Di sabtu pagi yang cerah ini, setelah Dini selesai sarapan pagi bersama kedua orang tua, Bagas yang berjanji akan menjemputnya di pukul setengah sembilan pagi, baru datang sejam kemudian. Dari pesan yang dikirimnya, Bagas harus mengantar orang tuanya ke bandara pagi-pagi karena ada acara keluarga di kota Balikpapan.
"Maaf ya telat," ucap Bagas saat sampai di rumah orang tua Dini. "Gak apa-apa," sahut Dini. Mama dan Papa yang baru datang dari ruang makan, ikut bergabung di ruang tamu. Basa basi Mama menawarkan sarapan pagi pada Bagas yang ternyata disambut senang oleh Bagas, karena memang ia belum makan dan sedang lapar saat ini. "Dini, ayo temenin Bagas makan." Perintah Mama. "Ayo, Gas, anggap rumah sendiri aja," sambung Papa. "Iya, Om." Bagas mengikuti Dini berjalan menuju ruang makan. Ia mengambilkan piring dan melayani Bagas. Menyendokkan nasi dan meletakkan beberapa lauk di piring makan Bagas. "Udah, udah. Entar aku kekenyangan terus jadi ngantuk," ucap Bagas sebelum Dini lebih banyak lagi meletakkan lauk di piringnya. Setelah menuangkan segelas air putih untuk Bagas, Dini duduk di kursi di samping Bagas. Ia memperhatikan Bagas yang dengan lahap makan, padahal menu makan yang tersedia hanya menu sederhana, menu rumahan. "Gak nambah?" "Sudah cukup," jawab Bagas singkat. "Kamu ke depan aja duluan, biar aku beresin sebentar meja makannya," ucap Dini sambil mengambil piring dan gelas Bagas yang telah kosong. Bagas berdiri dan memundurkan langkahnya, berdiri di samping kulkas memperhatikan Dini yang dengan cekatan membereskan meja makan kemudian mencuci piring. "Ngapain? Kenapa gak langsung ke depan aja," ujar Dini kaget saat berbalik dan melihat Bagas masih berada di ruang makan. Ia tak menjawab. Hanya tersenyum dan berjalan lebih dulu ke depan. Berbincang sebentar dengan orang tua Dini, mereka berdua kemudian pamit. "Kalian hati-hati ya. Semoga urusannya lancar," ucap Papa sambil mengantarkan Bagas dan Dini sampai ke mobil. Mereka tiba di sebuah bangunan berlantai dua dengan warna biru yang sangat mendominasi. "Kamu mau pernikahan ini di handle sama WO atau diurus sendiri?" tanya Bagas sebelum mereka turun dari mobil. "Melihat dari antusias Tante Mira yang sudah gak sabar lagi, kayaknya menyerahkan sama WO pilihan yang tepat." "Ya udah kita masuk," ajak Bagas. Mereka berdua disambut ramah oleh seorang pria seumuran Dini. Ia memperkenalkan diri sebagai salah satu staff WO bernama Thomas. Pria berbaju hitam itu, mengajak Bagas juga Dini untuk duduk di salah meja kosong. Terlihat cukup ramai, ada tiga pasangan yang sudah pasti ingin berkonsultasi mengenai pernikahan. "Jadi ada yang bisa kami bantu?" tanya Thomas sambil meletakkan ponsel pintar berwarna putih dengan layar yang cukup lebar itu. "Kita mau merid dan rencananya mau pakai WO. Boleh tahu ada paket pernikahan apa saja, Mas?" tanya Bagas. Thomas tersenyum. Ia mengambil ponsel pintar dan mengusap layarnya. "Kita ada beberapa paket pernikahan." Thomas menunjukkan gambar di layar tabletnya pada Bagas dan Dini. Ia kemudian menjelaskan beberapa macam paket pernikahan yang terbest. Yang sering dipakai oleh kliennya. Ia kemudian menyerahkan tablet itu kepada Bagas dan Dini, agar mereka berdua bisa lebih leluasa melihat. "Kalau boleh tahu, tanggal pernikahannya kapan, Mbak?" Pertanyaan Thomas yang langsung membuat Dini memandang Bagas. Bingung hendak menjawab apa. "Tanggalnya masih dicari sih, Mas. Tapi