa?" "Untuk gedung kami juga menyerahkan sama Mas Thomas aja. Takutnya kalau saya sibuk, Dini sibuk, nanti malah gak ke urus." Bagas berpaling menatap Bagas seraya menanyakan berapa jumlah undangan yang akan disebarkannya. Kalau dari Dini sendiri sih, dia hanya akan mengundang beberapa teman dekatnya sewaktu sekolah maupun kuliah. Sisanya paling keluarga dari kedua orangtuanya juga pengurus panti tempat dia dulu diadopsi. "Kira-kira paling banyak sih sekitar seribu sampai seribu lima ratus undangan, Mas." "Oke nanti infoin aja berapa pastinya ya, Mas. Nanti kami kirimkan beberapa pilihan untuk gedungnya," ucap Thomas. Mereka kemudian membahas hal lain yang membutuhkan pengerjaan khusus, yaitu souvenir, desain undangan, serta gaun dan jas pengantin. Untuk pernikahan ini, Thomas lah yang bertanggung jawab untuk membantu segala macamnya. Hampir empat jam mereka berada di sana membahas semua persiapan pernikahan, hingga akhirnya Bagas dan Dini sudah memilih vendor yang akan menangani souvenir, desain undangan, dan juga desainer untuk baju pengantin mereka. "Makasih banyak buat hari ini, Mas. Nanti minta tolong dibuatkan janji ketemu sama desainernya ya." Mereka bertiga berjalan beriringan menuju pintu keluar. "Siap Mas. Makasih banyak ya Mas Bagas, Mbak Dini," ucap Thomas. Ia kembali masuk ke ruangannya setelah mobil yang dikendarai Bagas dan Dini keluar dari halaman. *** Masih siang dan tak ingin menyiakan waktu kebersamaan yang ada, Bagas mengajak Dini ke salah satu mall. Suasana mall yang tak terlalu ramai siang ini, membuat mereka leluasa menjelajah beberapa toko pakaian. Hingga mereka mendapatkan dua pasang kemeja kerja untuk Bagas. Beberapa langkah keluar dari toko pakaian terakhir, mereka berhenti di salah satu toko perhiasaan yang ada di sana. "Ngapain?" Kedua alis Bagas saling bertaut. "Nyari cincin. Emang mau ngapain?" "Gak kecepetan?" "Kecepetan gimana? Kita juga belum tentu langsung ketemu cincin yang cocok. Atau kita ketemu cincin yang cocok tapi harus ngantri untuk proses pembuatannya." Bukannya langsung masuk mereka malah berdebat kecil di depan toko perhiasaan itu. Sampai-sampai seorang pengunjung toko yang akan masuk ke dalam, menegur mereka karena mereka tepat berdiri di depan pintu masuk. Menghalangi jalan. "Jadi mau masuk apa masih mau di sini?" "Iya masuk, iya." Dini mengikuti langkah kaki Bagas, masuk ke dalam toko. Sangat berkilau. Deretan berlian juga emas tertata rapi di etalase. Dengan berbagai macam model yang terpampang. Sedikit merasa kecil diri, Dini berada di toko perhiasan itu. Bagaimana tidak, pengunjung toko itu diisi dengan orang-orang yang tampak seperti sosialita. Asal tunjuk beberapa perhiasaan dan langsung mengenakannya. "Ada yang menarik?" Bisik Bagas. "Menarik? Ngeliat aja gak bisa." Balas Dini sembari memberi kode pada Bagas, menunjuk kerumunan orang yang berjejer di depan etalase. "Kita keluar dari sini dulu ya," sambung Dini. Bagas menghela nafasnya kemudian menarik tangan Dini pelan, keluar dari toko perhiasan itu. Sekeluarnya dari toko perhiasan tadi, Bagas yang berkeinginan hari ini harus sudah mendapatkan sepasang cincin, kembali membawa calon istrinya itu ke toko perhiasaan yang lain. Kali ini mereka masuk ke toko perhiasan ternama di Indonesia yang kebetulan situasinya tidak terlalu ramai.Mereka disambut ramah oleh staff di toko itu, kemudian dipersilahkan duduk tepat di depan etalase yang memajang sederet cincin kawin. Sementara Dini memanjakan matanya dengan memandangi satu per satu deretan cincin berlian, Bagas sedikit berbincang dengan staff toko mengutarakan maksudnya yang hendak mencari cincin pernikahan. "Kamu mau lihat yang itu?" tanya Bagas