Bagas baru saja sampai di rumah setelah seharian bekerja, Bagas berniat untuk langsung masuk ke kamar. Namun, saat Mira melihat anak semata wayangnya itu, ia yang tengah memegang kalender segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Bagas dengan langkah cepat.
"Gas, ayo duduk sama Mama dulu," ajak Mira. Menggandeng tangan Bagas dan menariknya duduk di ruang tengah. Jari tangan Mira menunjuk beberapa angka di kalender meja yang di pegangnya dan meminta pendapat untuk tanggal bersejarah anaknya nanti. "Kalau Mama sudah jahit baju dan pilih-pilih tanggal kayak gini, artinya kamu harus cepat nentuin kapan kamu menghalalkan Dini." Hendri datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah, baru selesai mandi. "Iya Pa, Ma. Bagas yang terbaik aja. Mama mau tanggal berapa? Biar nanti Bagas sama Dini atur sama wedding organizer nya," kata Bagas. Mira kemudian menunjuk satu tanggal di dua bulan ke depan. Tak ada sanggahan, Bagas mengiyakan ucapan Mira. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu dan masuk ke kamarnya. Menyegarkan diri dengan mandi di bawah pancuran air. Kedua matanya tertutup saat dinginnya air membasahi tubuhnya, terlihat jelas di dalam memori otaknya, bagaimana ia mengecup pelan bibir Dini sewaktu di kantornya tempo lalu. Semakin lama ia memejamkan mata, adegan manis itu terus berulang. Ia membuka mata seraya tangan kanannya memutar keran untuk mengurangi volume air yang keluar dari shower. Ia tersenyum simpul sambil menggosok badannya dengan sabun. Setelah selesai makan malam, Mira juga tak berhenti bicara, membahas rencana pernikahan Bagas. Setelah sekian lama, akhirnya anak semata wayangnya akan melepas masa lajang dan berkeluarga dengan wanita pilihannya, bagaimana ia tidak bahagia. Ia merasa tak sia-sia menyeleksi beberapa anak perempuan teman suaminya, hingga merasa sangat cocok saat melihat foto Dini. Ia juga tak keberatan dengan kenyataan bahwa Dini, calon menantunya itu, adalah anak angkat dari orang tuanya. Karena ia sendiri pun, nasibnya sama seperti Dini. Anak angkat orang tuanya. "Bagas masuk kamar duluan ya. Besok harus bangun pagi, ada meeting jam setengah sembilan." "Oke, Sayang," sahut Mira. Di dalam kamarnya, Bagas merebahkan diri di kasur dengan kain berwarna biru awan yang menutupi kasurnya. Tangannya yang lumayan kekar meraih ponsel yang diletakkannya di samping badannya. Jari tangannya mengusap layar ponsel ke atas kemudian masuk ke salah satu media sosial dengan lambang salah satu huruf dengan warna biru. Beberapa menit kemudian ia beralih ke aplikasi chat dan menggeser layar ponselnya, hingga menampilkan deretan updatean status teman-temannya. "Ya ampun," ucap Bagas saat melihat status yang diunggah oleh Dini. Menampilkan calon istrinya tengah berfoto di sebuah rumah makan bersama beberapa orang teman, dengan seorang pria duduk di sampingnya. Bagas kemudian bermain dengan dua jarinya, memperbesar kemudian memperkecil foto. Ia kembali senyum-senyum sendiri. 'Sudah lama gak ciuman sih' batin Bagas. *** Pagi datang menjelang, Bagas yang mengenakan setelan jas berwarna biru dongker, telah stand by di ruang rapat, menunggu kliennya datang. Selang lima menit, dua orang pria dan dua orang wanita dengan usia yang lebih muda darinya, seumuran dengan Dini masuk ke dalam ruang rapat, setelah dipersilahkan oleh sekretarisnya. Masing-masing dari klien Bagas yang baru datang itu memperkenalkan diri kemudian mempresentasikan tawaran kerjasamanya. Belakangan ini, Bagas memang tengah tertarik untuk memperluas usahanya, merambah dunia digital. "Bagus, saya sangat tertarik dengan presentasi kalian," ucap Bagas begitu selesai mendengar presentasi. Sejenak ia menatap layar laptopnya. "Baik, kami akan pelajari ini semua terlebih dahulu. Akan kami hubungi secepatnya." Lanjut Bagas lagi seraya berdiri dan bersalaman dengan kliennya itu. Mereka semua meninggalkan ruang rapat. Bagas dan sekretarisnya mengantar klien mereka itu sampai ke depan pintu masuk kantor, sementara salah satu karyawan Bagas lainnya merapikan ruang rapat. "Setelah ini, sampai sore saya gak ada jadwal lagi kan?" tanya Bagas pada Vina, sekretarisnya. "Gak ada, Pak," jawab Vina singkat kemudian pamit menuju ruangannya. Bagas menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat agar dapat pulang sebelum malam. Hari ini ia ingin pergi ke rumah Dini, menemui calon mertuanya untuk memberitahukan tanggal pernikahan. Jarum jam yang berada di dinding ruang kerjanya, menunjukkan pukul setengah enam sore. Bagas membereskan meja kerjanya, kemudian masuk ke dalam kamar mandinya untuk membersihkan diri. Ia memang sengaja tak pulang dulu ke rumah untuk mempersingkat waktu. Setelah selesai mengenakan pakaian ganti yang selalu tersedia di kantornya, ia pamit pada sekretarisnya dan pergi. Dalam hatinya, ia telah berencana ingin mengajak Dini keluar makan malam setelah berbicara dengan orang tua Dini. Namun, takdir berkata lain, jalan biasa yang dilaluinya sore ini macet parah, tak seperti biasanya. Alhasil ia sampai di rumah Dini tepat pukul setengah delapan malam. "Semoga Dini belum tidur." Harap Bagas saat melihat keadaan rumah Dini tampak sepi dari luar. Hanya lampu teras yang menyala dengan cahaya yang sedikit remang. Langkah kakinya berjalan menuju pintu depan, kemudian satu jarinya menekan bel yang ada di samping pintu. "Bagas," ucap Papa saat membuka pintu. "Maaf malam-malam bertamu, Om," ucap Bagas sambil duduk di sofa ruang tamu. "Gak apa-apa." Sahut Papa lagi yang beberapa detik kemudian Mama datang bergabung. Bagas langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Mengatakan rencana tanggal pernikahannya. Mama mengambil kalender meja yang berada tak jauh dari tempat ia duduk. Memandang sejenak kalender itu, kemudian mengangguk. "Tante setuju aja. Iyakan, Pa?" "Iya. Gak terlalu terburu-buru, jadi kita masih punya wkatu untuk persiapan dan yang lainnya," timpal Papa. "Kalian berdua kalau perlu sesuatu, jangan sungkan untuk bilang. Pasti kita sebagai orang tua akan bantu segala persiapannya," lanjut Papa bersamaan dengan bunyi perut Bagas. Terdengar jelas karena mereka hanya bertiga di ruang tamu. 'Perut, bikin malu aja' umpat Bagas kesal. Ia hanya bisa nyengir kuda menahan malu. "Din, Dini." Panggil Mama. "Kamu belum makan? Makan dulu ya," ucap Papa saat Dini tiba di ruang tamu. "Din, ajak Bagas dulu," ucap Papa. "Maaf ya, Om, Tante, Bagas jadi ngerepotin," sahut Bagas dengan nada suara tak enak. Papa dan Mama hanya tersenyum melihat tingkah calon menantunya. Di ruang makan, Dini duduk di samping Bagas yang di depannya telah tersaji beberapa menu makan malam. "Kamu memang mendadak ke sini apa gimana?" tanya Dini. Ia sedikit bingung melihat Bagas berada di rumahnya malam ini. "Tadi rencananya mau ngajak kamu makan malam keluar, eh taunya jalanan yang biasa mau ke sini macet." Bagas kembali mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya. "Kenapa gak bilang kalau mau datang?" tanya Dini sambil mengambil setoples kacang di meja kemudian menikmatinya. "Kirain keburu, makanya gak bilang." Sekilas Bagas memperhatikan Dini yang tengah mengunyah kacangnya. Gerakan bibir Dini yang membuat Bagas menjadi sedikit malu. Malu mengingat kejadian tempo lalu di kantornya. Selesai makan, sebelum mereka berdua kembali ke ruang tamu, Bagas memastikan kembali bahwa Dini setuju untuk melangsungkan pernikahan di tanggal yang telah dipilih oleh calon mertuanya, Mira. Tanggal delapan belas di dua bulan ke depan.Entah apa yang di membuat Dini begitu bersemangat hari ini. Akhir pekan yang sangat dinantikannya, sejak mentari belum bersinar. Setelah mencuci wajah dan merapikan rambutnya, gadis itu keluar rumah kala langit masih gelap. Dini jogging berkeliling komplek rumah sekitar setengah jam, membuat tubuhnya dibanjiri keringat. Dengan nafas yang masih sedikit ngos-ngosan, ia beristirahat sambil meluruskan kakinya di teras rumah."Tumben kamu jogging, Din?" tanya Papa yang sedari tadi sudah asyik menyiram tanaman."Biar fresh, Pa. Udah lama juga gak olahraga," sahut Dini menyapu peluh yang mengalir di keningnya dengan tangan."Jadi hari ini jalan sama Bagas?" Mama datang dari dalam sambil membawakan segelas teh untuk Papa yang diletakkannya di meja kecil teras."Iya, Ma. Mau ketemu Thomas, staff wedding organizer. Dia nanti yang bantuin ngurus ini itu waktu acara.""Mama perhatiin, dari kemarin kamu bawaannya bahagia banget. Sebelum tidur Mama lihat kamu maskeran, hari ini jogging. Mau ketemu
"Din, kamu ikut masuk ke ruang rapat ya," pinta Pak Hasan, atasannya. Siang ini di ruang rapat kantor, ada pertemuan dengan beberapa pengurus perusahaan dan notaris. Menurut informasi dari Pak Hasan akan ada perubahan pengurus perusahaan yang menyebabkan perubahan di akta perusahaan. Dini dan Pak Hasan telah stand by di ruang rapat saat beberapa orang pengurus perusahaan datang. Dini yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, merasakan tangannya dicolek oleh seseorang."Hai," sapa Dini pada pria yang mencolek tangannya. Pria dengan tinggi seratus tujuh puluh lima centi berkulit sawo matang itu berdiri di depannya, tersenyum dengan lesung pipi yang menambah manis wajahnya. Pria itu bernama Aditya."Kamu apa kabar? Hampir dua bulan aku gak main kesini, jadi kangen sama kamu."Dini tertawa terbahak-bahak. "Bercanda aja kamu, Dit. Kangen kan tinggal nyamperin.""Nanti kalau disamperin ada yang marah," ucap Aditya mengedipkan sebelah mata kemudian berjalan masuk dan duduk di salah satu kursi
Mereka kembali bertemu dengan Thomas sesuai janji beberapa waktu yang lalu. Untuk kali ini, sepulang kerja Dini dijemput oleh Bagas. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil hitam Bagas, setelah lima menit menunggu di pos satpam. Tak ada percakapan sepanjang perjalanan menuju tempat Thomas. Sekilas Dini melihat wajah Bagas sewaktu masuk ke dalam mobil, tampak sangat lelah."Tunggu, biar aku ambil payung sebentar," ucap Bagas. Ia turun lebih dulu dari mobil dan membuka pintu belakang mengambil payung. Ia berjalan dan membukakan pintu lantas merangkul pundak Dini lebih dekat dengannya, agar tetap berada di bawah payung yang sama dengannya.Tanpa basa basi, Bagas langsung meminta Thomas menjelaskan apa hasil negosiasinya dengan beberapa vendor yang telah mereka pilih, mulai dari vendor souvenir, undangan, dan gedung resepsi. Bagas terlihat sangat serius mendengar penjelasan Thomas, sementara Dini asyik membolak balik beberapa majalah yang ada di meja."Jadi semuanya deal ya, Mas?" Bagas m
Setelah meeting bersama vendor dan keluarga kedua belah pihak, semua persiapan sudah dipastikan telah siap sembilan puluh sembilan persen. Tinggal menunggu hari H nya saja. Undangan juga telah disebar ke semua keluarga dan teman. Teman-teman kantor Dini dibuat cukup terkejut, saat gadis itu membagikan undangan pernikahannya."Kamu ih, gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba udah mau merid aja.""Sama siapa sih, Din? Bagas Wiratmaja," ucap salah satu temannya sambil membaca isi undangan."Yaitu, Bagas Wiratmaja. Anak temen Papa aku.""Dijodohin?"Dini tersenyum. "Iya gitu deh.""Semoga langgeng ya. Pokoknya yang terbaik deh buat kamu.""Makasih ya," jawab Dini.***"Yang mau nikah." Suara yang sangat familiar terdengar di telinganya saat Dini tengah menunggu antrian di mesin ATM. Ia berbalik dan mendapati Aditya berdiri di belakangnya."Eh, Dit." Dini merogoh isi tasnya dan mengeluarkan undangan.Pria yang mengenakan kemeja berwarna biru muda itu menerima undangan yang diberikan Dini, m