sekitar dua sampai tiga bulan lagi," sahut Bagas. Thomas mengangguk, kemudian pamit sebentar meninggalkan mereka berdua. "Kamu mau yang mana? Coba sini kamu pilih," ucap Bagas lagi. Dini menggeser badannya lebih dekat dengan Bagas. Dini menatap seksama layar tablet itu. Ia membaca dalam hati, setiap fasilitas yang didapat dari setiap paket pernikahan. Bagas yang telah lama tak berada sedekat ini dengan wanita, sangat menikmati saat aroma tubuh Dini terhirup oleh indra penciumannya. Aroma yang sangat manis dan menggoda. Membuatnya ingin terus berulang-ulang menghirup aroma tubuh Dini. "Kalau ini boleh?" Jari tangan Dini menunjuk layar tablet. Tak ada sahutan dari Bagas. Tanpa menoleh, Dini mengulangi pertanyaannya, tapi tetap saja, Bagas tak bersuara. "Kamu tidur?" Tanya Dini kaget saat melihat Bagas dalam posisi mata tertutup. "Eh, enggak. Kenapa?" Bagas membuka lebar matanya dan menatap Dini sekilas kemudian mengalihkan pandangannya. 'Astaga, cuma aroma begini aja, sudah bikin aku gak jelas' gumam Bagas. "Ini boleh gak?" Tanya Dini lagi. "Kamu lagi ada pikiran?" Sambung Dini saat Bagas tak kunjung menjawab "Boleh. Kalau kamu mau yang itu," sahut Bagas berbarengan dengan datangnya Thomas. "Mas, kita rencana mau ambil paket yang ini. Teknisnya gimana?" Bagas menyodorkan tablet. "Yang pasti, kita harus tahu dulu tanggal pernikahannya. Setelah itu baru kita bisa susun konsep pernikahannya seperti apa," terang Thomas. "Saya boleh minta nomor whatsappnya Mas Thomas?" "Boleh," ucap Thomas sambil menyebutkan nomor ponselnya. "Nanti kalau tanggalnya sudah pasti, Mas Bagas sama calon istrinya bisa hubungi saya untuk kelanjutannya." Bagas dan Dini bergantian berjabat tangan dengan Thomas, seraya pamit meninggalkan tempat itu. Di pertengahan jalan, Bagas menerima telepon dari kantor yang mengharuskannya untuk ke sana. "Gak apa-apa." Jawab Dini saat Bagas meminta izin untuk singgah ke kantornya. *** "Kamu mau ikut atau tunggu di ruangan aku?" Langkah kaki mereka berhenti di depan pintu coklat. "Nunggu di ruangan kamu aja, gak apa-apa kan?" Bagas mengangguk. "Aku sebentar ya." Ia membukakan pintu dan membiarkan Dini masuk, setelah itu baru ia pergi ke bagian percetakan. Dini berjalan perlahan menyusuri setiap sudut ruang kerja Dimas. Semua tertata rapi. Ia berjalan mendekati meja kerja Bagas dan duduk di kursi hitam yang terlihat sangat empuk. "Enak." Kagumnya dengan kursi kerajaan Bagas. Ia menurunkan tinggi kursi dan menurunkan sandaran yang didudukinya dengan menarik tuas di bawah kursi. Sembari menunggu Bagas yang hampir tiga puluh menit belum kembali, Dini memutar kursinya menghadap kaca besar di belakangnya, memandang pemandangan Jakarta dari lantai dua puluh. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menatap gedung-gedung pencakar langit yang tersaji di luar, membuat matanya lama kelamaan menjadi ngantuk. "Katanya cuma sebentar, ini udah mau satu setengah jam," ucap Dini sambil melirik jam di tangannya. Dan untuk kesekian kali ia kembali menguap. Kantuk yang tak tertahankan, akhirnya membuat matanya tertutup. Ia tertidur. KLEK Pintu terbuka. Perlahan Bagas masuk dan tak melihat keberadaan Dini. Namun, kemudian ia tersenyum melihat posisi kursi kerjanya yang telah berubah. Benar saja, Dini tertidur pulas. Bagas memandangi wajah wanita di depannya itu. Tampak tenang dan teduh. Ia berlutut di dekat Dini. Aroma tubuh Dini kembali memenuhi