saat Dini mengarahkan pandangan pada sepasang cincin yang berada di pojok etalase. "Iya," ujar Dini sambil mengumbar senyum. Staff toko mengambilkan sepasang cincin yang dimaksud Dini dan meletakkannya di atas nampan kemudian menyodorkannya ke hadapan Bagas dan Dini. Tak terbayang cincin dengan satu mata berlian yang cukup besar itu akan berada di jari manis tangannya. Dari semua cincin yang dilihatnya, hanya cincin yang akan dicobanya ini yang menarik hatinya. "Yah, kebesaran," ucap Dini memanyunkan bibirnya, mendapati cincin itu tidak langsung pas di jarinya. "Ukurannya bisa disesuaikan kok, Mbak. Jangan khawatir," ucap staff toko menenangkan. Seorang staff toko lagi datang dan menyajikan minuman serta beberapa roti basah. "Bagus di jari tangan kamu," puji Bagas. Ia juga tak ketinggalan turut mencoba cincin pasangannya, yang langsung sangat pas di jari tangannya. "Ih di jari kamu langsung cocok," ucap Dini sedikit tak terima. "Kan kamu jarinya kecil-kecil," sambung Bagas. Ia melepaskan cincin itu dari jarinya dan meletakkannya di atas nampan. Staff toko kemudian menjelaskan detail cincin yang tengah di coba mereka, agar pasangan di depannya itu tak ragu untuk mengambil sepasang cincin yang telah mereka coba. "Gimana?" tanya Bagas memastikan. Staff toko mengeluarkan alat untuk mengukur lingkar jari. "Biar jari kamu diukur dulu?" "Iya, aku mau yang ini untuk cincin kita." Dini melepaskan cincin berlian itu dan menyodorkan jarinya untuk di ukur oleh staff toko itu. Dini terkesima saat Bagas meminta staff toko menambahkan karat di cincin berlian Dini, sewaktu akan membuatkan invoice pesanan. 'Baik banget sih dia' batin Dini. Tangannya bergantian mengambil sebotol minuman kemudian menikmati kue. Beberapa menit ditinggal, staff toko itu kembali lagi dengan beberapa kertas di tangannya. Kembali, ia menjelaskan mengenai lama pengerjaan cincin dan menanyakan perihal pembayaran. Tanpa ragu, Bagas langsung melunasinya. "Makasih ya, Mas," ucap Bagas yang juga telah menghabiskan makanan dan minuman yang disajikan. Keluar dari toko perhiasaan, tujuan akhir mereka jatuh ke salah satu restoran yang menyajikan makanan nusantara. Mengisi kampung tengah yang sedari tadi sudah meronta-ronta sebelum pulang ke rumah."Din, kamu ikut masuk ke ruang rapat ya," pinta Pak Hasan, atasannya. Siang ini di ruang rapat kantor, ada pertemuan dengan beberapa pengurus perusahaan dan notaris. Menurut informasi dari Pak Hasan akan ada perubahan pengurus perusahaan yang menyebabkan perubahan di akta perusahaan. Dini dan Pak Hasan telah stand by di ruang rapat saat beberapa orang pengurus perusahaan datang. Dini yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, merasakan tangannya dicolek oleh seseorang."Hai," sapa Dini pada pria yang mencolek tangannya. Pria dengan tinggi seratus tujuh puluh lima centi berkulit sawo matang itu berdiri di depannya, tersenyum dengan lesung pipi yang menambah manis wajahnya. Pria itu bernama Aditya."Kamu apa kabar? Hampir dua bulan aku gak main kesini, jadi kangen sama kamu."Dini tertawa terbahak-bahak. "Bercanda aja kamu, Dit. Kangen kan tinggal nyamperin.""Nanti kalau disamperin ada yang marah," ucap Aditya mengedipkan sebelah mata kemudian berjalan masuk dan duduk di salah satu kursi
