Share

Wangi Yang Menggoda

Di sabtu pagi yang cerah ini, setelah Dini selesai sarapan pagi bersama kedua orang tua, Bagas yang berjanji akan menjemputnya di pukul setengah sembilan pagi, baru datang sejam kemudian. Dari pesan yang dikirimnya, Bagas harus mengantar orang tuanya ke bandara pagi-pagi karena ada acara keluarga di kota Balikpapan.

"Maaf ya telat," ucap Bagas saat sampai di rumah orang tua Dini.

"Gak apa-apa," sahut Dini. Mama dan Papa yang baru datang dari ruang makan, ikut bergabung di ruang tamu. Basa basi Mama menawarkan sarapan pagi pada Bagas yang ternyata disambut senang oleh Bagas, karena memang ia belum makan dan sedang lapar saat ini.

"Dini, ayo temenin Bagas makan." Perintah Mama.

"Ayo, Gas, anggap rumah sendiri aja," sambung Papa.

"Iya, Om." Bagas mengikuti Dini berjalan menuju ruang makan. Ia mengambilkan piring dan melayani Bagas. Menyendokkan nasi dan meletakkan beberapa lauk di piring makan Bagas.

"Udah, udah. Entar aku kekenyangan terus jadi ngantuk," ucap Bagas sebelum Dini lebih banyak lagi meletakkan lauk di piringnya. Setelah menuangkan segelas air putih untuk Bagas, Dini duduk di kursi di samping Bagas. Ia memperhatikan Bagas yang dengan lahap makan, padahal menu makan yang tersedia hanya menu sederhana, menu rumahan. 

"Gak nambah?"

"Sudah cukup," jawab Bagas singkat.

"Kamu ke depan aja duluan, biar aku beresin sebentar meja makannya," ucap Dini sambil mengambil piring dan gelas Bagas yang telah kosong. Bagas berdiri dan memundurkan langkahnya, berdiri di samping kulkas memperhatikan Dini yang dengan cekatan membereskan meja makan kemudian mencuci piring.

"Ngapain? Kenapa gak langsung ke depan aja," ujar Dini kaget saat berbalik dan melihat Bagas masih berada di ruang makan. Ia tak menjawab. Hanya tersenyum dan berjalan lebih dulu ke depan.

Berbincang sebentar dengan orang tua Dini, mereka berdua kemudian pamit.

"Kalian hati-hati ya. Semoga urusannya lancar," ucap Papa sambil mengantarkan Bagas dan Dini sampai ke mobil.

Mereka tiba di sebuah bangunan berlantai dua dengan warna biru yang sangat mendominasi.

"Kamu mau pernikahan ini di handle sama WO atau diurus sendiri?" tanya Bagas sebelum mereka turun dari mobil.

"Melihat dari antusias Tante Mira yang sudah gak sabar lagi, kayaknya menyerahkan sama WO pilihan yang tepat."

"Ya udah kita masuk," ajak Bagas.

Mereka berdua disambut ramah oleh seorang pria seumuran Dini. Ia memperkenalkan diri sebagai salah satu staff WO bernama Thomas. Pria berbaju hitam itu, mengajak Bagas juga Dini untuk duduk di salah meja kosong. Terlihat cukup ramai, ada tiga pasangan yang sudah pasti ingin berkonsultasi mengenai pernikahan.

"Jadi ada yang bisa kami bantu?" tanya Thomas sambil meletakkan ponsel pintar berwarna putih dengan layar yang cukup lebar itu.

"Kita mau merid dan rencananya mau pakai WO. Boleh tahu ada paket pernikahan apa saja, Mas?" tanya Bagas.

Thomas tersenyum. Ia mengambil ponsel pintar dan mengusap layarnya. "Kita ada beberapa paket pernikahan." Thomas menunjukkan gambar di layar tabletnya pada Bagas dan Dini. Ia kemudian menjelaskan beberapa macam paket pernikahan yang terbest. Yang sering dipakai oleh kliennya. Ia kemudian menyerahkan tablet itu kepada Bagas dan Dini, agar mereka berdua bisa lebih leluasa melihat.

"Kalau boleh tahu, tanggal pernikahannya kapan, Mbak?" Pertanyaan Thomas yang langsung membuat Dini memandang Bagas. Bingung hendak menjawab apa. 

"Tanggalnya masih dicari sih, Mas. Tapi sekitar dua sampai tiga bulan lagi," sahut Bagas. Thomas mengangguk, kemudian pamit sebentar meninggalkan mereka berdua.

"Kamu mau yang mana? Coba sini kamu pilih," ucap Bagas lagi. Dini menggeser badannya lebih dekat dengan Bagas. Dini menatap seksama layar tablet itu. Ia membaca dalam hati, setiap fasilitas yang didapat dari setiap paket pernikahan.

Bagas yang telah lama tak berada sedekat ini dengan wanita, sangat menikmati saat aroma tubuh Dini terhirup oleh indra penciumannya. Aroma yang sangat manis dan menggoda. Membuatnya ingin terus berulang-ulang menghirup aroma tubuh Dini.

"Kalau ini boleh?" Jari tangan Dini menunjuk layar tablet. Tak ada sahutan dari Bagas. Tanpa menoleh, Dini mengulangi pertanyaannya, tapi tetap saja, Bagas tak bersuara.

"Kamu tidur?" Tanya Dini kaget saat melihat Bagas dalam posisi mata tertutup.