indra penciuman Bagas. Ia mencondongkan dirinya lebih dekat dengan Dini. Netranya menyapu setiap sudut wajah wanita itu. Wajah yang tak bosan dilihat. Manis. Sepasang netra milik Bagas, berhenti di depan bibir Dini. Tak tebal, namun tak tipis juga. Naluri lelakinya sedikit bergelora, ia lebih mendekatkan diri dan sekejap menempelkan bibirnya di atas bibir Dini. Hanya sebentar saja, tak lebih dari tiga detik. Melihat tak ada respon dari Dini, ia mencoba melakukan hal itu lagi, kini lebih lama, tapi tak sampai membuat Dini terbangun. Tok tok tok "Permisi, Pak." Suara ketukan pintu seiring dengan terbukanya pintu oleh salah satu karyawan Bagas, membuat Dini terbangun. Ia sangat terkejut melihat posisi Bagas berada di dekat kakinya. "Kamu ngapain di situ?" Kaget Dini sambil berdiri. Ia menoleh ke arah Bagas kemudian mengalihkan pandangan ke arah pintu. Tampak karyawan Bagas terlihat serba salah. Untung saja Bagas dapat memberikan alasan yang tepat. Ia mengambil sebuah pulpen dari lantai dan menunjukkannya pada Dini. "Maaf, Pak. Ini pesanan makan siang, Bapak," ucap karyawan wanitanya itu. "Makasih ya. Kamu letakkan di meja aja." Perintah Bagas. Selesai meletakkan dua porsi makanan di meja, karyawannya itu meninggalkan ruangan Bagas. "Kita makan siang dulu," ujar Bagas seraya berjalan lebih dulu menuju meja tamu, tempat makanan itu berada. 'Hampir aja' gumam Bagas dalam hati sambil mengulum senyum. Selesai makan siang dan pekerjaan Bagas yang juga telah selesai, mereka meninggalkan kantor. Tapi sebelum itu, Bagas menghampiri karyawannya yang tengah bekerja, kemudian memperkenalkan Dini sebagai calon istrinya, agar tidak ada gosip negatif karena kejadian tadi.Bagas baru saja sampai di rumah setelah seharian bekerja, Bagas berniat untuk langsung masuk ke kamar. Namun, saat Mira melihat anak semata wayangnya itu, ia yang tengah memegang kalender segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Bagas dengan langkah cepat."Gas, ayo duduk sama Mama dulu," ajak Mira. Menggandeng tangan Bagas dan menariknya duduk di ruang tengah. Jari tangan Mira menunjuk beberapa angka di kalender meja yang di pegangnya dan meminta pendapat untuk tanggal bersejarah anaknya nanti."Kalau Mama sudah jahit baju dan pilih-pilih tanggal kayak gini, artinya kamu harus cepat nentuin kapan kamu menghalalkan Dini." Hendri datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah, baru selesai mandi."Iya Pa, Ma. Bagas yang terbaik aja. Mama mau tanggal berapa? Biar nanti Bagas sama Dini atur sama wedding organizer nya," kata Bagas. Mira kemudian menunjuk satu tanggal di dua bulan ke depan. Tak ada sanggahan, Bagas mengiyakan ucapan Mira. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu dan m
Entah apa yang di membuat Dini begitu bersemangat hari ini. Akhir pekan yang sangat dinantikannya, sejak mentari belum bersinar. Setelah mencuci wajah dan merapikan rambutnya, gadis itu keluar rumah kala langit masih gelap. Dini jogging berkeliling komplek rumah sekitar setengah jam, membuat tubuhnya dibanjiri keringat. Dengan nafas yang masih sedikit ngos-ngosan, ia beristirahat sambil meluruskan kakinya di teras rumah."Tumben kamu jogging, Din?" tanya Papa yang sedari tadi sudah asyik menyiram tanaman."Biar fresh, Pa. Udah lama juga gak olahraga," sahut Dini menyapu peluh yang mengalir di keningnya dengan tangan."Jadi hari ini jalan sama Bagas?" Mama datang dari dalam sambil membawakan segelas teh untuk Papa yang diletakkannya di meja kecil teras."Iya, Ma. Mau ketemu Thomas, staff wedding organizer. Dia nanti yang bantuin ngurus ini itu waktu acara.""Mama perhatiin, dari kemarin kamu bawaannya bahagia banget. Sebelum tidur Mama lihat kamu maskeran, hari ini jogging. Mau ketemu