Mereka kembali bertemu dengan Thomas sesuai janji beberapa waktu yang lalu. Untuk kali ini, sepulang kerja Dini dijemput oleh Bagas. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil hitam Bagas, setelah lima menit menunggu di pos satpam. Tak ada percakapan sepanjang perjalanan menuju tempat Thomas. Sekilas Dini melihat wajah Bagas sewaktu masuk ke dalam mobil, tampak sangat lelah."Tunggu, biar aku ambil payung sebentar," ucap Bagas. Ia turun lebih dulu dari mobil dan membuka pintu belakang mengambil payung. Ia berjalan dan membukakan pintu lantas merangkul pundak Dini lebih dekat dengannya, agar tetap berada di bawah payung yang sama dengannya.Tanpa basa basi, Bagas langsung meminta Thomas menjelaskan apa hasil negosiasinya dengan beberapa vendor yang telah mereka pilih, mulai dari vendor souvenir, undangan, dan gedung resepsi. Bagas terlihat sangat serius mendengar penjelasan Thomas, sementara Dini asyik membolak balik beberapa majalah yang ada di meja."Jadi semuanya deal ya, Mas?" Bagas m
Setelah meeting bersama vendor dan keluarga kedua belah pihak, semua persiapan sudah dipastikan telah siap sembilan puluh sembilan persen. Tinggal menunggu hari H nya saja. Undangan juga telah disebar ke semua keluarga dan teman. Teman-teman kantor Dini dibuat cukup terkejut, saat gadis itu membagikan undangan pernikahannya."Kamu ih, gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba udah mau merid aja.""Sama siapa sih, Din? Bagas Wiratmaja," ucap salah satu temannya sambil membaca isi undangan."Yaitu, Bagas Wiratmaja. Anak temen Papa aku.""Dijodohin?"Dini tersenyum. "Iya gitu deh.""Semoga langgeng ya. Pokoknya yang terbaik deh buat kamu.""Makasih ya," jawab Dini.***"Yang mau nikah." Suara yang sangat familiar terdengar di telinganya saat Dini tengah menunggu antrian di mesin ATM. Ia berbalik dan mendapati Aditya berdiri di belakangnya."Eh, Dit." Dini merogoh isi tasnya dan mengeluarkan undangan.Pria yang mengenakan kemeja berwarna biru muda itu menerima undangan yang diberikan Dini, m
Riuh gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan yang luasnya kira-kira sepuluh kali luas rumah Dini. Semua orang yang berada di ruangan itu saling tersenyum dan mengucap syukur saat Bagas dan Dini dengan tegas dan mantap mengucap janji pernikahan. Disaksikan kedua belah pihak keluarga dan tamu yang datang, Bagas mengecup kening Dini dengan lembut, setelah mereka berdua saling bertukar cincin. Tampak beberapa teman dari Bagas dan juga Dini yang datang tak menyiakan kesempatan untuk mengambil foto selfie dengan pengantin, sebelum mereka menaiki panggung dan siap menerima setiap tamu yang datang.Tak dapat mengelak, Bagas begitu terpesona dengan penampilan Dini saat ini. Riasan wajahnya yang natural dan kebaya putih yang membalut tubuhnya, membuat Dini sangat cantik. Begitu pun sebaliknya. Di dalam hatinya, Dini berdecak kagum memuji ketampanan Bagas yang hakiki, mengenakan jas berwarna biru malam lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Senyum mengambang di bibir keduanya saat menerima tamu y
Kado-kado pernikahan yang dari kemarin masih tersusun rapi di lantai ruang tamu, baru saja selesai mereka bereskan. Sementara Bagas membersihkan diri, Dini pergi ke dapur guna mempersiapkan makan malam. Karena diluar hujan sedang turun, ia bermaksud ingin memasak makanan yang berkuah untuk menghangatkan badan. Dini meraih ponsel dan membuka salah satu aplikasi memasak untuk mencari resep sup ayam yang praktis. Menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan, ia segera asyik bereksperimen di dapur. Begitu semua bahan telah masuk ke dalam panci, ia menyetel api kompornya agar tidak terlalu besar."Oke deh," ucap Dini setelah selesai meletakkan peralatan makan di meja makan. Ia berbalik, bersiap menuju kamar. Namun langkahnya tertahan saat melihat Bagas berjalan ke arahnya sambil memakai baju. Bulu di dadanya terlihat jelas. Membuat Dini terbelalak."Sudah selesai masaknya?"Tak ada sahutan."Kamu sudah selesai masak belum?" tanya Bagas untuk kedua kalinya dengan nada suara sedikit lebih kencang.
Hari pertama keduanya kembali ke rutinitas masing-masing. Bekerja. Dini yang bangun lebih dulu, dengan cepat membersihkan diri kemudian menyiapkan sarapan untuk Bagas. Secangkir teh tawar dan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi. Ia kembali ke kamar, hendak memastikan apakah Bagas telah siap atau belum."Ups." Langkah kakinya terhenti di depan pintu. Sepasang bola mata coklat menyaksikan bagaimana atletisnya badan yang dimiliki Bagas. Gerakan tangannya yang memasukkan satu persatu kancing ke lubangnya, membuat Dini senyum-senyum sendiri."Ada yang salah?""Nggak," jawab Dini singkat. Ia masuk ke dalam dan mengambil tasnya.Setelah menyemprotkan parfum, Bagas menyusul Dini menuju meja makan."Kamu nganterin aku kan?" tanya Dini. Bagas yang tengah menyuap nasi gorengnya mengangguk.***Setibanya di meja kerja, teman seruangannya langsung mendekat."Cie pengantin baru, berseri-seri gitu mukanya.""Iya nih, kayaknya tiap hari nih," goda salah satu temannya sambil memegang rambut Di
Udara dingin tiba-tiba saja terasa sangat menusuk tulang, hingga membuat Dini terbangun. Ia melirik jam yang berada di atas nakas."Lah masih tengah malam," ucapnya. Ia meraba sekitaran kasur mencoba mencari remote AC yang biasanya selalu berada di dekat bantalnya."Kok panas? Keringat juga?" komentar Dini saat tak sengaja tangannya menyentuh tangan Bagas. Ia menyibak pelan selimut yang menutupi seluruh badan Bagas dan mendapati baju yang dikenakan suaminya basah. Dini kemudian meraba kening suaminya itu dan merasakan suhu tubuhnya sangat tinggi. Reflek Bagas menarik selimut lagi."Kamu ganti baju dulu ya, basah semua kena keringat ini," ucap Dini kemudian turun dari ranjang menuju lemari baju. Ia menatap setiap baju yang tersusun rapi dan mengambil satu baju kaos dengan bahan yang tipis. Dini memanggil nama Bagas pelan, menyuruhnya untuk duduk sebentar. Dengan lesu Bagas mengikuti permintaan Dini. Pria itu pasrah kala Dini membuka bajunya. "Ini," ucap Dini memberikan baju pada suami
Alarm yang sengaja dipasang Dini pukul setengah sepuluh malam berbunyi nyaring membangunkannya. Ia menoleh ke sebelah dan tidak mendapati Bagas. Membawa bantal dalam pelukannya, ia berjalan keluar dari kamar."Kamu mau kemana?" tanya Bagas kaget saat melihat Dini mendekap bantal."Mau nonton film di tv," ucap Dini. "Kamu sudah makan kan?" tanya Dini lagi sebelum keluar kamar."Sudah. Aku mau mandi dulu langsung tidur. Kamu jangan kelamaan nonton TV di luar." Pesan Bagas."Iya," jawab Dini singkat.Ia mengambil posisi rebahan di sofa menikmati film yang memang ingin ditontonnya. Film dengan durasi hampir dua jam itu akhirnya selesai juga menikmatinya. Tangan kirinya meraih remot TV kemudian menekan beberapa tombol, mengganti siaran TV. Sampai ia berhenti pada salah satu stasiun TV yang selalu menyiarkan film horror di jam-jam tengah malam seperti ini. Spontan Dini langsung berteriak kencang, berkali-kali memanggil nama suaminya. Mendengar suara sekencang itu, Bagas yang telah terlelap
Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi
Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua
Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke
Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y
Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B
Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.
Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam
Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs