Entah apa yang di membuat Dini begitu bersemangat hari ini. Akhir pekan yang sangat dinantikannya, sejak mentari belum bersinar. Setelah mencuci wajah dan merapikan rambutnya, gadis itu keluar rumah kala langit masih gelap. Dini jogging berkeliling komplek rumah sekitar setengah jam, membuat tubuhnya dibanjiri keringat. Dengan nafas yang masih sedikit ngos-ngosan, ia beristirahat sambil meluruskan kakinya di teras rumah.
"Tumben kamu jogging, Din?" tanya Papa yang sedari tadi sudah asyik menyiram tanaman. "Biar fresh, Pa. Udah lama juga gak olahraga," sahut Dini menyapu peluh yang mengalir di keningnya dengan tangan. "Jadi hari ini jalan sama Bagas?" Mama datang dari dalam sambil membawakan segelas teh untuk Papa yang diletakkannya di meja kecil teras. "Iya, Ma. Mau ketemu Thomas, staff wedding organizer. Dia nanti yang bantuin ngurus ini itu waktu acara." "Mama perhatiin, dari kemarin kamu bawaannya bahagia banget. Sebelum tidur Mama lihat kamu maskeran, hari ini jogging. Mau ketemu sama Bagas ya makanya all out banget persiapannya?" Kedua pipi Dini mendadak bersemu merah mendengar ucapan Mama. Yang dikatakan Mama memang seratus persen benar. Sedikit demi sedikit ia mulai terbiasa dengan adanya Bagas yang sebentar lagi akan masuk ke dalam hidupnya, sebagai seorang suami. Meskipun suami yang akan dihadapinya nanti sudah pasti jauh dari segala ekspektasinya. Mengafirmasi dirinya dengan ucapan-ucapan baik, agar yang terjadi pun adalah hal yang baik. Ia bertekad memberikan yang terbaik dalam rumah tangganya kelak. Perlahan - lahan keyakinannya mulai tumbuh, bahwa perasaan saling mencintai satu sama lain pasti lama kelamaan akan tumbuh seiring berjalannya waktu bersama. *** Mengenakan kemeja sedikit longgar berwarna biru dengan model kimono dipadukan dengan jeans hitam, ia tampak sederhana tapi tetap menarik di mata Bagas. "Lancar urusannya ya," ucap Mama saat mereka berdua pamit. "Hati-hati di jalan ya kalian." Tambah papa. Pelan tapi pasti, mobil yang dikemudikan Bagas melaju di atas jalan raya. Beberapa kali pria di balik kemudi mobil itu mencuri pandang pada wanita yang duduk di sampingnya. Seolah ia tak ingin sedikitpun melewatkan waktu tanpa memandang Dini. 'Aku harus mulai belajar menerima dia dan pernikahan ini, bukan sekedar perjodohan saja. Tapi takdir yang digariskan Tuhan' batin Bagas. Ia sendiri juga tak ingin pernikahannya nanti berjalan dengan tak baik. Hingga ia berkemauan untuk mulai membuka hati untuk Dini. "Kelewatan. Tempatnya kelewatan," ujar Dini memandang keluar kemudian berganti memandang Bagas. "Eh, iya kelewatan." Bagas tersentak menyadari gedung yang akan dikunjungi telah terlewat. Dini masih memandangi Bagas, sedikit bingung kenapa Bagas tampak tak fokus. "Tenang, di depan ada jalan alternatifnya." Lanjut Bagas. Ia memasang lampu sign belok ke kiri dan tak berapa lama mereka akhirnya sampai. Thomas yang telah stand by di sudut ruangan, tersenyum saat Bagas dan Dini datang. Setelah basa basi menanyakan kabar, Bagas langsung menyampaikan tanggal baiknya pada Thomas. "Gak terlalu cepat kan, Mas?" "Enggak kok, Mas. Yang lebih cepat dari rencana pernikahan Mas sana Mbak juga banyak," ucap Thomas. "Jadi untuk tema pernikahannya apa?" Bagas dan Dini saling memandang. "Mau tema modern klasik, atau internasional wedding, atau tradisional?" Thomas memberikan pilihan. "Kamu mau yang mana?" Bagas menatap Dini. "Modern klasik aja ya," ucap Dini. "Modern klasik aja Mas kata dia." Bagas mengulangi ucapan Dini. Menyampaikan kembali pada Thomas. Setelah menentukan tema pernikahannya, mereka kemudian disuguhi beberapa pilihan vendor yang siap membantu, mulai dari urusan katering makanan, make up artist, desainer baju pengantin, hingga souvenir pernikahan. "Semua nama vendor yang ada di sini, mereka selalu siap membantu. Hanya saja untuk gedung kami tidak bisa memastikan, kalau dari Mas sama Mbak belum menyampaikan berapa tamu undangan yang akan datang nanti." "Tamunya ya, Mas," ulang Bagas lagi. "Betul, Mas. Kalau jumlah tamu yang akan diundang sudah tahu berapa banyak, kami bisa mencarikan gedung yang sesuai dengan undangan Mas dan Mbak. Atau mungkin sudah ada gedung yang bakal di sewa?" "Untuk gedung kami juga menyerahkan sama Mas Thomas aja. Takutnya kalau saya sibuk, Dini sibuk, nanti malah gak ke urus." Bagas berpaling menatap Bagas seraya menanyakan berapa jumlah undangan yang akan disebarkannya. Kalau dari Dini sendiri sih, dia hanya akan mengundang beberapa teman dekatnya sewaktu sekolah maupun kuliah. Sisanya paling keluarga dari kedua orangtuanya juga pengurus panti tempat dia dulu diadopsi. "Kira-kira paling banyak sih sekitar seribu sampai seribu lima ratus undangan, Mas." "Oke nanti infoin aja berapa pastinya ya, Mas. Nanti kami kirimkan beberapa pilihan untuk gedungnya," ucap Thomas. Mereka kemudian membahas hal lain yang membutuhkan pengerjaan khusus, yaitu souvenir, desain undangan, serta gaun dan jas pengantin. Untuk pernikahan ini, Thomas lah yang bertanggung jawab untuk membantu segala macamnya. Hampir empat jam mereka berada di sana membahas semua persiapan pernikahan, hingga akhirnya Bagas dan Dini sudah memilih vendor yang akan menangani souvenir, desain undangan, dan juga desainer untuk baju pengantin mereka. "Makasih banyak buat hari ini, Mas. Nanti minta tolong dibuatkan janji ketemu sama desainernya ya." Mereka bertiga berjalan beriringan menuju pintu keluar. "Siap Mas. Makasih banyak ya Mas Bagas, Mbak Dini," ucap Thomas. Ia kembali masuk ke ruangannya setelah mobil yang dikendarai Bagas dan Dini keluar dari halaman. *** Masih siang dan tak ingin menyiakan waktu kebersamaan yang ada, Bagas mengajak Dini ke salah satu mall. Suasana mall yang tak terlalu ramai siang ini, membuat mereka leluasa menjelajah beberapa toko pakaian. Hingga mereka mendapatkan dua pasang kemeja kerja untuk Bagas. Beberapa langkah keluar dari toko pakaian terakhir, mereka berhenti di salah satu toko perhiasaan yang ada di sana. "Ngapain?" Kedua alis Bagas saling bertaut. "Nyari cincin. Emang mau ngapain?" "Gak kecepetan?" "Kecepetan gimana? Kita juga belum tentu langsung ketemu cincin yang cocok. Atau kita ketemu cincin yang cocok tapi harus ngantri untuk proses pembuatannya." Bukannya langsung masuk mereka malah berdebat kecil di depan toko perhiasaan itu. Sampai-sampai seorang pengunjung toko yang akan masuk ke dalam, menegur mereka karena mereka tepat berdiri di depan pintu masuk. Menghalangi jalan. "Jadi mau masuk apa masih mau di sini?" "Iya masuk, iya." Dini mengikuti langkah kaki Bagas, masuk ke dalam toko. Sangat berkilau. Deretan berlian juga emas tertata rapi di etalase. Dengan berbagai macam model yang terpampang. Sedikit merasa kecil diri, Dini berada di toko perhiasan itu. Bagaimana tidak, pengunjung toko itu diisi dengan orang-orang yang tampak seperti sosialita. Asal tunjuk beberapa perhiasaan dan langsung mengenakannya. "Ada yang menarik?" Bisik Bagas. "Menarik? Ngeliat aja gak bisa." Balas Dini sembari memberi kode pada Bagas, menunjuk kerumunan orang yang berjejer di depan etalase. "Kita keluar dari sini dulu ya," sambung Dini. Bagas menghela nafasnya kemudian menarik tangan Dini pelan, keluar dari toko perhiasan itu. Sekeluarnya dari toko perhiasan tadi, Bagas yang berkeinginan hari ini harus sudah mendapatkan sepasang cincin, kembali membawa calon istrinya itu ke toko perhiasaan yang lain. Kali ini mereka masuk ke toko perhiasan ternama di Indonesia yang kebetulan situasinya tidak terlalu ramai.Mereka disambut ramah oleh staff di toko itu, kemudian dipersilahkan duduk tepat di depan etalase yang memajang sederet cincin kawin. Sementara Dini memanjakan matanya dengan memandangi satu per satu deretan cincin berlian, Bagas sedikit berbincang dengan staff toko mengutarakan maksudnya yang hendak mencari cincin pernikahan. "Kamu mau lihat yang itu?" tanya Bagas saat Dini mengarahkan pandangan pada sepasang cincin yang berada di pojok etalase. "Iya," ujar Dini sambil mengumbar senyum. Staff toko mengambilkan sepasang cincin yang dimaksud Dini dan meletakkannya di atas nampan kemudian menyodorkannya ke hadapan Bagas dan Dini. Tak terbayang cincin dengan satu mata berlian yang cukup besar itu akan berada di jari manis tangannya. Dari semua cincin yang dilihatnya, hanya cincin yang akan dicobanya ini yang menarik hatinya. "Yah, kebesaran," ucap Dini memanyunkan bibirnya, mendapati cincin itu tidak langsung pas di jarinya. "Ukurannya bisa disesuaikan kok, Mbak. Jangan khawatir," ucap staff toko menenangkan. Seorang staff toko lagi datang dan menyajikan minuman serta beberapa roti basah. "Bagus di jari tangan kamu," puji Bagas. Ia juga tak ketinggalan turut mencoba cincin pasangannya, yang langsung sangat pas di jari tangannya. "Ih di jari kamu langsung cocok," ucap Dini sedikit tak terima. "Kan kamu jarinya kecil-kecil," sambung Bagas. Ia melepaskan cincin itu dari jarinya dan meletakkannya di atas nampan. Staff toko kemudian menjelaskan detail cincin yang tengah di coba mereka, agar pasangan di depannya itu tak ragu untuk mengambil sepasang cincin yang telah mereka coba. "Gimana?" tanya Bagas memastikan. Staff toko mengeluarkan alat untuk mengukur lingkar jari. "Biar jari kamu diukur dulu?" "Iya, aku mau yang ini untuk cincin kita." Dini melepaskan cincin berlian itu dan menyodorkan jarinya untuk di ukur oleh staff toko itu. Dini terkesima saat Bagas meminta staff toko menambahkan karat di cincin berlian Dini, sewaktu akan membuatkan invoice pesanan. 'Baik banget sih dia' batin Dini. Tangannya bergantian mengambil sebotol minuman kemudian menikmati kue. Beberapa menit ditinggal, staff toko itu kembali lagi dengan beberapa kertas di tangannya. Kembali, ia menjelaskan mengenai lama pengerjaan cincin dan menanyakan perihal pembayaran. Tanpa ragu, Bagas langsung melunasinya. "Makasih ya, Mas," ucap Bagas yang juga telah menghabiskan makanan dan minuman yang disajikan. Keluar dari toko perhiasaan, tujuan akhir mereka jatuh ke salah satu restoran yang menyajikan makanan nusantara. Mengisi kampung tengah yang sedari tadi sudah meronta-ronta sebelum pulang ke rumah.Pagi ini Dini baru saja selesai merapikan ruang tamu, sementara Mama sedang menyiapkan masakan untuk menyambut keluarga calon suaminya. Ya, calon suami yang ia sendiri pun belum pernah bertemu. Jangankan bertemu, namanya saja wanita berambut sebahu dengan kacamata berbingkai coklat itu tak tahu. Melangkahkan kaki, Dini menghampiri wanita paruh baya yang tengah memasak di dapur."Sudah selesai beres-beresnya, Din?" tanya Mama saat menyadari kehadiran Dini."Sudah, Ma." Senyum manis mengambang dari bibir Dini seraya duduk di kursi. Dipandangnya Mama dengan tatapan sayang. Gadis itu baru setahun ini tahu bahwa ia bukanlah anak kandung dari Tria Wijaya dan Yan Wijaya, orang tua yang selama ini membesarkannya. Meski bukan anak kandung, tapi kasih sayang kedua orang tua angkatnya itu begitu besar padanya. Apalagi Yan Wijaya yang tak pernah sekalipun menolak setiap permintaan Dini. Namun, karena hal itu juga membuat Dini tak bisa menolak permintaan Papa yang ingin melihat Dini menikah dengan
Setelah menyelesaikan laporan pengeluaran pengiriman barang dan mengirimkannya via email pada atasannya, Dini merapikan meja kerjanya dan bersiap pulang. Hari ini ia mengendarai motor, karena mobil yang biasa dipakainya tengah masuk bengkel. Baru saja keluar dari gerbang kantor, Dini melihat ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada kendaraan lewat. Saat telah menyatu dengan keramaian jalanan, sebuah mobil dengan kaca jendela terbuka berhenti tepat di dekatnya."Kamu ngapain?" tanya Dini sambil membuka kaca helmnya."Kamu ikut sama aku aja," ucap Bagas dari dalam mobilnya."Motor aku diapain? Kita ke cafe depan sana aja," usul Dini yang langsung diiyakan oleh Bagas.Dengan mengendarai motornya, sudah pasti Dini lebih dulu sampai dibandingkan Bagas. Lima menit kemudian Bagas tiba juga di cafe. Mereka berdua masuk dan mengambil posisi duduk di tengah ruangan cafe yang kebetulan keadaannya sedang tidak terlalu ramai."Mendadak kok kamu bisa ada di depan kantor aku?" tanya Dini seraya menge
Malam minggu ini, Bagas meminta izin pada orang tua Dini untuk mengajak calon istrinya itu keluar. Datang di pukul lima sore, setelah berbincang sebentar dengan orang tua Dini di ruang tamu, mereka lantas pergi meninggalkan rumah saat jarum jam menunjuk ke angka sembilan. Mengenakan terusan di atas lutut berwarna maroon, dipadukan dengan sepatu teplek berwarna coklat, membuat tampilan Dini sangat manis malam ini. Mereka menuju salah satu tempat hangout yang selalu ramai di setiap malamnya. Meski merasa sedikit terganggu dengan bisingnya suara musik yang memenuhi ruangan, Dini berusaha tetap menikmati acara makan malam itu."Kamu masih mau di sini?" tanya Bagas saat melihat Dini menutup sendok dan garpunya di atas piring yang telah kosong. Dini menggeleng pelan."Oke. Kita keluar dari sini." Bagas bangkit berdiri diikuti Dini setelah selesai membayar tagihan makan mereka."Aku baru kali ini datang ke tempat itu dan ternyata tempat itu biasanya, beda sama yang orang bilang," ucap Dini s
Di sabtu pagi yang cerah ini, setelah Dini selesai sarapan pagi bersama kedua orang tua, Bagas yang berjanji akan menjemputnya di pukul setengah sembilan pagi, baru datang sejam kemudian. Dari pesan yang dikirimnya, Bagas harus mengantar orang tuanya ke bandara pagi-pagi karena ada acara keluarga di kota Balikpapan."Maaf ya telat," ucap Bagas saat sampai di rumah orang tua Dini."Gak apa-apa," sahut Dini. Mama dan Papa yang baru datang dari ruang makan, ikut bergabung di ruang tamu. Basa basi Mama menawarkan sarapan pagi pada Bagas yang ternyata disambut senang oleh Bagas, karena memang ia belum makan dan sedang lapar saat ini."Dini, ayo temenin Bagas makan." Perintah Mama."Ayo, Gas, anggap rumah sendiri aja," sambung Papa."Iya, Om." Bagas mengikuti Dini berjalan menuju ruang makan. Ia mengambilkan piring dan melayani Bagas. Menyendokkan nasi dan meletakkan beberapa lauk di piring makan Bagas."Udah, udah. Entar aku kekenyangan terus jadi ngantuk," ucap Bagas sebelum Dini lebih ba
Bagas baru saja sampai di rumah setelah seharian bekerja, Bagas berniat untuk langsung masuk ke kamar. Namun, saat Mira melihat anak semata wayangnya itu, ia yang tengah memegang kalender segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Bagas dengan langkah cepat."Gas, ayo duduk sama Mama dulu," ajak Mira. Menggandeng tangan Bagas dan menariknya duduk di ruang tengah. Jari tangan Mira menunjuk beberapa angka di kalender meja yang di pegangnya dan meminta pendapat untuk tanggal bersejarah anaknya nanti."Kalau Mama sudah jahit baju dan pilih-pilih tanggal kayak gini, artinya kamu harus cepat nentuin kapan kamu menghalalkan Dini." Hendri datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah, baru selesai mandi."Iya Pa, Ma. Bagas yang terbaik aja. Mama mau tanggal berapa? Biar nanti Bagas sama Dini atur sama wedding organizer nya," kata Bagas. Mira kemudian menunjuk satu tanggal di dua bulan ke depan. Tak ada sanggahan, Bagas mengiyakan ucapan Mira. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu dan m