"Din, kamu ikut masuk ke ruang rapat ya," pinta Pak Hasan, atasannya. Siang ini di ruang rapat kantor, ada pertemuan dengan beberapa pengurus perusahaan dan notaris. Menurut informasi dari Pak Hasan akan ada perubahan pengurus perusahaan yang menyebabkan perubahan di akta perusahaan. Dini dan Pak Hasan telah stand by di ruang rapat saat beberapa orang pengurus perusahaan datang. Dini yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, merasakan tangannya dicolek oleh seseorang."Hai," sapa Dini pada pria yang mencolek tangannya. Pria dengan tinggi seratus tujuh puluh lima centi berkulit sawo matang itu berdiri di depannya, tersenyum dengan lesung pipi yang menambah manis wajahnya. Pria itu bernama Aditya."Kamu apa kabar? Hampir dua bulan aku gak main kesini, jadi kangen sama kamu."Dini tertawa terbahak-bahak. "Bercanda aja kamu, Dit. Kangen kan tinggal nyamperin.""Nanti kalau disamperin ada yang marah," ucap Aditya mengedipkan sebelah mata kemudian berjalan masuk dan duduk di salah satu kursi
Mereka kembali bertemu dengan Thomas sesuai janji beberapa waktu yang lalu. Untuk kali ini, sepulang kerja Dini dijemput oleh Bagas. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil hitam Bagas, setelah lima menit menunggu di pos satpam. Tak ada percakapan sepanjang perjalanan menuju tempat Thomas. Sekilas Dini melihat wajah Bagas sewaktu masuk ke dalam mobil, tampak sangat lelah."Tunggu, biar aku ambil payung sebentar," ucap Bagas. Ia turun lebih dulu dari mobil dan membuka pintu belakang mengambil payung. Ia berjalan dan membukakan pintu lantas merangkul pundak Dini lebih dekat dengannya, agar tetap berada di bawah payung yang sama dengannya.Tanpa basa basi, Bagas langsung meminta Thomas menjelaskan apa hasil negosiasinya dengan beberapa vendor yang telah mereka pilih, mulai dari vendor souvenir, undangan, dan gedung resepsi. Bagas terlihat sangat serius mendengar penjelasan Thomas, sementara Dini asyik membolak balik beberapa majalah yang ada di meja."Jadi semuanya deal ya, Mas?" Bagas m
Setelah meeting bersama vendor dan keluarga kedua belah pihak, semua persiapan sudah dipastikan telah siap sembilan puluh sembilan persen. Tinggal menunggu hari H nya saja. Undangan juga telah disebar ke semua keluarga dan teman. Teman-teman kantor Dini dibuat cukup terkejut, saat gadis itu membagikan undangan pernikahannya."Kamu ih, gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba udah mau merid aja.""Sama siapa sih, Din? Bagas Wiratmaja," ucap salah satu temannya sambil membaca isi undangan."Yaitu, Bagas Wiratmaja. Anak temen Papa aku.""Dijodohin?"Dini tersenyum. "Iya gitu deh.""Semoga langgeng ya. Pokoknya yang terbaik deh buat kamu.""Makasih ya," jawab Dini.***"Yang mau nikah." Suara yang sangat familiar terdengar di telinganya saat Dini tengah menunggu antrian di mesin ATM. Ia berbalik dan mendapati Aditya berdiri di belakangnya."Eh, Dit." Dini merogoh isi tasnya dan mengeluarkan undangan.Pria yang mengenakan kemeja berwarna biru muda itu menerima undangan yang diberikan Dini, m
Riuh gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan yang luasnya kira-kira sepuluh kali luas rumah Dini. Semua orang yang berada di ruangan itu saling tersenyum dan mengucap syukur saat Bagas dan Dini dengan tegas dan mantap mengucap janji pernikahan. Disaksikan kedua belah pihak keluarga dan tamu yang datang, Bagas mengecup kening Dini dengan lembut, setelah mereka berdua saling bertukar cincin. Tampak beberapa teman dari Bagas dan juga Dini yang datang tak menyiakan kesempatan untuk mengambil foto selfie dengan pengantin, sebelum mereka menaiki panggung dan siap menerima setiap tamu yang datang.Tak dapat mengelak, Bagas begitu terpesona dengan penampilan Dini saat ini. Riasan wajahnya yang natural dan kebaya putih yang membalut tubuhnya, membuat Dini sangat cantik. Begitu pun sebaliknya. Di dalam hatinya, Dini berdecak kagum memuji ketampanan Bagas yang hakiki, mengenakan jas berwarna biru malam lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Senyum mengambang di bibir keduanya saat menerima tamu y
Kado-kado pernikahan yang dari kemarin masih tersusun rapi di lantai ruang tamu, baru saja selesai mereka bereskan. Sementara Bagas membersihkan diri, Dini pergi ke dapur guna mempersiapkan makan malam. Karena diluar hujan sedang turun, ia bermaksud ingin memasak makanan yang berkuah untuk menghangatkan badan. Dini meraih ponsel dan membuka salah satu aplikasi memasak untuk mencari resep sup ayam yang praktis. Menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan, ia segera asyik bereksperimen di dapur. Begitu semua bahan telah masuk ke dalam panci, ia menyetel api kompornya agar tidak terlalu besar."Oke deh," ucap Dini setelah selesai meletakkan peralatan makan di meja makan. Ia berbalik, bersiap menuju kamar. Namun langkahnya tertahan saat melihat Bagas berjalan ke arahnya sambil memakai baju. Bulu di dadanya terlihat jelas. Membuat Dini terbelalak."Sudah selesai masaknya?"Tak ada sahutan."Kamu sudah selesai masak belum?" tanya Bagas untuk kedua kalinya dengan nada suara sedikit lebih kencang.
Hari pertama keduanya kembali ke rutinitas masing-masing. Bekerja. Dini yang bangun lebih dulu, dengan cepat membersihkan diri kemudian menyiapkan sarapan untuk Bagas. Secangkir teh tawar dan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi. Ia kembali ke kamar, hendak memastikan apakah Bagas telah siap atau belum."Ups." Langkah kakinya terhenti di depan pintu. Sepasang bola mata coklat menyaksikan bagaimana atletisnya badan yang dimiliki Bagas. Gerakan tangannya yang memasukkan satu persatu kancing ke lubangnya, membuat Dini senyum-senyum sendiri."Ada yang salah?""Nggak," jawab Dini singkat. Ia masuk ke dalam dan mengambil tasnya.Setelah menyemprotkan parfum, Bagas menyusul Dini menuju meja makan."Kamu nganterin aku kan?" tanya Dini. Bagas yang tengah menyuap nasi gorengnya mengangguk.***Setibanya di meja kerja, teman seruangannya langsung mendekat."Cie pengantin baru, berseri-seri gitu mukanya.""Iya nih, kayaknya tiap hari nih," goda salah satu temannya sambil memegang rambut Di
Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi
Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua
Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke
Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y
Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B
Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.
Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam
Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs