Share

Tanggal Pernikahan

Bagas baru saja sampai di rumah setelah seharian bekerja, Bagas berniat untuk langsung masuk ke kamar. Namun, saat Mira melihat anak semata wayangnya itu, ia yang tengah memegang kalender segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Bagas dengan langkah cepat.

"Gas, ayo duduk sama Mama dulu," ajak Mira. Menggandeng tangan Bagas dan menariknya duduk di ruang tengah. Jari tangan Mira menunjuk beberapa angka di kalender meja yang di pegangnya dan meminta pendapat untuk tanggal bersejarah anaknya nanti.

"Kalau Mama sudah jahit baju dan pilih-pilih tanggal kayak gini, artinya kamu harus cepat nentuin kapan kamu menghalalkan Dini." Hendri datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah, baru selesai mandi.

"Iya Pa, Ma. Bagas yang terbaik aja. Mama mau tanggal berapa? Biar nanti Bagas sama Dini atur sama wedding organizer nya," kata Bagas. Mira kemudian menunjuk satu tanggal di dua bulan ke depan. Tak ada sanggahan, Bagas mengiyakan ucapan Mira. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu dan masuk ke kamarnya. Menyegarkan diri dengan mandi di bawah pancuran air. Kedua matanya tertutup saat dinginnya air membasahi tubuhnya, terlihat jelas di dalam memori otaknya, bagaimana ia mengecup pelan bibir Dini sewaktu di kantornya tempo lalu. Semakin lama ia memejamkan mata, adegan manis itu terus berulang. Ia membuka mata seraya tangan kanannya memutar keran untuk mengurangi volume air yang keluar dari shower. Ia tersenyum simpul sambil menggosok badannya dengan sabun.

Setelah selesai makan malam, Mira juga tak berhenti bicara, membahas rencana pernikahan Bagas. Setelah sekian lama, akhirnya anak semata wayangnya akan melepas masa lajang dan berkeluarga dengan wanita pilihannya, bagaimana ia tidak bahagia. Ia merasa tak sia-sia menyeleksi beberapa anak perempuan teman suaminya, hingga merasa sangat cocok saat melihat foto Dini. Ia juga tak keberatan dengan kenyataan bahwa Dini, calon menantunya itu, adalah anak angkat dari orang tuanya. Karena ia sendiri pun, nasibnya sama seperti Dini. Anak angkat orang tuanya.

"Bagas masuk kamar duluan ya. Besok harus bangun pagi, ada meeting jam setengah sembilan."

"Oke, Sayang," sahut Mira.

Di dalam kamarnya, Bagas merebahkan diri di kasur dengan kain berwarna biru awan yang menutupi kasurnya. Tangannya yang lumayan kekar meraih ponsel yang diletakkannya di samping badannya. Jari tangannya mengusap layar ponsel ke atas kemudian masuk ke salah satu media sosial dengan lambang salah satu huruf dengan warna biru. Beberapa menit kemudian ia beralih ke aplikasi chat dan menggeser layar ponselnya, hingga menampilkan deretan updatean status teman-temannya.

"Ya ampun," ucap Bagas saat melihat status yang diunggah oleh Dini. Menampilkan calon istrinya tengah berfoto di sebuah rumah makan bersama beberapa orang teman, dengan seorang pria duduk di sampingnya. Bagas kemudian bermain dengan dua jarinya, memperbesar kemudian memperkecil foto. Ia kembali senyum-senyum sendiri.

'Sudah lama gak ciuman sih' batin Bagas.

***

Pagi datang menjelang, Bagas yang mengenakan setelan jas berwarna biru dongker, telah stand by di ruang rapat, menunggu kliennya datang. Selang lima menit, dua orang pria dan dua orang wanita dengan usia yang lebih muda darinya, seumuran dengan Dini masuk ke dalam ruang rapat, setelah dipersilahkan oleh sekretarisnya. Masing-masing dari klien Bagas yang baru datang itu memperkenalkan diri kemudian mempresentasikan tawaran kerjasamanya.

Belakangan ini, Bagas memang tengah tertarik untuk memperluas usahanya, merambah dunia digital.

"Bagus, saya sangat tertarik dengan presentasi kalian," ucap Bagas begitu selesai mendengar presentasi.

Sejenak ia menatap layar laptopnya. "Baik, kami akan pelajari ini semua terlebih dahulu. Akan kami hubungi secepatnya." Lanjut Bagas lagi seraya berdiri dan bersalaman dengan kliennya itu.

Mereka semua meninggalkan ruang rapat. Bagas dan sekretarisnya mengantar klien mereka itu sampai ke depan pintu masuk kantor, sementara salah satu karyawan Bagas lainnya merapikan ruang rapat.

"Setelah ini, sampai sore saya gak ada jadwal lagi kan?" tanya Bagas pada Vina, sekretarisnya.

"Gak ada, Pak," jawab Vina singkat kemudian pamit menuju ruangannya.

Bagas menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat agar dapat pulang sebelum malam. Hari ini ia ingin pergi ke rumah Dini, menemui calon mertuanya untuk memberitahukan tanggal pernikahan.

Jarum jam yang berada di dinding ruang kerjanya, menunjukkan pukul setengah enam sore. Bagas membereskan meja kerjanya, kemudian masuk ke dalam kamar mandinya untuk membersihkan diri. Ia memang sengaja tak pulang dulu ke rumah untuk mempersingkat waktu. Setelah selesai mengenakan pakaian ganti yang selalu tersedia di kantornya, ia pamit pada sekretarisnya dan pergi.

Dalam hatinya, ia telah berencana ingin mengajak Dini keluar makan malam setelah berbicara dengan orang tua Dini. Namun, takdir berkata lain, jalan biasa yang dilaluinya sore ini macet parah, tak seperti biasanya. Alhasil ia sampai di rumah Dini tepat pukul setengah delapan malam.

"Semoga Dini belum tidur." Harap Bagas saat melihat keadaan rumah Dini tampak sepi dari luar. Hanya lampu teras yang menyala dengan cahaya yang sedikit remang. Langkah kakinya berjalan menuju pintu depan, kemudian satu jarinya menekan bel yang ada di samping pintu.

"Bagas," ucap Papa saat membuka pintu.

"Maaf malam-malam bertamu, Om," ucap Bagas sambil duduk di sofa ruang tamu.

"Gak apa-apa." Sahut Papa lagi yang beberapa detik kemudian Mama datang bergabung.

Bagas langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Mengatakan rencana tanggal pernikahannya. Mama mengambil kalender meja yang berada tak jauh dari tempat ia duduk.

Memandang sejenak kalender itu, kemudian mengangguk. "Tante setuju aja. Iyakan, Pa?"

"Iya. Gak terlalu terburu-buru, jadi kita masih punya wkatu untuk persiapan dan yang lainnya," timpal Papa.

"Kalian berdua kalau perlu sesuatu, jangan sungkan untuk bilang. Pasti kita sebagai orang tua akan bantu segala persiapannya," lanjut Papa bersamaan dengan bunyi perut Bagas. Terdengar jelas karena mereka hanya bertiga di ruang tamu.

'Perut, bikin malu aja' umpat Bagas kesal. Ia hanya bisa nyengir kuda menahan malu.

"Din, Dini." Panggil Mama.

"Kamu belum makan? Makan dulu ya," ucap Papa saat Dini tiba di ruang tamu.

"Din, ajak Bagas dulu," ucap Papa.

"Maaf ya, Om, Tante, Bagas jadi ngerepotin," sahut Bagas dengan nada suara tak enak. Papa dan Mama hanya tersenyum melihat tingkah calon menantunya.

Di ruang makan, Dini duduk di samping Bagas yang di depannya telah tersaji beberapa menu makan malam.

"Kamu memang mendadak ke sini apa gimana?" tanya Dini. Ia sedikit bingung melihat Bagas berada di rumahnya malam ini.

"Tadi rencananya mau ngajak kamu makan malam keluar, eh taunya jalanan yang biasa mau ke sini macet." Bagas kembali mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.

"Kenapa gak bilang kalau mau datang?" tanya Dini sambil mengambil setoples kacang di meja kemudian menikmatinya.

"Kirain keburu, makanya gak bilang." Sekilas Bagas memperhatikan Dini yang tengah mengunyah kacangnya. Gerakan bibir Dini yang membuat Bagas menjadi sedikit malu. Malu mengingat kejadian tempo lalu di kantornya.

Selesai makan, sebelum mereka berdua kembali ke ruang tamu, Bagas memastikan kembali bahwa Dini setuju untuk melangsungkan pernikahan di tanggal yang telah dipilih oleh calon mertuanya, Mira. Tanggal delapan belas di dua bulan ke depan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status