"Eh, enggak. Kenapa?" Bagas membuka lebar matanya dan menatap Dini sekilas kemudian mengalihkan pandangannya.

'Astaga, cuma aroma begini aja, sudah bikin aku gak jelas' gumam Bagas.

"Ini boleh gak?" Tanya Dini lagi. "Kamu lagi ada pikiran?" Sambung Dini saat Bagas tak kunjung menjawab

"Boleh. Kalau kamu mau yang itu," sahut Bagas berbarengan dengan datangnya Thomas.

"Mas, kita rencana mau ambil paket yang ini. Teknisnya gimana?" Bagas menyodorkan tablet.

"Yang pasti, kita harus tahu dulu tanggal pernikahannya. Setelah itu baru kita bisa susun konsep pernikahannya seperti apa," terang Thomas.

"Saya boleh minta nomor whatsappnya Mas Thomas?"

"Boleh," ucap Thomas sambil menyebutkan nomor ponselnya. "Nanti kalau tanggalnya sudah pasti, Mas Bagas sama calon istrinya bisa hubungi saya untuk kelanjutannya."

Bagas dan Dini bergantian berjabat tangan dengan Thomas, seraya pamit meninggalkan tempat itu.

Di pertengahan jalan, Bagas menerima telepon dari kantor yang mengharuskannya untuk ke sana.

"Gak apa-apa." Jawab Dini saat Bagas meminta izin untuk singgah ke kantornya.

***

"Kamu mau ikut atau tunggu di ruangan aku?" Langkah kaki mereka berhenti di depan pintu coklat.

"Nunggu di ruangan kamu aja, gak apa-apa kan?"

Bagas mengangguk. "Aku sebentar ya." Ia membukakan pintu dan membiarkan Dini masuk, setelah itu baru ia pergi ke bagian percetakan. 

Dini berjalan perlahan menyusuri setiap sudut ruang kerja Dimas. Semua tertata rapi. Ia berjalan mendekati meja kerja Bagas dan duduk di kursi hitam yang terlihat sangat empuk.

"Enak." Kagumnya dengan kursi kerajaan Bagas. Ia menurunkan tinggi kursi dan menurunkan sandaran yang didudukinya dengan menarik tuas di bawah kursi.

Sembari menunggu Bagas yang hampir tiga puluh menit belum kembali, Dini memutar kursinya menghadap kaca besar di belakangnya, memandang pemandangan Jakarta dari lantai dua puluh. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menatap gedung-gedung pencakar langit yang tersaji di luar, membuat matanya lama kelamaan menjadi ngantuk.

"Katanya cuma sebentar, ini udah mau satu setengah jam," ucap Dini sambil melirik jam di tangannya. Dan untuk kesekian kali ia kembali menguap. Kantuk yang tak tertahankan, akhirnya membuat matanya tertutup. Ia tertidur.

KLEK

Pintu terbuka. 

Perlahan Bagas masuk dan tak melihat keberadaan Dini. Namun, kemudian ia tersenyum melihat posisi kursi kerjanya yang telah berubah. Benar saja, Dini tertidur pulas. Bagas memandangi wajah wanita di depannya itu. Tampak tenang dan teduh. Ia berlutut di dekat Dini. Aroma tubuh Dini kembali memenuhi indra penciuman Bagas. Ia mencondongkan dirinya lebih dekat dengan Dini. Netranya menyapu setiap sudut wajah wanita itu. Wajah yang tak bosan dilihat. Manis. Sepasang netra milik Bagas, berhenti di depan bibir Dini. Tak tebal, namun tak tipis juga. Naluri lelakinya sedikit bergelora, ia lebih mendekatkan diri dan sekejap menempelkan bibirnya di atas bibir Dini. Hanya sebentar saja, tak lebih dari tiga detik. Melihat tak ada respon dari Dini, ia mencoba melakukan hal itu lagi, kini lebih lama, tapi tak sampai membuat Dini terbangun.

Tok tok tok

"Permisi, Pak." Suara ketukan pintu seiring dengan terbukanya pintu oleh salah satu karyawan Bagas, membuat Dini terbangun. Ia sangat terkejut melihat posisi Bagas berada di dekat kakinya.

"Kamu ngapain di situ?" Kaget Dini sambil berdiri. Ia menoleh ke arah Bagas kemudian mengalihkan pandangan ke arah pintu. Tampak karyawan Bagas terlihat serba salah. Untung saja Bagas dapat memberikan alasan yang tepat. Ia mengambil sebuah pulpen dari lantai dan menunjukkannya pada  Dini.

"Maaf, Pak. Ini pesanan makan siang, Bapak," ucap karyawan wanitanya itu. 

"Makasih ya. Kamu letakkan di meja aja." Perintah Bagas. Selesai meletakkan dua porsi makanan di meja, karyawannya itu meninggalkan ruangan  Bagas.

"Kita makan siang dulu," ujar Bagas seraya berjalan lebih dulu menuju meja tamu, tempat makanan itu berada.

'Hampir aja' gumam Bagas dalam hati sambil mengulum senyum.

Selesai makan siang dan pekerjaan Bagas yang juga telah selesai, mereka meninggalkan kantor. Tapi sebelum itu, Bagas menghampiri karyawannya yang tengah bekerja, kemudian memperkenalkan Dini sebagai calon istrinya, agar tidak ada gosip negatif karena kejadian tadi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status