Riuh gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan yang luasnya kira-kira sepuluh kali luas rumah Dini. Semua orang yang berada di ruangan itu saling tersenyum dan mengucap syukur saat Bagas dan Dini dengan tegas dan mantap mengucap janji pernikahan. Disaksikan kedua belah pihak keluarga dan tamu yang datang, Bagas mengecup kening Dini dengan lembut, setelah mereka berdua saling bertukar cincin. Tampak beberapa teman dari Bagas dan juga Dini yang datang tak menyiakan kesempatan untuk mengambil foto selfie dengan pengantin, sebelum mereka menaiki panggung dan siap menerima setiap tamu yang datang.Tak dapat mengelak, Bagas begitu terpesona dengan penampilan Dini saat ini. Riasan wajahnya yang natural dan kebaya putih yang membalut tubuhnya, membuat Dini sangat cantik. Begitu pun sebaliknya. Di dalam hatinya, Dini berdecak kagum memuji ketampanan Bagas yang hakiki, mengenakan jas berwarna biru malam lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Senyum mengambang di bibir keduanya saat menerima tamu y
Kado-kado pernikahan yang dari kemarin masih tersusun rapi di lantai ruang tamu, baru saja selesai mereka bereskan. Sementara Bagas membersihkan diri, Dini pergi ke dapur guna mempersiapkan makan malam. Karena diluar hujan sedang turun, ia bermaksud ingin memasak makanan yang berkuah untuk menghangatkan badan. Dini meraih ponsel dan membuka salah satu aplikasi memasak untuk mencari resep sup ayam yang praktis. Menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan, ia segera asyik bereksperimen di dapur. Begitu semua bahan telah masuk ke dalam panci, ia menyetel api kompornya agar tidak terlalu besar."Oke deh," ucap Dini setelah selesai meletakkan peralatan makan di meja makan. Ia berbalik, bersiap menuju kamar. Namun langkahnya tertahan saat melihat Bagas berjalan ke arahnya sambil memakai baju. Bulu di dadanya terlihat jelas. Membuat Dini terbelalak."Sudah selesai masaknya?"Tak ada sahutan."Kamu sudah selesai masak belum?" tanya Bagas untuk kedua kalinya dengan nada suara sedikit lebih kencang.
Hari pertama keduanya kembali ke rutinitas masing-masing. Bekerja. Dini yang bangun lebih dulu, dengan cepat membersihkan diri kemudian menyiapkan sarapan untuk Bagas. Secangkir teh tawar dan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi. Ia kembali ke kamar, hendak memastikan apakah Bagas telah siap atau belum."Ups." Langkah kakinya terhenti di depan pintu. Sepasang bola mata coklat menyaksikan bagaimana atletisnya badan yang dimiliki Bagas. Gerakan tangannya yang memasukkan satu persatu kancing ke lubangnya, membuat Dini senyum-senyum sendiri."Ada yang salah?""Nggak," jawab Dini singkat. Ia masuk ke dalam dan mengambil tasnya.Setelah menyemprotkan parfum, Bagas menyusul Dini menuju meja makan."Kamu nganterin aku kan?" tanya Dini. Bagas yang tengah menyuap nasi gorengnya mengangguk.***Setibanya di meja kerja, teman seruangannya langsung mendekat."Cie pengantin baru, berseri-seri gitu mukanya.""Iya nih, kayaknya tiap hari nih," goda salah satu temannya sambil memegang rambut Di
Udara dingin tiba-tiba saja terasa sangat menusuk tulang, hingga membuat Dini terbangun. Ia melirik jam yang berada di atas nakas."Lah masih tengah malam," ucapnya. Ia meraba sekitaran kasur mencoba mencari remote AC yang biasanya selalu berada di dekat bantalnya."Kok panas? Keringat juga?" komentar Dini saat tak sengaja tangannya menyentuh tangan Bagas. Ia menyibak pelan selimut yang menutupi seluruh badan Bagas dan mendapati baju yang dikenakan suaminya basah. Dini kemudian meraba kening suaminya itu dan merasakan suhu tubuhnya sangat tinggi. Reflek Bagas menarik selimut lagi."Kamu ganti baju dulu ya, basah semua kena keringat ini," ucap Dini kemudian turun dari ranjang menuju lemari baju. Ia menatap setiap baju yang tersusun rapi dan mengambil satu baju kaos dengan bahan yang tipis. Dini memanggil nama Bagas pelan, menyuruhnya untuk duduk sebentar. Dengan lesu Bagas mengikuti permintaan Dini. Pria itu pasrah kala Dini membuka bajunya. "Ini," ucap Dini memberikan baju pada suami
Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi
Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua
Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke
Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y
Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B
Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.
Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam
Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs